PENDAHULUAN
Sejak zaman Yunani kuno hingga sekarang, wacana mengenai urgensi dan posisi
pendidikan dalam mengontrol tatanan dunia telah dilakukan. Pendidikan dianggap
sebagai sebuah motor dan investor bagi kelangsungan peradaban dan kebudayaan
manusia. Pendidikan adalah solusi bagi kebermasalahan manusia dimuka bumi ini.
Realitas justru berkata sebaliknya, pendidikan telah tereduksi maknanya. Pendidikan tak
lebih hanya sekedar alat bagi penguasa untuk melanggengkan superioritasnya,
pendidikan hanya suplier tetap untuk pertumbuhan industri dan ekonomi, bahkan
tragisnya pendidikan berubah wajah menjadi lintah darat pemeras hasil keringat
manusia (baca; pendidikan mahal).
Dampak dari sistem pendidikan dengan prinsip pendidikan berkualitas hanya
untuk pelanggan yang berkantong tebal tentu saja kemiskinan dan kebodohan yang
keduanya mengait satu dengan lainnya =bodoh identik dengan miskin dan sebaliknya=
tetap akrab bagi mayoritas masyarakat, terlebih bagi negara berkembang seperti
Indonesia. Tidak saja bagi masyarakat umum yang terbuang dari nikmatnya pendidikan,
bagi anak berkebutuhan khusus (ABK) yang terkadang masih dianggap sebagai beban
dalam komunitas sosial sama sekali tidak mendapat keberuntungan untuk mendapatkan
pendidikan yang layak sesuai dengan kondisi mereka.
Pendidikan liberal dan pragmatis yang selama ini dilakukan tidak dapat ,
mengakomodir semua lapisan. Kebermanfaatan “semu” idologi liberal pragmatis hanya
dapat didapat oleh masyarakat kelas menengah atas, sedangkan masyarakat menengah
bawah tetap saja menjadi sasaran bagi pengembangan dunia industri dan ekonomi
secara praktis, apalagi dengan ABK yang tidak diberikan fasilitas yang memadai,
bahkan terkadang hanya demi gengsi komite sekolah menolak ABK untuk
mendapatkan pembelajaran.
Padahal pendidikan merupakan salah satu hak azazi manusia yang dilindungi
dan dijamin oleh berbagai instrumen hukum internasional maupun nasional. Dokumen
Pendidikan untuk Semua (Deklarasi Dunia Jomtien, 1990) ingin memastikan bahwa
semua anak, tanpa kecuali, memperoleh pendidikan. Akan tetapi, di Indonesia,
misalnya, menurut data Depdiknas tahun 2002, hanya sekitar 7,5% anak berkebutuhan
khusus usia sekolah yang sudah memperoleh pendidikan formal di sekolah. Pendidikan
inklusif diyakini sebagai satu pendekatan pendidikan yang inovatif yang dapat
memperluas kesempatan pendidikan bagi semua anak berkebutuhan khusus termasuk
anak berkebutuhan khusus.
Visi yang diusung pendidikan inklusif adalah keadilan, kesamaan hak, dan
kesetaraan yang sejalan dengan ideologi pendidikan kritis transformatif. Dalam ideologi
pendidikan kritis transformatif ketiga prinsip tersebut sangat dijunjung tinggi hingga
pendidikan kemudian dapat menjadi production force, sebagai agen mobilitas sosial
yang mampu mengubah kelas rendah yang selama ini disandang oleh anak-anak
berkebutuhan khusus, dan bukan sebagai reproduction force yang selama ini terjadi
sehingga hasilnya adalah hanya mobilitas sosial yang vertikal.
Makalah ini lebih lanjut akan membicarakan dua hal yakni, pertama mengenai
apa dan bagaimanan itu pendidikan inkusif dan mengapa harus inklusif dalam
pelaksanaan pendidikan, kedua, tawaran critical pedagogi dan manifestasi ideologi
pendidikan kritis transformatif dalam pendidikan inklusif dengan menunjukkan tanda-
tanda signifikansinya dalam mengubah status dan kelas sosial yang disandang para
anak-anak berkebutuhan khusus.
PEMBAHASAN
A. Konsep Inklusi
“Inklusi atau Pendidikan Inklusif bukan nama lain untuk ‘pendidikan kebutuhan
khusus’. Pendidikan inklusif menggunakan pendekatan yang berbeda dalam
mengidentifikasi dan mencoba memecahkan kesulitan yang muncul di sekolah.
