Anda di halaman 1dari 5

Bekal Utama Aktivis Dakwah

Sunday, 03 June 2007 23:11

Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah,
mengerjakan amal yang shalih dan berkata:”Sesungguhnya aku termasuk orang-orang
yang berserah diri.” Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu)
dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada
permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu
tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan
melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar. (Fushshilat:
33-35).

Ayat di atas merupakan bekal utama bagi para aktivis dakwah di jalan Allah (dai), agar
selalu semangat dan istiqamah, tidak pernah gentar dan getir, senantiasa menjalankan
tugasnya dengan tenang, tidak emosional dan seterusnya. Ayat tersebut diletakkan setelah
sebelumnya di awal surat Fushshilat Allah menggambarkan sikap orang-orang yang tidak
mau menerima ajaran Allah. “Mereka mengatakan: hati kami tertutup, (maka kami tidak
bisa menerima) apa yang kamu serukan kepadanya, pun telinga kami tersumbat, lebih dari
itu di antara kami dan kamu ada dinding pemisah.” (Fushshilat: 5). Bisa dibayangkan
bagaimana beratnya tugas dakwah jika yang dihadapi adalah orang-orang yang tidak mau
menerima kebenaran, tidak mau diajak kepada kebaikan, lebih dari itu ia menyerang,
memusuhi dan melemparkan ancaman. Setiap disampaikan kepada mereka ajaran Allah,
mereka menolaknya dengan segala cara, entah dengan menutup telinga, menutup mata,
atau dengan mencari-cari alasan dan lain sebagainya.

Dakwah di jalan Allah adalah kebutuhan pokok manusia. Tanpa dakwah manusia akan
tersesat jalan, jauh dari tujuan yang diinginkan Allah swt. Para rasul dan nabi yang Allah
pilih dalam setiap fase adalah dalam rangka menegakkan risalah dakwah ini. Di dalam Al-
Qur’an, Allah swt tidak pernah bosan mengulang-ulang seruan untuk bertakwa dan
menjauhi jalan-jalan setan. Tetapi manusia tetap saja terlena dengan panggilan hawa
nafsu. Terpedaya dengan indahnya dunia sehingga lupa kepada akhirat. Dalam surat Al-
Infithaar ayat 6 Allah berfirman: yaa ayyuhal insaan maa gharraka birabbikal kariim?
(wahai manusia apa yang membuat kamu terpedaya, sehingga kamu lupa terhadap
Tuhanmu Yang Maha Pemurah?)

Dalam ayat lain: kallaa bal tuhibbuunal aajilah watadzaruunal aakhirah (sekali-kali tidak,
sungguh kamu masih mencintai dunia dan meninggalkan akhirat) (Al-Qiyaamah: 20-21).
Perhatikan bagaimana pahit getir yang harus ditempuh para pejalan dakwah. Sampai
kapan manusia harus terus terombang-ambing dalam gemerlap dunia yang menipu kalau
tidak ada seorang pun yang bergerak untuk melakukan dakwah? Di sini tampak bahwa
tugas dakwah pada hakikatnya bukan hanya tugas para dai, melainkan tugas semua
manusia yang mengaku dirinya sebagai hamba Allah –tak perduli apa profesinya– lebih-
lebih mereka yang telah meletakkan dirinya sebagai aktivis dakwah.

Karenanya, persoalan dakwah bukan persoalan nomor dua, melainkan persoalan pertama
dan harus diutamakan di atas segala kepentingan. Bila kita mengaku mencintai Rasulullah
saw., maka juga harus mengaku bahwa berjuang di jalan dakwah adalah segala-galanya.
Karena Rasulullah dan sahabat-sahabatnya tidak saja mengorbankan segala waktu dan
hartanya bahkan jiwa raganya untuk dakwah kepada Allah. Bagi mereka rumah dan harta
yang telah mereka bangun sekian lama di kota Makkah memang merupakan bagian dari
kehidupan yang sangat mahal dan berharga. Tetapi mempertahankan iman dan
menegakkan ajaran Allah di bumi adalah di atas semua itu. Karenanya mereka tidak pikir-
pikir lagi untuk berhijrah dengan meninggalkan segala apa yang mereka miliki. Mereka
benar-benar paham bahwa iman dan dakwah pasti menuntut pengorbanan. Karenanya
dalam berbagai pertempuran para sahabat berlomba untuk melibatkan dirinya. Mereka
merasa berdosa jika tidak ikut terlibat aktif. Tidak sedikit dari mereka yang
telah gugur di medan tempur. Semua ini menggambarkan kesungguhan dan kejujuran
mereka dalam menegakkan risalah dakwah yang taruhannya bukan hanya harta benda
melainkan juga nyawa.

