Tujuan Pembelajaran
1. Memahami hubungan strategi dan keputusan stafing.
2. Menyesuaikan kecakapan manajer dan strategi
3. Implementasi program downsizing
4. Isu dalam stafing dan pengarahan perluasan Internasional.
5. Implementasi program MBO
6. Memformulasi tindakan
Staffing
Dalam model manajemen strategi menurut Thomas Wheleen & Hunger, pada tahapan
implementasi strategi terdapat staffing dan directing yaitu kegiatan yang berhubungan
dengan penentuan karyawan (staff) dan pengarahan (directing);
• Kegiatan staffing antara lain dapat meliputi;
Tindakan merekrut
Mempekerjakan orang baru dengan keahlian yang baru,
Melakukan pemutusan hubungan kerja atas karyawan yang tidak
memenuhi standar keahlian yang diharapkan,
Melakukan training kepada sumberdaya manusia yang ada untuk
mempelajari keahlian yang baru.
Memilih manajer maupun karyawan harus disesuaikan dengan rumusan strategi. Staf
terpilih adalah mereka yang dapat mengadopsi dan mengartikulasi strategi korporasi.
Suatu perusahaan lemah yang berada dalam industri membutuhkan seorang manajer yang
mempunyai keahlian menyelamatkan perusahaan – disebut Turnaround specialist.
Bila perusahaan tidak dapat diselamatkan misalnya, maka dibutuhkan juga seorang
manajer yang profesional sebagai langkah untuk membangkrutkan perusahaan – disebut
Professional liquidator.
Rate This
Beberapa ahli menyatakan bahwa jenis “terbaik” atau sosok yang paling sesuai dari
seorang manajer umum (general manager) yang dapat dengan efektif mengimplementasi
sebuah strategi baru unit bisnis tersebut. Itulah yang sebenarnya menjadi dasar pemikiran
Jan Timmer, Komisaris Utama, ketika memilih Frank Carrubba, seorang yang
berorientasi riset untuk menjadi CEO baru perusahaan raksasa Belanda Philips
Electronics.. Bagian “strategi dalam tindakan” menggambarkan hasil keputusan tersebut.
Pada eksekutif dengan paduan khusus keterampilan dan keahlian serta pengalaman yang
dimilikinya, dapat diklasifikasikan sebagai “jenis khusus” tertentu dan sesuai dengan
strategi khusus perusaan. Gambar 9.1 menggambarkan beberapa eksekutif puncak “jenis
khusus” yang cocok dengan berbagi strategi yang ditempuh perusahaan seperti yang
ditampilkan dalam matriks yang ada . Sebagai contoh, perusahaan yang mengambil
strategi konsentrasi (concentration strategy) dengan penekanan pada integrasi vertical
atau hirozontal, mungkin memerlukan eksekutif puncak yang agresif dengan pengalaman
luas pada industri tertentu, seperti ahli industri yang dinamis. Strategi diversifikasi,
sebaliknya, mungkin membutuhkan CEO dengan kemampuan analitis yang memiliki
pengetahuan luas akan berbagai industri lainnya dan dapat mengelola berbagai lini
produk yang berbeda, seperti manajer portofolio yang analitis. Perusahaan yang memilih
untuk mengambil strategi stabilitas mungkin membutuhkan CEO- nya adalah
perencanaan laba yang hati – hati, yaitu orang yang memiliki gaya konservatif, berlatar
belakang produksi atau insinyur, dan berpengalaman dalam mengendalikan pengeluaran,
anggaran, persediaan, dan prosedur – prosedur standarisasi.
