Anda di halaman 1dari 24

c   

„   


 

 
„
    
 

 




 
„  !"
##
$
 „

% 
 & '„()„*+ ,   
(*) „-**)
 . „ 
 / #  0
1
 
 +*)* 
Malnutrisi secara umum adalah istilah umum ketika terjadi kekurangan
beberapa atau seluruh elemen nutrisi yang penting bagi tubuh. Malnutrisi
merupakan salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas anak di dunia.
Diperkirakan 9% anak di bawah usia 5 tahun mengalami kelaparan (dengan
standar deviasi berat badan menurut tinggi badan di bawah -2SD menurut
WHO/NCHS). Keadaan ini berisiko terhadap kematian atau gangguan
pertumbuhan dan perkembangan mental yang berat.
Kwashiorkor dan marasmus merupakan dua bentuk dari malnutrisi energi
protein. Perbedaan mendasar antara kedua bentuk malnutrisi ini adalah ada
(kwashiorkor) atau tidak (marasmus) adanya edema. Marasmus terjadi akibat
à protein dan kalori yang tidak adekuat, sedangkan kwashiorkor terjadi akibat
intake protein yang tidak adekuat tetapi intake kalori masih dalam batas normal. 
Pada dasarnya, malnutrisi berat terjadi akibat asupan makanan yang menurun,
dengan atau tanpa disertai gangguan metabolisme makanan spesifik. Keadaan
yang labil, menurunnya daya imunitas, serta terganggunya sejumlah metabolisme
tubuh pada pasien malnutrisi akan memudahkan terjadinya komplikasi. 1
Komplikasi akut yang sering terjadi adalah infeksi, dengan gejala yang
tidak begitu nyata, menyebabkan deteksi infeksi pada pasien sering terlambat.
Bentuk infeksi yang terjadi dapat bermacam-macam, bisa dari bakteri, virus,
parasit, maupun jamur, yang terjadi dalam berbagai derajat. Semakin buruk
1
2
keadaan penderita, maka derajat infeksi akan semakin berat. Salah satu infeksi
berat yang dapat terjadi pada pasien dengan malnutrisi berat adalah meningitis. 1
Meningitis adalah infeksi cairan otak disertai radang yang mengenai
meningen dan dalam derajat yang lebih ringan mengenai jaringan otak dan medula
spinalis yang superfisial. Penyebab meningitis cukup bervariasi, namun secara
klinis terbagi menjadi dua kelompok besar, yaitu meningitis purulenta dan serosa.
Pada meningitis purulenta akan ditemukan pertumbuhan kuman dalam kulur,
sedangkan pada meningitis serosa tidak, sehingga disebut juga meningitis aseptik.
Penyebab meningitis serosa antara lain oleh mikobakterium dan virus. 
Meskipun meningitis serosa dapat sembuh dengan terapi yang tepat,
namun keadaan penderita yang buruk dapat memperberat komplikasi selama
gejala timbul, baik komplikasi dari gizi buruknya maupun komplikasi dari
meningitisnya. Dengan demikian, penanganan yang komprehensif dan kontinu
diperlukan untuk memperbaiki kualitas hidup penderita. !
Berikut ini akan dipaparkan sebuah laporan kasus mengenai malnutrisi
energi protein berat dengan komplikasi meningitis serosa akibat tuberkulosa pada
seorang penderita yang dirawat di bagian Kesehatan Anak RSUD Ulin
Banjarmasin.
3
 
,. *  *,  
 

*„
    
Malnutrisi adalah istilah yang merujuk pada kekurangan beberapa atau
seluruh elemen nutrisi yang penting bagi tubuh. Ada 2 bentuk dasar, yang pertama
dan terpenting adalah kurang energi protein (KEP), yaitu kurang cukup protein
(dari daging atau sumber lain) dan makanan yang menyediakan energi (diukur
dalam kalori) di mana seluruh kelompok makanan menyediakan. Bentuk kedua,
dan juga sangat penting yaitu defisiensi mikronutrien (vitamin dan mineral).
Malnutrisi energi protein dibagi menjadi tiga menurut sistem klasifikasi
Worldlrg à ào (WHO) dan
ào l  r orl àà,
yaitu:2
1. KEP ringan bila berat badan menurut umur (BB/U) = 80-70% baku median
WHO-NCHS dan/atau berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) = 90-80%.
2. KEP sedang bila berat badan menurut umur (BB/U) = 70-60% baku median
WHO-NCHS dan/atau berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) = 80-70%
baku median WHO-NCHS
3. KEP berat bila berat badan menurut umur (BB/U) ” 60% baku median WHONCHS
dan/atau berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) < 70% baku
median WHO-NCHS. KEP berat ini yang sering disebut sebagai gizi buruk
Menurut UNICEF, terdapat 2 penyebab langsung gizi buruk, yaitu à 
zat gizi (dari makanan) yang kurang dan adanya penyakit infeksi. Kedua
3
4
penyebab langsung ini dipengaruhi oleh 3 faktor yang merupakan penyebab tak
langsung, yaitu ketersediaan pangan keluarga yang rendah, perilaku kesehatan
(termasuk pola asuh/perawatan ibu dan anak) yang tidak benar, serta pelayanan
kesehatan rendah dan lingkungan yang tidak sehat. Ketiga faktor tersebut
bermuara pada kemiskinan dan kebodohan, yang merupakan akibat langsung dari
kebijakan politik dan ekonomi yang tidak kondusif. Oleh karena itu, keadaan gizi
masyarakat merupakan manifestasi keadaan kesejahteraan rakyat.
Dari berbagai penelitian mengenai masalah gizi buruk dan malnutrisi
energi protein, dijelaskan bahwa:"
1. Pola pemberian ASI dan MP-ASI
Pola pemberian ASI dan MP-ASI merupakan salah satu faktor utama
gangguan pertumbuhan balita. Pada kenyataannya, persentase bayi yang
mendapat ASI eksklusif masih rendah (kurang dari 50%). Selain itu, tidak
semua ibu memberikan ASI segera setelah bayi lahir. Hanya sepertiga ibu
yang memberikan ASI pada hari pertama setelah persalinan. Pada beberapa
kasus, bayi sudah diperkenalkan dengan makanan lain selain ASI pada minggu
pertama kehidupan.
2. Interaksi ibu dan anak
Interaksi antara ibu dengan anak berhubungan positif dengan keadaan gizi
anak. Anak yang mendapatkan perhatian lebih baik secara fisik maupun
emosional, misalnya selalu mendapatkan senyuman, mendapat respons ketika
berceloteh, dan mendapatkan makanan yang seimbang, maka keadaan gizinya
5
lebih baik dibandingkan dengan teman sebayanya yang kurang mendapat
perhatian orang tua.
3. Pemanfaatan fasilitas pelayanan kesehatan
Pemantauan pertumbuhan yang diikuti dengan tindak lanjut berupa konseling
terutama oleh petugas kesehatan berpengaruh pada status pertumbuhan anak
seperti pemantauan berat badan balita di posyandu, pemberian kapsul vitamin
A dosis tinggi bulan Februari dan Agustus, kunjungan neonatal, dan imunisasi
pada bayi
4. Kesehatan lingkungan
Masalah gizi timbul tidak hanya karena dipengaruhi oleh ketidakseimbangan
asupan makanan, tetapi juga dipengaruhi oleh penyakit infeksi. Kesehatan
lingkungan yang baik seperti penyediaan air bersih dan perilaku hidup bersih
dan sehat ( PHBS ) akan mengurangi penyakit infeksi
5. Ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga
Status gizi dipengaruhi oleh ketersediaan pangan di tingkat keluarga dan jika
tidak cukup dapat dipastikan konsumsi setiap anggota keluarga tidak
terpenuhi.
Untuk malnutrisi energi protein ringan dan sedang, gejala klinis yang
ditemukan hanya anak tampak kurus. Gejala klinis malnutrisi energi protein berat
secara garis besar dibedakan dalam 3 tipe, yaitu marasmus, kwashiorkor atau
marasmik-kwashiorkor.0
Tanda dan gejala klinis kwashiorkor, antara lain:0
- Edema umumnya di seluruh tubuh terutama pada kaki (dordà).
6
- Wajah membulat dan sembab.
- Otot-otot mengecil, lebih nyata apabila diperiksa pada posisi berdiri dan
duduk, anak berbaring terus menerus.
- Perubahan status mental : cengeng, rewel, kadang apatis.
- Anak sering menolak segala jenis makanan (anoreksia).
- Pembesaran hati.
- Sering disertai infeksi, anemia dan diare.
- Rambut berwarna kusam dan mudah dicabut.
- Gangguan kulit berupa bercak merah yang meluas dan berubah menjadi hitam
terkelupas (r  droà)
- Pandangan mata anak nampak sayu.
Tanda dan gejala klinis kwashiorkor, antara lain:0
- Anak tampak sangat kurus, tinggal tulang terbungkus kulit.
- Wajah seperti orangtua
- Cengeng, rewel
- Perut cekung.
- Kulit keriput, jaringan lemak subkutis sangat sedikit sampai tidak ada.
- Sering disertai diare kronik atau konstipasi / susah buang air, serta penyakit
kronik.
- Tekanan darah, detak jantung dan pernafasan berkurang.
Tanda-tanda marasmus±kwashiorkor merupakan gabungan tanda-tanda
dari marasmus dan kwashiorkor.
7
Malnutrisi berefek secara nyata pada setiap sistem organ. Protein dari
makanan diperlukan untuk menyediakan asam amino untuk sintesis protein tubuh
dan komponen lain yang memiliki peran fungsional bervariasi. Energi penting
untuk seluruh fungsi biokimia dan fisiologi dalam tubuh. Lebih jauh lagi,
defisiensi mikronutrien penting pada banyak fungsi metabolik pada tubuh sebagai
komponen dan kofaktor pada proses enzimatis.
Sebagai tambahan untuk penurunan perkembangan fisik dan kognitif serta
fungsi fisiologis lain, perubahan respons imun timbul lebih awal pada rangkaian
malnutrisi yang bermakna pada anak. Perubahan respons imun ini berhubungan
dengan hasil yang buruk dan mirip dengan perubahan yang tampak pada anak
dengan AIDS (àrdà d àà  dro). Kehilangan dld
r ààà, limfosit T yang lebih sedikit, respons limfosit yang menurun,
fagositosis yang menurun sampai turunnya komplemen dan sitokin tertentu, dan
penurunan IgA sekretori merupakan beberapa perubahan yang dapat terjadi.
Malnutrisi energi protein berat didiagnosis melalui penilaian status gizi
dan adanya gejala klinis sesuai jenis malnutrisinya. Berdasarkan kriteria
WHO/NCHS tahun 1999, malnutrisi energi protein berat bila berat badan menurut
umur (BB/U) ”60% baku median WHO-NCHS dan/atau berat badan menurut
tinggi badan (BB/TB<70% baku median WHO-NCHS.
,