Pendidikan kebutuhan khusus dapat menjadi hambatan bagi perkembangan praktek
inklusi di sekolah. Konsep pendidikan inklusif memiliki lebih banyak kesamaan dengan
konsep yang melandasi gerakan ‘Pendidikan untuk Semua’ dan ‘Peningkatan mutu
sekolah’. Pendidikan inklusif merupakan pergeseran dari kecemasan tentang suatu
kelompok tertentu menjadi upaya yang difokuskan untuk mengatasi hambatan untuk
belajar dan berpartisipasi.
Definisi Pendidikan Inklusif
Definisi Pendidikan Inklusif yang dirumuskan dalam Seminar Agra disetujui
oleh 55 peserta dari 23 negara (terutama dari ‘Selatan’) pada tahun 1998. Definisi ini
kemudian diadopsi dalam South African White Paper on Inclusive Education dengan
hampir tidak mengalami perubahan:
Definisi Seminar Agra dan Kebijakan Afrika Selatan ;Pendidikan Inklusif adalah:
Lebih luas daripada pendidikan formal: mencakup pendidikan di rumah,
masyarakat, sistem nonformal dan informal.
Mengakui bahwa semua anak dapat belajar.
Memungkinkan struktur, sistem dan metodologi pendidikan memenuhi
kebutuhan semua anak.
Mengakui dan menghargai berbagai perbedaan pada diri anak: usia, jender,
etnik, bahasa, kecacatan, status HIV/AIDS dll.
Merupakan proses yang dinamis yang senantiasa berkembang sesuai dengan
budaya dan konteksnya.
Merupakan bagian dari strategi yang lebih luas untuk
mempromosikan masyarakat yang inklusif.1
Selain definisi Agra ada juga Indeks untuk Inklusi yang merupakan hasil dari
proyek penelitian partisipatori selama 3 tahun di Inggris untuk mengembangkan materi
untuk mendukung inklusi. Materi ini kini telah diterjemahkan secara meluas dan
digunakan sebagai panduan pada berbagai konteks dan budaya. Akan tetapi, berbeda
dengan definisi Agra, definisi ini difokuskan pada persekolahan, bukan pada pendidikan
secara keseluruhan:
Indeks untuk Inklusi:
“Inklusi dalam pendidikan merupakan proses peningkatan partisipasi
siswa dan mengurangi keterpisahannya dari budaya, kurikulum dan
komunitas sekolah setempat.”2
Inklusi juga melibatkan:
• Restrukturisasi budaya, kebijakan dan praktek untuk merespon terhadap
keberagaman siswa dalam lingkungannya;
• Pembelajaran dan partisipasi SEMUA anak yang rentan akan tekanan eksklusi
(bukan hanya siswa penyandang cacat);
• Meningkatkan mutu sekolah untuk stafnya maupun siswanya;
• Mengatasi hambatan akses dan partisipasinya;
1
sue stubbs,” inclusive education; where there are few resources”, pdf, hlm. 38,
http://www.eenet.org.uk/theory_practice/IE%20few%20resources%20Bahasa.pdf
2
ibid. hlm. 39
• Hak siswa untuk dididik di dalam lingkungan masyarakatnya;
• Memandang keberagaman sebagai kekayaan sumber, bukan sebagai masalah;
• Saling memelihara hubungan antara sekolah dan masyarakat;
• Memandang pendidikan inklusif sebagai satu aspek dari Masyarakat Inklusif3.
Konsep inklusi dan eksklusi saling terkait "karena proses peningkatan partisipasi siswa
menuntut adanya pengurangan tekanan untuk mempraktekkan eksklusi.”
Berdasarkan dua pengertian di atas maka inklusi memiliki dua makna yaitu
pendidikan inklusi yang berbasis pada pendidikan informal yang dalam prakteknya
banyak digunakan negara-negara selatan yang cenderung miskin dengan partisipasi
besar keluarga dan masyarakat, sedangkan pendekatan kedua lebih condong pada
persekolahan yang banyak digunakan oleh negara-negara utara yang lebih maju dan
modern.
3
ibid. hlm.39
3. Prioritas yang paling mendesak adalah menjamin adanya akses ke pendidikan
dan meningkatkan kualitasnya bagi anak perempuan, dan menghilangkan setiap
hambatan yang merintangi partisipasi aktifnya. Semua bentuk diskriminasi
gender dalam pendidikan harus dihilangkan.