Perusahaan yang lemah sementara berada dalam industri yang menarik, cenderung akan
mencari eksekutif yang berorientasi pada tantangan, atau yang biasa dikenal sebagai
orang yang ahli “membalikkan keadaan” (turnaround specialists) untuk menyelematkan
perusahaan mereka. Jika perusahaan tidak dapat lagi diselamatkan, seorang likuidator
yang professional akan dibutuhkan dalam sebuah pengadilan yang menyatakan asset
perusahaan
CEO atau manajer unit bisnis yang berhasil dengan sebuah panduan khusus pengalaman,
keahlian dan factor – factor kepribadian yang mendukung, cenderung terkait pada satu
jenis strategi ; mereka dengan berbagai macam kombinasi yang berbeda, akan terkait
pada strategi yang berbeda pula. Sebagai contoh, studi tentang para eksekutif SBU
menunjukkan bahwa unit bisnis strategis yang memiliki build strategy dibandingkan
dengan SBU yang memiliki harvest strategy cenderung akan dipimpin oleh para manajer
yang memiliki keinginan besar untuk mengambil resiko, memiliki toleransi yang besar
pada ambiguitas, dan yang mempunyai pengalaman luas pada penjualan atau pemasaran.
Sebagai tambahan, para eksekutif yang berhasil mengimplementasi strategi diferensiasi
bisnis cenderung memiliki locus of control internal yang tinggi; mereka cenderung
memandang diri mereka sebagai seorang pekerja keras dan memiliki kemampuan
daripada melihat hal – hal eksternal sebagai alasan keberhasilan yang diperoleh. Mereka
juga cenderung memiliki pengalaman yang cukup luas dalam penelitian dan
pengembangan. Unit bisnis yang menggunakan strategi bisnis biaya rendah (low-cost
strategy) cenderung akan dipimpin oleh seorang manajer yang memiliki pengalaman luas
dalam produksi. Studi lain menunjukkan bahwa CEO dari perusahaan – perusahaan jenis
Prospector ( pencari, penyelidik) berusia lebih muda, dengan masa jabatan dalam
perusahaan dan posisi manajerial yang lebih pendek, dan lebih berpendidikan dibanding
CEO dari perusahaan jenis Defender (bertahan). Para CEO perusahaan – perusahaan tipe
Prospector cenderung memiliki latar belakang lebih luas dalam hal pemasaran atau R&D;
sementara para CEO perusahaan Defender cenderung memiliki latar belakang dalam
keuangan, mesin, dan pemanufakturan.
Seleksi dan pengembangan adalah hal yang sangat penting, tidak hanya untuk
memastikan bahwa perusahaan telah merekrut orang-orang yang memiliki paduan
keahlian dan pengalaman yang tepat, tetapi juga untuk membantu mereka berkembang
dalam pekerjaannya untuk mempersiapkan mereka pada promosi yang akan datang.
Berikut ini adalah beberapa pedoman dalam melakukan perampingan yang berhasil,
Untuk mengarahkan sebuah strategi baru dengan efektif, manajemen puncak harus
mendelegasikan wewenang dan tanggung jawab dengan tepat kepada para manajer
operasionalnya. Mereka harus mampu mendorong karyawan untuk berperilaku sesuai
cara yang dinginkan oleh organisasi dan mengkoodinasi tindakan tersebut untuk
menghasilkan kinerja yang efektif. Para manajer harus dirangsang untuk menemukan
solusi kreatif untuk mengimplementasi masalah tanpa terjebak ke dalam konflik. Kadang
kala sasaran tersebut dapat dicapai secara tidak langsung melalui budaya perusahaan
yang kuat, dengan diterimanya norma- norma dan nilai- nilai yang menghargai kinerja
tim, dan komitmen terhadap sasaran dan strategi perusahaan. Sasaran itu juga dapat
dicapai dengan cara yang lebih formal melalui perencanaan tindakan atau melalui
program- program tertentu seperti Management By Objective (MBO) dan Total Quality
Management (TQM)
• § Pertama, intensitas, yaitu “seberapa besar para anggota sebuah unit bisnis
sepakat pada norma, nilai, atau unsur-unsur budaya lain yang berhubungan
dengan unit bisnis tersebut”.
• § Kedua, integrasi, yaitu “seberapa besar unit-unit bisnis dalam sebuah organisasi
membagi sebuah budaya yang sama”.
