Anda di halaman 1dari 9

PENGEMBANGAN USAHA TERNAK SAPI POTONG

BERORIENTASI AGRIBISNIS DENGAN POLA


KEMITRAAN
Suryana

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan


Jalan Panglima Batur Barat No. 4, Kotak Pos 1018 & 1032 Banjarbaru 70711, Telp. (0511) 4772346, Faks. (0511) 4781810
E-mail: bptp-kalsel@litbang.deptan.go.id, bptpkalsel@plasa.com, bptpkalsel@yahoo.com,

Diajukan: 24 Oktober 2008; Diterima: 20 Januari 2009

ABSTRAK
Sapi potong merupakan penyumbang daging terbesar dari kelompok ruminansia terhadap produksi daging nasional
sehingga usaha ternak ini berpotensi untuk dikembangkan sebagai usaha yang menguntungkan. Sapi potong telah
lama dipelihara oleh sebagian masyarakat sebagai tabungan dan tenaga kerja untuk mengolah tanah dengan manajemen
pemeliharaan secara tradisional. Pola usaha ternak sapi potong sebagian besar berupa usaha rakyat untuk menghasilkan
bibit atau penggemukan, dan pemeliharaan secara terintegrasi dengan tanaman pangan maupun tanaman perkebunan.
Pengembangan usaha ternak sapi potong berorientasi agribisnis dengan pola kemitraan merupakan salah satu
alternatif untuk meningkatkan keuntungan peternak. Kemitraan adalah kerja sama antarpelaku agribisnis mulai
dari proses praproduksi, produksi hingga pemasaran yang dilandasi oleh azas saling membutuhkan dan menguntungkan
bagi pihak yang bermitra. Pemeliharaan sapi potong dengan pola seperti ini diharapkan pula dapat meningkatkan
produksi daging sapi nasional yang hingga kini belum mampu memenuhi kebutuhan masyarakat yang terus meningkat.
Di sisi lain, permintaan daging sapi yang tinggi merupakan peluang bagi usaha pengembangan sapi potong lokal
sehingga upaya untuk meningkatkan produktivitasnya perlu terus dilakukan. Tulisan ini bertujuan untuk mengulas
usaha ternak sapi potong berorientasi agribisnis dengan pola kemitraan. Untuk mencapai efisiensi usaha yang
tinggi, diperlukan pengelolaan usaha secara terintegrasi dari hulu hingga hilir serta berorientasi agribisnis dengan
pola kemitraan, sehingga dapat memberikan keuntungan yang layak secara berkelanjutan.
Kata kunci: Sapi potong, pengembangan, agribisnis, kemitraan

ABSTRACT
Development of beef cattle agribusiness through partnership pattern

Beef cattle are the largest contributor of the ruminants to the national meat production, therefore cattle farming
is potential to be developed. In Indonesia, cattle are raised traditionally by farmers as a family saving and as draught
animal in land preparation. Beef cattle farming is commonly as a small-scale farming and consists of breeding,
fattening, and integrated farming system with food crops or estate crops. Development of beef cattle agribusiness
through partnership pattern could be an alternative approach in increasing farmers' incomes and national meat
production. Partnership is a cooperation between two or more partners in beef cattle farming in preproduction,
production processes, and marketing based on equally and profitable principles. The development of beef catlle
farming through partnership pattern is expected to meet the national demand for meat that continuously increases.
On the other hand, the high demand for beef cattle meat gives an opportunity to develop beef cattle farming in the
country through partnership to increase production and productivity. This paper reviewed the development of
beef cattle farming through partnership pattern. To achieve the high farming efficiency, it is needed to manage the
system integratedly from upstream to downstream by applying the agribusiness principles and partnership pattern
to obtain the high and sustainable profit.
Keywords: Beef cattle, development, agribusiness, partnership

K onsumsi daging sapi di Indonesia


terus mengalami peningkatan. Na-
mun peningkatan tersebut belum diim-
tahun 2007 (Direktorat Jenderal Pe-
ternakan 2007). Kondisi tersebut menye-
babkan sumbangan sapi potong terhadap
permintaan dan penawaran (Setiyono et
al. 2007). Pada tahun 2006, tingkat kon-
sumsi daging sapi diperkirakan 399.660
bangi dengan penambahan produksi yang produksi daging nasional rendah (Mer- ton, atau setara dengan 1,70−2 juta ekor
memadai. Laju peningkatan populasi sapi syah 2005; Santi 2008) sehingga terjadi sapi potong (Koran Tempo 2008), se-
potong relatif lamban, yaitu 4,23% pada kesenjangan yang makin lebar antara mentara produksi hanya 288.430 ton.

