Anda di halaman 1dari 7

CONTOH

Indonesia

Pembunuhan atas anggota-anggota Partai Komunis Indonesia (PKI), yang termasuk salah satu
partai berkuasa, dari 1965 - 1969 diduga telah menghilangkan nyawa satu juta orang dan
digambarkan sebagai "pogrom anti-komunis". Jumlah korban yang resmi sekurang-kurangnya
adalah 500.000 orang.

Pemerintah Indonesia juga dituduh telah melakukan terorisme negara untuk mengendalikan dan
menindas beberapa kelompok separatis, yaitu Aceh (Sumatra), Timor Timur dan Papua (Irian
Jaya).

Selain itu pada 1998 sejumlah 24 aktivis diculik dan hilang (sebagian telah kembali), antara lain
Pius Lustrilanang, Widji Thukul, Desmon J. Mahesa, Haryanto Taslam, dll. yang kesemuanya
diduga dilakukan sebagai bagian dari terorisme negara untuk menindas perlawanan rakyat
terhadap rezim yang berkuasa saat itu.

Hari Perempuan Internasional


GAMBARAN NASIONAL
KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN 2002:
Kumpulan Data dari Lembaga Pengada
Layanan di Berbagai Daerah
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap
Perempuan
10 Maret 2003
Dalam rangka memperingati Hari Perempuan
Internasional, kita menyimak realitas kekerasan
yang dialami perempuan Indonesia pada tahun 2002
yang baru lalu, dan menegaskan derap langkah kita
pada tahun 2003 ini untuk memperjuangkan hakhak
para korban kekerasan serta untuk mendorong
penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap
perempuan di muka bumi Indonesia.
Dari 25 organisasi yang memberi layanan
pendampingan bagi perempuan dan anak korban
kekerasan yang tersebar di 17 kota di Sumatera,
Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan NTT, tercatat
bahwa pada tahun 2002 sebanyak 5163 perempuan
menjadi korban berbagai bentuk kekerasan. Angka
ini merupakan peningkatan sebesar 63% dari angka
hasil catatan tahun 2001, yaitu 3168 perempuan
korban kekerasan.
Kendati besar, angka 5163 hanya menunjukkan
jumlah perempuan korban yang cukup beruntung
untuk mempunyai akses pada organisasi-organisasi
perempuan dan lembaga pelayanan umum yang
memberi bantuan dan pendampingan bagi
perempuan korban kekerasan. Kebanyakan
perempuan korban kekerasan tidak tercatat dalam
data organisasi manapun karena mereka tidak tahu
ke mana bisa mencari bantuan karena jauh dari
pusat kota atau jauh dari informasi. Banyak juga
perempuan korban yang memilih untuk membisu
tentang kekerasan yang dialaminya karena takut
mencemarkan nama baik diri dan keluarganya atau
karena diancam oleh si pelaku. Data dari berbagai
negara menunjukkan bahwa hanya 10% perempuan
korban yang melaporkan kekerasan yang
dialaminya. Dalam Dari 5163 kasus yang terjadi
pada tahun 2002, 50% (2598 kasus) dialami oleh
perempuan dalam posisinya sebagai pekerja,
terutama buruh migran. Mayoritas (2580 kasus) dari
perempuan pekerja yang menjadi korban tersebut
adalah para buruh migran perempuan yang
dipulangkan dari Malaysia dalam kasus deportasi
massal yang terjadi sekitar bulan Oktober-
September.
Kecenderungan Utama: 2002
Kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan
yang terjadi pada tahun 2002 berkaitan dengan
persoalan migrasi dan kerja serta kekerasan
dalam rumah tangga. Penting untuk disimak
pula adalah banyaknya anak perempuan di
bawah umur yang menjadi korban kekerasan.
Diagram 1
Kekerasan terhadap Buruh Migran
2250
141 113 76
0
500
1000
1500
2000
2500
deportasi
paksa
kekerasan
seksual
penganiayaan penyekapan
Secara lebih rinci, kekerasan yang mereka alami
berkaitan dengan deportasi (2114 kasus),
penipuan oleh agen pengerah tenaga kerja (136
kasus), kekerasan (141 kasus), penganiayaan
(113 kasus) dan penyekapan (76 kasus).
Delapan belas kasus kekerasan dialami oleh
perempuan pekerja di tempat kerjanya (non
buruh migran), pihak pelaku adalah majikan dari
korban. Empat di antara mereka adalah pekerja
rumah tangga.Pengalaman kekerasan yang
kedua terbanyak dialami oleh perempuan terjadi
di dalam rumah tangga korban sendiri. Tahun