 3 

„
    
Tujuan pengobatan pada penderita malnutrisi energi protein berat adalah
pemberian diet tinggi kalori dan tinggi protein serta mencegah kekambuhan.
Penderita malnutrisi energi protein berat tanpa komplikasi dapat berobat jalan asal
8
diberi penyuluhan mengenai pemberian makanan yang baik; sedangkan penderita
yang mengalami komplikasi serta dehidrasi, syok, asidosis dan lain-lain perlu
mendapat perawatan di rumah sakit.
Penatalaksanaan penderita yang dirawat di RS dibagi dalam 3 tahap, yaitu
stabilisasi, transisi, dan rehabilitasi. Tahap stabilisasi, yaitu 24-48 jam pertama
merupakan masa kritis, yaitu tindakan untuk menyelamatkan jiwa, antara lain
mencegah hipoglikemia dan hipotermia, mengkoreksi keadaan dehidrasi atau
asidosis dengan pemberian cairan intravena, serta pencegahan infeksi.
Penatalaksanaan rutin rawat inap yang dilakukan pada pasien KEP berat berupa
10 langkah penting, yaitu:"
1. Tatalaksana dan pencegahan hipoglikemia
Hipoglikemia merupakan salah satu penyebab kematian pada anak dengan
KEP berat/Gizi buruk. Periksa kadar gula darah bila ada hipotermia (suhu
aksila < 35oC, suhu rectal 35,5oC). Pemberian makanan yang lebih sering
penting untuk mencegah kedua kondisi tersebut. Bila kadar gula darah di
bawah 40 mg/dL, berikan:
- 50 ml bolus glukosa 10% atau larutan sukrosa 10% (1 sdt gula dalam 5
sdm air) secara oral atau sonde/pipa nasogastrik
- Selanjutnya berikan larutan tersebut setiap 30 menit selama 2 jam (setiap
kali berikan ¼ bagian dari jatah untuk 2 jam)
- Berikan antibiotik
- Secepatnya berikan makan setiap 2 jam, siang dan malam
9
2. Tatalaksana dan pencegahan hipotermia
Bila suhu rektal < 35,5oC:
- Segera berikan makanan cair/formula khusus (mulai dengan rehidrasi bila
perlu).
- Hangatkan anak dengan pakaian atau selimut sampai menutup kepala,
letakkan dekat lampu atau pemanas (jangan gunakan botol air panas) atau
dengan mendekap anak di dada ibu lalu ditutupi selimut (Metode
Kanguru). Perlu dijaga agar anak tetap dapat bernafas.
- Berikan antibiotik
- Suhu diperiksa sampai mencapai > 36,5OC
3. Tatalaksana dan pencegahan dehidrasi
Tindakan yang dilakukan adalah:
- Cairan resomal (rdrào olào  orl ràào ) /pengganti
sebanyak 5 mg/kgBB setiap 30 menit selama 2 jam oral atau NGT
- Selanjutnya 5-10 ml/kg/jam selama 4-10 jam
- Pada jam ke 6 dan jam ke 10 cairan resomal/pengganti diganti dengan
formula khusus.
4. Koreksi gangguan keseimbangan elektrolit
Pada semua KEP berat/Gizi buruk terjadi gangguan keseimbangan elektrolit,
diantaranya :
- Kelebihan natrium (Na) tubuh, walaupun kadar Na plasma rendah.
- Defisiensi kalium (K) dan magnesium (Mg)
10
Ketidakseimbangan elektrolit ini memicu terjadinya edema dan, untuk
pemulihan keseimbangan elektrolit diperlukan waktu paling sedikit 2 minggu.
Jangan berikan diuretik untuk mengobati edema, namun diberikan:
- Tambahkan kalium 2-4 mEq/kgBB/hari
- Tambahkan magnesium 0,3-0,6 mEq/kgBB/hari
- Berikan cairan rendah natrium resomal/pengganti
- Siapkan makanan tanpa diberi garam/rendah garam
5. Pengobatan dan pencegahan infeksi
- Diberikan metronidazole (7,5 mg/kgBB/8 jam selama 7 hari)
- Ditambahkan antibiotik spektrum luas kotrimoksazole pediatrik (2 x 5 ml)
- Jika anak sakit berat (apatis, letargis), berikan injeksi ampicillin 50
mg/kgBB/IV setiap 6 jam selama 2 hari, dilanjutkan dengan amoxicillin
oral 15 mg/kgBB/8 jam selam 5 hari dan ditambahkan injeksi gentamisin
7,5 mg/kgBB/IM/IV sekali sehari (selama 7 hari), bila dalam 48 jam tidak
terdapat kemajuan klinis tambahkan kloramfenicol 25 mg/kgBB/IM/IV
setiap 6 jam
- Bila terdeteksi infeksi kuman spesifik diberikan antibiotik spesifik
- Bila terdeteksi infeksi malaria, diberikan obat anti malaria
6. Mulai pemberian makanan
- Fase stabilisasi: hari 1 s/d hari ke 7, energi 8-100 kkal/kg/hari, protein 1-
1,5 gr/kg/hari, cairan 130 ml/kg/hari atau 100 ml/kg/hari bila ada edema
- Fase transisi (minggu 2-3) energi 150 kkal/kg/hari, protein 2-3 gr/kg/hari,
cairan 150 ml/kg/hari
11
- Fase rehabilitasi (minggu 3-6), energi 150-200 kkal/kg/hari, protein 4-6
gr/hari, cairan 150-200 ml/kg/hari
- Cara pemberian dilakukan per oral atau NGT
- Porsi makan kecil dengan frekuensi makan sering
- Makanan fase stabilisasi hiposomolar/isoosmolar dan rendah laktosa dan
rendah serat.
- ASI diteruskan
- Bila BB < 7 kg diberikan makanan bayi, yaitu makanan lumat/ makanan
lembek dan sari buah
- Bila BB > 7 kg diberikan makanan anak secara bertahap, yaitu makanan
lunak/ makanan biasa dan buah.
7. Fasilitasi tumbuh-kejar (grow)
- Penambahan berat badan • 50 gr/minggu, lanjutkan pemberian makanan
- Penambahan berat badan < 50 gr/minggu, cek asupan makanan atau
adanya infeksi
8. Koreksi defisiensi nutrien mikro
Semua pasien KEP berat/Gizi buruk, mengalami kurang vitamin dan mineral.
Walaupun anemia biasa terjadi, jangan tergesa-gesa memberikan preparat besi
(Fe). Tunggu sampai anak mau makan dan berat badannya mulai naik
(biasanya pada minggu ke 2). Pemberian zat besi pada masa stabilisasi dapat
memperburuk keadaan infeksinya.
a. Berikan setiap hari :
- Suplementasi multivitamin
12
- Asam folat 1 mg/hari
- Seng (Zn) 2 mg/hari
- Tembaga (Cu) 2 mg/hari
b. Bila berat badan mulai naik berikan Fe 3 mg/kg/hari atau sulfas ferrosus
10 mg/kg/hari
c. Vitamin A oral
Pada hari I: Umur < 1 tahun: 20.000 SI
Umur 6-12 bulan: 100.000 SI
Umur < 6 bulan: 50.000 SI
Bila ada gejala defisiensi vitamin A berikan vitamin A dosis terapi
9. Stimulasi sensorik dan dukungan emosi/mental
Pada KEP berat/gizi buruk terjadi keterlambatan perkembangan mental dan
perilaku, sehingga perlu berikan :
- Kasih sayang
- Ciptakan lingkungan yang menyenangkan
- Lakukan terapi bermain terstruktur selama 15 ± 30 menit/hari
- Rencanakan aktifitas fisik segera setelah sembuh
- Tingkatkan keterlibatan ibu (memberi makan, memandikan, bermain dsb)
10. Persiapan dan perencanaan tindak lanjut setelah sembuh
Tindak lanjut di rumah dapat dilakukan bila gejala klinis sudah tidak ada lagi
dan berat badan sudah mencapai 80% BB/U atau bila berat badan anak sudah
berada di garis warna kuning dan dipantau oleh tenaga kesehatan puskesmas
atau bidan di desa. Pola pemberian makan yang baik dan stimulasi harus tetap
13
dilanjutkan dirumah setelah pasien dipulangkan dan ikuti pemberian makanan
seperti pada penjelasan di atas, dan aktifitas bermain.
Tindakan pencegahan terhadap malnutrisi energi protein berat dapat
dilaksanakan dengan baik bila penyebab diketahui. Usaha-usaha tersebut
memerlukan sarana dan prasarana kesehatan yang baik untuk pelayanan kesehatan
dan penyuluhan gizi." 
- Pemberian air susu ibu (ASI) sampai umur 2 tahun merupakan sumber energi
yang paling baik untuk bayi.
- Ditambah dengan pemberian makanan tambahan yang bergizi pada umur 6
tahun ke atas.
- Pencegahan penyakit infeksi, dengan meningkatkan kebersihan lingkungan
dan kebersihan perorangan.
- Pemberian imunisasi.
- Mengikuti program keluarga berencana untuk mencegah kehamilan terlalu
kerap.
- Penyuluhan/pendidikan gizi tentang pemberian makanan yang adekuat
merupakan usaha pencegahan jangka panjang.
- Pemantauan (surveillance) yang teratur pada anak balita di daerah yang
endemis kurang gizi, dengan cara penimbangan berat badan tiap bulan.
Nasehat untuk orang tua sebagai upaya tindak lanjut di rumah dan
pencegahan berulangnya kondisi gizi buruk, yaitu:" 
- Melakukan kunjungan ulang setiap minggu, periksa secara teratur di
Puskesmas
14
- Pelayanan di PPG (lihat bagian pelayanan PPG) untuk memperoleh PMTPemulihan
selama 90 hari. Ikuti nasehat pemberian makanan (lihat lampiran 5)
dan berat badan anak selalu ditimbang setiap bulan secara teratur di
posyandu/puskesmas.
- pemberian makan yang sering dengan kandungan energi dan nutrien yang
padat
- penerapan terapi bermain dengan kelompok bermain atau Posyandu
- Pemberian suntikan imunisasi sesuai jadwal
- Anjurkan pemberian kapsul vitamin A dosis tinggi (200.000 SI atau 100.000
SI ) sesuai umur anak setiap bulan Februari dan Agustus.
-„   

