Anda di halaman 1dari 9

Dasar-dasar Perencanaan Bahasa

Oleh Masnur Muslich

Latar Belakang Perencanaan Bahasa


Mengapa perencanaan bahasa diperlukan oleh masyarakat pemakainya? Berkaitan deng
an itu, Charles A. Ferguson (1977) dalam bukunya Language Planning Processes mem
berikan ilustrasi baik yang menyangkut karakteristik bahasa, pemakai bahasa, dan
“sejarah pemaksaan” pemakaian bahasa oleh penguasa, yang pada garis besarnya sebaga
i berikut.
a. Bahasa itu dinamis sehingga menyebabkan bahasa itu hidup, berubah, dan b
erkembang. Bahasa itu aktif dan terus berkembang seiring dengan perkembangan keh
idupan maysrakat pemakai bahasa tersebut.
b. Banyak pemakai bahasa yang sedikit banyak telah mempunyai pengetahuan te
ntang linguistik. Mereka dapat menilai dan menentukan apakah bahasa itu betul at
au salah dalam penggunaannya. Mereka dapat memperkirakan apakah bahas itu baik,
tidak baik, enak didengar, atau janggal ketika dipakai. Ada juga sebagian pemaka
i bahasa yang dapat membedakan apakah bahasa itu baku (standar), tidak baku, dia
lek, kreol, slang, dan variasi lainnya. Padaprinsipnya pemakai bahasa (penutur,
penulis, pendengar, pembaca) dapat menilai apakah bahasa itu benar atau salah be
rdasarkan ilmu bahasa yang diketahuinya.
c. Penjajah dapat juga menyebabkan penggunaan bahasa pada masyarakat terten
tu berubah. Perubahan semacam ini banyak berlaku di Asia, Afrika, dan Amerika La
tin. Penjajah memaksakan penggunaan bahasanya terhadap penduduk atau negara yang
dijajahnya. Banyak negara di Afrika jajahan Perancis menggunakan bahasa Peranci
s sebagai bahasa resmi, meskipun negara tersebut telah merdeka.
Sampai abad ke-16, terdapat tiga bahasa yang digunakan di Inggris, yaitu bahasa
Inggris, bahasa Perancis, dan bahasa Latin. Bahasa Inggris digunakan di rumah da
n komunikasi umum, bahasa Perancis digunakan di parlemen dan pemerintahan, dan b
ahasa Latin digunakan di gereja. Setelah itu, terjadi perubahan besar di Inggris
(Jones, 1993). Pemerintah pada saat itu menetapkan strategi yang amat fondament
al, yaitu bahasa Inggris harus digunakan di semua bidang dan ranah pemakaian, te
rmasuk di parlemen dan gereja. Dalam waktu relatif singkat, pemakaian bahasa Per
ancis dan bahasa Latin tersisih. Sebab, bahasa Perancis yang biasa dipakai di pa
rlemen beralih ke bahasa Inggris, begitu, bahasa Latin yang biasa dipakai di ger
aja beralih ke bahasa Inggris. Bahkan, rakyat Wales, Irlandia, dan Skotlandia y
ang biasanya menggunakan bahasa mereka sendiri, setelah keputusan pemerintah Ing
gris tersebut, ikut beralih ke bahasa Inggris. Pengorbanan dan kerelaan rakyat j
ajahan Inggris ini membantu kelancaran pembinaan dan pengembangan bahasa Inggris
. Pada abad ke-18 dab 19 bahasa Inggris terus berkembang ke negara-negara jajaha
n Inggris. Hingga kini bahasa Inggris menjadi salah satu bahasa dunia dan dipaka
i dalam komunikai internasional.
Aspek-aspek Perencanaan Bahasa
Ferguson (1966) dan Steward (1968) menyatakan bahwa ciri-ciri bahasa yang memuda
hkan masyarakat awam menerima perencanaan bahasa adalah sebagai berikut.
a. Bahasa itu adalah bahasa pribumi (penduduk asli) atau bahasa ibu negara
itu.
b. Bahasa itu pernah menjadi lingua franca dalam negara itu dan antarnegara
tetangga.
c. Bahasa itu berpotensi (kreatif dan fleksibel) untuk perkembangan pendidi
kan, agama, sastra, iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi), dan media massa.
d. Bahasa itu mempunyai budaya yang mantap dan agung.
e. Sejarah bahasa itu mantap dan sahih.
f. Bahasa itu mempunyai banyak bahan dokumentasi untuk dikaji.
g. Bahasa itu mempunyai pakar tradisional dan modern.
h. Bahasa itu mempunyai kebijakan (polecy) perencanaan yang dilakukan oleh
individu atau kelompok yang cinta bahasanya.
i. Bahasa itu dihormati oleh pemakainya dan masyarakat pemakai kelompok lai
n.
j. Bahasa itu mempunyai ciri kebangsaan atau nasional.
k. Bahasa itu mempunyai daya tarik yang memudahkan pemakainya taat dan seti
a kepadanya.
l. Bahasa itu mudah memupuk persatuan bangsa dan negara.