Organisasi dengan budaya dominan yang mengakar kuat biasanya terkendali secara
hirarki dan berorientasi pada kekuasaan, misal dalam unit militer, dan memiliki budaya
yang terintegrasi tinggi. Seluruh karyawan perusahaan dengan budaya perusahaan yang
tinggi cenderung memegang nilai dan norma budaya yang sama. Sebaliknya, perusahaan
yang mempunyai banyak unit, yang terstruktur berdasarkan fungsi dalam divisi atau
SBU, biasanya menunjukkan sub-budaya yang kuat (missal unit R&D vs unit
pemanufakturan) dan biasanya lemah dalam budaya perusahaan secara keseluruhan
Karena budaya organisasi dapat berpengaruh kuat terhadap perilaku seluruh karyawan,
maka budaya organisasi dapat berpengaruh besar pada kemampuan perusahaan untuk
mengubah arah strateginya. Masalah penting yang dihadapi oleh perusahaan dengan
budaya yang kuat adalah bahwa perubahan dalam misi, sasaran, strategi, atau kebijakan
perusahaan, kemungkinan besar tidak berhasil dengan baik jika di dalam perusahaan ada
pihak oposisi terhadap budaya organisasi yang dianut. Budaya perusahaan mempunyai
kecenderungan yang kuat untuk menolak perubahan karena adanya keinginan untuk
mempertahankan hubungan dan pola perilaku yang stabil.
Penelitian juga menunjukkan bahwa tidak ada satupun budaya organisasi yang terbaik.
Budaya yang optimal adalah budaya yang dapat mendukung dengan baik misi dan
strategi perusahaan yang merupakan bagian yang didalamnya. Karena itu, seperti halnya
struktur dan penataan staf, budaya organisasi harus mengikuti strategi yang telah
ditetapkan. Kecuali ada kesepakatan dalam penetapan budaya perusahaan yang akan
digunakan, maka perubahan mendasar dalam strategi harus mampu membawa kepada
modifikasi budaya organisasi. Walaupun penelitian mengindikasikan bahwa budaya
perusahaan harus dapat diubah, namun proses tersebut membutuhkan usaha besar dan
waktu yang cukup lama. Oleh karena itu, pekerjaan penting yang harus dilakukan oleh
pihak manajemen adalah: (1) mengevaluasi perusahaan khusus apa dalam strategi yang
akan berpengaruh besar terhadap budaya perusahaan, (2) menilai apakah perubahan
dalam budaya memang diperlukan, (3) memutuskan apakah usaha mengubah budaya
perusahaan sebanding dengan biaya yang harus dikeluarkan.
1. Apakah strategi yang direncanakan sesuai dengan budaya organisasi saat ini?
Jika “Ya”, jalankan strategi baru dengan hati – hati dengan memperkenalkan serangkaian
aktivitas pelatihan dan pengembangan, dan atu mempekerjakan manajer – manajer baru
yang lebih sesuai dengan strategi baru tersebut.
1. Jika budaya tidak dapat berubah dengan mudah untuk lebih sesuai dengan
strategi baru, apakah pihak manajemen bersedia dan mampu membuat
perubahan besar organisasional dan menerima kemungkinan penundaan
implementasi strategi baru dan kemungkinan meningkatnya biaya?