Jurnal Litbang Pertanian, 28(1), 2009 29


Pemerintah memproyeksikan tingkat kon- lahan dari wilayah sumber hijauan pakan (Kariyasa 2005; Gordeyase et al. 2006;
sumsi daging pada tahun 2010 sebesar menjadi areal tanaman pangan atau Utomo dan Widjaja 2006; Suryana 2007a).
2,72 kg/kapita/tahun sehingga kebutuhan kawasan permukiman dan industri juga Integrasi ternak dan tanaman dapat dila-
daging dalam negeri mencapai 654.400 ton mengganggu penyediaan hijauan pakan kukan melalui pola kemitraan antara pihak
dan rata-rata tingkat pertumbuhan kon- ternak. Di lain pihak, ketersediaan padang perusahaan dan petani-ternak atau peme-
sumsi 1,49%/tahun (Badan Pusat Statistik penggembalaan menurun hingga 30%. rintah daerah (Suharto 2004; Utomo dan
2005) Mersyah (2005) mengemukakan, ada Widjaja 2004).
Populasi sapi potong pada tahun 2007 dua faktor yang menyebabkan lambannya Masalah lain yang perlu mendapat
tercatat 11,366 juta ekor (Direktorat Jen- perkembangan sapi potong di Indonesia. perhatian adalah tingginya angka pemo-
deral Peternakan 2007). Populasi tersebut Pertama, sentra utama produksi sapi tongan sapi betina produktif meskipun
belum mampu mengimbangi laju permin- potong di Pulau Jawa yang menyumbang Undang-undang Peternakan dan Veteriner
taan daging sapi yang terus meningkat. 45% terhadap produksi daging sapi nasi- dengan tegas melarang pemotongan sapi
Untuk mengantisipasinya, pemerintah onal sulit untuk dikembangkan karena: a) betina produktif. Jika pemotongan sapi
melakukan impor daging sapi dan sapi ternak dipelihara menyebar menurut rumah betina produktif terus berlangsung tanpa
bakalan untuk digemukkan (Priyanti et al. tangga peternakan (RTP) di pedesaan, b) pengawasan yang ketat dan sanksi yang
1998). Kebijakan impor tersebut harus di- ternak diberi pakan hijauan pekarangan berat maka sumber penghasil sapi bakalan
lakukan walaupun akan menguras devisa dan limbah pertanian, c) teknologi budi akan menjadi berkurang yang selanjutnya
negara, karena produksi daging sapi lokal daya rendah, d) tujuan pemeliharaan ter- akan menurunkan populasi sapi potong
belum mampu mengejar laju peningkatan nak sebagai sumber tenaga kerja, per- di Indonesia. Dalam tulisan ini diulas
permintaan di dalam negeri, baik kuantitas bibitan (reproduksi) dan penggemukan usaha ternak sapi potong dari aspek agri-
maupun kualitasnya (Priyanti et al. 1998; (Roessali et al. 2005), dan e) budi daya bisnis yang berdaya saing dan berke-
Yusdja et al. 2003). Data Direktorat sapi potong dengan tujuan untuk meng- lanjutan melalui pola kemitraan.
Jenderal Peternakan (2006) menunjukkan hasilkan daging dan berorientasi pasar
bahwa impor sapi bibit pada tahun 2005 masih rendah. Kedua, pada sentra pro-
mencapai 4.600 ekor atau setara dengan duksi sapi di kawasan timur Indonesia PERAN DAN MANFAAT
US$1.921.600, bakalan 265.200 ekor dengan porsi 16% dari populasi nasional, SAPI POTONG
(US$107.731.000), daging sapi 21.484.000 serta memiliki padang penggembalaan
ton (US$ 603.812.700), dan hati sapi yang luas, pada musim kemarau panjang Sapi potong merupakan salah satu ternak
34.436.000 ton (US$3.803.800). Dari total sapi menjadi kurus, tingkat mortalitas penghasil daging di Indonesia. Namun,
impor daging dan sapi bakalan tersebut, tinggi, dan angka kelahiran rendah. produksi daging sapi dalam negeri belum
30% di antaranya berasal dari Australia, Kendala lainnya adalah berkurangnya mampu memenuhi kebutuhan karena
Selandia Baru, dan Amerika Serikat (Koran areal penggembalaan, kualitas sumber populasi dan tingkat produktivitas ternak
Tempo 2008). daya rendah, akses ke lembaga permo- rendah (Isbandi 2004; Rosida 2006;
Produksi daging sapi dalam negeri dalan sulit, dan penggunaan teknologi Direktorat Jenderal Peternakan 2007;
yang belum mampu memenuhi permintaan rendah (Syamsu et al. 2003; Isbandi 2004; Syadzali 2007; Nurfitri 2008; Santi 2008).
tersebut terkait dengan adanya berbagai Ayuni 2005; Rosida 2006). Faktor pen- Rendahnya populasi sapi potong antara
permasalahan dalam pengembangan sapi dorong pengembangan sapi potong lain disebabkan sebagian besar ternak
potong. Beberapa permasalahan tersebut adalah permintaan pasar terhadap daging dipelihara oleh peternak berskala kecil de-
adalah: 1) usaha bakalan atau calf-cow sapi makin meningkat, ketersediaan tenaga ngan lahan dan modal terbatas (Kariyasa
operation kurang diminati oleh pemilik kerja besar, adanya kebijakan pemerintah 2005; Mersyah 2005; Suwandi 2005).
modal karena secara ekonomis kurang yang mendukung upaya pengembangan Berdasarkan data sebaran populasi
menguntungkan dan dibutuhkan waktu sapi potong, hijauan pakan dan limbah sapi potong di Indonesia tahun 2007
pemeliharaan yang lama, 2) adanya ke- pertanian tersedia sepanjang tahun, dan (Direktorat Jenderal Peternakan 2007),
terbatasan pejantan unggul pada usaha usaha peternakan sapi lokal tidak ter- sentra sapi potong terdapat di Jawa Timur,
pembibitan dan peternak, 3) ketersediaan pengaruh oleh krisis ekonomi global Jawa Tengah, Nanggroe Aceh Darussalam
pakan tidak kontinu dan kualitasnya (Kariyasa 2005; Gordeyase et al. 2006; (NAD), Bali, Nusa Tenggara Timur,
rendah terutama pada musim kemarau, 4) Rosida 2006; Nurfitri 2008). Sumatera Selatan, dan Sulawesi Selatan.
pemanfaatan limbah pertanian dan agro- Berkaitan dengan berbagai permasa- Pola usahanya sebagian besar adalah per-
industri pertanian sebagai bahan pakan lahan tersebut maka pemanfaatan bahan bibitan atau pembesaran anak, dan hanya
belum optimal, 5) efisiensi reproduksi pakan lokal perlu dioptimalkan sehingga sebagian kecil peternak yang mengkhu-
ternak rendah dengan jarak beranak dapat menekan biaya pakan tanpa meng- suskan usahanya pada penggemukan
(calving interval) yang panjang (Maryono ganggu produktivitas ternak. Salah satu ternak (Yusdja et al. 2003). Menurut
et al. 2006), 6) terbatasnya sumber bahan upaya yang dapat ditempuh adalah meme- Umiyasih et al. (2004) dan Kuswaryan et
pakan yang dapat meningkatkan pro- lihara ternak secara terintegrasi dengan al. (2004), pola usaha perbibitan secara
duktivitas ternak dan masalah potensi tanaman pangan atau perkebunan. ekonomis kurang menguntungkan, namun
genetik belum dapat diatasi secara optimal Dengan upaya tersebut diharapkan usaha tersebut masih tetap berkembang.
(Kariyasa 2005; Santi 2008), serta 7) keterbatasan hijauan pakan dapat diatasi Populasi dan produksi sapi potong dan
gangguan wabah penyakit (Isbandi 2004). dengan memanfaatkan limbah pertanian ternak ruminansia lainnya di Indonesia
Djajanegara dalam Syamsu et al. atau perkebunan, sehingga produktivitas tahun 2003−2007 cenderung meningkat
(2003) menyatakan, perubahan fungsi tanaman dan ternak menjadi lebih baik (Tabel 1 dan 2).