4. Suatu komitmen yang aktif harus ditunjukkan untuk menghilangkan
kesenjangan pendidikan. Kelompok-kelompok yang kurang terlayani: orang
miskin; anak jalanan dan anak yang bekerja; penduduk desa dan daerah
terpencil; pengembara dan pekerja migran; suku terasing; minoritas etnik, ras,
dan linguistik; pengungsi; mereka yang terusir oleh perang; dan penduduk yang
berada di bawah penjajahan, seyogyanya tidak memperoleh perlakuan
diskriminasi dalam mendapatkan kesempatan untuk belajar.
5. Kebutuhan belajar para penyandang cacat menuntut perhatian khusus. Langkah-
langkah perlu diambil untuk memberikan kesamaan akses pendidikan bagi setiap
kategori penyandang cacat sebagai bagian yang integral dari system pendidikan.4
Di Indonesia sendiri kelompok yang wajib terinklusi dalam pendidikan adalah:
Jenis Jenis Anak Anak Berkebutuhan Berkebutuhan Khusus:
a) Tunanetra
b) Tunarungu
c) Tunagrahita: (a.l. Down Syndrome)
-C : TunagrahitaRingan(IQ = 50-70)
-C1 : TunagrahitaSedang(IQ = 25-50)
-C2 : TunagrahitaBerat(IQ < 25 )
d) Tunadaksa:
-D : TunadaksaRingan
-D1 : TunadaksaSedang
e) Tunalaras(Dysruptive)
f) Tunawicara
g) Tunaganda
h) Gifted : PotensiKecerdasanIstimewa (IQ > 125 )
i) HIV AIDS
4
http://www.unesco.org/education/efa/ed_for_all/background/07bpubl.shtml
j) Talented : PotensiBakatIstimewa (Multiple Intelligences : Language, Logico-
mathematic, Visuo-spatial, Bodily-kinesthetic, Musical, Interpersonal,
Intrapersonal, Natural, Spiritual)
k) KesulitanBelajar(a.l. Hyperaktif, ADD/ADHD, Dyslexia/Baca,
Dysgraphia/Tulis, Dyscalculia/Hitung, Dysphasia/Bicara, Dyspraxia/ Motorik)
l) LambatBelajar( IQ = 70 –90 )
m) Autis
n) KorbanPenyalahgunaanNarkoba
o) Indigo5
C. Perbedaan Pendidikan Luar Biasa, Integrasi, Mainstreaming, Unit Kecil dan
Pendidikan Inklusif – Apa Bedanya?
Pengertian pendidikan inklusif telah kita bahas diatas,adanya bermacam macam
istilah ini mencerminkan sejarah perkembangan pendidikan inklusif, kesemua istilah
tersebut kini masih diimplementasikan dan dipromosikan, dan perbedan antara istilah-
istilah tersebut jarang sekali dipahami. Para pembuat kebijakan perlu memahami
perbedaannya, karena hasil jangka panjangnya akan sangat berbeda. Pertama-tama,
penting untuk difahami bahwa istilah-istilah tersebut memiliki banyak kesaman konsep
yang positif, misalnya:
Semua anak, termasuk anak penyandang cacat, berhak atas pendidikan.
Adanya komitmen untuk menemukan cara membantu anak yang belajar dengan
cara dan kecepatan yang berbeda-beda agar benar-benar dapat belajar.
Mempromosikan perkembangan potensi individu anak secara holistik: secara
fisik, linguistik, sosial, kognitif, sensori.
Mendukung bermacam-macam metoda komunikasi untuk penyandang berbagai
kecacatan (Bahasa isyarat, Braille, papan tanda, bicara dengan bantuan
komputer, Makaton, dll).
Sekarang mari kita telaah perbedaan antara tiap istilah tersebut.
1. Pendidikan Luar Biasa (mencakup sekolah luar biasa, kebutuhan
pendidikan khusus, kebutuhan khusus)
5
Program Direktorat Pendidikan luar Biasa Departemen Pendidikan Nasional, pdf,
http://www.ditplb.or.id/files/kebijakan2006.pdf
Pendidikan luar biasa berasumsi bahwa terdapat kelompok anak yang terpisah
yang memiliki ‘kebutuhan pendidikan khusus’ dan seringkali disebut ‘anak
berkebutuhan khusus’. ASUMSI INI TIDAK BENAR karena:
Anak manapun dapat mengalami kesulitan dalam belajar, banyak anak
penyandang cacat tidak memiliki masalah dalam belajar, hanya mengalami
masalah dalam aksesnya, namun mereka masih diberi label ‘anak berkebutuhan
khusus’
Anak yang memiliki kecacatan intelektual seringkali dapat belajar dengan sangat
baik dalam bidang tertentu atau pada tahap tertentu dalam hidupnya.