Jika “Ya”, manajer harus mampu mengubah budaya yang sekarang ada dengan
menetapkan sebuah unit struktural baru untuk mengimplementasi strategi baru. Di
General Motors, misalnya manajemen puncak menyadari bahwa untuk dapat bersaing
dengan produsen mobil dari Jepang, perusahaan harus mengubah secara radikal cara
mereka memproduksi mobil. Menyadari bahwa struktur dan budaya organisasi tidak
fleksibel, pihak manajemen memutuskan untuk membangun sebuah divisi baru yang
lengkap (divisi baru GM yang untuk pertama kalinya sejak 1918) yang disebut Saturn
untuk membangun mobil baru mereka sendiri. Pihak manajemen dan persatuan serikat
pekerja produsen mobil bersama-sama membuat kesepakatan kerja baru berdasarkan
consensus bersama. Para karyawan yang dipilih dengan cermat mengikuti awareness
training selama lima hari untuk mengetahui bagaimana bekerja bersama-sama dalam satu
tim. Mereka kemudian menerima 100 sampai 750 jam pelatihan, termasuk didalamnya
bagaimana membaca laporan keuangan, sehingga mengerti bagaimana operasi keraja
mereka mempengaruhi biaya sebuah mobil. Keseluruhan budaya baru itu dibangun
bagian demi bagian. Menurut James Lewandowski, direktur SDM GM, hanya satu alas
an nyata di sini. Hal itu nyaris menjadi kebanggaan khusus.” Semenjak pertama kali
didirikan pada tahun 1983, unit awal Saturn tidak berhenti berjalan mengarahkan proses
lini perakitan pabrik GM di Spring Hill, Tenessee, sampai pada tahun 1990
1. Jika pihak manajemen tidak bersedia membuat perubahan besar organisasional
yang menuntut dilakukannya perubahan dalam mengelola budaya organisasi,
apakah seluruh anggota organisasi masih berkomitmen untuk melaksanakan
strategi tersebut.
Jika “Ya”, carilah mitra kerja dalam usaha patungan atau mengkontrakkan strategi
tersebut kepada perusahaan lain untuk melaksanakannya. Jika “tidak”, rumuskan strategi
lain.
Sejak pertama kali dikembangkan di Amerika Serikat pada tahun 1940-an, Statistical
Process Control (SPC) ditolak keberadaanya sampai W. Edward Deming, seorang
pengajar di MIT, memperkenalkannya kepada orang Jepang pada tahun 1950-an.
Statitistical Process Control adalah metode yang berusaha memfasilitasi pemahaman
variabel-variabel kritis di setiap tahap proses pemanukfakturan dan interkorelasinya.
Berdasarkan pedoman yang disusun Deming, para pekerja pabrik-pabrik di Jepang
mengambil contoh salah satu bagian yang sedang diproses dalam proses manufaktur,
yang dengan kartu control, memastikan bahwa setiap penyimpangan dari spesifikasi yang
telah ditetapkan dapat diperbaiki dengan cepat. Jadi, SPC menjamin bahwa secara kasat
mata seluruh produk yang dihasilkan mampu memenuhi atau melebihi spesifikasi yang
telah ditentukan. Dengan cara itulah kualitas dibangun ke dalam produk, bukan dengan
memerintahkan pekerja untuk memperbaiki produk setelah produk selesai diproses yang
menyebabkan produk tersebut harus dibuang – merupakan cara tradisional (dan lebih
mahal) untuk mengendalikan kualitas.
Para perusahaan produser, otomotif Amerika Serikat, setelah mendengar kesuksesan SPC
di Jepang, berusaha menerapkannya pada pabrik – pabrik mereka, Namun setelah dua
setengah tahun usaha itu gagal di tengah jalan. Ada kekecewaan besar terhadap masa
depan penggunaan SPC di pabrik – pabrik tersebut. Para anggota tim koordinasi SPC
yang bertanggung jawab dalam implementasi perubahan mempertimbangkan untuk
mengundurkan diri bersama – sama. Jelasnya, perubahan yang direncanakan telah gagal.
Mengapa?
Pertama, pabrik-pabrik tersebut memiliki norma yang menganggap kineja lebih penting
dari belajar. Para pekerja dibayar untuk bekerja, bukan untuk berpikir. Sayangnya, SPC
berjalan berlawanan dengan nilai dasar ini. Pelaksanaan SPC meliputi tidak hanya
periode untuk belajar memahami SPC itu sendiri, tetapi juga periode pembelajaran semua
proses pemanufakturan tempat SPC diimplementasi. Para manajer dalam pabrik tersebut
menginterpretasi tindakan – tindakan, menyaringnya dengan pertanyaan seperti, “Apa
yang dapat Anda, lakukan buat saya?” bukan “Apa yang telah Anda pelajari?”