30 Jurnal Litbang Pertanian, 28(1), 2009


secara intensif banyak dilakukan petani-
Tabel 1. Populasi ternak ruminansia di Indonesia, 2003− 2007 . peternak di Jawa, Madura, dan Bali. Pada
pemeliharaan ekstensif, ternak dipelihara
Jenis ternak Populasi (000 ekor) di padang penggembalaan dengan pola
ruminansia 2003 2004 2005 2006 2007 pertanian menetap atau di hutan. Pola
tersebut banyak dilakukan peternak di
Sapi potong 10.504 10.533 10.569 10.875 11.366
Kerbau 2.459 2.403 2.128 2.167 2.246
Nusa Tenggara Timur, Kalimantan, dan
Sapi perah 374 364 361 369 378 Sulawesi (Sugeng 2006). Dari kedua cara
Kambing 12.722 12.781 13.409 13.790 14.874 pemeliharaan tersebut, sebagian besar
Domba 7.811 8.075 8.327 8.980 9.860 merupakan usaha rakyat dengan ciri skala
Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan (2007). usaha rumah tangga dan kepemilikan
ternak sedikit, menggunakan teknologi
sederhana, bersifat padat karya, dan ber-
Tabel 2. Produksi daging ternak ruminansia di Indonesia, 2003− 2007. basis azas organisasi kekeluargaan (Azis
dalam Yusdja dan Ilham 2004).
Produksi (t) Berdasarkan skala usaha dan tingkat
Jenis ternak
ruminansia pendapatan peternak, Soehadji dalam
2003 2004 2005 2006 2007
Anggraini (2003) mengklasifikasikan
Sapi potong 369,70 447,60 358,70 395,80 418,20 usaha peternakan menjadi empat kelom-
Kerbau 40,60 40,20 38,10 43,90 45,90 pok, yaitu: 1) peternakan sebagai usaha
Kamhing 63,90 57,10 50,60 65,00 63,40
Domba 80,60 66,10 47,30 75,20 84,40
sambilan, yaitu petani mengusahakan
komoditas pertanian terutama tanaman
Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan (2007). pangan, sedangkan ternak hanya sebagai
usaha sambilan untuk mencukupi kebu-
tuhan keluarga (subsisten) dengan tingkat
pendapatan usaha dari peternakan < 30%,
2) peternakan sebagai cabang usaha, yaitu
Salah satu upaya pemerintah untuk alim 1988; Hastono 1998), serta memberi peternak mengusahakan pertanian cam-
meningkatkan produktivitas sapi potong manfaat berupa anak dan status sosial puran dengan ternak dan tingkat penda-
adalah dengan mendatangkan sapi dari (Isbandi 2004; Roessali et al. 2005). Oleh patan dari usaha ternak mencapai 30−70%,
Eropa (Bos taurus) seperti Limousine, karena itu, potensi sapi potong perlu 3) peternakan sebagai usaha pokok, yaitu
Simmetal, dan Brahman. Di Jawa, sapi-sapi dikembangkan, terutama untuk mening- peternak mengusahakan ternak sebagai
tersebut banyak yang dikawinsilangkan katkan kontribusinya dalam penyediaan usaha pokok dengan tingkat pendapatan
(crossing) dengan sapi Peranakan Ongole daging untuk memenuhi kebutuhan ma- berkisar antara 70−100%, dan 4) peter-
(PO) yang menghasilkan sapi PO vs syarakat yang terus meningkat (Mersyah nakan sebagai industri dengan meng-
Limousine (Talib 2001; Kuswaryan et al. 2005; Rosida 2006, Ferdiman 2007; Nurfitri usahakan ternak secara khusus (speci-
2004; Rianto et al. 2005). 2008). alized farming) dan tingkat pendapatan
Alasan pentingnya peningkatan dari usaha peternakan mencapai 100%.
populasi sapi potong dalam upaya men- Usaha peternakan komersial umumnya
capai swasembada daging antara lain POLA USAHA SAPI POTONG dilakukan oleh peternak yang memiliki
adalah: 1) subsektor peternakan ber- modal besar serta menerapkan teknologi
potensi sebagai sumber pertumbuhan Perbibitan dan Penggemukan modern (Mubyarto dalam Anggraini
baru pada sektor pertanian, 2) rumah 2003). Usaha peternakan memerlukan
tangga yang terlibat langsung dalam Potensi sapi potong lokal sebagai peng- modal yang besar, terutama untuk penga-
usaha peternakan terus bertambah, 3) hasil daging belum dimanfaatkan secara daan pakan dan bibit. Biaya yang besar
tersebarnya sentra produksi sapi potong optimal melalui perbaikan manajemen ini sulit dipenuhi oleh peternak pada
di berbagai daerah, sedangkan sentra pemeliharaan. Sapi lokal memiliki beberapa umumnya yang memiliki keterbatasan
konsumsi terpusat di perkotaan sehingga kelebihan, yaitu daya adaptasinya tinggi modal (Hadi dan Ilham 2000).
mampu menggerakkan perekonomian terhadap lingkungan setempat, mampu Hadi dan Ilham (2002) menyatakan
regional, dan 4) mendukung upaya ke- memanfaatkan pakan berkualitas rendah, terdapat beberapa permasalahan dalam
tahanan pangan, baik sebagai penyedia dan mempunyai daya reproduksi yang industri perbibitan sapi potong, yaitu: 1)
bahan pangan maupun sebagai sumber baik. angka service per conception (S/C) cukup
pendapatan yang keduanya berperan me- Sistem pemeliharaan sapi potong di tinggi, mencapai 2,60, karena terbatasnya
ningkatkan ketersediaan dan aksesibilitas Indonesia dibedakan menjadi tiga, yaitu: fasilitas pelayanan inseminasi buatan (IB),
pangan (Kariyasa 2005). Sapi potong juga intensif, ekstensif, dan usaha campuran baik ketersediaan semen beku, tenaga in-
mempunyai fungsi sosial yang penting di (mixed farming). Pada pemeliharaan seminator maupun masalah transportasi,
masyarakat selain fungsinya sebagai secara intensif, sapi dikandangkan secara 2) calving interval terlalu panjang, dan 3)
penghasil daging (Sumadi et al. 2004; terus-menerus atau hanya dikandangkan tingkat mortalitas pedet prasapih tinggi,
Syadzali 2007), pupuk, sebagai tenaga kerja pada malam hari dan pada siang hari ternak ada yang mencapai 50%. Oleh karena itu,
terutama dalam pengolahan tanah (Bamu- digembalakan. Pola pemeliharaan sapi usaha pembibitan harus diiringi dengan

Jurnal Litbang Pertanian, 28(1), 2009 31


upaya menekan biaya pakan. Salah satu bersifat tradisional. Menurut Ferdiman konsentrat di Kabupaten Blora meng-
upaya untuk menekan biaya pakan adalah (2007), penggemukan sapi potong dapat hasilkan performan produksi yang baik
dengan memanfaatkan limbah kebun dan dilakukan dengan beberapa cara, yaitu dibandingkan dengan Simmental x PO,
pabrik sebagai sumber pakan melalui sistem kereman, dry lot fattening, dan Limousine x PO, dan PO (Santi 2008).
pemeliharaan sapi secara terintegrasi pada pasture fattening. Pakan yang digunakan
kawasan perkebunan atau areal tanaman dalam penggemukan berupa hijauan dan