Meningitis adalah infeksi cairan otak disertai radang yang mengenai
piameter, arakhnoid dan dalam derajat yang lebih ringan mengenai jaringan otak
dan medula spinalis yang superfisial. Meningitis dibagi berdasarkan lapisan
selaput otak yang mengalami radang: 
- Pakimeningitis, bila yang mengalami radang adalah durameter
- Leptomeningitis, bila yang mengalami radang adalah arakhnoid dan piameter
Sedangkan berdasarkan penyebabnya: 
- Meningitis karena bakteri
- Meningitis karena virus
- Meningitis karena riketsia
- Meningitis karena jamur
- Meningitis karena cacing
15
- Meningitis karena protozoa
Meningitis serosa disebut juga meningitis aseptik, merupakan sindrom
klinik meningitis yang tidak disertai dengan temuan kultur positif pada CSS.
Istilah meningitis aseptik mengacu pada kasus dimana pasien dengan gejala
meningitis tapi pertumbuhan bakteri pada kultur tidak ditemukan. Banyak etiologi
yang berbeda yang dapat menyebabkan penyakit ini, namun yang tersering adalah
virus dan mikobakterium.1
Faktor predisposisi infeksi susunan saraf pusat. Daya pertahanan susunan
saraf pusat untuk mencegah infeksi mencakup keadaan umum yang baik, struktur
sawar darah otak yang utuh dan efektif, aliran darah ke otak yang adekuat, sistem
imunologik, hormonal dan seluler yang berfungsi sempurna. 
Meningitis tuberkulosa adalah komplikasi sistemik sekunder dari
tuberkulosis dan merupakan hasil penyebaran secara hematogen ke piamater atau
arakhnoid. Respons selular dengan adanya limfosit, sel plasma, histosit, dalam
waktu yang singkat menyebabkan pembentukan giant sel dan granuloma atau
tuberkuloma. Tuberkuloma bisanya berada pada hemisfer, serebelum atau serabut
spinal. 
Sarang infeksi tuberkulosis di luar susunan saraf, pada umumnya di paruparu,
melepaskan mikrobakterium tuberkulosis. Melalui lintasan hematogen,
kuman ini akan tiba dikorteks serebri. Di daerah ini, kuman dapat berkembang
biak dan membentuk eksudasi kaseosa. Leptomeningen yang menutupi sarang
infeksi di korteks dapat ikut terkena dan menimbulkan meningitis sirkumskripta.
16
Eksudat kaseosa dapat pecah, sehingga membawa kuman tuberkulosis masukke
ruang subaraknoidal. 
Meningitis viral tipe benigna tidak melibatkan jaringan otak dalam proses
inflamasinya. Gejala yang dihasilkan pada keadaan ini dapat sedemikian ringan
sehingga diagnosis menjadi sukar. Namun, pada pungsi lumbal ditemukan
pleiositosis limfositer. Jika gejala-gejalanya agak berat, maka gejala yang paling
sering muncul adalah nyeri kepala dan kaku kuduk. Virus yang biasanya
bertanggung jawab atas terjadinya infeksi di susunan saraf pusat tergolong pada
keluarga enterovirus, meskipun virus jenis lain juga dapat berkontribusi. Virus
melakukan invasi dan penetrasi dari tempat asalnya, baik dari saluran cerna
ataupun saluran napas.  
Gejala dan tanda meningitis serosa, antara lain:   
- Nyeri kepala hampir selalu ada, kadang-kadang sangat hebat dan difus.
- Nyeri punggung
- Temperatur biasanya tidak begitu meningkat seperti halnya pada meningitis
purulenta bakterial.
- Sensitivitas terhadap cahaya (fotofobia)
- Malaise umum, gelisah, atau tidak enak badan
- Nausea dan vomitus
- Mengantuk dan pusing
- Kadang-kadang terdapat bangkitan epileptik
- Meningismus ( tanda laseque dan kaku kuduk hampir selalu ada )
17
- Adanya keterlibatan organ-organ lain, misalnya paru pada meningitis
tuberkulosa
- Umumnya terdapat tanda-tanda gangguan saraf kranial dan cabangcabangnya.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Anamnesis dan pemeriksaan fisik dilakukan untuk
menemukan gejala dan tanda yang ada. Selain itu juga menentukan faktor
predisposisi, penyulit, dan riwayat penyakit sebelumnya. Pemeriksaan fisik
terutama dilakukan untuk menentukan sejauh mana implikasi penyakit terhadap
fungsi susunan saraf. 
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara lain, pemeriksaan
laboratorium rutin, kimia darah, pemeriksaan radiologik, dan analisis CSS.
Analisis CSS penting untuk menegakkan diagnosis dan untuk membedakannya
dari meningitis purulenta. Hasilnya memperlihatkan hitung sel yang kurang dari
100-1000 sel/ml. Lebih dari 1000 sel umumnya ditemukan pada koriomeningitis
limfositik, parotitis dan infeksi echovirus. Pada hari pertama dapat ditemukan
sampai 50% sel PMN, setelah itu unsur mononuclear dan limfositik yang
dominan. Kadar protein normal atau sedikit meningkat pada kebanyakan kasus,
glukosa pada meningitis viral adalah normal. Jika glukosa berkurang, infeksi
tuberkulosis atau jamur harus dicurigai. Pemeriksaan sediaan langsung pada
meningitis viral tidak ditemukan mikroorganisme, sedangkan jamur dan bakteri
dapat diidentifikasi dengan memakai pewarnaan khusus. Pemeriksaan berupa
18
kultur dan tes serologis terutama penting pada kelompok penyakit ini dalam
identifikasi mikroorganisme penyebabnya.!
Meningitis tuberkulosa
Umumnya terjadi pada penderita yang memiliki riwayat kontak dengan
penderita tuberkulosis, keadaan sosial-ekonomi yang jelek, status imun yang
buruk, dan sebagainya. Gejala yang ditimbulkan lebih berat daripada meningitis
virus, seperti tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial yang progresif, nyeri
kepala hebat, dan pada bayi menyebabkan penonjolan fontanela. Meningitis
tuberkulosis merupakan kasus yang jarang dan dapat diobati, namun memiliki
prognosis buruk bila pengobatan terlambat. Meningitis tuberkulosis harus
dipertimbangkan pada kasus-kasus berikut:
- Adanya gambaran klinis meningitis yang timbul dalam waktu beberapa
minggu.
- Hitung sel limfosit kurang dari 300 sel disertai kadar glukosa yang
menurun
- Dengan adanya kelumpuhan saraf kranialis bagian bawah.
- Ada riwayat sebelumnya atau bukti klinis menderita tuberkulosis paru atau
organ lainnya.
- Adanya penderita tuberkulosis dalam lingkungan tempat tinggal
penderita.
- Diagnosis defenitif meningitis tuberkulosa bergantung pada identifikasi
mikobakterium tuberkulosa pada cairan serebrospinalis.
19
Meningitis viral
Pada meningitis viral, umumnya gejala lebih ringan. Pada pemeriksan
laboratorium didapatkan jumlah sel darah putih biasanya normal atau sedikit
meningkat. Cairan serebrospinal biasanya berisi pleocytosis antara 20 ± 1000 WB/
mm3, limfosit yang lebih dominan. Glukosa CSS biasanya normal tetapi kadangkadang
pasien dengan meningitis akut mumps, varicella zoster, herpes simplex
tipe 2, limfosit choriomeningitis terjadi sedikit penurunan kadar glukosa CSS.
Kadar protein CSs dapat normal atau sedikit meningkat. Antigen bakteri dan
jamur tidak terdeteksi di CSs dan pada pewarnaan dan kultur tidak ditemukan
bakteri maupun jamur. Pada EEG dan CT-Scan otak nampak normal.2
 