Ferdinand de Saussure (1922) seorang tokoh bahasa Perancis berpendapat bahwa per
encanaan bahasa perlu dilakukan secara berangsur-angsur dan berkesinambungan kar
ena hal-hal berikut.
a. Budaya suatu masyarakat senantiasa berubah yang mengkibatkan bahasanya p
un berkembang dan berubah.
b. Bahasa perlu dirancang untuk menyediakan ruang daya cipta dan kreativita
s individu.
c. Perencanaan bahasa dapat membantu corak kepemimpinan suatu bangsa.
d. Pemerintah yang melaksanakan perencanaan bahasa berarti memelihara jiwa
bangsanya.
e. Perkembangan bahasa yang terencana dapat dijadikan bahasa nasional dan b
ahasa resmi.
f. Perencanaan bahasa dapat menepis pengaruh negatif terhadap bahasa terseb
ut.
g. Bahasa yang terencana (perkembangannya) dapat dijadikan alat propaganda
bangsa dan negara.
h. Bahasa yang trrencana (perkembangannya) dapat memupuk sentimen atau ideo
logi bangsa tersebut.
i. Bahasa yang terrencana (perkembangannya) dapat menampung konsep atau ide
baru yang muncul sejalan dengan perkembangan bahasa tersebut.
Realitas Perencanaan Bahasa
Sejar mencatat bahwa perubahan dan perpindahan bahasa antara lain bisa disebabka
n oleh penjajahan. Sebagai akibat penjajahan Spanyol dan Portugis, bahasa Latin
digunakan secarameluas di Amerika Latin. Hampir seluruh negara bekas jajahan Ing
gris, kini menggunakan bahasa Inggris. Bahkan, India dan Singapura sampai sekara
ng menggunakan bahasa Inggris sebagai salah satu bahasa resminya. Semua negara j
ajahan Uni Soniet atau Rusia pernah dipaksa menggunakan bahasa Rusia selama hamp
ir 50 tahun, walaupun setelah Uni Soviet runtuh, bekas jajahannya saat ini tidak
lagi menggunakan bahasa Rusia sebagai bahasa resminya.
Apabila diteliti lebih jauh, perubahan dan perpindahan bahasa disebabkan oleh be
barapa faktor. Selain disebabkan oleh penjajahan, faktor lainnya adalah: perpind
ahan pendjduk dari negara satu ke negara lain, perdagangan (yang menyebabkan pen
duduk berinteraksi dengan pedagang/pendatang), transfer ilmu pengetahuan dan tek
nologi (iptek), pertemuan dua budaya atau lebih sehingga saling mempengaruhi (ba
ik secar difusi maupun asimilasi) di kawasan soglos. Oleh karena bahasa itu beru
bah, berkembang, bahkan bertukar – sebagai akibat faktor tersebut –, perencanaan dan
pembinaan bahasa perlu dilakukan. Perubahan dan perkembangan bahasa yang direnc
anakan, dikendalikan (diarahkan), dan dilaksanakan secara terstruktur dan tersis
temlah yang akan mencapai sasaran sesuai dengan yang diharapkan. Pemerintah dan
pakar bahasa setempatlah yang sangat menentukan keberhasilan perencanaan dan pem
binaan bahasa ini.
Norwegia merupakan salah satu contoh perencanaan bahasa yang dilakukan dengan ba
ik, yang dipelopori oleh Einer Haugen (1966). Terkait dengan perencanaan bahasa
ini (Fishman, 1966) International Research Project on Language Planning telah me
ngadakan kongres yang bertopik “Language Problems of Developing Nation” yang dispons
ori oleh Social Science Research Council Comittee on Sociolinguistics di Virgini
a, Amerika Serikat. Lima negara telah mengirimkan delegasinya ke kongres tersebu
t. Pada tahun 1968 dan 1968 kongres yang sama dilaksanaka di Honolulu, Hawaii at
as sponsor Ford Foundation. Lebih lanjut Fishman (1977) mengatakan bahwa perenca
naan bahasa akan berhasil apabila didukung oleh semua pihak, khususnya: pemerint
ah atau meneteri terkait, pendidik, ahli bahasa, hakim, kalangan swasta, dan rak
yat sendiri.
Dalam bukunya Advance ini Language Planning, Fishman (1977) menekankan bahwa per
encanaan bahasa dapat dikelomokkan menjadi dua bagian, yaitu perencanaan status
dan perencanaan korpus. Perencanaan status adalah pemberian kedudukan yang jelas
kepada suatu bahasa, yaitu sebagai bahasa resmi, bahasa negara, atau bahasa nas
ional. Tindakan ini menyangkut bagaimana peran pemerintah, bagaimana payung huk
umnya, bagaimana pelaksanaan teknisnya yang terkait dengan penguasaan dasar pema
kaian, penyebaran pemakaian, pemupukan sikap pemakai, dan deskripsi bahasa terse
but. Perencanaan korpus adalah usaha kodifikasi bahasa dalam rangka penyempurnaa
n bahasa tersebut sehingga bisa dipakai secara mantap baik secara lisan maupun t
ulis. Aspek-aspek yang dirancang adalah abjad, ejaan, lisan, tulis, kosakata, is
tilah, kamus, buku teks, laras, sastra, dan bahan pengajaran bahasa di lembaga-l
embaga pendidikan. Kedua kelompok perencanaan bahasa bisa berjalan apabila diduk
ung oleh sarana dan prasarana yang memadai (termasuk anggaran) dari pemerintah.