Dakwah Adalah Tugas Yang Sangat Mulia

Ayat di atas dibuka dengan pernyataan: waman ahsanu qawlan. Ustadz Sayyid Quthub
ketika menfasirkan ayat ini berkata: “Kalimat-kalimat dakwah yang diucapkan sang dai
adalah paling baiknya kalimat, ia berada pada barisan pertama di antara kalimat-kalimat
yang baik yang mendaki ke langit.” (lihat fii dzilaalil qur’an, oleh Sayyid Quthub, vol.5,
h. 3121). Kata waman ahsanu Allah ulang di beberapa tempat dalam Al-Qur’an untuk
menegaskan tingginya kualitas beberapa hal: Pada surat An-Nisa ayat 125 Allah
berfirman: waman ahsanu diinan mim man aslama wajhahahuu lillaah (siapakah yang
lebih bagus agamanya dari pada orang yang menyerahkan diri kepada Allah). Dalam Al
Maidah ayat 50: waman ahsanu minallahi hukman (siapa yang lebih bagus ajarannya dari
pada ajaran Allah). Dan pada ayat di atas: Siapakah yang lebih bagus perkataannya dari
pada perkataan para dai di jalan Allah? Perhatikan semua ayat-ayat tersebut secara
seksama, betapa tugas dakwah sangat Allah muliakan. Peringkatnya
sangat tinggi, setara dengan kualitas hukum Allah dan penyerahan diri kepadaNya secara
total.

Adalah suatu keharusan seorang dai, menyerahkan hidupnya kepada Allah swt. Ia tidak
kenal lelah menjalani tugas-tugas dakwah. Pun ia tidak mengharapkan keuntungan
duniawi di baliknya, kecuali hanyalah ridhaNya. Dalam Surat Yasiin ayat 21 Allah
berfirman: “Ikutilah orang yang tiada minta balasan kepadamu; dan mereka adalah orang-
orang yang mendapat petunjuk.” Toh kalaupun Allah membuka jalan rezeki baginya
melalui jalan-jalan tak terduga “fadzaalika khairun ‘alaa khair“. Yang penting jangan
sampai seorang dai orientasinya dunia. Sebab, bila seorang dai juga berorientasi dunia,
kepada apa dia mau berdakwah, bukankah tema utama dakwah adalah ajakan untuk
mempersiapkan diri menuju akhirat?

Berdakwah Dengan Amal

Ayat selanjutnya menegaskan pentingnya amal shalih: wa amila shaalihaa. Mengapa? Apa
hubungannya dengan dakwah? Bahwa seorang dai jangan hanya ngomong saja, sementara
perbuatannya jauh atau bahkan bertentangan dengan apa yang disampaikannya. Benar,
bahwa perkataan dakwah adalah paling baiknya perkataan, tetapi itu kalau diikuti dengan
amal shalih. Jika tidak, maka perkataan itu akan menjadi bumerang yang akan menyerang
sang dai itu sendiri. Dalam Ash Shaf ayat 3 Allah berfirman: “Amat besar kebencian
Allah, bila kamu hanya mengatakan tanpa mengerjakannya.”

Karenanya Rasulullah saw. tidak hanya berbicara, melainkan lebih dari itu seluruh
perbuatannya merupakan contoh amal shalih. Allah swt. memberikan rekomendasi yang
luar biasa dalam surat Al-Qalam ayat 4: “Dan sesungguhnya kamu (Mumhammad) benar-
benar berbudi pekerti yang agung.” Imam Ibn Katsir ketika menafsirkan ayat ini
menyebutkan riwayat dari Aisyah ra.: bahwa akhlak Rasulullah saw. adalah Al-Qur’an
(lihat Tafsir Ibn Katsir, vol.4, h.629). Dalam hadits-hadits yang diriwayatkan para ulama
tidak semua berupa ucapan Rasulullah saw., melainkan banyak sekali yang berupa cerita
para sahabat mengenai perilaku dan sikap Rasulullah saw. Banyak sekali hadits-hadits
yang berupa ucapan pendek, to the point, tidak bertele-tele, mudah dihafalkan. Suatu
gambaran betapa keberhasilan dakwah Rasulullah saw. adalah karena setiap yang
diucapkannya langsung ada contohnya dalam bentuk amal nyata dari sikap dan akhlaknya
yang sangat mulia.

Menampilkan Diri Sebagai Seorang Muslim Adalah Dakwah

Di antara ciri utama berdakwah kepada Allah, tidak saja mengamalkan ajaranNya dan
menjauhi segala yang dilarang melainkan lebih dari itu menampilkan diri sebagai seorang
Muslim di manapun ia berada, Allah berfirman pada ayat berikutnya: wa qaala innanii
minal muslimiin. Dengan kata lain tidak cukup seorang mengamalkan Islam hanya
dengan shalat, membayar zakat dan menjalankan haji, sementara dalam hidup sehari-
harinya tidak mencerminkan Islam, misalnya ia tidak merasa berdosa dengan
mempertontonkan auratnya di mana-mana, bergandengan tangan dengan wanita bukan
istrinya di depan banyak orang, melakukan kemaksiatan, kezhaliman, korupsi, judi,
perzinaan dengan terang-terangan. Anehnya, dia merasa malu untuk menampilkan Islam
dengan sebenar-benarnya. Ia tidak merasa bangga sebagai seorang muslim. Bahkan Islam
yang dipeluk digerogoti ajarannya sedikit demi sedikit, dengan sikap memperdebatkan
prinsip-prinsipnya yang sudah baku, mencari-cari dalil untuk membangun keraguan
terhadap kebenaran Islam.