Kedua, informasi digunakan hanya untuk menyebarkan harapan terhadap kinerja yang
akan datang, melaporkan kineja yang buruk, dan mengalihkan tanggung jawab Informasi
dinilai bukan berdasarkan kegunaannya untuk menyelesaikan masalah, tetapi
hanya untuk menyalahkan. atau mengalihkan tanggung jawab kepada pihak lain.
Sebaliknya, SPC menggunakan informasi untuk menemukan masalah dan
menyelesaikannya. Pengumpulan data melibatkan pekerja dan manajer untuk bersama-
sama menggunakan gambar dan grafik yang ada pada seluruh wilayah kerja, sehingga
setiap orang dapat melihatnya. Sayangnya, seiring perjalanan waktu, pihak manajemen
kembali hanya melihat hasil dan menugaskan tanggung jawab. Karyawan kembali
ditugaskan untuk menyelesaikan masalah mereka sendiri. Perasaan para. karyawan
menjadi, “Mengapa masalah saya harus diselesaikan dengan SPC?“
Ketiga, dengan mengikuti konsep struktural yang tradisional tentang divisi kerja,
pekejaan-pekejaan dalam pabrik dipecah menjadi bagian-bagian kecil yang dibagikan
kepada individu-individu operator dan kepada setiap unit dalam lini perakitan. Ada garis
pembatas yang jelas antara, pekerja dan manajer, bagian pemanufakturan dan jasa, dan
antara pabrik dan divisi. Ada kecenderungan untuk menggolong-golongkan masalah dan
informasi. Sebaliknya SPC membutuhkan pendekatan yang bersifat menyeluruh, bukan
pendekatan segmentasi yang tradisional. SPC mengharuskan adanya pemikiran tentang
interaksi berbagai variabel dalam sebuah proses dan mengelola masing – masing
interdependensinya. Sebagai hasilnya, upaya – upaya untuk meningkatkan produktivitas
melalui usaha bersama antara kelompok – kelompok dan departemen disabotase oleh
kecenderungan para staf divisi yang berpenghasilan dan berpendidikan tinggi pada kantor
pusat untuk menolak saran-saran dari karyawan produksi yang dianggapnya “rendah”
dalam segala hal.
Komunikasi adalah hal penting dalam mencapai manajemen perubahan dalam budaya
yang efektif. Setelah melakukan pengamatan terhadap budaya perusahaan pada lebih dari
100 perusahaan yang berbeda, G. G. Gordon melaporkan bahwa perusahaan – perusahaan
yang berhasil melakukan perubahan besar dalam budaya memiliki beberapa karakteristik
yang sama.
1. Para CEO-nya memiliki visis strategi tentag akan menjadi apa perusahaan yang
dipimpinnya di masa yang akan dating.
2. Visi tersebut diterjemahkan ke dalam elemen – elemen kunci yang perlu untuk
mencapai misi tersebut. Sebagai contoh, jika visis mengharuskan perusahaan
untuk menjadi pemimpin dalam kualitas atau jasa layanan dipilih untuk
ditingkatkan dan system pengukuran yang sesuai pun dikembangkan untuk
memantau aspek – aspek tersebut. Pengukuran ini dikomunikasikan secara luas
melalui berbagai kontes, pengakuan baik secara informal dan formal,
penghargaan yang bersifat moneter, di antara berbagai cara lainnya.
3. Para CEO dan manajer puncak lainnya bersemangat mengkomunikasikan seluas
mungkin kepada para karyawan di segala tingkat, tiga informasi penting berikut
ini:
a) Kondisi perusahaan saat ini dibandingkan dengan para pesaingnya serta perkiraan
kondisi perusahaan di masa yang akan dating.