Negara-negara yang telah mengikuti pola perencanaan bahasa tersebut adalah India
, Pakistan, Israel, Finlandia, Papua New Guinia, dan Indonesia.
Ferguson (1968) menggariskan bahwa perencanaan bahasa perlu melalui tahapan beri
kut:
- pengabjadan (graphization),
- pembakuan (standardization), dan
- pemodernan (modernization).
Perencanaan bahasa juga perlu diikuti dengan pembinaan dan pengembangan bahasa a
gar pemakaian bahasa bisa diterapkan secara maksimal: sempurna.
Terkait dengan perencanaan bahasa tersebut, pendapat para ahli perencanaan bahas
a berikut perlu diperhatikan.
a. E. Haugen (1966) mengatakan bahwa perencanaan bahasa memerlukan perwujud
an satu kebijakan bahasa; kodifikasi bahasa untuk pemakaian umum, modern, dan te
knik; perkembangan dan pelaksanaannya.
b. Sjoberg (1966) mengatakan bahwa ketika merencanakan suatu bahasa harus m
engakomodasi pendapat dan pendangan masyarakat pemakai bahasa tersebut sebab mer
ekalah pendukung utama pelaksanaannya nanti. Dengan cara ini, perencanaan bahasa
bersifat demokratis, menyeluruh, dan memudahkan pemupukan rasa setia dan rasa t
aat asas terhadap bahasa.
c. Neustupuy (1970) menambahkan bahwa perencanaan bahasa juga harus memperh
atikan stilistika sebab stilistika menyediakan kesempatan bagi perkembangan sast
ra.
d. Rubin (1971) mengatakan bahwa setiap tahap perencanaan bahasa perlu ada
proses penilaian agar dapat diketahui kadarkeberhasilannya. Lewat penilaian ini
pun akan diketahui bagimana kondisi dan tingkat perkembangan bahasa tersebut.
e. Jernudd dan Das Gupta (1971) berpendapat bahwa pemerintah yang berkuasa
dapat menjadi penggerak dan kunci keberhasilan perencanaan bahasa. Oleh karena i
tu, perhatian dan keterlibatan pemerintah sangat diperlukan agar setiap tingkat
perencanaan berjalan dengan baik sehingga mempercepat terwujudnya sosok bahasa y
ang ditargetkan.
f. V. Tauli (1973) mengatakan bahwa perencanaan bahasa mustahil bisa berjal
an apabila tidak didukung oleh biaya yang memadai. Oleh karena itu, komitmen pem
egang sumber dana – dalam hal ini pemerintah – untuk mengalokasikan biaya perencanaa
n bahasa secara berkala sangat diperlukan.
g. Fishman (1973) menyarankan agar perencanaan bahas diselaraskan dengan pe
rencanaan bidang-bidang lain agar padu dan/atau bersinergi dengan perencanaan in
duk negara. Dengan cara demikian, kepaduan dan integritas nasional bisa terpupuk
dengan baik.
Ilustrasi berikut juga dapat dipakai sebagai pertimbangan bahwa perencanaan baha
sa memang diperlukan oleh masyarakat pemakainya. Wilhelm von Humboldt (1907) sua
tu ketika pernah berkata bahwa bahasa merupakan alat komunikasi yang mudah dipak
ai masyarakat ketika berurusan dengan kehidupan sehari-harinya. Padazaman dahulu
, banyak kata-kata yang mempunyai kaitan dengan alat sekitar dan budaya atau keb
iasaan sehari-hari masyarakat pemakainya sehingga lahir istilah “bahasa adalah jiw
a masyarakat”. Hal ini bisa dimaklumi karena dengan mengkaji bahasa kita dapat mem
ahami sedikit atau banyak budaya masyarakat pemakai bahasa tersebut.