pangan. konsentrat. Hijauan diberikan 10% dari Pola Integrasi Sapi-Tanaman
Pembibitan sapi potong secara ter- bobot badan, konsentrat 1% dari bobot
integrasi dengan tanaman pangan atau badan, dan air minum 20−30 l/ekor/hari. Pengembangan sistem integrasi tanaman-
perkebunan kelapa sawit juga memudah- Dalam sistem ini, sapi muda (umur 1,50−2 ternak (sapi) bertujuan untuk: 1) men-
kan melakukan program pemuliaan untuk tahun) dipelihara secara terus-menerus di dukung upaya peningkatan kandungan
meningkatkan mutu genetik ternak. Me- dalam kandang dalam waktu tertentu bahan organik lahan pertanian melalui
nurut Talib (2001), perbaikan mutu genetik untuk meningkatkan volume dan mutu penyediaan pupuk organik yang memadai,
sapi potong di Indonesia dilakukan melalui daging dalam waktu relatif singkat (Ahmad 2) mendukung upaya peningkatan pro-
pemurnian, pengembangan sapi murni, et al. 2004; Ferdiman 2007). Berdasarkan duktivitas tanaman, 3) mendukung upaya
dan persilangan (crossing). Perbaikan umur sapi yang akan digemukkan, lama peningkatan produksi daging dan popu-
mutu genetik sapi potong lokal bertujuan penggemukan dibedakan menjadi tiga lasi ternak sapi, dan 4) meningkatkan pen-
untuk meningkatkan bobot badan, laju (Sugeng 2006), yaitu: 1) untuk sapi bakalan dapatan petani atau pelaku pertanian.
pertumbuhan, dan efisiensi reproduksi dengan umur kurang dari 1 tahun, lama Melalui kegiatan ini, produktivitas tanam-
yang dilakukan melalui seleksi, sedangkan penggemukan berkisar antara 8−9 bulan, an maupun ternak menjadi lebih baik
peningkatan produktivitas diupayakan 2) untuk sapi bakalan umur 1−2 tahun, lama sehingga akan meningkatkan pendapatan
melalui penyediaan pejantan berkualitas, penggemukan 6−7 bulan, dan 3) untuk sapi petani-peternak (Suharto 2004; Kariyasa
memperbaiki performan induk dan sistem bakalan umur 2−2,50 tahun, lama peng- 2005; Utomo dan Widjaja 2006).
perkawinan, penyediaan pakan yang gemukan 4−6 bulan. Harun dan Chen dalam Batubara
cukup, dan sistem manajemen yang me- Hasil pengkajian usaha penggemuk- (2003) menyatakan bahwa integrasi ternak
madai (Wijono et al. 2004). an sapi potong dengan sistem kereman dengan tanaman kelapa sawit memberikan
Situmorang dan Gede dalam Mersyah selama 5 bulan dengan menggunakan efek saling menguntungkan (complemen-
(2005) menyatakan, untuk meningkatkan teknologi introduksi, berupa perbaikan tary), yakni hijauan pada perkebunan
produktivitas sapi potong perlu dilakukan komposisi pakan dan penanggulangan kelapa sawit dapat dikonsumsi ternak
pemuliaan terarah melalui perkawinan, baik penyakit, mampu meningkatkan per- untuk selanjutnya diubah menjadi daging,
secara alami maupun melalui IB, ber- tambahan bobot badan harian (PBBH) sapi sementara pihak perkebunan dapat meng-
gantung pada kondisi setempat. Perka- bali dari 296,90 g menjadi 528 g/ekor/hari. hemat biaya penyiangan gulma sebesar
winan alami untuk menghasilkan pedet Untuk sapi PO, rata-rata PBBH meningkat 25−50% dan produksi buah sawit mening-
(net calf crop) dapat diperbaiki dengan dari 381 g menjadi 697 g/ekor/hari. Pen- kat 16,70%. Integrasi sapi dan kelapa sawit
meningkatkan kualitas pakan induk selama dapatan dari penggemukan sapi bali juga sudah berkembang di beberapa daerah
bunting, menyapih anak sejak dini, meningkat dari Rp291.525 menjadi seperti di Provinsi Bengkulu (Diwyanto
mengoptimalkan rasio ternak jantan dan Rp532.450/ekor/5 bulan, sementara pada et al. 2004), Riau (Suharto 2004), dan
betina, serta pengontrolan penyakit. usaha penggemukan sapi PO, pendapatan Kalimantan Tengah (Utomo dan Widjaja
Untuk memperbaiki kualitas bibit dan meningkat dari Rp346.500 menjadi 2006). Di Kalimantan Selatan dan Kali-
meningkatkan populasi ternak dapat Rp667.375/ekor/5 bulan (Ahmad et al. mantan Timur, integrasi kelapa sawit-sapi
dilakukan IB dengan memasukkan sumber 2004). sedang dirintis untuk dikembangkan
genetik baru, baik dari darah zebu maupun Susilawati et al. (2005) melaporkan (Suryana 2007a).
Eropa dengan pejantan unggul sapi lokal, bahwa penerapan teknologi usaha tani Hasil penelitian menunjukkan bahwa
serta penyebaran ternak ke lokasi-lokasi terpadu di lahan pasang surut dapat me- penerapan pola usaha tani terpadu (crop
baru yang disertai dengan pengontrolan ningkatkan PBBH sapi sebesar 37 kg/ekor/ livestock systems/CLS) di Batumarta,
penyakit. siklus pemeliharaan. Sementara Sulin et al. Sumatera Selatan, selama 3 tahun dapat
Hadi dan Ilham (2002); Kuswaryan et (2006) menyatakan, pemeliharaan sapi meningkatkan pendapatan petani sebesar
al. (2004); Umiyasih et al. (2004) mela- pesisir lokal memberikan pendapatan yang US$1.500/KK/tahun, dengan kepemilikan
porkan bahwa usaha pembibitan sapi lebih baik dibanding usaha sapi pesisir lahan 2 ha tanaman pangan dan 1 ekor
potong secara finansial memberikan ke- yang dilakukan perkawinan dengan IB, sapi (Diwyanto et al. dalam Suwandi 2005),
untungan yang jauh lebih kecil dibanding- dengan pendapatan harian Rp3.851 dan dengan kontribusi hasil ternak terhadap
kan usaha penggemukan. Hasil penelitian Rp1.270 untuk 2 ekor ternak yang dijual, total pendapatan dengan pola CLS sebesar
di beberapa provinsi juga memberikan dengan rata-rata tingkat pengembalian 36%. Pramono et al. (2001) melaporkan
kesimpulan serupa. Benefit Cost Ratio modal untuk sapi lokal 46,21% dan silang- bahwa pola integrasi padi-sapi potong di
(BCR) untuk usaha penggemukan sapi an IB 70,79%. Keuntungan usaha untuk Kabupaten Banyumas, Purworejo, Boyo-
berkisar antara 1,63−1,72, sedangkan tiap periode penggemukan sapi lokal lali, Pati, dan Grobogan memberikan
untuk usaha pembibitan sebesar 1,62 pesisir adalah Rp844.000 dan untuk sapi pendapatan rata-rata Rp2.455.000/ha, dan
(Direktorat Jenderal Peternakan 1995). silangan dengan IB Rp606.250. Pemeliha- pendapatan dari pembibitan sapi dengan
Pola usaha penggemukan sapi potong raan sapi silangan Brahman x Angus x PO pola introduksi mencapai Rp1.830.000/
oleh masyarakat pedesaan sebagian masih dengan pakan jerami fermentasi dan periode (13 bulan).