„   

Penanganan meningitis serosa meliputi penanganan umum, penanganan
kausatif dan simptomatik, serta penanganan penyulit.
Meningitis tuberkulosa ! 
1. Penanganan umum, termasuk perbaikan gizi nutrisi, istirahat cukup, dan
perbaikan keadaan umum apabila keadaan umum jelek.
2. Untuk terapi kausatif, diberikan obat antituberkulosis, yaitu:
- Obat lini I: terapi obat lini pertama untuk meningitis tuberkulosa terdiri
atas dua macam obat, isoniazid (INH) dan rifampisin. Isoniazid diberikan
dengan dosis 10 -20 mg/KgBB/hari dengan dosis maksimal 300 m/hari
untuk anak-anak dan 600 mg/ hari untuk dewasa.
- Obat-obat lini II: terdapat tiga obat antituberkulosis lini kedua untuk
meningitis tuberkulosa yang digunakan sebagai tambahan ataupun
20
pengganti INH dan rifampisin. Ethambutol, pyrazinamid dan ethionamid
sangat efektif penetrasinya ke dalam cairan serebrospinal untuk
menghilangkan inflamasi.
- Obat-obat lini III : lima obat yang paling sering digunakan adalah
aminoglikosida pada terapi tuberkulosis adalah golongan aminoglikosida,
yaitu streptomisin, capreomisin, kanamisin, viomisin dan amikatin. Semua
obat tersebut adalah antibiotik polipeptida dan berpotensi menimbulkan
nefrotoksik dan ototoksik. Kelima obat tersebut penetrasinya sangat jelek
ke dalam otak atau cairan serebrospinal.
Meningitis viral 24"
Pada meningitis viral tidak ada pengobatan spesifik. Pada kebanyakan kasus,
pengobatan yang diberikan bersifat simtomatik. Analgetik dibutuhkan untuk
keluhan sakit kepala dan antiemetik untuk mual dan muntah. Perawatan rumah
sakit jarang dibutuhkan kecuali ketika muntahnya mengakibatkan dehidrasi atau
pada pasien dengan penyulit, seperti malnutrisi dan kejang. Pada pasien dengan
meningitis viral akibat virus varicella zoster atau herpes zoster, selain dilakukan
terapi simptomatik, juga dapat dipertimbangkan pemberian acyclovir. Acyclovir
30 mg/kg yang dibagi dalam 3 kali per hari dan harus diberikan lebih awal untuk
mendapatkan hasil yang maksimal.
21
 
)   *
 

1. Identitas penderita :
Nama penderita : An. N
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat & tanggal lahir : Banjarmasin, 30 November 2006
Umur : 3 tahun
MRS : 3 November 2009
2. Identitas Orang tua/wali
AYAH : Nama : Tn. R
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Swasta
IBU : Nama : Ny. U
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Jl. Kelayan A Rt 19 No 26 Banjarmasin
 
