Anda di halaman 1dari 14

Aspek Hukum dalam Outsourcing

Tuesday, 17 February 2009

DR. Dhaniswara K. Harjono, SH., MH., MBA

Pertanyaan :
Saya adalah seorang karyawan yang bekerja pada perusahaan sebagai Staf Personalia. Kebetulan
perusahaan tempat saya bekerja akan menggunakan tenaga kerja dari perusahaan penyedia jasa
“OUTSOURCING” yaitu untuk tenaga security (satpam). Sehubungan dengan hal tersebut di atas dan
kebetulan saya sendiri tidak memahami tentang perusahaan penyedia jasa “OUTSOURCING”, maka pada
kesempatan ini Saya ingin menanyakan kepada Bapak mengenai perusahaan penyedia jasa
“OUTSOURCING” tersebut terkait dengan ketenagakerjaan ? Demikian pertanyaan dari saya, atas
jawaban dari Pak Dhanis, saya ucapkan terima kasih.

M. Randi Wibawa
Jakarta

Jawaban :
Terima kasih atas pertanyaan dari Saudara Darmawan. Bisnis Outsourcing merupakan bisnis yang
mempunyai potensi yang sangat besar yang memberikan peluang untuk pengembangannya. Tingginya
persaingan telah menuntut manajemen perusahaan melakukan perhitungan pengurangan biaya, maka
dilakukan outsource hal-hal yang penting bagi perusahaan akan tetapi tidak berhubungan langsung
dengan bisnis inti perusahaan.

Pasal 1601 b KUHPerdata yang mengatur mengenai Pemborongan Pekerjaan menyebutkan bahwa :
Pemborongan Pekerjaan adalah perjanjian, dengan mana pihak yang satu, si pemborong, mengikatkan diri
untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan bagi pihak yang lain, pihak yang memborongkan, dengan
menerima suatu harga yang ditentukan.

Legalisasi penggunaan jasa Outsourcing dengan dikeluarkannya UU No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan.
Pasal 64 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa :
Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui
perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.

Dengan demikian “OUTSOURCING” atau yang disebut dengan Perjanjian Pemborongan Pekerjaan dapat
dikategorikan menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu :
1. Penyerahan suatu pekerjaan oleh suatu perusahaan kepada perusahaan lain untuk dikerjakan di
tempat di perusahaan lain tersebut;
2. Penyediaan jasa pekerja oleh perusahaan penyedia jasa pekerja, yang dipekerjakan pada
perusahaan lain yang membutuhkan

Bahwa terkait dengan pertanyaan Saudara, maka Outsourcing yang dimaksud lebih menitikberatkan pada
penyediaan jasa pekerja/orang perorangan yang jasanya dibutuhkan. Dalam pelaksanaannya Outsourcing
berhubungan erat dengan ketenagakerjaan

Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh perusahaan penyedia jasa Outsourcing adalah :
1. Dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
2. Dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan;
3. Merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan;
4. Tidak menghambat proses produksi secara langsung;
5. Perusahaan Pemborong harus berbentuk badan hukum;
6. Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan tersebut harus sekurang-kurangnya sama
dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan, atau sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Di dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Permenakertrans) RI No. : KEP-
101/MEN/VI/2004 tentang Tata Cara Perizinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh mengatur
mengenai :
1. Perusahaan penyedia jasa adalah perusahaan berbadan hukum.
2. Memiliki izin operasional dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di
kabupaten/kota sesuai dengan domisili perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.
3. Harus dibuat Perjanjian Tertulis antara perusahaan penyedia jasa dengan perusahaan pemberi pe
pekerjaan.
4. Perjanjian tersebut didaftarkan pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
kabupaten/kota.

Di dalam Keputusan menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No. : KEP. 220/MEN/X/2004 tentang
Syarat-syarat penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain mengatur mengenai :

1. Penyerahan pekerjaan harus dibuat dan ditandatangani kedua belah pihak secara tertulis melalui
perjanjian pemborongan pekerjaan.
2. Penerima pekerjaan harus perusahaan yang berbadan hukum dan mempunyai izin usaha dari
ketenagakerjaan.
3. Adanya jaminan atas pemenuhan seluruh hak-hak pekerja.
4. Penyerahan pekerjaan dari perusahaan pemberi pekerjaan hanya dapat dilakukan terhadap pekerjaan-
pekerjaan yang bukan merupakan kegiatan utama perusahaan, melainkan hanya berupa kegiatan
penunjang yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.

