Anda di halaman 1dari 3

Anak Jalanan Dalam Perspektif HAM

KASUS kekerasan terhadap anak berulang menjadi sorotan publik. Berbagai


penderitaan yang dialami anak telah menunjukkan bahwa hak hidup anak sebagai
bagian integral dari hak asasi manusia telah terbiarkan, terancam, dan seakan tanpa
penanganan.

Sudah seharusnya negara menempatkan posisi anak dalam kebijakan pembangunan


sejajar dengan isu politik juga ekonomi. Pemerintah tak sepantasnya menempatkan
anak sebagai persoalan domestik. Berdasarkan Ratifikasi Konvensi PBB tentang Hak
Anak, negara berkewajiban menghormati, melindungi, dan memenuhi hak anak tanpa
diskriminasi.

Bagaimana kenyataannya? Lihatlah anak jalanan. Berdasarkan catatan Departemen


Sosial (Depsos), jumlah anak jalanan mencapai 39.861 orang dengan sekitar 48% di
antaranya anak yang baru turun ke jalan. Catatan itu diperoleh dari hasil survei sejak
tahun 1998 di 12 kota besar di Indonesia. Secara nasional diperkirakan terdapat
sebanyak 60.000 sampai 75.000 anak jalanan. Depsos juga mencatat bahwa 60% anak
jalanan putus sekolah, 80% masih berhubungan dengan keluarganya, dan 18%
perempuan.

Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) mengaku menerima berbagai


pengaduan dengan jumlah anak korban kekerasan yang terus meningkat. Dari 481
kasus pada 2004 menjadi 736 kasus pada tahun 2005, dan meningkat lagi menjadi
1.124 kasus pada 2006. Jumlah kekerasan terhadap anak-anak ini hanyalah jumlah
yang dilaporkan wilayah sekitar Jabodetabek. Sementara jumlah kekerasan terhadap
anak secara nasional diperkirakan mencapai 72.000 kasus.

Dari berbagai analisis, pemicu terjadinya kekerasan terhadap anak, di antaranya


diakibatkan oleh kekerasan dalam rumah tangga, disfungsi keluarga, ekonomi, dan
pandangan keliru tentang posisi anak dalam keluarga. Penyebab lainnya, terinspirasi
tayangan televisi maupun media-media lain yang tersebar di lingkungan masyarakat.
Yang mengejutkan, 62% tayangan televisi maupun media lainnya ternyata telah
membangun dan menciptakan perilaku kekerasan terhadap anak.

Siapa anak?

Siapakah anak itu? Pasal 1 ayat 1 UU No.23/2002 menyebutkan, “Anak adalah


seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas tahun) termasuk anak yang masih
dalam kandungan”. Pasal 1 KHA/Keppres No. 36/1990 menyatakan, “Anak adalah
setiap orang yang berusia di bawah 18 tahun kecuali berdasarkan UU yang berlaku
bagi yang ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal”. Senada dengan itu,
Pasal 1 ayat 5 UU No. 39/1999 tentang HAM mengatakan, “Anak adalah setiap
manusia yang berusia di bawah 18 tahun dan belum menikah, termasuk anak yang
masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya”.

Bangsa Indonesia sudah selayaknya memberikan perhatian penuh terhadap


perlindungan anak karena dalam amanat Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28b ayat
2 disebutkan, “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan
berkembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Sedangkan Pasal 34 (1) berbunyi, “Fakir miskin dan anak telantar dipelihara oleh
negara”. Di sisi lain, perlindungan terhadap keberadaan anak ditegaskan secara
eksplisit dalam 15 pasal yang mengatur hak-hak anak dan pasal 52 – 66 UU No.
39/1999 tentang HAM.

Secara umum dapat dikatakan, secara kuantitatif UU sudah memberikan perlindungan


kepada anak-anak. Akan tetapi, implementasi peraturan perundang-undangan tersebut
belum sepenuhnya dapat dilaksanakan. Hal ini disebabkan antara lain oleh pertama,
upaya penegakan hukum masih mengalami kesulitan. Kedua, harmonisasi berbagai
UU yang memberikan perlindungan kepada anak dihadapkan pada berbagai
hambatan. Ketiga, sosialisasi peraturan perundang-undangan kepada masyarakat
belum sepenuhnya dapat dilakukan dengan baik. Terakhir, keempat, kebijakan
pemerintah lebih banyak berorientasi kepada pemenuhan dan perlindungan hak-hak
sipil politik, ekonomi, sosial, dan budaya.

Sayangnya, banyaknya peraturan itu tidak didukung dengan implementasinya.

Harus diakui, keberadaan anak-anak merupakan mayoritas di negeri ini. Karenanya


diperlukan tindakan aktif untuk melindungi hak-hak dan kepentingan mereka melalui
penegakan hukum dan tindakan legislasi lainnya. Hak asasi anak belum sepenuhnya
terpenuhi secara maksimal, sehingga membawa konsekuensi bagi kehidupan diri dan
keluarganya. Berbagai bukti empiris menunjukkan bahwa masih dijumpai anak-anak
yang mendapat perlakuan yang belum sesuai dengan harapan. Kendalanya antara lain,
kurangnya koordinasi antarinstansi pemerintah, belum terlaksananya sosialisasi
dengan baik, dan kemiskinan yang masih dialami masyarakat.

Oleh sebab itu, pemerintah perlu melakukan beberapa langkah strategis. Pertama,
sudah saatnya legislatif dan eksekutif memasukkan Kementerian Khusus Anak dalam
RUU Kementerian Negara yang sedang dibahas dalam Panitia Khusus (Pansus-RUU
Kementerian Negara) DPR-RI sebagai kementerian negara. Kedua, menjadikan
program perlindungan anak di Indonesia menjadi sebuah program prioritas bagi
pemerintah dalam menjawab komitmen negara sebagai negara yang meratifikasi
Konvensi Hak Anak.

Ketiga, mengeluarkan kebijakan negara yang bersifat teknis dalam melindungi anak
dari segala pelanggaran hak anak seperti tindak kekerasan, diskriminasi, trafficking,
dan perlakuan salah lainnya. Keempat, merealisasi anggaran pendidikan sebesar 20%
sebagaimana yang dimandatkan UUD 45, dan memberikan akta kelahiran gratis
sebagai salah satu hak identitas warga bangsa dan sebagai implementasi pelaksanaan
UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak.

Kelima, menyediakan pelayanan publik komprehensif dan lebih mengedepankan


kepentingan masyarakat serta anak pada khususnya tanpa diskriminasi dengan
menyediakan sarana pendidikan dan kesehatan secara gratis bagi semua anak
Indonesia. Keenam, negara bertanggung jawab dalam menghentikan tayangan-
tayangan kekerasan, mistik, pornografi, dan tayangan lainnya yang tidak mendidik
bagi proses tumbuh kembang anak.

Anda mungkin juga menyukai