 
Kiriman dari : Datang sendiri
Aloanamnesis dengan : Ibu
Tanggal/jam : 3 November 2009/ 00.30 Wita
1. Keluhan Utama : Penurunan Kesadaran
22
2. Riwayat penyakit sekarang :
Sekitar 2 hari sebelum masuk rumah sakit, anak mulai lemah.
Aktivitas menurun dan lebih banyak diam. Nafsu makan menurun dan
tidak mau makan selama 2 hari, hanya minum beberapa sendok susu
formula. Selama 2 hari ini anak sering mengantuk dan sukar
berkomunikasi seperti biasa
Sekitar 21 hari lalu, anak ada panas tinggi. Panas berlangsung
selama 3 hari kemudian hilang. Panas menetap dan tidak hilang dengan
pemberian obat penurun panas. Anak sempat di rawat di RS Ansari Saleh
karena panas tersebut. Selama dalam perawatan di RS, anak mulai mudah
mengantuk, malas di ajak bicara. Anak didiagnosis TB dan mendapatkan
terapi TB di rumah.
Selama sakit anak ada kejang dan muntah. Tidak ada keluhan
buang air kecil. Buang air besar jarang. Anak baru menjalani fisioterapi
sekitar 1-2 minggu lalu.
3. Riwayat Penyakit dahulu
Anak belum pernah mengalami penyakit serupa sebelumnya. Anak ada
riwayat TB dan sedang menjalani pengobatan TB 6 bulan. Anak ada
riwayat jatuh dengan benturan di kepala 3 minggu sebelum masuk rumah
sakit.
23
4. Riwayat Kehamilan dan Persalinan
Riwayat antenatal:
Ibu sering memeriksakan kehamilan ke puskesmas tiap bulannya. Ibu juga
mengaku mendapat suntikan imunisasi dan tablet penambah darah. Selama
hamil tidak ada riwayat keputihan atau tekanan darah tinggi.
Riwayat Natal:
Lahir spontan, langsung menangis, berat lahir 3.200 gram, panjang badan
lahir ibu lupa, penolong bidan, tempat di rumah.
Riwayat Neonatal :
Anak tidak pernah menderita sakit dalam 1 bulan pertama kehidupan anak
5. Riwayat Perkembangan
Tiarap : 4 bulan
Merangkak : 6 bulan
Duduk : 8 bulan
Berdiri : 10 bulan
Berjalan : 11 bulan
Saat ini : Saat ini usia anak 3 tahun, kurang aktif
6. Riwayat Imunisasi
Nama Dasar
(umur dalam hari/bulan)
Ulangan
(umur dalam bulan)
BCG 1 hari -
Polio 1 hari 2 bln 4 bln 6 bln -
Hepatitis B 1 bln 2 bln 3 bln -
DPT 1 bln 2 bln 3 bln -
Campak 9 bln -
24
7. Makanan
0-5 bulan : ASI saja sesuka anak
5-8 bulan : ASI + susu formula, bubur SUN 2-3 kali sehari
8-16 bulan : Bubur biasa + lauk + susu formula
s/d sekarang : Nasi biasa + lauk (telur atau ikan) 4 x/hari (porsi ½ piring)
Sebelum sakit, porsi makan anak relatif cukup. Selama sakit, anak menjadi
semakin malas makan karena nafsu makannya menurun
8. Riwayat Keluarga
Ikhtisar keturunan :
Kakek os terdiagnosis TB sekitar 3 bulan lalu (sudah meninggal). Kakek
tesebut tinggal serumah dengan Os.
9. Riwayat Sosial Lingkungan
Anak tinggal bersama kedua orang tuanya di sebuah rumah. Rumah
terbuat dari kayu, dengan satu kamar, 1 kamar mandi, dan 1 WC. Air yang
digunakan sebagai sumber air minum dan mencuci adalah air keran.
Sampah dibuang di belakang rumah. Area tempat tinggal merupakan
kawasan padat penduduk dengan jarak rumah berhimpit. Sistem drainase
di lingkungan sekitar kurang baik dan relatif tercemar oleh sampah.
Pasien
Meninggal (TB)
25
  

(
1. Keadaan umum : Tampak lemah dan mengantuk
Kesadaran : somnolen
2. Pengukuran
Tanda vital Tek. Darah : - mmHg
Nadi : 96 x/menit, kualitas lemah, regular, equal
Suhu : 36,6 °C
Respirasi : 24 X/menit
Berat badan : 8 Kg (68,35% standar BB/U)
Panjang/tinggi badan : 89 cm (93,30% standar TB/U)
(74,80% standar BB/TB)
Lingkar Lengan Atas (LLA) : 11 cm
Lingkar Kepala : 51 cm
3. Kulit : Warna : sawo matang
Sianosis : tidak ada
Hemangiom : tidak ada
Turgor : lambat kembali
Kelembaban : cukup
Pucat : (+)
Lain-lain : keriput
4. Kepala : Bentuk : simetris mesosefali
UUB : terbuka tampak tegang
UUK : sudah menutup
- Rambut : Warna : hitam
26
Tebal/tipis : tipis Distribusi : merata
Alopesia : tidak ada
- Mata : Palpebra : tidak ada edem
Alis dan bulu mata : tidak mudah dicabut
Konjungtiva : anemis (-)
Sklera : tidak ikterik
Produksi air mata : cukup
Pupil : Diameter : 4 mm/ 5 mm
Simetris : isokor (ǻ = 1 cm)
Reflek cahaya : (-/-)
Kornea : jernih
- Telinga : Bentuk : simetris
Sekret : tidak ada
Serumen : minimal
Nyeri : tidak ada Lokasi : -
- Hidung : Bentuk : simetris
Pernafasan cuping hidung : tidak ada
Epistaksis : tidak ada
Sekret : minimal
- Mulut : Bentuk : simetris
Bibir : mukosa bibir basah, merah muda
Gusi : tidak mudah berdarah
Gigi-geligi : belum lengkap
27
- Lidah : Bentuk : simetris
Pucat/

Tremor/

Kotor/

Warna : merah muda
- Faring : Hiperemi : tidak ada
Edem : tidak ada
Membran/pseudomembran : tidak ada
- Tonsil : Warna : merah muda
Pembesaran : tidak ada
Abses/tidak : tidak
Membran/pseudomembran : tidak ada
4. Leher :
- Vena Jugularis : Pulsasi : tidak terlihat
Tekanan : tidak meningkat
- Pembesaran kelenjar leher : tidak teraba
- Kaku kuduk : Positif
- Massa : tidak ada
- Tortikolis : tidak ada
5. Toraks :
a. Dinding dada/paru
Inspeksi : - Bentuk : simetris
- Retraksi : tidak ada
28
- Dispnea : tidak ada Lokasi : -
- Pernafasan : ekspirasi dan Inspirasi tidak memanjang
Palpasi : Fremitus fokal : simetris normal
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Suara Napas Dasar : vesikuler
Suara Tambahan : tidak ada ronkhi, wheezing, stridor
b. Jantung :
Inspeksi : Iktus : terlihat
Palpasi : Apeks : teraba Lokasi : ICS III - IV
Thrill + / - : -
Perkusi : Batas kanan : ICS II-IV LPS Kanan
Batas kiri : ICS II LCS Kiri ± ICS V LMK Kiri
Batas atas : ICS II LPS Kanan ± LCS II LPS Kiri
Auskultasi : Frekuensi : 96 x/menit, Irama : ritmik-normokardia
Suara Dasar : SI dan SII Tunggal
Bising : tidak ada Derajat : -
Lokasi : -
Punctum max : -
Penyebaran : -
6. Abdomen :
Inspeksi : Bentuk : datar
Palpasi : Hati : tidak teraba
Lien : tidak teraba
Ginjal : tidak teraba
29
Massa : tidak teraba
Perkusi : Timpani/pekak : timpani
Asites : tidak ada
Auskultasi : bising usus positif normal
7. Ekstremitas :
- Umum : ekstremitas atas : akral hangat, tidak ada
Edema. biparesis, nadi ekual.
ekstremitas bawah : akral hangat, tidak
ada edema. biparasis, nadi ekual.
- Neurologis
 


Kanan Kiri Kanan kiri
Gerakan Bebas Bebas Bebas bebas
Tonus Hipotonia Hipotonia Hipotonia Hipotonia
Trofi (-) (-) (-) (-)
Refleks fisiologis Tidak
meningkat
Tidak
meningkat
Tidak
meningkat
Tidak
meningkat
Refleks patologis (+) (+) (+) (+)
Sensibilitas Normal Normal Normal Normal
Tanda meningeal (+) (+) (+) (+)
8. Susunan Saraf : Kelumpuhan nervi craniales tidak
didapatkan
9. Genitalia : perempuan, tidak ada kelainan
10. Anus : ada, dalam batas normal
5  

)
# 
  


Darah : Hb 14,8 g/dl
Leukosit 13.500 /ȝL
Hematokrit : 41 vol %
30
Trombosit : 360.000/ȝL
Neutrofil 70,4%
5
 
Diagnosis Banding: Tersangka meningitis serosa + rl ràào 
Tersangka massa intracranial + rl ràào 
Diagnosis Kerja: Tersangka meningitis serosa + rl ràào 
Status Gizi:
WHO / NCHS : BB / U : 9,5 ± 13,9 : 1,4 = -0,78 (Kurang)
TB / U : 89 ± 95,6 : 3,6 = -1,8 (Normal)
BB/TB : 9,5± 12,7 : 1,1 = -3, 0 (Kurus)
CDC 2000 : 9,5 : 12,7 x 100%
= 74,8% (rl ràào )
5 





 

- IVFD D5¼NS 10 tetes/menit
- Paracetamol syr 3 x 1 cth (prn)
- Konsultasi gizi dan perencanaan makanan
5*
  