Joyce O. Hertzler (1965) mengatakan bahwa bahasa dapat memancarkan identitas ras
a, penunjuk pangkat, derajat, keturunan, hubungan kekeluargaan, cara pemikiran,
weltanshauung, aktivitas harian, kreativitas, ilmu, teknologi, cara dan gaya hid
up, adat dan budaya suatu bangsa. Bahkan, sebagian bangsa ada yang membedakan pe
makaian bahasa untuk golongan atau kelompok laki=laki dan perempuan. Sementara i
tu, V. Tauli (1974) dalam bukunya The Theory of Language Planning menyatakan bah
wa banyak individu yang dapat menilai bahasa yang dipakainya. DIa mengetahui apa
kah bahasa yang dipakainya betul atau tidak, sopan atau tidak. Malah, katanya la
gi, individu bebas memilih laras (register) apa yang digunakan, remi atau tidak,
ilmiah atau tidak, biasa atau tidak, akrab atau tidak, formal atau tidak, baku
atau tidak, halus atau tidak; bahkan ia suka-suka memilih dialek,kreol, slang, b
ahasa tulis atau lisan. Jelaslah di sini bahwa individu memunyai kebebasan yang
luas untuk memilih penggunaan bahasanya. Dijumpai juga individu yang setia mengg
unakan bahasa aslinya,mengubah,menukar, atau memindahkan bahasanya. Hal ini amat
bergantung pada penguasaan bahasa. Dia seorang eka bahasa, dwi bahasa, atau mu
lti bahasa. Namun, katanya lebih lanjut, sekirany manusia itu tidak sempurna,bah
asanya pun tidak sempurna. Hal inilah yang menyebabkan diperlukan perencanaan ba
hasa agar bahasa bisa mengemban fungsinya secara maksimal. Terkaikt dengan penil
aian bahasa ini, Otto Jespersen (1921) setuju bahwa sebelum perencanaan bahasa d
ilakukan perlu diadakan penilaian terhadap bahasa tersebut. Hal ini untuk menget
ahui sejauh mana taraf perkembangannya. Penilaian ini terus dilakukan secara per
iodik seiring dengan pembangunan ilmu dan teknologi suatu bangsa pemakai bahasa
tersebut.
Banyak ahli bahasa yang berminat terhadap perencanaan bahasa. Mereka menyumbangk
an pemikirannya dalam perencanaan bahasa bagi negaranya. Tokoh-tokoh yang dimaks
ud tercatat sebagai berikut.
a. Chatterji (1943), Brown (1953), dan Das Gupta (1970) untuk India.
b. Jones (1949) untuk Jepang.
c. De Francis (1950) untuk Cina.
d. Zaki (1953) untuk Mesir.
e. Heyd (1954) dan Gallagher (1971) untuk Turki.
f. Morag (1959), Blanc (1968), dan Rubin (197..) untuk Israel.
g. S.T Alisjahbana (1960) untuk Indonesia.
h. E. Haugen (1966) untuk Norwegia.
i. Ramos, Sibayan, dan Aquilar (1967) untuk Filipina.
j. Whiteley (1969) untuk Kenya dan Tanzania.
k. Macnamara (1971) untuk Irlandia.
Terkait dengan perencanaan bahasa ini, Ferguson (1966) DAN Ohamnesian (1971) mem
perkenalkan satu bagan ringkas untukmembantu perencanaan bahasa, Topik besar yan
g diperkenalkan adalah perencanaan, pelaksanaan, komunitas bahasa, dan penilaian
.

Setelah bahasa direncanakan, pelaksanaannya diserahkan kepada masyarakat, yaitu


komunitas bahasa yang akan menggunakan bahasa, dan menguji segmen atau bagian ya
ng direncanakan. Kemampuan komunitas menggunakan bahasa yang direncanakan akan m
enjadi balikan bagi perencana untuk dianalisis. Perencana akan menilai apakah se
gmen yang direncanakan sudah tercapai atau belum. Kalau belum, masalah apa yang
dihadapi oleh komunitas bahasa, dan bagaimana upaya pemecahannya. Perencanaan be
rikutnya diarahkan pada segmen-semen yang belum tercapai, sehingga lambat laun p
erencanaan bahasa akan berhasil sesuai dengan target.
Johannes Aarik (1924) berpendapat bahwa pada tingkat pelaksanaan harus juga diga
lakkan kreativitas secara bebas agar banyak karya atau tulisan yang dihasilkan k
omunitas bahasa. Karya-karya yang baik dapat dipakai sebagai acuan komunitas bah
asa (terutama pemakai utama bahasa) tersebut. Strategi ini dapat dipakai juga un
tuk mempercepat proses perencanaan bahasa dalam bidang korpus. Dalam pelaksanaan
nya tentu timbul berbagai masalah bahasa, terutama ketika diadakan penialaian. S
ehubungan dengan ini, S.T. Alisjahbana (1964) dan Rubin dan Jernudd (1971) menya
rankan agar dibentuk kelompok perencana (ahli bahasa setempat) yang bertugas men
yelesaikan atau memecahkan masalah-masalah bahasa tersebut. Dengan caraini, pros
es perencanaan bahasa akan lancar dan terkendali. Dalam rangka penyelesaian masa
lah-masalah bahasaini perlu juga dipertimbgangkan faktor sosial, ekonomi, politi
k, demografi, dan psikologi masyarakat pemakainya.
P.A. Garvin dan Mathiod (1974) memberikan contoh keberhasilan perencanaan bahasa
dalam bidang status karena direncanakan secara sistematis, terkendali, dan tero
rganisasi. Negera-negara yang berhasil adalah:
a. Bahasa Inggris dan Perancis di Kanada dan Kamerun.
b. Bahasa Perancis dan bahasa Flemish (?) di Belgia.
c. Bahasa Perancia, Italia, Jerman, dan Romanish (?) di Switzerland (?).
d. BahasaMelayu, Mandarin., Tamil, dan Inggris di Singapura.