2002 mencatat 1396 kasus kekerasan dalam
rumah tangga, atau 27% dari keseluruhan kasus
kekerasan terhadap perempuan yang terjadi.
Para pelaku dalam kasus-kasus ini adalah orangorang
terdekat yang memiliki hubungan
kekerabatan melalui pertalian darah atau
pernikahan dengan korban. Bentuk kekerasan
dalam rumah tangga yang paling banyak terjadi
(72%) adalah penganiayaan suami terhadap
istri, yaitu 1353 kasus. Selain itu, terjadi 216
kasus penelantaran, 141 kasus kekerasan
seksual dan 32 kasus penganiayaan terhadap
anak perempuan.
2
Diagram 2
Kekerasan terhadap Perempuan di Rumah
Tangga
72%
16%
10% 2%
penganiayaan
Penelantaran
kekerasan seksual
penganiayaan anak
Di luar rumah dan tempat kerjanya, 1169
perempuan mengalami kekerasan di lingkungan
komunitas, yaitu dalam bentuk perkosaan,
pelecehan seksual, perdagangan perempuan dan
penipuan oleh pasangan, yang sering disebut oleh
organisasi perempuan sebagai ‘ingkar janji’.
Kebanyakan kasus kekerasan terhadap perempuan
di komunitas (88%) masuk dalam kategori
kekerasan seksual. Selain itu, ada 82 kasus
kekerasan fisik dan 25 kasus intimidasi.
Diagram 3
Kekerasan Seksual terhadap Perempuan
di Dalam Komunitas
52%
21%
6% 3%1%
17%
perkosaan
perkosaan anak
ingkar janji
pelecehan seksual
perdagangan (seksual)
pengarakan
Dari 846 kasus kekerasan seksual yang di alami
perempuan di lingkungan komunitas umum, 629
(75%) merupakan kasus perkosaan. Sebanyak 182
dari korban perkosaan ini – hampir sepertiga –
adalah anak perempuan di bawah umur.
0
50
100
150
200
KDRT Perkosaan perdagangan
Diagram 4
Kekerasan terhadap anak perempuan
Kepala Polisi RI mengakui keseriusan masalah
perkosaan. Sementara penanganan kasus-kasus
kriminal lain berkurang jumlahnya, pada tahun
2002 yang lalu, kasus-kasus perkosaan dan
narkoba justru meningkat, yaitu sebesar 12%
untuk kasus perkosaan dan 10% untuk kasus
narkoba (Jakarta Post, 31 Desember 2002).
Untuk Jakarta, Polda Metro Jaya melaporkan
bahwa kasus-kasus perkosaan yang mereka
tangani melonjak 20% dibandingkan tahun
2001, dan merupakan kenaikan tertinggi setelah
perjudian (Kompas, 31 Desember 2002).
Kapasitas pendataan kita masih sangat lemah
untuk kasus-kasus perdagangan perempuan.
Jumlah korban perdagangan perempuan
sebanyak 32 orang (Diagram 3) lebih
menunjukkan lemahnya sistem pendataan
nasional kita daripada realitas korban
perdagangan perempuan yang sesungguhnya.
Sampai saat ini, data yang berhasil dikumpulkan
terutama berasal dari Solo (15 kasus) dan
Kalimantan Barat (10 kasus). Sepertiga (31%)
dari para korban perdagangan perempuan
adalah anak di bawah umur – semua di
Kalimantan Barat.
Diagram 5
Pengalaman Kekerasan terhadap Perempuan di
Wilayah Konflik Bersenjata, Aceh
48,81%
13,10%
32,14%
5,95%
Penyanderaan,
penembakan,
bom,granat
pembunuhan,
penganiayaan, lainlain
perkosaan,
pelecehan seksual
KDRT
Di Aceh, di tengah kemelut situasi konflik
bersenjata yang berkepanjangan, 84 perempuan
tercatat mengalami berbagai bentuk kekerasan
pada tahun 2002 ini. Hampir separuh dari
mereka adalah korban penyanderaan,
penembakan, bom dan granat.
Kapasitas Penanganan
Kapasitas penanganan kasus-kasus kekerasan
terhadap perempuan telah mengalami
peningkatan, walaupun keberadaannya masih
jauh dari cukup bila dibandingkan dengan
banyaknya tindak kekerasan yang terjadi di
sekitar kita. Saat ini terdapat 206 lembaga
pengada layanan bagi perempuan korban
kekerasan. Sebanyak 37 darinya merupakan
organisasi perempuan (women’s crisis center –
WCC), enam merupakan layanan yang diberikan
di rumah sakit umum maupun swasta melalui
Pusat Krisis Terpadu (PKT), dan 163 merupakan
3
layanan yang diberikan di kantor-kantor polisi
melalui Ruang Pelayanan Khusus (RPK). Data
tentang kekerasan terhadap perempuan yang
tersedia saat ini berasal dari lembaga-lembaga ini.
Pada tahun 2002, women’s crisis center dan
organisasi perempuan di berbagai daerah di
Indonesia rata-rata menangani 79 kasus kekerasan
terhadap perempuan. Pusat-pusat Krisis Terpadu di