Realisasi hubungan kerja antara perusahaan Outsourcing dengan pekerjanya dibuat secara tertulis.
Perjanjian Kerja tersebut dapat didasarkan pada Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu atau Perjanjian
Kerja Waktu tertentu apabila memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh undang-undang.

Bahwa hubungan kerja melalui Outsourcing ini bukan merupakan hubungan kerja yang biasa. Dalam
hubungan kerja yang biasa, pekerja mempunyai hubungan langsung dengan pengusaha yang
mempekerjakannya, di mana pengusaha akan membayarkan segala hak pekerja secara langsung dan
pekerja memberikan tenaganya secara langsung kepada perusahaan yang merekrutnya. Hal ini tidak
berlaku pada hubungan kerja melalui Outsourcing, di mana pembayaran dilakukan melalui pengusaha ke
pengusaha dan pengusaha ke pekerja. Bagi perusahaan di mana tenaga Outsourcing itu dipekerjakan
tidak lagi mengurusi masalah perekrutan, pelatihan tenaga kerja, masalah pesangon, THR, PHK, dan
masalah-masalah ketenagakerjaan lainnya, karena hal ini telah diambil alih oleh perusahaan Outsourcing.
Bahwa perusahaan Outsourcing harus menjamin hak-hak pekerja/buruh. Apabila ternyata perusahaan
tidak memberikan jaminan terhadap hak-hak pekerja/buruh maka perusahaan dapat dimintai
pertanggungjawaban untuk memenuhi hak-hak pekerja.

Dalam pelaksanaan kerjasama melalui Outsourcing dimungkinkan timbulnya perselisihan yang dipicu oleh
beberapa factor diantaranya yaitu adanya perbedaan kepentingan diantara para pihak karena disini ada
tiga pihak yang berhubungan langsung yang masing-masing mempunyai kepentingan yang berbeda.
Apabila terjadi perselisihan dalam kerjasama melalui Outsourcing tersebut maka untuk penyelesaiannya
dapat dilakukan melalui dua lapangan hukum yaitu Hukum Ketenagakerjaan dan Hukum Perdata. Hukum
Ketenagakerjaan digunakan untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial antara pengusaha dan
pekerja sedangkan Hukum Perdata untuk menyelesaikan perselisihan antara perusahaan pemberi
pekerjaan dan penerima pekerjaan dalam memenuhi isi perjanjian.

Perselisihan antara pengusaha dan pekerja disebut dengan Perselisihan Hubungan Industrial yang diatur
dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial.

Proses penyelesaian perselisihan tersebut terdiri dari :


1. Penyelesaian secara Bipartite
2. Penyelesaian melalui Mediasi, Konsiliasi dan Arbitrase
3. Pengadilan Hubungan Industrial
Perselisihan yang dapat diselesaikan melalui Hukum Perdata dalam masalah Outsourcing adalah
perselisihan antara perusahaan pemberi pekerjaan dan penerima pekerjaan dalam memenuhi isi
perjanjian.

Demikian penjelasan saya, semoga memuaskan, terima kasih ………. d2

© 2010 Majalah Pengusaha - Referensi Usaha Anda

Artikel
GONJANG GANJING TENTANG PEKERJA KONTRAK/PKWT dan
OUTSOURCING

21 May 2008

ARTIKEL LAINNYA
05 May 2008

Lebih Dekat dengan Sofjan Wanandi, Ketua Umum Apindo (2008-


2013)
17 Jan 2008

Jaminan Kompensasi PHK dan Keberlangsungan Dunia Usaha


17 Jan 2008

MENYIKAPI KETENTUAN CSR (CORPORATE SOCIAL


RESPONCIBILITY) YANG HARUS DILAKSANAKAN OLEH
PERSEROAN DIBIDANG SUMBER DAYA ALAM
17 Jan 2008

Perhitungan Dana Jaminan Pemutusan Hubungan Kerja

Peranan Lembaga Keuangan dan IT Dalam Mengembangkan UKM


anggota APINDO Menghadapi dan Menembus Pasar Global

GONJANG GANJING TENTANG PEKERJA KONTRAK/PKWT


dan OUTSOURCING

Oleh:

H. Hasanuddin Rachman

Ketua DPN APINDO

Bidang Hubungan Industrial dan Advokasi

Ketua Komite Tetap Hubungan Industrial

Kadin Indonesia

Menjelang dan sesudah peringatan May Day atau Hari Buruh, 1 Mei 2008, mencuat berita di
masmedia cetak maupun elektronik tentang tuntutan para pekerja/buruh yang disuarakan melalui
pimpinan SP/SB :Hapuskan Kerja Kontrak ! Stop/Hentikan Outsourcing !