Masing-masng bahasa di negara tersebut mempunyai status tersendiri sehingga tida
k terjadi tumpang tindih dalam ranah pemakaiannya.
Pada sisi lain, banyak juga negara yang merencanakan bahasa resmi dengan berhasi
l. Hal ini terjadi karena pemerintah (atau pemerintah) sadar bahwa bahasa dapat
dijadikan alat untuk komunikasi resmi kenegaraan, sehingga kinerja pemerintahan
dapat berjalan dengan baik. Negara-negara yang berhasil menentukan atau memilih
bahasa fresmi negara adalah:
a. Perancis memilih bahasa Perancis,
b. Inggris, Amerika, Singapura, India, Papua New Guinea, Filipina, dan Kana
da memilih bahasa Inggris,
c. Indonesia memilih bahasa Indonesia.
d. Malaysia memilih bahasa Melayu,
e. Israel memilih bahasa Hebew (?), dan
f. Peru memilih bahasa Quechue (?).
Weinstein (1980) yakin bahwa perencanaan bahasa suatu negara akan berhasil denga
n baik apabila inisiatif tersebut berawal dari pemerinah yang bersangkutan. Seba
b, pemerintah mempunyai kemampuan memasukkan perencanaan bahasa tersebut dalam p
erencanaan pembangunan negara. Pemerintah mampu menyediakan biaya tinggi untuk m
emulai pelaksanaan perencanaan bahasa ini. Sejajar dengan pembangunan yang lain,
perencanaan bahasa ini dapat memupuk persatuan dan integrasi nasional. Bahkan,
dalam jangka panjang, perencanaan bahasa ini dapat membantu pembangunan budaya,
bangsa, dan negara. Lebih jauh Jyotirindra Das Gupta, Joshua Fishman, Bjorn Jern
udd, dan Joan Rubin (1968-1969) sependapat bahwa perencanaan bahasa memerlukan l
embaga khusus (semacam Pusat Bhasa di Indonesia) yang bertugas menangani atau me
nyelesaikan masalah-masalah bahasa yang timbul ketika pelaksanaan. Di samping it
u, lembaga ini juga berfungsi untuk mengendalikan dan memonitor perkembangan per
encanaan. Sebab, bagaimana pun, perkembangan yang terkendali tentu lebih baik da
ripada yang tidak terkendali atau perkembangan yang liar. Terkait dengan perkemb
angan bahasa ini, Gabarrubias (1983) mengingatkan perencana bahasa bahwa ada bah
asa yang telah mati karena dibiarkan dan tidak dipakai lagi oleh komunitasnya. F
aktor utama penyebabnya adalah bahasa itu tidak memunyai perencana yang handal d
an masyarakat bahasanya tidak mencintai bahasa ibu mereka sendiri. Misalnya, bah
asa Basque di Spanyol. Oleh karena itu, agar bahasa tidak menjadi simpanan di mu
seum, bahasa perlu direncanakan, dibina, dan dimodernkan agar budaya, bangsa, da
n negara yang mendukung bahasa itu terus hidup dan dinamis.
Pada 7 – 10 April 1969, sepuluh orang ahli bahasa terkenal dunia berkumpul di Hono
lulu Hawaii untuk membicarakan topik-topik yang terkait dengan perencanaan bahas
a. Antara lain tokoh-tokoh itu adalah S.T. Alisjahbana dari Indonesia, Ferguson
dan Gallagher dari Turki, Hai dan Haugen dari Norwegia, Sibayan dan Rubin dari F
ilipina, Kelman dan Macnamara dari Irlandia. Pertemuan ini bertujuan untuk membi
carakan dasar-dasar perencanaan bahasa, yang akhirnya menghasilkan satu garis be
sar (semacam blue-print) perencanaan bahasa. Garis besar itu dapat dipakai oleh
perencana bahasa sebagai panduan umum. Setiap segmen diteliti, dikaji, dan didis
kusikan, yang akhirnya dikerangkakan untuk panduan perencana bahasa, terutama di
negara-negara yang sedang membangun. Yang ikut terlibat dalam pembicaraan itu a
dalah tokoh-tokoh dari disiplin lain, yaitu tokoh di bidang antropologi, sosiolo
gi, ilmu pilitik, ekonomi, budayawan, dan psikologi. Mereka diminta pendapat dan
pendangan agar kerangka acuan perencanaan bahasa ini bisa menyeluruh dan sinerg
is dengan disiplin lain. Negara yang terlibat dalam penyusunan kerangka panduan
ini adalah Indonesia, Filipina, Pakistan, Irlandia, Kenya, Tanzania, Turki, dan
Israel. Pada September 1969 terjadi kegiatan yang sama yang dilakukan oleh lain
negara atas sponsor Ford Foundation. Tokoh yang terlibat dalam kegiatan ini adal
ah Ferguson (1969) dan Fishman (1969).