b) Visi tentang akan menjadi seperti apa perusahaan di masa yang akan dating dan
bagaimana perusahaan dapat mencapai visi tersebut
c) Kemajuan perusahaan dalam elemen – elemen kunci yang diidentifikasi sebagai hal
penting dalam mencapai visi
Ketika melakukan akuisisi atau bergabung dengan perusahaan lain, manajemen puncak
harus mempertimbangkan potensi terjadinya benturan budaya. Bahaya jika menganggap
bahwa perusahaan dapat dengan mudah disatukan ke dalam struktur pelaporan yang
sama. Pada umumnya para investor bersikap skeptis terhadap merger antar perusahaan -
perusahaan yang memiliki budaya berbeda. Makin besar kesenjangan antara budaya
perusahaan yang diakusisi dengan perusahaan yang mengakuisisi, makin cepat pula para
eksekutif perusahaan yang diakuisisi meninggalkan pekerjaannya dan menggunakan
bakat berharga mereka di perusahaan lain. Contoh klasik kesalahan manajemen dalam
menangani budaya perusahaan tedadi ketika Exxon Corporation memutuskan untuk
membeli beberapa perusahaan yang memiliki teknologi tinggi.
Dalam metode pemisahan, budaya kedua perusahaan secara struktural tetap terpisah,
tanpa ada pertukaran budaya.
Dekulturasi adalah metode yang paling umum dan paling merusak dalam kaitannya
dengan perbedaan dua budaya. Metode tersebut melibatkan disintegrasi budaya salah satu
perusahaan yang terjadi karena adanya tekanan dan penolakan terhadap perusahaan lain
yang dating untuk memaksakan budaya dan praktik manajerialnya. Metode ini seringkali
menimbulkan kebingungan besar, konflik, kemarahan, dan stress. Merger jenis ini
biasanya menghasilkan kinerja yang buruk dari perusahaan yang diakuisisi dan pada
akhirnya perusahaan tersebut dilepas kembali.
Merencanakan Tindakan
Dua masalah yang biasa ditemui dalam implementasi strategi adalah tidak efektifnya
koordinasi aktivitasdan buruknya penjabaran implementasi tugas – tugas dan aktivitas –
aktivitas penting. Aktivita dapat diarahkan langsung pada pencapaian tujuan strategis
melalui perencanaan tindakan. Pada tingkat yang sederhana, rencana tindakan
mengidentifikasi tindakan – tindakan yang harus diambil, orang – orang yang
bertanggung jawab terhadapnya, waktu yang tersedia untuk menyelesaikannya, dan hasil
yang diharapkan. Setelah menyeleksi sebua program untuk mengimplementasi strategi
khusus, karyawan harus mengembangkan rencana tindakan supaya program tersebut
memberikan hasil.
Tekhnik MBO juga memberikan kesempatan untuk menghubungkan sasaran tiap orang di
setiap tingkat kepada mereka yang ada si tingkat yang lebih tinggi. Oleh karena itu, MBO
menghubungkan bersama – sama sasaran perusahaan, sasaran unit bisnis, dan sasaran
fungsional dan strategi – strategi yang dikembangkan untuk mencapai sasaran tersebut.
Walaupun program – program tersebut biasanya cenderung mendukung kepercayaan
bahwa MBO seharusnya menghasilkan kinerja yang lebih tinggi dibanding yang dapat
dicapai oleh pendekatan – pendekatan lainnya yang tidak melibatkan sasaran kinerja,
umpan balik yang relevan, dan kerja sama penetapan sasaran antara atasan dan bawahan.
Salah satu manfaat nyata dari MBO adalah MBO dapat mengurangi sejumlah besar
proses politik internal dalam sebuah perusahaan besar. Tindakan – tindakan politis
seringkali menyebabkan konflik dam memecah belah banyak orang dan kelompok –
kelompok kerja yang seharusnya bekerja sama dalam mengimplementasi sebuah strategi.
Orang – orang akan kurang berminat untuk berebut posisi jika misi dan sasaran
perusahaan jelas dan mereka tahu bahwa system penghargaan atas kinerja bukan
didasarkan pada aturan main semata, namun pada pencapaian yang dikomunikasikan
dengan jelas, dan dapat diulur dengan objektif.