“May Day, Pemerintah Diminta Peka terhadap Masalah Buruh, Tuntutan tidak perlu banyak,
tetapi yang satu ini yang harus diperjuangkan untuk dicabut, terutama terkait sistem outsourcing”
Wakil Ketua Komisi III DPR;

“Sistem kontrak kerja atau outsourcing akan dihapus karena banyak merugikan buruh”, Erman
Soeparno Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi. (Suara Karya, Jumat 2 Mei 2008).

“Tuntutan penghapusan system kerja kontrak dan outsourcing serta perbaikan upah minimum
menjadi agenda utama perayaan Hari Buruh Seduna diberbagai daerah ditanah air” (Investor
Daily, Jumat 2 Mei 2008).

‘Ribuan demonstrans melakukan long march dari Bundaran Hotel Indonesia ke Istana Negara di
kawasan Jln. M.H. Thamrin, Jakarta, kemarin, untuk memperingati Hari Buruh Sedunia yang
jatuh pada 1 Mei. Pada peringatan yang biasa disebut May Day itu para buruh tersebut menuntut
penghapusan sistem outsourcing” (Koran Tempo, Jumat 2 Mei 2008)

Berita-berita tersebut menunjukkan banyak kalangan tidak atau kurang memahami permasalahan
kontrak kerja dan ousourcing. Bahkan dalam box berita surat kabar tersebut ada kutipan
pernyataan Erman Suparno Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi “Sistem kontrak kerja atau
outsourcing akan dihapus karena banyak merugikan pekerja atau buruh”. Apakah benar
Menakertrans berkata seperti itu ? Perlu klarifikasi nampaknya. Bila benar sungguh
memprihatinkan. Tulisan berikut ini mudah-mudahan dapat menjelaskan permasalahan diseputar
system kerja kontrak dan outsourcing

SISTEM OUTSOURCING DAN LATAR BELAKANG


OUTSOURCING
1. Timbulnya permasalahan pada praktek outsourcing, sementara belum tersedia
perundang-undangan bidang ketenagakerjaan yang mengatur tentang hal tersebut.

2. KUH Perdata pasal 1601 b mengatur adanya pengakuan tentang perjanjian


pemborongan pekerjaan.

3. UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan tidak menyebut istilah outsourcing


namun dalam beberapa pasal mengatur tentang pemborongan pekerjaan dan
penggunaan pekerja/buruh melalui perusahaan jasa penyedia pekerja/buruh yang
akhirnya dikenal dengan sebutan outsourcing dengan maksud :

• sebagai landasan hukum menyikapi praktek outsourcing;

• sebagai acuan menyelesaikan permasalahan yang timbul dilingkup outsourcing.

Landasan Filosofis & Pertimbangan Pelibatan Perusahaan Lain

n Pertimbangan mengurangi beban;

n Pertimbangan meminimalkan / mengalihkan resiko;

n Pertimbangan efisiensi (bukan dalam arti production cost);

n Pertimbangan fluktuasi pekerjaan


PELAKSANAAN OUTSOURCING -TIMBULNYA OUTSOURCING :

1. Untuk efisiensi, Charles t. Fote mengatakan “kiat berhemat adalah jangan mengerjakan
semua sendiri”.
2. Mengurangi panjang dan kompleksnya rentang kendali manajemen usaha.
3. Political will : pemerataan kesempatan berusaha terutama bagi usaha kecil dan
menengah.
4. Ada jenis pekerjaan spesifik memerlukan penanganan khusus oleh keahlian tertentu.
5. Bentuk hubungan dagang baru dengan sistim order.
6. Untuk menekan labor cost.