32 Jurnal Litbang Pertanian, 28(1), 2009


Menurut Kariyasa (2005), model Sistem Agribisnis dan Agribisnis sapi potong diartikan se-
integrasi tanaman-ternak dapat mengatasi Kemitraan Sapi Potong bagai suatu kegiatan usaha yang mena-
masalah ketersediaan pakan. Ternak dapat ngani berbagai aspek siklus produksi
memanfaatkan limbah tanaman seperti Pada periode 2005−2008, Departemen secara seimbang dalam suatu paket
jerami padi, jerami jagung, limbah kacang- Pertanian melaksanakan tiga program kebijakan yang utuh melalui pengelolaan
kacangan, dan limbah pertanian lainnya, utama pembangunan pertanian, yaitu: 1) pengadaan, penyediaan, dan penyaluran
terutama pada musim kemarau. Limbah peningkatan ketahanan pangan, 2) sarana produksi, kegiatan budi daya,
pertanian dapat menyediakan pakan pengembangan agribisnis, dan 3) pening- pengelolaan pemasaran dengan me-
33,30% dari total rumput yang dibutuhkan. katan kesejahteraan petani. Program libatkan semua pemangku kepentingan
Pemanfaatan limbah pertanian, selain pengembangan agribisnis diarahkan (stakeholders), dengan tujuan untuk men-
mampu meningkatkan “ketahanan pakan” untuk memfasilitasi kegiatan yang ber- dapatkan keuntungan yang seimbang dan
terutama pada musim kemarau, juga dapat orientasi agribisnis dan memperluas proporsinal bagi kedua belah pihak (petani
menghemat tenaga kerja untuk menyedia- kegiatan ekonomi produktif petani, serta peternak dan perusahaan swasta) (Djala-
kan pakan (rumput), sehingga memberi meningkatkan efisiensi dan daya saing logawa dan Pambudy dalam Mersyah
peluang bagi petani untuk meningkatkan (Suryana 2007b). Upaya peningkatan daya 2005). Sistem agribisnis sapi potong me-
jumlah ternak yang dipelihara. saing usaha ternak sapi potong rakyat rupakan kegiatan yang mengintegrasikan
Selanjutnya Kariyasa (2005) menyata- secara teknis dapat dilakukan dengan pembangunan sektor pertanian secara
kan, usaha ternak yang dikelola secara meningkatkan produktivitas sehingga simultan dengan pembangunan sektor
terpadu dengan usaha tani padi, yakni produknya dapat dijual pada tingkat harga industri dan jasa yang terkait dalam suatu
dengan memanfaatkan jerami padi sebagai yang cukup murah tanpa mengurangi kluster industri sapi potong. Kegiatan
pakan, hanya membutuhkan biaya tenaga keuntungan peternak (Kuswaryan et al. tersebut mencakup empat subsistem, yaitu
kerja Rp410.000−589.000/ekor. Usaha 2003). Perluasan kegiatan ekonomi yang subsistem agribisnis hulu, subsistem agri-
ternak sapi yang dikelola secara parsial berpeluang untuk dilaksanakan adalah bisnis budi daya, subsistem agribisnis hilir,
(tidak menggunakan jerami padi) mem- mendorong kegiatan usaha tani terpadu dan subsistem jasa penunjang (Saragih
butuhkan biaya tenaga kerja Rp735.000− yang mencakup beberapa komoditas, dalam Suwandi 2005). Menurut Siregar
1.377.000/ekor. Dengan demikian, usaha seperti integrasi tanaman ternak atau dan Ilham (2003), agar pengembangan
ternak dengan memanfaatkan limbah per- tanaman-ternak-ikan. sistem usaha agribisnis tersebut dapat
tanian mampu menghemat biaya tenaga Konsep agribisnis memandang suatu mengakomodasi tujuan untuk meningkat-
kerja 35,44−44,22% atau 5,26−6,38% usaha pertanian termasuk peternakan kan daya saing produk dan sekaligus
terhadap total biaya usaha ternak. Hasil secara menyeluruh (holistik), mulai dari melibatkan peternak skala menengah ke
kajian Adnyana dalam Kariyasa (2005) subsistem penyediaan sarana produksi, bawah, ada tiga alternatif kegiatan yang
menunjukkan bahwa model integrasi produksi, pengolahan hingga pemasaran. dapat dilakukan, yaitu: 1) integrasi vertikal
ternak dan tanaman yang dikembangkan Menurut Syafa’at et al. (2003), konsep yang dikelola secara profesional oleh
petani di Jawa Tengah dan Jawa Timur agribisnis atau strategi pembangunan suatu perusahaan swasta, 2) integrasi
mampu mengurangi penggunaan pupuk sistem agribisnis mempunyai ciri antara vertikal yang dilakukan peternak secara
organik 25−35%, dan meningkatkan lain: 1) berbasis pada pendayagunaan bersama-sama yang tergabung dalam
produktivitas padi 20−29%. Di Nusa keragaman sumber daya yang ada di wadah koperasi atau organisasi lainnya,
Tenggara Barat dan Bali, sistem ini mampu masing-masing daerah (domestic resource dan 3) kombinasi keduanya atau dikenal
meningkatkan pendapatan petani masing- based), 2) akomodatif terhadap kualitas dengan sistem usaha kemitraan.
masing 8,41% dan 41,40%. sumber daya manusia yang beragam dan Kemitraan dimaksudkan sebagai
Syafril dan Ibrahim (2006) menge- tidak terlalu mengandalkan impor dan upaya pengembangan usaha yang di-
mukakan bahwa usaha ternak sapi potong pinjaman luar negeri yang besar, 3) landasi kerja sama antara perusahaan dan
yang dilaksanakan secara terintegrasi berorientasi ekspor selain memanfaatkan peternakan rakyat, dan pada dasarnya
dengan padi memberikan keuntungan pasar domestik, dan 4) bersifat multifungsi, merupakan kerja sama vertikal (vertical
paling tinggi, yakni 84%, sementara pada yaitu mampu memberikan dampak ganda partnership). Kerja sama tersebut me-
usaha tani padi-sayuran-ternak, penda- yang besar dan luas. Pembangunan ngandung pengertian bahwa kedua belah
patan hanya meningkat 10%, padi-ternak- pertanian dan peternakan berdasarkan pihak harus memperoleh keuntungan dan
ikan 2%, padi-sayuran-ternak-ikan 2%, dan konsep agribisnis perlu memperhatikan manfaat (Mudikdjo dan Muladno 1999).
sayuran-ternak (2%). Ternak sapi mem- dua hal penting; pertama, berupaya mem- Menurut Saptana et al. (2006), kemitraan
berikan kontribusi terhadap pendapatan perkuat subsistem dalam satu sistem yang adalah suatu jalinan kerja sama berbagai
sebesar Rp3.188.725, dan pendapatan dari terintegrasi secara vertikal dalam satu pelaku agribisnis, mulai dari kegiatan
usaha nonternak (padi-palawija-sayuran- kesatuan manajemen, dan kedua mencip- praproduksi, produksi hingga pemasaran.
ikan) Rp5.078.414. Menurut Roessali et al. takan perusahaan-perusahaan agribisnis Kemitraan dilandasi oleh azas kesetaraan
(2005), upaya untuk mendorong partisi- yang efisien pada setiap subsistem. Jika kedudukan, saling membutuhkan, dan
pasi petani dapat dilakukan melalui usaha hal ini dapat terwujud maka daya saing saling menguntungkan serta adanya
ternak yang terintegrasi dengan kegiatan produk peternakan (daging, susu, dan persetujuan di antara pihak yang bermitra
pertanian lainnya yang lebih besar dan telur) akan meningkat, terutama dalam untuk saling berbagi biaya, risiko, dan
layak secara ekonomi, yaitu melalui sistem menghadapi pasar global (Siregar dan manfaat (Widyahartono dalam Hermawan
agribisnis. Ilham 2003). et al. 1998). Sebagai contoh adalah usaha