J. Rubin dan B. H. Jernudd (1971) dalam tulisan mereka yang berjudul “Language Pla
nning as an Element in Modernization” menyarankan agar faktor-faktor berikut ini d
imasukkan dalam perencaraan bahasa.
a. Memperkaya dan mengembangkan bahasa nasional lebih intensif.
b. Menggalakkan penulis dan calon penulis untuk menulis buku-buku dalam bah
asa nasional.
c. Menggalakkan penulisan karya sastra dalam bahasa nasional.
d. Mencetak dan menerbitkan bahan-bahan bahasa dan sastra dalam bahasa nasi
onal.
e. Membantu penerbitan jurnal, buku,majalah, makalah, dan rencana bahasa da
n sastra dalam bahasa nasional.
f. Merencanakan dan membukukan sisem ejaan, sistem ucapan, tatabahasa, isti
lah, kamus, ensiklopedia, dan bahan pengajaran bahasa dalam bahasa nasional.
g. Menyusun dan mencetak semua jenis kamus dan ensiklopedia dalam bahasa na
sional.
h. Menyelesaikan semua masalah yang terkait dengan bahasa sekiranya timbul
dalam proses kontinum dalam pelaksanaan bahasa basional.
i. Mewujudkan satu institusi khusus yang tugas utamanya menjalankan pelaksa
naan bahasa nasional secara total. Perwujudan isntitusi ini diharapkan akan mela
hirkan ahli bahasa yang mahir dan pakar dalam ihwal bahasa nasional. Mandat yang
diberikan kepada institusi ini diharapkan bisa menjadi institusi rujukan yang b
erkewenangan memberikan pernyataan, penjelasan, atau saran yang terkait dengan i
hwal bahasa nasional. Kewenangan ini karena dibuktikan oleh kemampuan dan dedika
sinya yang tinggi terhadap bahasa nasional.
Akademi Bahasa Perancis dapat dijadikan contoh sebuah institusi yang memiliki ke
mampuan yang mendalam dan kewibawaan yang tinggi dalam ihwal bahasa Perancis. Ak
ademi ini setidaknya mampunyai 40 orang ahli bahasa yang mumpuni setiap kurun.
Pada umumnya suatu bahasa mempunyai masyarakat penuturnya. Dalam proyek perencan
aan bahasa, penutur-penutur asli ini perlu dimintai pendangan dan pendapat karen
a golongan inilah yang akan menjadi pendukung utamanya. Mereka akan lebih bangga
dan merasa dihargai jika ketika bahasa mereka dirancang, mereka diberikan kesem
patan untuk bersuara mengenai bahasa mereka. Setiap masyarakat yang cinta akan b
ahasanya, mereka menginginkan bahasanya terancang, terkendali, terbina, dan mode
rn. Di negara-negara yang sedang membangun, masyarakat bahasanya masih membicara
kan bahasa nasional, bahasa resmi, pembakuan, pelaksanaan, penilaian, dan pemode
rnan bahasa.
E. Haugen (1966) yang mempelopori perencanaan bahasa di Norwegia berkata bahwa w
alaupun ia diberi tanggung jawab penuh untuk merencanakan bahasanya, namun tugas
ini dilakukannya dengan berkerja sama semua pihak. Bahasa adalah milik semua or
ang, maka sangat wajarlah kalau semua orang turut dalam perencanaannya. Salah sa
tu tujuan perencanaan bahasa adalah mengangkat status bahasa menjadi bahasa nasi
onal atau bahasa resmi. Sekiranya pengangkatan ini diterima dengan baik oleh mas
yarakat penuturnya,maka bahasa dapat dijadikan alat untuk menyatupadukan rakyat
dan integrasi nasional. Perencanaan bahasa dilakukan seiring dengan perkembangan
masyarakat. Dengan demikian, perencanaan bahasa yang baik akan menjadikan negar
anya dikenal olah bangsa lain (bahkan dikenal dunia) karena bahasanya mampu mema
parkan pertumbuhan pembangnan negaranya dalam bidang ilmu pengetahuan dan tekono
logi.
Lajunya pembangunan idustri suatu negara akan mamaksa perlunya perencanaan bahas
a karena kedua hal ini harus berkembang serentak. Jika bahasa tidak berkembang,m
aka perkembangan pembangunan yang lain (termasuk industri) akan terhambat. Oleh
karena itu, perencanaan yang terpadu dan sinergis dalam semua bidang meruakan pe
rsyaratan yang harus dipenuhi. Dalamkaitan dengan perencanaan bahasa, faktor yan
g perlu dipertimbangkan latar belakang masyarakat, situasi masyarakat, sikapmasy
arakat,politik. Ekonomi. Dasar negara, budaya, sejarah bangsa, kesan psikologis
dan implikasinya padamasyarakat. Apabila faktor ini diperhatikan dalam perencana
an bahasa akan berdampak positf bagi negara dan bangsa pemakai bahasa tersebut.