rumah sakit, yang saat ini tersedia di Jakarta (3
buah), Yogyakarta, Semarang dan Makassar,
menangani rata-rata 270 kasus. Sedangkan, antara
April 2001 dan 2002, Ruang Pelayanan Khusus
(RPK) Polda Metro Jaya, menangani 175 kasus
kekerasan terhadap perempuan.
Rata-rata biaya yang dibutuhkan untuk memberi
layanan yang komprehensif bagi perempuan korban
kekerasan mencapai rata-rata Rp 1.350.000 per
orang. Untuk kasus ringan, biaya rata-rata adalah
Rp 850.000 per orang, kasus sedang Rp 1.400.000
per orang, dan kasus berat 1.700.000 per orang.
Perkembangan menggembirakan adalah, pada
tanggal 23 Oktober 2002, Menteri Negara
Pemberdayaan Perempuan, Menteri Kesehatan,
Menteri Sosial, dan Kepala POLRI menandatangani
Surat Kesepakatan Bersama untuk membuka pusatpusat
pelayanan terpadu bagi perempuan dan anak
korban kekerasan di Rumah Sakit Umum milik
Pemerintah Pusat, Propinsi dan Kabupaten/Kota
serta di Rumah Sakit Kepolisian Pusat, Rumah Sakit
Bhayangkara tingkat II, III dan IV.
Di lingkungan lembaga penegak hukum, masih
sangat sedikit data dan terobosan yang bisa diakses
oleh publik. Berdasarkan pengalaman para
pendamping, dari 777 kasus kekerasan terhadap
perempuan yang dilaporkan ke polisi, hanya 291
kasus (37%) yang sampai di meja pengadilan. Dari
segi keseimbangan gender di lembaga-lembaga
penegak hukum, saat ini, hanya 11% anggota
kepolisian dan 17% hakim adalah perempuan.
Sayangnya, tidak ada data yang tersedia tentang
kinerja kejaksaan, kehakiman dan pengadilan dalam
menganani kasus-kasus kekerasan terhadap
perempuan yang bisa dicatat untuk tahun 2002 ini.
Kendati demikian, kinerja Pengadilan HAM Ad Hoc
tentang Timor Leste di Jakarta menunjukkan tidak
adanya kepekaan samasekali dalam menangani
seorang saksi korban untuk kasus perkosaan. Dalam
proses persidangan, hakim mengajukan pertanyaan
kepada saksi yang melanggar hak-haknya sebagai
saksi dan tidak peka gender, yaitu ‘Apakah anak Ibu
diperkosa atau ingin diperkosa? Sekali lagi, apakah
diperkosa atau ingin diperkosa?’
Peran Komnas Perempuan dalam penanganan
kekerasan terhadap perempuan pada tahun 2002
mencakup: penguatan kapasitas penanganan korban
kekerasan di kalangan pendamping, terutama di
Papua dan NTT; advokasi kebijakan untuk
mendukung layanan terpadu di tingkat nasional
dan daerah; serta fasilitasi pengembangan
standard operation procedure untuk
penanganan kasus secara lintas institusi.
Langkah ke Depan: 2003
Kendala terbesar yang dialami para pendamping
korban kekerasan adalah tidak adanya landasan
hukum bagi layanan yang mereka berikan.
Alokasi dana publik untuk mendukung
operasional berbagai lembaga layanan yang
bekerja untuk perempuan dan anak korban
kekerasan selama ini masih sangat kecil,
sehingga layanan yang diberikan tidak bisa
optimal. Karena itu, langkah urgen untuk tahun
2003 ini adalah:
1. Pengesahan RUU Kekerasan dalam Rumah
Tangga dan RUU Perlindungan Saksi/Korban
oleh DPR RI.
2. Alokasi anggaran negara, di tingkat nasional
dan daerah, untuk mendanai operasional
lembaga-lembaga layanan bagi perempuan
dan anak korban kekerasan.
3. Penggalangan dukungan masyarakat bagi
para korban kekerasan serta
pendampingnya, baik dalam bentuk
dukungan moral, sosial maupun finansial.
4. Perumusan kebijakan-kebijakan di tingkat
nasional dan daerah (peraturan
daerah/perda) untuk menciptakan sistem
penanganan kekerasan terhadap perempuan
secara lintas sektoral dan terpadu.
***
Data diperoleh atas kerjasama dengan:
LBH Apik Pontianak
Forum Peduli
Atambua Rumah
Perempuan, Kupang
Truk-Flores
LPP Bone
WCC Palembang
WCC Bengkulu
Damar, Lampung
SPI Labuan Batu
LBH Apik Aceh
Yayasan Kakak, Solo
Institut Perempuan
Bandung
KPPD, Surabaya
WCC Jombang
Rifka Anisa,
Jogjakarta LBH
Jakarta
SIKAP, Jakarta
LBH Apik, Jakarta
Kalyanamitra,
Jakarta
Mitra Perempuan,
Jakarta
PKT RS Polri, Jakarta
PKT Makasar
RS Panti Rapih,
Jogjakarta
RPK Polda
Metrojaya
Polres Jombang
Dr. Rina Oktaviani,
IPB

Anda mungkin juga menyukai