CIKAL BAKAL OUTSOURCING DI INDONESIA

1. Pengelolaan sumber daya MIGAS didasarkan pada Pasal 33 (2) & (3) UUD 1945:.

· Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat
hidup orang banyak dikuasai oleh negara;

· Bumi & air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh
negara & digunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat.

2. Dalam rangka pelaksanaannya telah diundangkan UU No. 40/Prp tahun 1960 tentang
Pertambangan MIGAS yang memuat ketentuan:
a. Pertambangan & kekayaan alam yang terkandung dalam bumi (MIGAS) hanya
diusahakan oleh negara dan dalam hal ini oleh perusahaan negara semata-
mata;
b. Menteri dapat menunjuk pihak lain sebagai kontraktor untuk perusahaan negara
tersebut apabila diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan yang belum dapat
atau tidak dapat dikerjakan sendiri.
3. Selanjutnya ketentuan tersebut diatas dituangkan dalam UU No. 8/1971 tentang
Perusahaan Pertambangan Minyak & Gas Bumi Negara (PERTAMINA);
4. Sifat usaha pencarian MIGAS adalah:
a. Padat modal; diperlukan modal yang sangat besar untuk mencari &
memproduksi MIGAS;
b. Resiko tinggi; resiko kegagalan yang sangat tinggi dalam pencarian MIGAS
berbanding terbalik dengan biaya yang dibutuhkan;
c. Berteknologi tinggi
5. Sadar akan terbatasnya dana, teknologi dan sumber daya yang dimiliki, sejalan dengan
Pasal 12 UU PERTAMINA dalam rangka mengembangkan kegiatan sektor hulu,
PERTAMINA mengadakan kontrak kerjasama dengan para pengusaha minyak asing
dalam bentuk Kontraktor Production Sharing (KPS).
6. Sistem KPS ini terus berkembang dengan mengakomodasikan tidak saja kepentingan
investor tetapi juga kepentingan nasional, terutama pembagian keuntungan yang lebih
layak & peningkatan kadar peran nasional dalam pengadaan material, jasa & tenaga
kerja.
7. Saat ini sistem KPS diterapkan oleh banyak negara produsen minyak lain.
TREND OUTSOURCING

1. Merupakan kebutuhan dari kondisi saat ini, contohnya adalah untuk penghasil consumer
goods yang memberikan semua bagian non-corenya kepada pihak lain:
2. Bukanlah hal baru yang dipraktekkan tetapi merupakan praktek yang sudah dilakukan
beberapa perusahaan yang berhasil dalam effisiensi yang juga dicirikan dengan
minimnya masalah-masalah perburuhan;
3. Outsourcing murni akan memberikan nilai tambah dari lepasnya masalah hubungan
industrial, remunerasi, benefits dan hal-hal lain yang sifatnya melekat pada pekerja
karena produk jasalah yang diambil dari sifat kerjanya;
4. Perubahan dari kondisi sekarang menuju outsourcing merupakan langkah effisiensi yang
sangat strategis untuk kelancaran usaha yang ada pada saat ini;

TUJUAN PROGRAM OUTSOURCING:

1. Melaksanakan anjuran Pemerintah dalam mengembangkan kemitraan agar perusahaan


tidak menguasai kegiatan industri dari hulu ke hilir;
2. Meningkatkan pemerataan kesejahteraan masyarakat terutama di daerah sub-urban;
3. Mendorong terjadinya proses pendidikan & alih teknologi dalam bidang industri &
managemen pengelolaan pabrik;
4. Mengurangi kegiatan pemusatan industri di perkotaan yang dapat menimbulkan
gangguan kerawanan sosial, keamanan & konflik perburuhan.

MANFAAT OUTSOURCING:

BAGI PEMERINTAH:

1. Mengembangkan & mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat dan pertumbuhan


ekonomi nasional;
2. Pembinaan & pengembangan kegiatan koperasi & UKM;
3. Mengurangi beban Pemerintah kota dalam penyediaan fasilitas umum (transportasi,
listrik, air & pelaksanaan ketertiban umum).

BAGI MASYARAKAT & PEKERJA:

1. Aktivitas industri di daerah akan mendorong kegiatan ekonomi penunjang dilingkungan


masyarakat (pasar, warung, sewa rumah/kamar, transportasi dll);
2. Mengembangkan infrastruktur sosial masyarakat, budaya kerja, disiplin & peningkatan
kemampuan ekonomi;
3. Mengurangi pengangguran & mencegah terjadinya urbanisasi;
4. Meningkatkan kemampuan & budaya berusaha dilingkungan masyarakat.