Di beberapa negara, perencanaan bahasa yang memperhatikan faktor tersebut bisa m
embantu kerukunan dan integritas nasional, mewujudkan kestabilan politik, kegiat
an pertumbuhan ekonomi, perkembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan teknologi
, kemanan dan ketenteraman umum.
E. Haugen juga menasihati calon perencana bahasa, jangan sampai melakukan proyek
perencanaan bahasa yang bisa memancing kericuhan bangsa. Bahasa adalah jiwa ba
ngsa. Masyarakat siap mati demi mempertahankan bahasanya. Sebaliknya, perencanaa
n bahasa seharusnya bisa memperkokoh sistem ekonomi, politik, sosial, budaya, da
n pembangunan negara. Sebagai contoh, kekacauan dan kericuhan pernah terjadi di
India dan Srilangka dipicu oleh perencana bahasa yang mempunyai sifat nativisme.
Perjuangan dan sikap kesukuan ini menyebabkan rakyat terpecah-pecah dan timbul
kekacauan. Perencana bahasa yang baik mestinya memabantu mewujudkan suasana komu
nikasi yang kondusif, saling menghormati, keakraban, dan tidak saling mencurigai
di kalangan masyarakatnya.
Komunikasi yang akrab, kondusif, dan tidak saling mencurigai akan melahirkan sua
sana yang terteram dan harmonis di kalangan masyarakatnya. J.A. Fishamn (1971) d
alam bukunya Impact of Nationalism on Language Planning menyatakan bahwa perenca
naan bahasa merupakan ciri pembangunan dan pemodernan bangsA dan negara. Contoh
ini banyak berlaku di Eropa, Asia,dan Afrika. Perncanaan bahasa di Asia dan Afri
ka berjalan setelah negara dijajah. Ketika dijajah, semangat kebangsaan dan sema
ngat ingin merdeka mulai lahir karena rakyat terasa tertekan di negeri sendiri.
Tekanan inilah yang menyebabkan mereka bersemangat menantang penjajah. Kalu dahu
lu bahasa penjajah yang digunakan sebagai bahasa resmi pemerintahan, kini mereka
mulai mengangkat bahasa sendiri (pribumi) sebagai bahasa nasional (kebangsaan).
Proses penggantian bahasa penjajah ke bahasa probudi ini memakan waktu yang cuk
uplama karena golongan tua sudah terbasa memakai bahasa penjajah. Karena itu, pe
rencanaan bahasa di sebagian besarnegara Asia memerlukan jangka waktu yang cukup
lama.
Perencanaan bahasa juga bertujuan untuk mensinkronkan semua dialek yang terdapat
dalam suatu negara. Dengan cara ini diharapkan negara itu hanya mempunyai satu
bahasa rujukan untuk semua rakyatnya. Sinkronisasi ini dapat memperkecil pemakai
an dialek kedaerahan yang bermacam-macam, karena diarahkan ke pamakaian bahasa y
ang seragam dan satu. Kalau keinginan ini tercapai, maka pembakuan dan pemoderna
n bahasa lebih mudah tercapai dan pada akhirnya dapat membentuk satu masyarakat.
Satu bahasa, satu budaya, satu bangsa, dan satu negara. Indonesia telah menggun
akan konsep ini lewat ikrar Sumpah Pemuda pada tahun 1928: satu bangsa, satu meg
ara, satu bahasa; walaupun pelaksanaannya dimulai sejak tahun 1945 bersamaan den
gan proklamasi kemerdekaan. Hal ini dilakukan karena Indonesia mempunyai banyak
bahasa dan banyak dialek. Konseo ini pun dapat digunakan untuk usaha penyatuan b
ahasa, budaya, bangsa, dan negara. Rajiv Gandhi (1989), bekas perdana menteri In
dia, pernah menyatakan bahwa salah satu faktor yang membawa penyatuan negara Per
semakmuran (Inggris) adalah bahasa, yaitu bahasa Inggris.
Tanpa perencanaan bahasa, dialek dan bahasa daerah akan tumbuh dan berkembang me
nuju keinginan masing-masing yang kebanyakan bersifat kedaerahan, yang akhirnya
bisa membawa suku atau kelompok yang menggunakan bahasa itu memilih cara, halua
n, dan sikap politik masing-masing. Akhirnya, mereka akan terpecah, memisahkan d
iri, menonjolkan keinginan masing-masing sehingga timbul pertentangan dan kekaca
uan. Kondisi ini pernah terjadi di Irlandia, India, Eropa Timur, Afrika, dan bek
as jajahan Uni Soviet. Bangsa yang berpaham nativisme rela mati mempertahankan b
ahasa warisan leluhurnya. Di sisi lain, ada juga bangsa yang amat bangga dengan
bahasamereka, misalnya bangsa Inggris, Perancis, Rusia, dan Yahudi.