Total Quality Management (TQM) adalah sebuah filosofi operasional yang menekankan
komitmen pada kepuasan pelanggan dan peningkatan berkelanjutan. TQM merupakan
“payung” bagi berbagai kumpulan konsep dan prosedur yang pertama kali diajukan oleh
W. Edward Deming dan diteruskan oleh Joseph Juran dan Philip Crosby. Dengan kata
lain, TQM melibatkan komitmen pada kualitas, keunggulan, dan menjadi yang terbaik
dalam seluruh fungsi. Menurut J. Schonberger, pakar dalam manajemen operasi dan
rekayasa produksi, ada empat tujuan dalam TQM:
1. Kualitas produk dan jasa yang lebih baik dan sedikit variabel;
2. Respon yang lebih cepat dan sedikit variabel dalam memproses kebutuhan
pelanggan;
3. Fleksibilitas yang lebih besar dalam penyesuaian terhadap perubahar. kebutuhan
pelanggan; dan
4. Biaya yang lebih rendah melalui peningkatan kualitas dan eliminasi pekerjaan
yang tidak memiliki nilai tambah.
Karena TQM berusaha mengurangi biaya serta meningkatkan kualitas, TQM dapat
digunakan sebagai program untuk mengimplementasi baik strategi biaya rendah pada
seluruh tingkatan atau strategi bisnis diferensiasi.
Berdasarkan TQM, proses yang salah adalah penyebab utama buruknya kualitas, bukan
kurangnya motivasi karyawan. Walaupun salah satu akar TQM adalah statistical process
control, TQM melibatkan serangkaian luas tekhnik, mulai dari scatter diagram sampai
benchmarking dan tim lintas fungsi. Program tersebut juga biasanya melibatkan
perubahan signifikan dalam budaya perusahaan, menuntut kepemimpinan yang kuat dari
manajemen puncak, pelatihan karyawan, pemberdayaan karyawan tingkat rendah (dengan
memberikan karyawan lebih banyak control atas pekerjaan mereka), dan kerja tim untuk
membuatnya berhasil. TQM menekankan pencegahan, bukan perbaikan, walaupun
pemerikasaan terhadap kualitas masih dilakukan. Tekanannya adalah pada peningkatan
proses untuk mencegah terjadinya kesalahan dan defisiensi, dengan menetapkan gugus
kendali mutu (quality circle) atau tim peningkatan kualitas yang mengidentifikasi
masalah dan menyarankan berbagai cara untuk memperbaiki proses yang menyebabkan
masalah.
• Fokus yang kuat terhadap kepuasan pelanggan; Seluruh karyawan (tidak anya
orang – orang di bagian penjualan dan pemasaran) harus memahami bahwa
pekerjaan mereka ada karena adanya kebutuhan pelanggan. Oleh karena itu,
pendekatan yang harus diambil oleh karyawan sehubungan dengan pekerjaan
mereka adalah bagaimana hasil pekerjaan itu akan mempengaruhi kepuasan
pelanggan.
• Pelanggan adalah internal dan eksternal; Karyawan bagian pengemasan adalah
pelanggan internal bagi karyawan bagian lainnya yang sedang menyelesaikan
perakitan produk, dan orang yang membeli produk adalah pelanggan bagi seluruh
anggota perusahaan. Seorang karyawan harus memuaskan pelanggan internal dan
juga pelanggan eksternal.
• Pengukuran yang akurat terhadap seluruh variabel kritis dalam operasi
perusahaan; Karyawan harus dilatih dalam hal apa saja yang akan di ukur,
bagaimana mengukur, dan bagaimana menerjemahkan data yang ada. Aturan
penting dalam TQM adalah “Anda hanya akan berkembang pada bagian yang
Anda ukur.”
• Peningkatan berkelanjutan pada produk dan jasa; Setiap orang menyadari
perlunya memantau operasi perusahaan secara berkesinambungan untuk
menemukan berbagai cara untuk meningkatkan produk dan layanan.
• Hubungan kerja yang baru yang didasarkan pada saling percaya dan kerja tim;
Kuncinya adalah gagasan pemberdayaan atau memberikan keleluasaan kepada
karyawan dalam cara mereka mencapai sasaran perusahaan.