BAGI INDUSTRI:

1. Mengurangi beban keterbatasan lahan untuk pengembangan perusahaan di kawasan


industri;
2. Meningkatkan fleksibilitas dalam pengembangan produk baru & penyesuaian dengan
perkembangan teknologi, sehingga perusahaan dapat berkonsentrasi untuk
mengembangkan produk baru & teknologi;
3. Produk yang sudah stabil & menggunakan teknologi lama bisa dikembangkan di
perusahaan mitra (outsourcing);
4. Meningkatkan daya saing perusahaan dengan effisiensi penggunaan fasilitas & teknologi
yang berkembang pesat.

ALASAN UNTUK OUTSOURCING:

1. Fokus pada core bisnis;


2. Perampingan organisasi;
3. Peningkatan produktivitas;
4. Pekerjaan musiman;

KAPAN OUTSOURCING DIBUTUHKAN:

1. Cara kerja yang sudah tidak efisien;


2. Operation cost yang tinggi;
3. Secara kualitas kemampuan kurang bersaing;
4. Daya kompetisi rendah.

DAMPAK HAMBATAN TERHADAP OUTSOURCING

1. Akan terjadi restrukturisasi kegiatan industri secara nasional yang akan mengakibatkan
keresahan dikalangan UKM;
2. UKM akan kehilangan kesempatan untuk berusaha karena semua kegiatan industri akan
dipusatkan di perusahaan induk;
3. Berkurangnya kesempatan kerja karena perusahaan harus menggunakan teknologi
tinggi untuk meningkatkan efisiensi;
4. Hambatan terhadap perkembangan ekonomi secara nasional.

PERMASALAHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL YANG BIASA DIHADAPI DI LAPANGAN


1. Dilibatkannya Perusahaan Pemberi Pekerjaan oleh pekerja kontraktor / kontraktor dalam
perselisihan hubungan industrial mereka;
2. Ikut campurnya oknum karyawan Perusahaan Pemberi Pekerjaan dalam penentuan
pemilihan pekerja kontraktor secara langsung;
3. Terlibatnya Perusahaan Pemberi Pekerjaan (oknum karyawan) dalam penentuan
remunerasi kontraktor;
4. Proteksi kedaerahan pekerja lokal yang berlebihan;
5. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial dicampur-adukan dengan masalah sosial;
6. Pemaksaan penyelesaian masalah perburuhan dengan cara politis;
7. Kurangnya antisipasi kemungkinan terjadinya perselisihan;
8. Perburuhan dalam kontrak dokumen.

DEFINISI OUTSOURCING :

Berdasarkan semangat Keppres 18/2000, Pasal 6 & 2

· Suatu pola pengadaan yang mengalihkan sebagian kegiatan pengadaan barang / jasa
kepada penyedia barang / jasa yang mempunyai keahlian di bidangnya yang mencakup
layanan kegiatan operasi, rencana kebutuhan barang, proses pembelian, proses
kepabeanan, pengelolaan inventori, sistem suplai & distribusi.

OUTSOURCING BERDASARKAN UU NO. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

Perusahaan Pemborongan Pekerjaan(PPP):

· Sebagian pelaksanaan pekerjaan dapat diserahkan kepada perusahaan lainnya melalui :

1. Perjanjian pemborongan pekerjaan, atau;

2. Penyediaan jasa pekerja/buruh.

OUTSOURCING

· Pekerjaan yang diserahkan (1) harus memenuhi syarat-syarat:

1. Dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama,


2. Dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan,
3. Merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan, dan
4. Tidak menghambat produksi secara langsung,
5. Perubahan dan/atau penambahan syarat-syarat diatur lebih lanjut dengan Keputusan
Menteri.
6. Perusahaan (1) harus berbentuk badan hukum,
7. Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja P/B sekurang-kurangnya sama dengan P/B
perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundangan yang
berlaku,
8. Hubungan kerja (PKWT atau PKWTT) antara P/B dengan perusahaan pemborongan
pekerjaan diatur secara tertulis,
9. tidak terpenuhi, maka demi hukum hubungan kerja P/B beralih dengan perusahaan
pemberi pekerjaan (PKWT atau PKWTT).