Jurnal Litbang Pertanian, 28(1), 2009 33


kemitraan ayam broiler. Pada kemitraan potong, yaitu: 1) budi daya sapi potong sapi potong. Salah satu pendukungnya
tersebut, perusahaan bertindak sebagai relatif tidak bergantung pada ketersediaan adalah peternak telah sejak lama meme-
inti dan peternak sebagai plasma. Dalam lahan dan tenaga kerja yang berkualitas lihara sapi potong dan mengenal dengan
proses produksi, peternak hanya menye- tinggi, 2) memiliki kelenturan bisnis dan baik teknik beternak secara sederhana
diakan tenaga kerja dan kandang, sedang- teknologi yang luas dan luwes, 3) produk serta ciri masing-masing jenis sapi yang
kan pihak perusahaan menyediakan bibit, sapi potong memiliki nilai elastisitas ter- ada di suatu lokasi (Talib dan Siregar 1991).
pakan, obat-obatan, pelayanan teknik ber- hadap perubahan pendapatan yang tinggi, Agar pengembangan sapi potong ber-
produksi dan kesehatan hewan (Hartono dan 4) dapat membuka lapangan pekerjaan. kelanjutan, Winarso et al. (2005) menge-
2000). Daging sapi merupakan salah satu mukakan beberapa saran sebagai berikut:
Sedikitnya ada lima manfaat pem- sumber protein hewani yang banyak di- 1) perlunya perlindungan dari pemerintah
bangunan pertanian yang berkelanjutan butuhkan konsumen, dan sampai saat ini daerah terhadap wilayah-wilayah kantong
melalui pendekatan sistem usaha agri- Indonesia belum mampu memenuhi ke- ternak, terutama dukungan kebijakan
bisnis dan kemitraan, yaitu: 1) meng- butuhan sehingga sebagian masih harus tentang tata ruang ternak serta pengawas-
optimalkan alokasi sumber daya pada satu diimpor. Kondisi tersebut mengisyaratkan an terhadap alih fungsi lahan pertanian
titik waktu dan lintas generasi, 2) me- suatu peluang untuk pengembangan yang berfungsi sebagai penyangga budi
ningkatkan efisiensi dan produktivitas usaha budi daya ternak, terutama sapi daya ternak, 2) pengembangan teknologi
produk pertanian/peternakan karena potong. pakan terutama pada wilayah padat ternak,
adanya keterpaduan produk berdasarkan Indonesia memiliki tiga pola pengem- antara lain dengan memanfaatkan limbah
tarikan permintaan (demand driven), 3) bangan sapi potong. Pola pertama adalah industri dan perkebunan (Gordeyase et al.
meningkatkan efisiensi masing-masing pengembangan sapi potong yang tidak da- 2006; Utomo dan Widjaja 2006), dan 3)
subsistem agribisnis dan harmonisasi pat dipisahkan dari perkembangan usaha untuk menjaga sumber plasma nutfah sapi
keterkaitan antarsubsistem melalui keter- pertanian, terutama sawah dan ladang. potong, perlu adanya kebijakan impor bibit
paduan antarpelaku, 4) terbangunnya Pola kedua adalah pengembangan sapi atau sapi bakalan agar tidak terjadi pe-
kemitraan usaha agribisnis yang saling tidak terkait dengan pengembangan usaha ngurasan terhadap ternak lokal dalam
memperkuat dan menguntungkan, dan 5) pertanian. Pola ketiga adalah pengem- upaya memenuhi kebutuhan konsumsi
adanya kesinambungan usaha yang bangan usaha penggemukan (fattening) daging dalam negeri. Menurut Bahri et al.
menjamin stabilitas dan kontinuitas sebagai usaha padat modal dan berskala (2004), paling tidak ada tiga pemicu
pendapatan seluruh pelaku agribisnis besar, meskipun kegiatan masih terbatas timbulnya pengurasan populasi sapi lokal
(Saptana dan Ashari 2007). pada pembesaran sapi bakalan menjadi sebagai dampak dari tingginya permintaan
Penerapan konsep kemitraan antara sapi siap potong (Yusdja dan Ilham 2004). daging sapi terutama pada periode 1997−
peternak sebagai mitra dan pihak perusa- Upaya pengembangan sapi potong 1998, serta tingginya impor daging dan
haan perlu dilakukan sebagai upaya telah lama dilakukan oleh pemerintah. jerohan serta sapi bakalan, yaitu: 1)
khusus agar usaha ternak sapi potong, Nasoetion dalam Winarso et al. (2005) produksi dalam negeri tidak dapat meng-
baik sebagai usaha pokok maupun pen- menyatakan bahwa dalam upaya pengem- imbangi peningkatan permintaan, 2) per-
dukung dapat berjalan seimbang. Upaya bangan sapi potong, pemerintah menem- mintaan meningkat, sedangkan produksi
khusus tersebut meliputi antara lain pem- puh dua kebijakan, yaitu ekstensifikasi dalam negeri menurun, dan 3) permintaan
binaan finansial dan teknik serta aspek dan intensifikasi. Pengembangan sapi tetap sedangkan produksi dalam negeri
manajemen. Pembinaan manajemen yang potong secara ekstensifikasi menitik- menurun.
baik, terarah, dan konsisten terhadap beratkan pada peningkatan populasi Hidajati dalam Syamsu et al. (2003)
peternak sapi potong sebagai mitra akan ternak yang didukung oleh pengadaan menyatakan, pengurasan sumber daya
meningkatkan kinerja usaha, yang akhir- dan peningkatan mutu bibit, penang- ternak akan berakibat pada penurunan
nya dapat meningkatkan pendapatan. gulangan penyakit, penyuluhan dan kualitas ternak yang ada di masyarakat,
Oleh karena itu, melalui kemitraan, baik pembinaan usaha, bantuan perkreditan, karena ternak yang berkualitas baik tidak
yang dilakukan secara pasif maupun aktif pengadaan dan peningkatan mutu pakan, tersisakan untuk perbibitan. Kuswaryan
akan menumbuhkan jalinan kerja sama dan dan pemasaran. Menurut Isbandi (2004), et al. (2003) mengemukakan, usaha untuk
membentuk hubungan bisnis yang sehat penyuluhan dan pembinaan terhadap menanggulangi pengurasan sapi bibit
(Safuan dalam Hermawan et at. 1998). petani-peternak dilakukan untuk meng- terbentur pada masalah kepemilikan ternak
ubah cara beternak dari pola tradisional yang hanya berkisar antara 1−3 ekor sapi
menjadi usaha ternak komersial dengan dewasa/KK dengan kemampuan memeli-
PELUANG menerapkan cara-cara zooteknik yang baik. hara 2−4 unit ternak. Kebijakan impor sapi
PENGEMBANGAN Zooteknik tersebut termasuk sapta usaha dan daging sapi dapat menghambat laju
beternak sapi potong, yang meliputi peng- pengurasan sapi di dalam negeri, selain
Sumber daya peternakan, khususnya sapi gunaan bibit unggul, perkandangan yang menciptakan peluang usaha yang meng-
potong merupakan salah satu sumber sehat, penyediaan dan pemberian pakan untungkan bagi importir sapi potong.
daya alam yang dapat diperbaharui yang cukup nutrien, pengendalian ter- Selain itu, upaya pengembangan sapi
(renewable) dan berpotensi untuk dikem- hadap penyakit, pengelolaan reproduksi, potong perlu memperhatikan beberapa hal,
bangkan guna meningkatkan dinamika pengelolaan pascapanen, dan pemasaran antara lain: 1) daging sapi harus dapat di-
ekonomi. Menurut Saragih dalam Mersyah hasil yang baik. konsumsi oleh masyarakat dengan harga
(2005), ada beberapa pertimbangan perlu- Indonesia memiliki peluang dan yang terjangkau, 2) peternakan sapi potong
nya mengembangkan usaha ternak sapi potensi yang besar dalam pengembangan di dalam negeri (peternakan rakyat) secara