- Lab darah rutin, kimia darah, dan elektrolit
- Foto thoraks AP
- CT Scan kepala
- Analisis CSS
31
5   
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia
Quo ad sanationam : dubia
6 3 


1. Pencegahan primer: Menjaga kebersihan diri dan lingkungan,
kebutuhan pangan tercukupi, kontrol kesehatan dan tumbuh kembang
secara rutin di puskesmas atau posyandu terdekat.
2. Pencegahan Sekunder: Pemberian nutrisi cukup, pencegahan infeksi,
stabilisasi keadaan umum.
3. Pencegahan tersier: pemberian stimulasi fisik dan psikis, fisioterapi.
6  

 7

1. Hasil pemeriksaan radiografi toraks AP tanggal 4 November 2009
Kesimpulan: Foto toraks dalam batas normal
32
2. Hasil pemeriksaan CT Scan kepala tanggal 7 November 2009
No Pemeriksaan Hasil
1 CT Scan dengan kontras 1. Ôràr ooràoror
(làg  ) dengan rd
 àldrolsuspect
 dodd von Hippie Landau
tumour
2.  rlà drrlod
3. Hasil pemeriksaan laboratorium (4 November 2009)
 

2. 0
7



HEMATOLOGI
Hemoglobin 14.8 12.0 ± 15.5 g/dL
Lekosit 13.500 4,000 ± 10,500 /ȝL
Eritrosit 5.12 3.90 ± 5.50 Juta/ȝL
Hematokrit 41 35 ± 45 Vol%
Trombosit 360.000 150 ± 450 ribu/ȝL
RDW-CV 14.2 11.5 ± 14.7 %
MCV.MCH.MCHC
MCV 79.5 80.0 ± 97.0 fl
MCH 28.9 27.0 ± 32.0 pg
MCHC 36.4 32.0 ± 38.0 %
HITUNG JENIS
Neutrofil % 70.1 50.0 ± 70.0 %
Limfosit % 22.5 25.0 ± 40.0 %
MID % 7.1 3.0 ± 9.0 %
Neutrofil # 9.0 2.50 ± 7.00 ribu/ul
Limfosit # 3.0 1.25 ± 4.00 ribu/ul
MID # 1.0 0.30 ± 1.00 ribu/ul
KIMIA DARAH
Gula Darah Sewaktu 138 < 200 mg/dL
ELEKTROLIT
Natrium 139 135 ± 146 mMol/L
33
 

2. 0
7



Kalium 3.7 3.4 ± 5.4 mMol/L
Klorida 107 95 ± 100 mMol/L
GINJAL
Ureum 29 10 ± 45 mg/dL
Kreatinin 0.4 0.4 ± 1.4 mg/dL
4. Hasil Analisis Cairan Serebrospinal (11 November 2009)
6(  *%
 

,

 


04/11/09 05/11/09 06/11/09 07/11/09 08/11/09
#7 8
Demam (+) (+) (+) (+) (-)
Kejang (-) (+) (+) (-) (-)
Makan / Minum (-) / (+) (<)/(+) (<)/(+) (<)/(+) (+)/(+)
Mengantuk (+) (+) (+) (+) (+)
#7 8
HR (bpm) 110 122 128 110 110
RR (bpm) 30 24 22 23 25
T (oC) 36,1 37,8 36,5 36,1 36,1
Kesadaran Apatis Apatis Apatis Apatis Apatis
Kaku kuduk (+) (+) (+) (+) (+)
Tanda dehidrasi < - - - -
Refleks patologi (+) (+) (+) (+) (+)
  Meningitis serosa tuberkulosa + severe malnutrition


IVFD RL (gtt/min) 10 10 10 10 10
Paracetamol syr (cth) 3 x 1 3 x 1 3 x 1 3 x 1 3 x 1
OAT anak (-) (-) (+) (+) (+)
Streptomicin 250mg (im) Senin -Kamis Senin -Kamis Senin -Kamis
Stesolit rectal (k/p) (+) (+)
„  ,+ )
CSS MAKROSKOPIS
WARNA Tidak berwarna
KEKERUHAN Jernih
MIKROSKOPIS
PEWARNAAN GRAM
Tidak ditemukan kuman gram
(-) dan gram (+)
PEWARNAAN ZN BTA (-)
PEWARNAAN MB Tidak ditemukan sel leukosit
KIMIAWI
None Negatif (-)
Pandy Negatif (-)
Glukosa 104 mg/dL
34
 

,

 


09/11/09 10/11/09 11/11/09 12/11/09 13/11/09
#7 8
Demam (+) (+) (+) (-) (-)
Kejang (-) (-) (+) (-) (-)
Makan / Minum (+) / (+) (+) / (+) (+) / (+) (+) / (+) (+)/(+)
Mengantuk (+) (+) (+) (+) (+)
#7 8
HR (bpm) 100 122 130 102 121
RR (bpm) 32 28 26 24 22
T (oC) 36,3 38,9 39,7 37,5 37,8
Kesadaran Apatis Apatis Apatis Apatis Apatis
Kaku kuduk (+) (+) (+) (+) (+)
Tanda dehidrasi - - - - -
Refleks patologi (+) (+) (+) (+) (+)
  Meningitis serosa tuberkulosa + severe malnutrition