· Perusahaan Penyedia Jasa P / B

1. P/B PPJ tidak boleh digunakan untuk kegiatan pokok atau yang berhubungan
langsung dengan proses produksi;

2. Dapat digunakan untuk kegiatan jasa penunjang atau yang tidak berhubungan
langsung dengan proses produksi;

3. Merupakan bentuk usaha yang berbadan hukum dan memiliki izin dari instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenaga-kerjaan;

4. Bila tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja beralih ke perusahaan
pemberi pekerjaan.

5. Perlindungan upah & kesejahteraan, syaker, dan perselisihan menjadi tanggung


jawab perusahaan penyedia jasa tenaga kerja.

6. Harus memenuhi syarat :

a. Adanya hubungan kerja antara P/B dan perusahaan penyedia jasa P/B;
b. PKWT atau PKWTT tertulis ditanda-tangani kedua belah pihak.

7. Pada pekerjaan yang berhubungan dengan kegiatan pokok atau penunjang yang
berhubungan langsung dengan proses produksi (core busines), pengusaha hanya
diperbolehkan mempekerjakan P/B dengan PKWT dan / atau PKWTT;

8. Kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan
proses produksi adalah kegiatan yang berhubungan di luar usaha pokok (core
business) suatu perusahaan;

9. Kegiatan tersebut antara lain:

a) usaha pelayanan kebersihan (cleaning service);

b) usaha penyediaan makanan P/B (catering);

c) usaha tenaga pengamanan (security/satpam);

d) usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan, serta;

e) usaha angkutan P/B;

f) dsb.
10. Perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, maupun;

11. Penyelesaian perselisihan antara perusahaan penyedia jasa tenaga kerja dengan
P/B; harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

INTISARI KEPMENAKERTRANS No.220/MEN/X/2004

1. Tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada


Perusahaan Lain.
2. Merupakan pelaksanaan Pasal 65 ayat (5) UU No.13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan.
3. Perusahaan Pemberi Pekerjaan adalah

a) Setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan,
milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara
yang mempekerjakan P/B dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain;

b) Usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan


mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.

4. Perusahaan Pemberi Pekerjaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan


kepada perusahaan penerima pemborongan pekerjaan.
5. Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan dilaksanakan melalui perjanjian
pemborongan pekerjaan secara tertulis.
6. Dalam hal di satu daerah tidak terdapat perusahaan pemborong pekerjaan yang
berbadan hukum atau terdapat perusahaan pemborong pekerjaan berbadan hukum
tetapi tidak memenuhi kualifikasi untuk dapat melaksanakan sebagian pekerjaan dari
perusahaan pemberi pekerjaan, maka penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan
dapat diserahkan pada perusahaan pemborong pekerjaan yang bukan berbadan hukum.

Alur Proses Produksi

Perusahaan pemberi pekerjaan yang akan menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaannya


kepada perusahaan pemborong pekerjaan wajib membuat alur kegiatan proses pelaksanaan
pekerjaan.

Core dan Non-Core

Berdasarkan alur kegiatan proses pelaksanaan pekerjaan, perusahaan pemberi pekerjaan


menetapkan jenis-jenis pekerjaan yang utama dan penunjang berdasarkan ketentuan, serta
melaporkan kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat.

KONDISI DUNIA USAHA SAAT INI (Change or Die)


1. Banyak perusahaan bangkrut akibat terlambat melakukan perubahan cara pengelolaan;

2. Sebagai akibat semakin dinamisnya lingkungan bisnis, maka perusahaan harus semakin
lincah & responsif sehingga selalu mampu menyesuaikan dengan perubahan lingkungan
bisnis yang karakteristiknya serba cepat & serba tidak pasti;

3. Outsourcing merupakan salah satu solusi bahkan kadang-kadang merupakan satu-satunya


solusi dari problem efisiensi perusahaan dalam menghadapi kompetisi.

PRAKTEK OUTSOURCING DI INDONESIA

1. PT Pertamina – dengan KPS-KPSnya

2. PT Jamsostek – dalam Jaminan Pelayanan Kesehatan (JPK) dan Jaminan Kecelakaan Kerja
(JKK) dengan RS yang dirujuk

3. PT PLN – dalam penyediaan sumber daya listrik dengan perusahaan pembangkit listrik
(Indonesia Power), juga dalam penyediaan sistem billing tagihan, pembuatan, perawatan dan
perbaikan jaringan PLN.