34 Jurnal Litbang Pertanian, 28(1), 2009


finansial harus menguntungkan sehingga berikan sumbangan yang berarti bagi industri yang mencakup empat subsistem,
dapat memperbaiki kehidupan peternak kesejahteraan masyarakat peternak yaitu subsistem agrisbisnis hulu, sub-
sekaligus merangsang peningkatan pro- khususnya, dan perekonomian nasional sistem agribisnis budi daya, subsistem
duksi yang berkesinambungan, dan 3) umumnya (Kuswaryan et al. 2004). Hal ini agribisnis hilir, dan subsistem jasa pe-
usaha ternak sapi potong harus memberi- ditunjukkan oleh manfaat ekonomi yang nunjang. Kemitraan merupakan kegiatan
kan kontribusi yang positif terhadap dihasilkan dari kegiatan ini yang bernilai kerja sama antarpelaku agribisnis mulai dari
perekonomian nasional (Kuswaryan et al. positif, yang berarti bahwa pengembang- tingkat praproduksi, produksi hingga
2004). an peternakan sapi potong dalam negeri pemasaran, yang dilandasi azas saling
Persepsi peternak terhadap sistem mampu menghasilkan surplus ekonomi. membutuhkan dan menguntungkan di
usaha agribisnis sapi potong dengan pola antara pihak-pihak yang bekerja sama,
kemitraan sangat baik. Hal ini ditunjukkan dalam hal ini perusahaan dan petani-
dengan makin berkembangnya usaha KESIMPULAN DAN SARAN peternak sapi potong, untuk saling
ternak sapi potong melalui pola kemitraan berbagi biaya, risiko, dan manfaat.
yang dilakukan oleh beberapa peternak Sapi potong merupakan salah satu ternak Untuk meningkatkan peran sapi
atau pengusaha peternakan berskala besar ruminansia yang mempunyai kontribusi potong sebagai sumber pemasok daging
karena pola tersebut secara ekonomis terbesar sebagai penghasil daging. Selama dan pendapatan peternak, disarankan
memberikan keuntungan yang layak ini produksi daging sapi di Indonesia untuk menerapkan sistem pemeliharaan
kepada pihak yang bermitra. Hal ini sesuai belum mampu memenuhi permintaan dalam secara intensif dengan perbaikan mana-
dengan pendapat Roessali et al. (2005), negeri yang cenderung meningkat setiap jemen pakan, peningkatan kualitas bibit
bahwa usaha tani atau usaha ternak sapi tahun. Oleh karena itu, pemerintah me- yang disertai pengontrolan terhadap
potong rakyat umumnya berskala kecil lakukan impor daging sapi dan bakalan penyakit. Perbaikan reproduksi dilakukan
bahkan subsistem. Bila beberapa usaha antara lain dari Australia, Selandia Baru, dengan IB dan penyapihan dini pedet
kecil ini berhimpun menjadi satu usaha dan Amerika Serikat. untuk mempersingkat jarak beranak.
berskala yang lebih besar dan dikelola Peningkatan permintaan terhadap Untuk memperbaiki mutu genetik, sapi
secara komersial dalam suatu sistem daging sapi membuka peluang bagi pe- bakalan betina diupayakan tidak keluar
agribisnis maka usaha tersebut secara ngembangan sapi potong lokal dengan dari daerah pengembangan untuk selan-
ekonomi akan lebih layak dan mengun- skala agribisnis melalui pola kemitraan. jutnya dijadikan induk melalui grading up.
tungkan. Sistem agribisnis sapi potong merupakan Peningkatan minat dan motivasi peternak
Pengembangan usaha ternak sapi kegiatan yang mengintegrasikan pem- sapi potong untuk mengembangkan
potong berorientasi agribisnis dengan bangunan pertanian, industri, dan jasa usahanya dapat diupayakan melalui
pola kemitraan diharapkan dapat mem- secara simultan dalam suatu kluster pemberian insentif dalam berproduksi.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, S.N., D.D. Siswansyah, dan O.K.S. Bamualim, A. 1988. Peran peternakan dalam temen Pertanian bekerja sama dengan
Swastika. 2004. Kajian sistem usaha ternak usaha tani di daerah Nusa Tenggara. Jurnal Pemerintah Provinsi Bengkulu dan PT
sapi potong di Kalimantan Tengah. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian Agricinal.
Pengkajian dan Pengembangan Teknologi VII(3): 69−74.
Pertanian 7(2): 155−170. Ferdiman, B. 2007. Strategi Pengembangan
Batubara, L.P. 2003. Potensi integrasi peternak- Usaha Penggemukan Sapi Potong PT
Anggraini, W. 2003. Analisis Usaha Peternakan an dengan perkebunan kelapa sawit sebagai Kariyana Gita Utama Sukabumi. Skripsi.
Sapi Potong Rakyat Berdasarkan Biaya Pro- simpul agribisnis ruminan. Wartazoa 13(3): Fakultas Peternakan Institut Pertanian
duksi dan Tingkat Pendapatan Peternakan 83−91. Bogor.
Menurut Skala Usaha (Kasus di Kecamatan
Were Kabupaten Bima Nusa Tenggara Barat). Direktorat Jenderal Peternakan. 1995. Identifi- Gordeyase, I.K.M., R. Hartanto, dan W.D.
Skripsi. Fakultas Peternakan Institut Perta- kasi dan Kajian Agribisnis Peternakan di 13 Pratiwi. 2006. Proyeksi daya dukung pakan
nian Bogor. Provinsi di Indonesia. Volume III Buku I, limbah tanaman pangan untuk ternak rumi-
III, dan IV, Nexus Indo Consultama, Jakarta. nansia di Jawa Tengah. J. Indon. Trop. Anim.
Ayuni, N. 2005. Tata Laksana Pemeliharaan dan hlm. 467. Agric. 32(4): 285−292.
Pengembangan Ternak Sapi Potong Berda-
sarkan Sumber Daya Lahan di Kabupaten Direktorat Jenderal Peternakan. 2006. Statistik Hadi, P.U. dan N. Ilham. 2000. Peluang pengem-
Agam, Sumatera Barat. Skripsi. Fakultas Peternakan. Direktorat Jenderal Peternak- bangan usaha pembibitan ternak sapi potong
Peternakan, Institut Pertanian Bogor. an, Jakarta. di Indonesia dalam rangka swasembada
daging. Makalah disampaikan pada Pertemu-
Badan Pusat Statistik. 2005. Statistik Indonesia. Direktorat Jenderal Peternakan. 2007. Statistik an Teknis Penyediaan Bibit Nasional dan
Badan Pusat Statistik, Jakarta. Peternakan. Direktorat Jenderal Peternak- Revitalisasi UPT TA 2000. Jakarta, 11−12
an, Jakarta. Juli 2000. Direktorat Perbibitan, Direktorat
Bahri, S., B. Setiadi, dan I. Inounu. 2004. Arah
Diwyanto, K., D. Sitompul, I. Manti, I.W. Jenderal Bina Produksi Peternakan, Jakarta.
penelitian dan pengembangan peternakan
tahun 2005−2009. hlm. 6−10. Prosiding Mathius, dan Soentoro. 2004. Pengkajian Hadi, P.U. dan N. Ilham. 2002. Problem dan
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan pengembangan usaha sistem integrasi kelapa prospek pengembangan usaha pembibitan
Veteriner, Bogor, 4−5 Agustus 2004. Pusat sawit-sapi. hlm.11−22. Prosiding Lokakarya sapi potong di Indonesia. Jurnal Penelitian
Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Nasional Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi. dan Pengembangan Pertanian 21(4): 148−
Bogor. Bengkulu, 9−10 September 2003. Depar- 157.