Perencanaan bahasa di suatu negara bisa mantap apbila status bahasa itu telah te
rcantum dalam undang-undang negara tersebut, baik sebagai bahasa resmi maupun se
bagai bahasa nasional. Dedngan demikian, perenacanaan bahasa lebih diarahkan pad
a penyempurnaan “inti bahasa”,misalnya pembakuan abjad, ejaan, kosakata, istilah, ka
mus, tatabahasa, buku teks, bahan pengaharan bahasa, pelatihan guru bahasa, ensi
klopedia, dan bahan rujukan lain. Perenaan akan lebih lancar dan terprogram apab
ila melibatkan pihak pemerintah (atau departemen terkait), masyarakat bahasa, pi
hak swasta, ahli bahasa, dan partisan individu. Perencanaan semacam ini akan mem
berikan manfaat langsung kepada bangsa dan negara.
Fishman (1971) berpendapat bahwa perencanaan yang baik memerlukan penyelidikan y
ang bersifat ilmiah, empiris, prakis, padu, dan up to date. Perencanaan bahasa j
angan dilakukan secara ad hoc, tergesa-gesa, dan tambal sulam, karena perencanaa
n yang baik perlu valid, kredibel, dan objektif. Dengan cara demikian, hasilnya
diharapkan sesuai dengan target: perkembangan bahasa yang mantap, bahasa yang da
pat menimbulkan rasa setia pemakainya, dan bahasa yang bisa menimbulkan “rasa memi
liki” (sense of belonging) bagi pemakainya. Perkembngan dan kondisi bahasa yang de
mikian akan menghilangkan salah paham dan perpecahan karena semua pemakainya ber
bangga diri dengan satu bahasa.
Daftar Pustaka
Alisjahbana, S.T. 1970. “Some Planning Processes in the Development of the Indones
ia-Malay Language.’ Dalam Rubin, et.al. Can be Language be Planned? Honolulu: Univ
ersity of Hawaii Press, hlm. 179-188.
Eastman C.M. 1983. Language Planning: An Introduction. San Francisco: Chandler &
Sharp Publisher.
Ferguson, C.A. 1968. “Language Development.” Dalam Fishman, et.al. Language Problems
of Developing Nation. New York: John Wiley and Sons.
Fishman, J.A. 1968. “Nationality-Nationism and Nation-Nationism.” Dalam Fishman, et.
al. Language Problems of Developing Nation. New York: John Wiley and Sons.
Fishman, J.A. 1973. “Language Modernization and Planning in Comparison with other
Types of National Modernization and Planning.” Dalam Language in Society, 2: 23-43
.
Fishman, Joshua A. (ed.). 1974. Advanced in Language Planning. The Hague: Mouton
.
Haugen, E.. 1959. ”Planning for Standard Language in Modern Norway.” Dalam Anthropol
ogical Linguistics, I (3): 8 – 21.
Haugen, E.. 1966. “Construction and Reconstruction in Language Planning: Ivar Aase
n’s Grammar.” Dalam Word, 2 (2): 188 – 207.
Haugen, E.. 1966. “Dialect, Language, Nation.” Dalam American Anthropologist, 68 (4)
: 922 – 935.
Haugen, E.. 1966. “Linguistic and Language Planning.” Dalam W. Bright (ed.). Socioli
ngustics: Proceedings of the VCLA Sociolinguistics Conference. The Huggue: Norto
n, hlm. 159: 190.
Haugen, E.. 1966. Language Conflict and Language Planning: The Case of Modern No
rwegian. Cambridge: Harvard University Press.
Haugen, E.. 1969. “Language Planning, Theory and Practice.” Dalam A. Graur (ed.). Ac
tes due Xe Congres International des Linguistic Bucharest. Bucharest: Editions d
e L’Academic de La Republique de Roumanic, 701 – 711.
Neustuphy, J.V. 1974. Basic Types of Treatment of Language Problems.” Dalam J.A. F
ishman. Advances in Language Planning. The Hague: Mouton.
Noss, R. 1967. Language Policy and Higher Education, Vol III, Part 2 of Higher E
ducation and Development in Southeast Asia. Paris: UNESCO and Internatioan Assoc
iation of Universities.
Ray, P.S. 1966. “Language Standardization.” Dalam J.A. Fishman, et.al. Reading in th
e Sociology of Language. The Hague: Mourton.
Rubin, J & B. H. Jernudd. 1971. Can Language be Planned? Sociolinguistics Theory
and Practice for Developing Nations. Honolulu, Hawaii: East West Cantre Book.
Rubin, J & B.H. Jernudd. 1975. Can Language be Planned? Honolulu: University Pre
ss of Hawaii.
Rubin, J. 1971. “Evaluation and Langauge Planning.” Dalam J. Rubin & B.H. Jernudd. C
an Language be Planned? Honolulu: University Press of Hawaii.
Rubin, J., et.al. Language Planning Processes. Hague: Mouton Publisher.
Sturtevant, E.H. 1917. Language Change. Chicago: University of Chicago Press.
Wardhaugh, R. 1989. An Introduction to Sociolinguistics. Oxford: Basil Blackwell
.
World Almanac. 1991. Research and Information Service, NSTP, Kuala Lumpur.

Anda mungkin juga menyukai