4. PT TELKOM - dalam penyediaan sistem billing tagihan, dan juga pembuatan, perawatan dan
perbaikan jaringan telepon serta sistem transmisi/panel satelit.

5. Perusahaan Penerbangan – dalam Ticketing, Catering, Cargo dan Perawatan Pesawat.

PUTUSAN JUDICIAL REVIEW OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI (MK)

ATAS UU 13/2003 TENTANG OUTSOURCING

1. Menimbang bahwa perlindungan yang diberikan terhadap buruh outsourcing tampak dalam
Pasal 66 ayat (1), (2) a, c dan ayat (4) yang berbunyi :” ------------------------- ”

2. Menimbang bahwa berdasarkan ketentuan tersebut di atas, maka dalam hal P/B dimaksud
ternyata dipekerjakan untuk melaksanakan kegiatan pokok, tidak ada hubungan kerja
dengan perusahaan penyedia jasa P/B, dan jika perusahaan penyedia jasa P/B bukan
merupakan bentuk usaha yang berbadan hukum, maka demi hukum status hubungan kerja
antara P/B dan perusahaan penyedia jasa P/B beralih menjadi hubungan kerja antara P/B
dengan perusahaan pemberi pekerjaan.

3. Oleh karena itu, dengan memperhatikan keseimbangan yang perlu dalam perlindungan
terhadap pengusaha, P/B dan masyarakat secara selaras, dalil para Pemohon tidak cukup
beralasan. Hubungan kerja antara P/B dengan perusahaan penyedia jasa yang
melaksanakan pelaksanaan pekerjaan pada perusahaan lain, sebagaimana diatur dalam
Pasal 64 - 66 undang-undang a quo, mendapat perlindungan kerja dan syarat-syarat yang
sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi
pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
Oleh karenanya, terlepas dari jangka waktu tertentu yang mungkin menjadi syarat perjanjian
kerja demikian dalam kesempatan yang tersedia, maka perlindungan hak-hak buruh sesuai
dengan aturan hukum dalam UU Ketenegakerjaan, tidak terbukti bahwa hal itu menyebabkan
sistem outsourcing merupakan modern slavery dalam proses produksi.

1. Lahirnya UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan adalah sebuah realitas yang tidak dapat
dihindarkan dan kita mesti dapat menerima dengan cara :

a) Bijaksana : Mau mengakui dan bertanggung jawab terhadap adanya kewajiban yang
timbul;

b) Cerdas : Mampu menjabarkan dan mendefinisikan tentang apa yang harus disesuaikan
dengan kepentingan bisnis.

2. Disamping BIJAKSANA dan CERDAS, para pengusaha juga musti JELI dalam melihat mana
yang merupakan PELUANG dan mana yang menyerupai JEBAKAN, hal ini mengingat ada
ancaman :

a) Pekerja kontrak dapat menjadi pekerja tetap;

b) Pekerja Pihak Ketiga dapat menjadi Pekerja Pemberi Kerja;

c) Tuntutan denda sampai Rp. 500 juta;

d) Tuntutan pidana kurungan sampai 5 tahun.

KESIMPULAN

· Pekerja Kontrak yang bekerja atas dasar Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
(PKWT) diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
Pasal 56 s/d Pasal 59, berbeda dengan atau tidak sama dengan
outsourcing;

· PKWT atau Pekerja Kontrak dihire/direkrut langsung oleh Perusahaan


Pemberi Kerja;

· Pekerja Perusahaan Outsorcee dihire/direkrut oleh Perusahaan


Outsourcee bisa menjadi Pekerja Tetap (PKWTT) bisa dengan status
Pekerja Kontrak (PKWT), tidak memiliki hubungan kerja dengan
Perusahaan Pemberi Kerja;
· Outsourcing diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan Pasal 64 s/d Pasal 66;

· UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan pernah di Yudicial


Review oleh 37 Pimpinan SP/SB ke Mahkamah Konstitusi dengan UU No.
13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dengan Keputusan tidak
bertentangan dengan UUD 1945 termasuk PKWT serta Outsourcing;

· @apindo.or.id

Anda mungkin juga menyukai