Jurnal Litbang Pertanian, 28(1), 2009 35


Hartono, R. 2000. Minimisasi biaya produksi dan penawaran daging sapi di Provinsi Jurnal Penelitian dan Pengembangan Per-
usaha ternak ayam broiler dalam pola kemi- Lampung. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner tanian 26(1): 35−40.
traan. Buletin Peternakan 24(4): 170−175. 3(2): 71−77.
Suryana, A. 2007b. Arah kebijakan Badan Pe-
Hastono. 1998. Peranan ternak sapi di lahan Rianto, E., Nurhidayat, dan A. Purnomoadi. nelitian dan Pengembangan Pertanian dalam
pasang surut. Wartazoa 7(2): 33−39. 2005. Pemanfaatan protein pada sapi pe- pemasyarakatan inovasi teknologi pertani-
ranakan ongole dan sapi peranakan ongole an. hlm. 5−12. Prosiding Seminar Nasional
Hermawan, A.T. Prasetyo, dan C. Setiani. 1998.
x limousine jantan yang mendapat pakan dan Ekspose Percepatan Inovasi Teknologi
Kemitraan usaha: Mampukah menjadi tero-
jerami padi fermentasi dan konsentrat. J. Spesifik Lokasi Mendukung Kemandirian
bosan pemberdayaan usaha kecil. hlm. 205−
lndon. Trop. Anim. Agric. 30(3): 186−191. Masyarakat Kampung di Papua, Jayapura,
214. Prosiding Dinamika Ekonomi Pedesaan
5−6 Juni 2007. Balai Besar Pengkajian dan
dan Peningkatan Daya Saing Sektor Perta- Roessali, W., B.T. Eddy, dan A. Murthado. 2005.
Pengembangan Teknologi Pertanian bekerja
nian. Buku I. Pusat Penelitian dan Pengem- Upaya pengembangan usaha sapi potong
sama dengan Pemerintah Provinsi Papua,
bangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. melalui entinitas agribisnis “corporate farm-
ACIAR-ESEAPCIP.
ing” di Kabupaten Grobogan. Jurnal Sosial
Isbandi. 2004. Pembinaan kelompok petani-
Ekonomi Peternakan 1(1): 25−30. Susilawati, M. Sabran, R. Ramli, D.D. Siswansyah,
ternak dalam usaha ternak sapi potong. J.
Rukayah, dan Koesrini. 2005. Pengkajian
lndon. Trop. Anim. Agric. 29(2): 106−114. Rosida, I. 2006. Analisis Potensi Sumber Daya
sistem usaha tani terpadu padi-kedelai,
Peternakan Kabupaten Tasikmalaya sebagai
Kariyasa, K. 2005. Sistem integrasi tanaman- sayuran-ternak di lahan pasang surut. Jurnal
Wilayah Pengembangan Sapi Potong. Skrip-
ternak dalam perspektif reorientasi kebijak- Pengkajian dan Pengembangan Teknologi
si. Fakultas Peternakan Institut Pertanian
an subsidi pupuk dan peningkatan penda- Pertanian 8(2): 176−191.
Bogor.
patan petani. Jurnal Analisis Kebijakan
Santi, W.P. 2008. Respons Penggemukan Sapi Suwandi. 2005. Keberlanjutan Usaha Tani pada
Pertanian 3(1): 68−80.
PO dan Persilangannya sebagai Hasil IB Padi Sawah-Sapi Potong Terpadu di Kabu-
Koran Tempo. 2008. Indonesia belum siap impor paten Sragen. Pendekatan RAP-CLS. Diser-
terhadap Pcmberian Jerami Padi Fermentasi
sapi Brazil. Edisi Senin, 13 Oktober 2008. tasi. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian
dan Konsentrat di Kabupaten Blora. Skripsi.
Jakarta. Bogor.
Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bo-
Kuswaryan, S., A. Firman, C. Firmansyah, dan S. gor. Syadzali, M.J. 2007. Efektivitas Penyuluhan
Rahayu. 2003. Nilai tambah finansial adopsi Ternak Sapi Potong di Kabupaten Jeneponto
Saptana, Sunarsih, dan K.S. Indraningsih. 2006.
teknologi inseminasi buatan pada usaha Sulawesi Selatan (Studi kasus Kecamatan
Mewujudkan keunggulan komparatif menjadi
ternak pembibitan sapi potong rakyat. Jurnal Kelara). Skripsi. Fakultas Peternakan, Ins-
keunggulan kompetitif melalui pengembang-
Ilmu Ternak 3(1): 11−17. titut Pertanian Bogor.
an kemitraan usaha hortikultura. Forum
Kuswaryan, S., S. Rahayu, C. Firmansyah, dan A. Penelitian Agro-Ekonomi 24(1): 61−76. Syafa’at, N., P. Simatupang, S. Mardianto, dan
Firman. 2004. Manfaat ekonomi dan peng- T. Pranaji. 2003. Konsep pengembangan
Saptana dan Ashari. 2007. Pembangunan pertani-
hematan devisa impor dari pengembangan wilayah berbasis agribisnis dalam rangka
an berkelanjutan melalui kemitraan usaha.
peternakan sapi potong lokal. Jurnal Ilmu pemberdayaan petani. Forum Penelitian
Jurnal Penelitian dan Pengembangan Per-
Ternak 4(1): 41−46. Agro-Ekonomi 21(1): 26−43.
tanian 26(4): 126−130.
Maryono, E. Romjali, D.B. Wijono, dan Hartatik. Syafril dan I. Ibrahim. 2006. Kontribusi penda-
Setiyono, P.B.W.H.E., Suryahadi, T. Torahmat,
2006. Paket rakitan teknologi hasil-hasil pe- patan usaha tani ternak sapi terhadap penda-
dan R. Syarief. 2007. Strategi suplementasi
nelitian peternakan untuk mendukung upaya patan usaha tani di Kota Padang. Jurnal Ilmu-
protein ransum sapi potong berbasis jerami
Kalimantan Selatan mencapai swasembada llmu Peternakan IX(2): 130−137.
dan dedak padi. Jurnal Ilmu Pengetahuan dan
sapi potong. Makalah disampaikan pada
Teknologi Peternakan 30(3): 207−217. Syamsu, A.J., L.A. Sofyan, K. Mudikdjo, dan G.
Diseminasi Teknologi Peternakan, Banjar-
baru, 17 Juli 2006. Dinas Peternakan Siregar, M. dan N. Ilham. 2003. Upaya pening- Said. 2003. Daya dukung limbah pertanian
Provinsi Kalimantan Selatan bekerja sama katan efisiensi usaha ternak ditinjau dari sebagai sumber pakan ternak ruminansia di
dengan Loka Penelitian Sapi Potong, Grati. aspek agribisnis yang berdaya saing. Forum Indonesia. Wartazoa 13(1): 30−37.
hlm. 15. Penelitian Agro-Ekonomi 21(1): 44−56. Talib, C. 2001. Pengembangan sistem perbibitan
Mersyah, R. 2005. Desain sistem budi daya sapi Sugeng, Y.B. 2006. Sapi Potong. Penebar Swa- sapi potong nasional. Wartazoa 11(1): 10−
potong berkelanjutan untuk mendukung pe- daya, Jakarta. 19.
laksanaan otonomi daerah di Kabupaten Talib, C. dan A.R. Siregar. 1991. Peranan pemu-
Suharto. 2004. Pengalaman pengembangan usaha
Bengkulu Selatan. Disertasi, Sekolah Pasca- liaan ternak potong di Indonesia. Wartazoa
sistem integrasi sapi-kelapa sawit di Riau.
sarjana, Institut Pertanian Bogor. 2(1−2): 15−19.
hlm. 57−63 Prosiding Lokakarya Nasional
Mudikdjo, K. dan Muladno. 1999. Pembangunan Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi, Beng- Umiyasih, U., Gunawan, D.E. Wahyono, Y.N.
industri sapi potong pada era pascakrisis. kulu, 9−10 September 2003. Departemen Anggraini, dan I.W. Mathius. 2004. Peng-
hlm. 17−26. Prosiding Seminar Nasional Pertanian bekerja sama dengan Pemerintah gunaan bahan pakan lokal sebagai upaya
Peternakan dan Veteriner, Bogor, 1−2 De- Provinsi Bengkulu dan PT Agricinal. efisiensi pada usaha perbibitan sapi potong
sember 1998. Pusat Penelitian dan Pengem- komersial: Studi kasus di CV Bukit Indah
Sulin, I., Saladin, Suardi, Z. Udin, dan K. Mudikdjo.
bangan Peternakan, Bogor. Lumajang. hlm. 86−90. Prosiding Seminar
2006. Kontribusi pendapatan usaha peter-
Nurfitri, E. 2008. Sistem Pemeliharaan dan nakan rakyat sapi lokal pesisir dan sapi silang Nasional Teknologi Peternakan dan Vete-
Produktivitas Sapi Potong pada Berbagai pesisir lB. Jurnal Ilmu-llmu Peternakan riner, Bogor, 4−5 Agustus 2004. Pusat
Kelas Kelompok Peternak di Kabupaten IX(2): 138−148. Penelitian dan Pengembangan Peternakan,
Ciamis. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Bogor.
Sumadi, W. Hardjosubroto, dan N. Ngadiyono.
Pertanian Bogor. Utomo, B.N. dan E. Widjaja. 2004. Limbah padat
2004. Analisis potensi sapi potong di Daerah
Pramono, D., U. Nuschati, B. Utomo, dan J. Istimewa Yogyakarta. hlm. 130−139. Pro- pengolahan sawit sebagai sumber nutrisi
Susilo. 2001. Pengkajian terintegrasi sapi siding Seminar Nasional Teknologi Peter- ternak ruminansia. Jurnal Penelitian dan
potong pembibitan dan tanaman dalam sis- nakan dan Veteriner, Bogor, 4−5 Agustus Pengembangan Pertanian 23(1): 21−28.
tem usaha tani terpadu. Balai Pengkajian 2004. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Utomo, B.N. dan E. Widjaja. 2006. Pengkajian
Teknologi Pertanian Jawa Tengah, Ungaran. Peternakan, Bogor.
integrasi sapi potong dengan perkebunan
Priyanti, A., T.D. Soedjana, R. Matondang, dan Suryana. 2007a. Pengembangan integrasi ternak kelapa sawit dengan pola breeding di Kali-
P. Sitepu. 1998. Estimasi sistem permintaan ruminansia pada perkebunan kelapa sawit. mantan Tengah. Laporan Akhir Hasil Peng-

36 Jurnal Litbang Pertanian, 28(1), 2009


kajian. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian ternakan dan Veteriner, Bogor, 4−5 Agustus Yusdja, Y., N. Ilham, dan W.K. Sejati. 2003. Profil
Kalimantan Tengah, Palangkaraya. 2004. Pusat Penelitian dan Pengembangan dan permasalahan peternakan. Forum Pe-
Peternakan, Bogor. nelitian Agro-Ekonomi 21(1): 45−56.
Wijono, D.B., Maryono, dan P.W. Prihandini.
2004. Pengaruh stratifikasi fenotipe ter- Winarso, B., R. Sajuti, dan C. Muslim. 2005. Yusdja, Y. dan N. Ilham. 2004. Tinjauan kebijakan
hadap laju pertumbuhan sapi potong pada Tinjauan ekonomi ternak sapi potong di pengembangan agribisnis sapi potong. Jurnal
kondisi foundation stock. hlm. 16−20. Jawa Timur. Forum Penelitian Agro-Ekonomi Analisis Kebijakan Pertanian 2(2): 167−182.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pe- 23(1): 61−71.

Jurnal Litbang Pertanian, 28(1), 2009 37

Anda mungkin juga menyukai