Seorang aktivis dakwah sejati selalu bangga dengan identitasnya sebagai seorang muslim.
Ia tidak takut menampilkan Islam sebagai pribadinya. Sungguh krisis umat Islam di mana-
mana kini adalah krisis keberanian untuk menampilkan wajah Islam yang sebenarnya.
Islam mengajarkan kedisiplinan, kebersihan, dan akhlak mulia, tetapi umat Islam di mana-
mana selalu terkesan jorok, kotor dan beringas. Islam mengajarkan kejujuran, dan
ketegasan dalam menegakkan hukum, tetapi penipuan dan korupsi justru merebak di
tengah masyarakat yang mayoritasnya umat Islam. Mengapa ini semua terjadi? Bukankah
orang-orang non-muslim sudah sedemikian jauh menampilkan dirinya sebagai bangsa
yang bersih, disiplin dan lain sebagainya?

Benar, jika kemudian saya mendengar penyataan salah seorang muallaf : “Saya masuk
Islam bukan karena umat Islam, melainkan karena kebenaran Islam. Seandainya umat
Islam mampu menampilkan Islam dengan sebenar-benarnya, niscaya mereka akan
berbondong-bondong masuk Islam.” Bahkan ada ungkapan yang sangat terkenal dan
diulang-ulang hampir dalam setiap seminar di dalam di luar negeri: al-Islam mahjuubun
bil muslimiin (kebenaran Islam terhalang oleh orang-orang-orang Islam sendiri).
Perhatikan realitasnya, apa yang sedang berlangsung dalam diri umat Islam di mana-
mana. Ya, kalau tidak berperang di antara mereka sendiri, mereka dizhalimi oleh
pemimpinnya sendiri yang mengaku muslim.

Karenanya menampilkan Islam secara jujur dalam diri sebagai pribadi, dalam rumah
tangga, dalam bermasyarakat dan dalam berbangsa dan bernegara adalah sebuah
keniscayaan, dan menurut ayat di atas termasuk perbuatan yang sangat baik dan mulia.
Oleh sebab itu pada ayat berikutnya Allah mengajarkan agar seorang dai selalu menyadari
posisinya yang sangat mulia. Jangan sampai –karena suatu saat kelak menghadapi cobaan
berupa munculnya orang-orang yang menolak dakwahnya dan lain sebagainya– ia
kemudian emosional. Sehingga perkataannya lepas kontrol, lalu membalas cercaan
mereka dengan cercaan. Atau lebih dari itu ia kemudian putus asa, lalu menjadi lesu dan
patah arang. Akibatnya dakwah yang sangat Allah muliakan, ia lalaikan begitu saja.

Tidak, tidak demikian pribadi seorang aktivis dakwah. Seorang aktivis dakwah selalu
menjiwai ayat ini: walaa tastawil hasanatu walas sayyi’ah. Benar, tidak akan pernah sama
antara kebaikan dan keburukan. Kata-kata dakwah tetap lebih mulia dari kata-kata
pencerca. Pertahankan kata-kata yang baik itu untuk terus menghiasi lidah sang dai.
Jangan sampai terpengaruh emosi para pencerca lalu ditukar menjadi cercaan pula.
Karenanya Allah ajarkan konsep: idfa’ billatii hiya ahsan, balaslah dengan ucapan yang
lebih baik dan dengan cara yang lebih baik. Kata ahsan juga diulang pada ayat lain:
wajadilhum billatii hiya ahsan, suatu sikap yang harus selalu menghiasi pribadi seorang
dai setiap saat dan di manapun ia berada, lebih-lebih saat menghadapi penolakan, cercaan
dan makian. Di saat seperti itu seorang dai, harus benar-benar tampil sempurna, bijak dan
tenang. Mengapa? Sebab ia membawa misi Allah Yang Maha Perkasa. Maka ia harus
selalu yakin dan percaya diri dengan posisinya.
Tidak usah minder apalagi rendah diri.

Bahkan pada ayat selanjutnya Allah mengajarkan agar ia selalu tampil dengan penuh
persahabatan, sekalipun mereka mencerca dengan penuh permusuhan. Perhatikan
bagaimana Allah mengajarkan cara berdakwah yang efektif, di mana kemudian cara ini
menjadi salah satu pilar utama dalam ilmu komunikasi modern. Setelah itu Allah
menegaskan bahwa untuk itu semua seorang dai tidak cukup hanya dengan bermodal
semangat, melainkan lebih dari itu harus mempunyai sifat sabar dan selalu memohon
kepada Allah agar mendapatkan nasib yang baik, di dunia dan di akhirat. Tanpa sifat sabar
dan doa untuk memperoleh nasib yang baik, segala proses akan menjadi sia-sia. Sebab
segala kemenangan tidak akan pernah dicapai tanpa pertolonganNya.

Anda mungkin juga menyukai