IVFD D51/2NS (gtt/min) 10 10 10 10 10
Paracetamol syr (cth) 3 x 1 3 x 1 3 x 1 3 x 1 3 x 1
OAT anak : (+) (+) (+) (+) (+)
Streptomicin 250mg (im) Senin -Kamis Senin -Kamis Senin -Kamis Senin -Kamis Senin -Kamis
Rifampicin 200 mg
INH 200 mg
Pirazinamid 200mg
1x/hari 1x/hari 1x/hari 1x/hari 1x/hari
Stesolit rectal (k/p)
Catatan: - Penanganan gizi buruk fase stabilisasi dimulai pada tanggal 4 November 2009
35
 5
*
Pada kasus ini penderita didiagnosis dengan meningitis serosa dengan
malnutrisi energi protein berat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis, informasi yang memperkuat dugaan
meningitis serosa adalah adanya gejala berupa demam dan nyeri kepala yang
berlangsung sekitar dua bulan yang hilang timbul, demam tidak terlalu tinggi,
keadaan umum yang lemah, mengantuk, dan kadang-kadang terdapat bangkitan
kejang memperkuat adanya proses intrakranial. Pemeriksaan fisik yang
mendukung, yaitu tanda rangsang meningeal positif, peningkatan sejumlah refleks
fisiologis dan adanya refleks patologis. Pada pemeriksaan penunjang, analisis
cairan serebrospinal memberatkan diagnosis ke arah meningitis serosa
tuberkulosa. Meskipun pada pemeriksaan paru tidak didapatkan lesi primer,
namun diketahui bahwa anak merupakan penderita TB yang sedang dalam
pengobatan TB.
Pada proses inflamasi selaput otak dan terinfeksinya cairan serebrospinal
oleh kuman TB, dapat terjadi sindrom SIADH (  droo à roràdàrà
oro , yaitu terjadinya oliguria dan retensi CSS dalam ruang subarakhnoid.
Kedaaan hipervolemik pada ruang subarakhnoid ini sukar terkoreksi, bahkan
dalam keadaan hiperosmoler sekalipun. Hal ini akan menyebabkan peningkatan
tekanan intrakranial, yang pada anak ditandai dengan fontanella cembung, letargi,
mual, dan muntah. Inflamasi selaput otak juga memberikan gangguan pada saraf
36
sensorik sehingga menimbulkan tanda meningeal yang khas, yaitu kaku kuduk,
tanda Brudzinki I dan II, Kernig, dan Laseque. Semakin muda usia anak, tanda ini
semakin tidak khas karena proses mielinisasi yang belum sempurna. Bila
inflamasi mengenai rroo, maka akan timbul gejala-gejala seperti
hiperestesia, fotofobia, atau paresis. Hampir semua gejala tersebut didapatkan
pada kasus ini.
Meningitis tuberkulosa terbagi menjadi 3 stadium, tiap stadium berakhir
kira-kira dalam satu minggu. Stadium pertama atau stadium prodromal dengan
gejala demam, sakit perut, nausea, muntah, apatik, atau iritabel, tetapi kelainan
neurologis belum ada. Stadium kedua atau stadium transisi, pasien menjadi tidak
sadar, sopor, kelainan neurologis/paresis, tanda Kernig, dan Brudzinski menjadi
positif, refleks abdomen hilang, timbul klonus ankle dan patella. Saraf otak yang
biasanya terkena III, IV, dan VI. Tuberkel di koroid terdapat pada 10 % pasien.
Stadium ketiga pasien dalam keadaan koma, pupil tidak bereaksi, kadang-kadang
timbul spasme klonik pada ekstremitas, pernapasan tidak teratur, demam tinggi;
hidrosefalus terjadi kira-kira dua pertiga pasien, terutama yang penyakitnya
berlangsung lebih dari 3 minggu. Hal ini terjadi apabila pengobatan terlambat atau
tidak adekuat. Bila dilihat dari gejala klinisnya, pasien pada kasus ini berada
dalam stadium II. Beberapa pendapat ahli mengatakan bahwa pembagian stadium
ini tidak penting dalam menentukan tindakan, karena penatalaksanaan yang relatif
sama untuk semua stadium. Namun, penentuan stadium ini penting dalam
menentukan prognosis.
37
Diagnosis malnutrisi berat relatif lebih mudah ditegakkan, sesuai dengan
kriteria WHO/NCHS tahun 1999, yang pada pasien menunjukkan rasio berat
badan menurut tinggi badan adalah -3 SD. Hal ini berarti telah terjadi defisiensi
nutrisi berat saat ini. Dari kriteria CDC tahun 2000, didapatkan persentase 74,8%
yang menunjukkan derajat berat untuk malnutrisi. Keadaan penderita yang tidak
disertai edema menggambarkan bahwa penderita telah mengalami kekurangan
kalori dan protein berat, atau dikenal dengan tipe marasmus.
Faktor risiko gizi buruk dan meningitis serosa pada pasien tidak jauh
berbeda, bila dilihat dari aspek sosial ekonomi dan lingkungan. Untuk keadaan
gizi buruk, masalah yang ada pada penderita adalah à yang kurang.
Sedikitnya asupan makanan harian secara langsung akan menyebabkan proses
tumbuh kembang menjadi terhambat. Gangguan fungsi organ dan proses inflamasi
sistemik juga dapat menyertai keadaan ini, sehingga pertumbuhan akan semakin
terganggu.
Meningitis serosa yang terjadi pada pasien diperkirakan diakibatkan oleh
mikobakterium, sehingga dalam perjalanan penyakitnya berlangsung kronis
dengan gejala yang secara perlahan-lahan memberat. Sumber infeksi dapat berasal
dari anggota keluarga atau orang yang berada di lingkungan tempat tinggal
penderita, dalam hal ini adalah kakek penderita. Proses infeksi mikobakterium
ekstrapulmonal ± dalam hal ini meningitis TB ± merupakan bentuk infeksi
sekunder dari TB. Proses primer dapat berlangsung dimana saja, namun yang
paling sering adalah di paru. Kuman TB dalam bentuk granul dapat menyebar
secara hematogen atau limfogen dan kemudian menetap dalam organ target.
38
Kuman yang berada di meningen kemudian akan berkembang, menimbulkan
infeksi dan inflamasi di meningen, dan kemudian menyebar melalui aliran CSS.1
Pada penderita ini, keadaan malnutrisi dan meningitis tidak dapat
dipisahkan satu sama lain. Malnutrisi yang berat akan menurunkan stabilitas dan
daya tahan tubuh, menurunkan kemampuan imunitas seluler, dan secara tidak
langsung akan menghambat proses penyembuhan infeksi. Sushama Bai dan
Lekshmi Devi melaporkan 42 % penderita tuberkulosis mengalami status gizi
buruk dan terlihat hubungan yang bermakna secara statistik antara tuberkulosis
berat dengan gizi buruk
Gizi buruk merupakan salah satu faktor risiko
berkembangnya infeksi tuberkulosis,
karena akan menurunkan respons tubuh.
Anak dengan malnutrisi protein/kalori menunjukkan atropi timus, jaringan
limfoid, dan penurunan respons sel limfosit-T.
Dengan menurunnya respons
limfosit-T ini akan semakin memperburuk infeksi tuberkulosis dengan komplikasi
yang berat.1
Sebagaimana diketahui, infeksi pada selaput otak dan proses penyakit
yang berlangsung kronis mengganggu à makanan melalui mulut, perubahan
metabolisme saat istirahat, dan saat aktivitas. Banyak penelitian yang
mengungkapkan penurunan asupan nutrisi terjadi akibat anoreksia. Anoreksia
pada pasien dengan keganasan disebabkan antara lain oleh sitokin kakektin (TNF-
Į) yang mempengaruhi hipotalamus dalam hal pengaturan nafsu makan. Selain
itu, perubahan mekanik saluran cerna serta faktor psikologis penderita juga
mempengaruhi terjadinya anoreksia. Perubahan metabolisme, baik saat istirahat
39
maupun saat beraktivitas juga dipengaruhi oleh faktor imunologi dan psikologi
penderita. 
Meski demikian, dengan penatalaksanaan yang baik, kedua masalah
tersebut akan dapat diatasi. Penanganan harus diberikan secara terpadu, yang
meliputi aspek gizi nutrisi dan infeksi, serta penyakit yang mendasari. Malnutrisi
berat merupakan indikasi masuk rumah sakit. Pada saat datang ke unit perawatan
(rumah sakit), ada 5 aspek penting yang harus diperhatikan pada pasien ini, yaitu:1
a. Prinsip dasar pengobatan rutin KEP berat / gizi buruk (10 langkah utama)
b. Pengobatan penyakit penyerta, dalam hal ini meningitis tubekulosis
c. Kegagalan pengobatan, dengan indikator tidak adanya perbaikan klinis
meskipun telah diberikan terapi adekuat.
d. Penderita pulang sebelum rehabilitasi tuntas
e. Tindakan pada kegawatan, bila terjadi.
Dalam proses pengobatan KEP berat terdapat 3 fase, yaitu fase stabilisasi,
fase transisi, dan fase rehabilitasi. Pada pasien ini, sedang dilakukan fase
stabilisasi. Adapun fase tersebut secara keseluruhan adalah sebagai berikut:4,7
 ( , ) , + ), 
+
 4 +
  4„ 4 „ 14
1 Hipoglikemia
2 Hipotermia
3 Dehidrasi
4 Elektrolit
5 Infeksi
6 MulaiPemberian
Makanan
7 Tumbuh kejar
(Meningkatkan
Pemberian Makanan)
8 Mikronutrien Tanpa Fe dengan Fe
9 Stimulasi
10 Tindak lanjut
40
Pada pasien ini, pencegahan hipoglikemia, dehidrasi, dan àl 
elektrolit dilakukan dengan pemberian cairan infus Dekstrose 5½NS dan RL
0,9%. Gula darah sewaktu pasien adalah 138 mg/dL dan komposisi elektrolit
masih dalam batasan normal, sehingga tidak diperlukan koreksi. Pencegahan
hipotermia dilakukan dengan pemberian lingkungan yang hangat, yaitu dengan
memakaikan baju hangat atau selimut, terutama pada malam hari. Pemberian
makanan dimulai segera setelah pasien datang, dengan komposisi energi, protein,
dan cairan yang sesuai dengan kebutuhan harian. Mikronutrien yang diberikan
pada pasien ini adalah vitamin A, zink, vitamin B1, B6, B12, dan asam folat.1
Penanganan meningitis serosa adalah dengan pemberian terapi kausatif,
yaitu obat anti tuberkulosis sesuai dengan dosis untuk anak. Obat antituberkulosis
yang diberikan adalah streptomisin, rifampisin, isoniazid (INH), dan pirazinamid.
Etambutol tidak diberikan untuk anak di bawah usia 5 tahun, karena berpotensi
menimbulkan neuritis optik dan kebutaan. Kelima macam obat ini memiliki efek
penetrasi yang kuat ke cairan serebrospinal, sehingga akan menekan dan
membunuh kuman sekaligus mengurangi inflamasi yang terjadi.
INH bersifat bakterisida dan bakteriostatik diberikan dengan dosis 10-20
mg/kg BB / hari maksimum 300 mg/hari secara oral. Pemberian minimal selama 1
tahun. Komplikasi penggunaan INH berupa neuropati perifer, dan dapat dicegah
dengan pemberian piridoksin 20-50 mg/hari. Pemberian piridoksin pada bayi dan
anak tidak begitu perlu. Apabila INH diberikan bersama dengan rifampisin,
kejadian hepatotoksik meningkat terutama apabila dosis melebihi 10 mg/kg BB/
hari. Rifampisin bersifat bakteriostatik diberikan dengan dosis 10-20
41
mg/kgBB/hari secara oral sebelum makan, diberikan selama minimal 9 bulan.
Rifampisin menyebabkan urin pasien berwarna merah. Efek samping berupa
hepatitis, kelainan gastrointestinal, dan trombositopenia. Pirazinamid (PZA)
bersifat bakteriostatik diberikan dengan dosis 20-40 mg/kgBB/hari atau 50-70
mg/kgBB dua kali seminggu dengan dibagi dalam 2-3 dosis, diberikan selama 2
bulan secara oral. Etambutol bersifat bakteriostatik diberikan dengan dosis 15-25
mg/kgBB/hari atau 50 mg/kgBB dua kali seminggu secara oral selama minimal 9
bulan. Pada anak usia muda dapat terjadi neuritis optika atau atrofi optik, sehingga
hanya diberikan pada anak diatas 5 tahun. Streptomisin bersifat bakteriosid
diberikan dengan dosis 20 mg/kgBB/hari. Efek samping berupa gangguan
vestibular atau auditori, tetapi lebih sering gangguan keseimbangan.
Diagnosis banding yang paling mendekati adalah adanya proses desak
ruang dalam ruang intrakranial. Dugaan ini diperkuat dengan adanya bukti
peningkatan tekanan intrakranial, misalnya pupil anisokor, fontanella cembung,
dan sejumlah gejala dan tanda yang secara klinis juga ditemukan pada kasus
meningitis. Selain itu, dari pemeriksaan CT Scan kepala dengan kontras
didapatkan adanya edema serebri generalisata dan terdapat massa di fossa
posterior. Kemungkinan, kondisi ini merupakan penyulit lainnya yang dijumpai
pada pasien.
Prognosis penderita secara umum kurang baik, karena penyakitnya
berlangsung kronis, dan adanya keterlambatan diagnosis. Jarak antara munculnya
gejala pertama kali sampai dengan penanganan spesifik yang dilakukan di Rumah
sakit relatif lama (sekitar 2 bulan). Semakin lama diagnosis dan penanganan
42
dilakukan, maka prognosis penyakit semakin buruk. Sekalipun mengabaikan
adanya resistensi dan kepatuhan, proses penyembuhan tuberkulosis umumnya
lama dan sering muncul gejala neurologik sisa. Malnutrisi berat merupakan
penyulit lain yang semakin memperberat kondisi penyakit dan semakin
mempersulit kesembuhan. Perjalanan penyakit yang berlangsung kronis umumnya
memerlukan waktu yang relatif lama untuk pulih ke kondisi semula.
Pasien yang berumur 3 tahun atau lebih muda, prognosis penyakit lebih
buruk daripada anak yang lebih tua. Hanya 18% dari yang hidup mempunyai
fungsi neurologis dan intelektualitas normal. Gejala sisa neurologis yang
terbanyak adalah paresis spastik, kejang, paraplegia, dan gangguan sensoris
ekstremitas. Komplikasi pada mata berupa atrofi optik dan kebutaan. Gangguan
pendengaran dan keseimbangan disebabkan oleh obat streptomisin atau oleh
penyakitnya sendiri. Gejala sisa neurologis minor berupa kelainan saraf otak,
nistagmus, ataksia, gangguan ringan pada koordinasi dan spastisitas. Gangguan
intelektual terjadi kira-kira pada dua pertiga pasien yang hidup. Pada pasien ini
biasanya mempunyai kelainan EEG yang berhubungan dengan kelainan
neurologis menetap seperti kejang dan retardasi mental. Kalsifikasi intrakranial
terjadi pada kira-kira sepertiga pasien yang sembuh. Seperlima pasien yang
sembuh mempunyai kelainan pituitari dan hipotalamus, dan akan terjadi prekoks
seksual, hiperprolaktinemia, dan defisiensi ADH, hormon pertumbuhan,
kortikotropin dan gonadotropin.
43
 5
*,* 
Telah dilaporkan sebuah kasus meningitis serosa tuberkulosa dengan
malnutrisi energi protein berat pada seorang pasien anak berusia 3 tahun. Dari
anamnesis didapatkan riwayat pengobatan TB, adanya demam, kejang, dan
kesadaran menurun. Dari pemeriksaan fisik didapatkan tanda rangsang meningeal
(+), tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial, terdapat refleks patologis, dan
peningkatan refleks fisiologis. Status gizi sesuai CDC 2000 dalam kategori r
l ràào . Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah foto toraks,
laboratorium darah, analisis CSS, dan CT Scan kepala. Saat ini, pasien masih
mendapatkan perawatan di bangsal dan menunjukkan adanya perbaikan klinis.
44
 (,  *,  
1. World Health Organization. Management of Severe Malnutrition: a
manual for physicians and other senior health workers. Geneva, 1999.
2. Bechard LJ, Adiv OE, Jaksic T, Duggan C. Nutritional Supportive Care
dlPrinciples and practice of pediatric oncology 4th edition. Editor:
Pizzo PA, Poplack DG. Lippincott William & Wilkins Publisher, 2001
3. Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat Direktorat gizi
Masyarakat. Buku bagan tatalaksana anak gizi buruk. Buku I. Jakarta:
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2003
4. Mardjono, Mahar. Priguna Sidharta. Mekanisme Infeksi Susunan Saraf
dalam Neurologi Klinis Dasar. Dian Rakyat. Jakarta, 2004. h 303-20.
5. Centers for Diseases Control and Prevention. Meningitis. Atlanta, 2009
(online) www.cdc.gov, diakses pada tanggal 16 November 2009.
6. World Health Organization. The selection and use of essential medicines.
Report of the WHO Expert Commitee, 2007.
7. World Health Organization, United Nations Children¶s Fund. WHO child
growths standars and the identification of severe acute malnutrition in
infants and children. WHO Press, Geneva, 2009.
8. Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat Direktorat gizi
Masyarakat. Buku bagan tatalaksana anak gizi buruk. Buku I. Jakarta:
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2003.
9. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Buku Panduan, Pengelolaan
Program Perbaikan Gizi Kabupaten / Kota. Jakarta, Direktorat Kesehatan
Masyarakat, Direktorat Gizi Masyarakat, 2000.
10. Grigby DG. Malnutrition. Emergency Medicine Textbook, 2008 (online)
www.eMedicine.com, diakses pada tanggal 16 November 2009.
11. Mansjoer A, Suprohaita, Wardhana WI, Setiowulan A. (editor). Kurang
energi protein dalam Kapita selekta kedokteran Jilid 2. Edisi 2. Jakarta:
Media Aesculapius FKUI, 2000
12. Lubis NU, Marsida AY. Penatalaksanaan busung lapar pada balita. rà 
 àdor 2002;134:10-13
45
13. Nofareni. Status imunisasi BCG dan faktor lain yang mempengaruhi
terjadinya meningitis tuberkulosa. Bagian Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara, 2003
14. Behrman = Prober CG. Central Nervous System Infections à Nelson
Textbook of Pediatrics, 17th edition. Editor: Behrman RE, Kliegman RM,
Jenson HB. Philadelphia, Saunders Elsevier Science, 2003. p 6022-47.
15. Abro AH, Abdou AS, Ali H, Ustadi AM, Hasab AAH. Cerebrospinal fluid
analysis acute bacterial versus viral meningitis. Ôd à
2008;24(5):645-50.
16. Krugman = Gershon AA, LaRussa P. Varicella-Zozter Virus Infections à 
Krugman¶s Infectious Diseases of Children, 11th edition. Editor: Gershon
AA, Hotez P, Katz S. Philadelphia, Mosby Inc, 2004. p 785-818.
17. Gilden DH, DeMasters BKK, LaGuardia JJ, Mahalingam R, Cohrs RJ.
Neurologic complications of the reactivation of varicella-zoster virus.

 gld2000;342(9):635-45.
18. Chadwick, David R. Viral meningitis. rààdàlllà 2005;75-
76:1-14

Anda mungkin juga menyukai