Pendidikan luar biasa tidak mendefinisikan istilah ‘khusus’. Pada kenyataannya,
yang sering disebut 'khusus’ merupakan kebutuhan belajar yang umum saja. Misalnya,
kebutuhan untuk dapat memahami apa yang dikatakan guru, untuk dapat mengakses
bahan bacaan, untuk dapat masuk ke dalam bangunan sekolah.
Pendidikan luar biasa meyakini bahwa ‘metode khusus’, 'guru khusus’,
‘lingkungan khusus’ dan ‘peralatan khusus’ diperlukan untuk mengajar ‘anak luar
biasa’. Ini SALAH – yang disebut metode khusus itu sering kali tidak lebih dari sekedar
metoda berkualitas baik yang difokuskan pada kebutuhan anak. Setiap anak butuh
belajar dengan dukungan dan dalam lingkungan yang kondusif.
Pendidikan luar biasa memandang anak sebagai yang bermasalah, bukan
sistemnya atau gurunya. SALAH—dengan ditempatkan pada lingkungan yang tepat dan
diberi dorongan, anak pasti akan mau belajar. Jika anak tidak mau belajar, maka guru
dan lingkungannya itulah yang membuat anak itu gagal.
Pendidikan luar biasa mendefinisikan keseluruhan individu anak berdasarkan
kecacatannya dan mengelompokkannya berdasarkan kecacatannya itu. SALAH – Pada
kenyataannya kecacatan hanya merupakan satu bagian saja dari diri anak. Sebagian
besar kualitas dan karakteristik anak penyandang cacat sama dengan anak pada
umumnya – membutuhkan teman, butuh dilibatkan, dicintai, ambil bagian dalam
masyarakatnya.
Pendidikan luar biasa ingin membuat anak menjadi ‘normal’ bukannya
menghargai kekuatan dan karakteristik yang dimilikinya. Ini dapat mengakibatkan
penekanan yang tidak semestinya untuk membuat anak berbicara atau berjalan,
meskipun hal itu tidak realistis dan dapat mengakibatkan perasaan sakit yang tak
semestinya.
2. Pendidikan Integrasi
Ini merupakan istilah yang paling banyak dipergunakan masyarakat untuk
menggambarkan proses memasukkan anak penyandang cacat ke dalam sekolah
reguler (juga disebut mainstreaming, terutama di Amerika Serikat). Pendidikan
Integrasi berbeda dengan Pendidikan Inklusif dalam hal:
Fokusnya masih pada individu anak, bukan pada sistem. Anak dipandang
sebagai masalah dan harus ‘disiapkan’ untuk integrasi, bukan sekolahnya yang
disiapkan.
Integrasi sering hanya mengacu pada proses geografis - memindahkan anak
secara fisik ke sekolah reguler. Integrasi mengabaikan masalah-masalah seperti
apakah anak benar-benar belajar, diterima atau dilibatkan dalam kegiatan
kelasnya.
Sebagian besar sumber daya dan metode difokuskan pada individu anak, bukan
pada keterampilan guru atau sistemnya.
Anak yang ‘diintegrasikan’ akan dibiarkan untuk mengatasi sendiri sistem
sekolah reguler yang kaku tanpa dukungan atau akan memperoleh perhatian
khusus yang memisahkannya dari teman-teman sekelasnya.
Jika anak putus sekolah, tinggal kelas bertahun-tahun, atau terasing, maka ini
semua dianggap sebagai kesalahan anak itu sendiri; ‘dia tidak dapat mengikuti
kurikulum, tidak dapat berjalan sendiri ke sekolah, tidak tahan terhadap
komentar anak-anak lain’.
integrasi biasanya terfokus pada sekelompok anak tertentu, seperti mereka yang
memiliki kecacatan ringan, dan tidak akan memandang bahwa semua anak dapat
diintegrasikan.
Walaupun didasarkan pada konsep yang serupa dengan pendidikan luar biasa
yang segregatif, pendidikan integrasi pada prakteknya sering dipandang sebagai
perintis jalan menuju inklusi dan dapat mengarah pada perubahan sistem.
3. Mainstreaming
Istilah ini sering dipergunakan seperti halnya inklusi atau integrasi. Akan tetapi,
istilah ini juga umum dipergunakan dalam kaitannya dengan isu-isu lain seperti jender
dan hak anak di dalam kebijakan pembangunan secara umum. Dalam hal ini,
mainstreaming dapat diartikan sebagai suatu proses politik untuk membawa suatu
isu dari tepi ke tengah (mainstream), agar diterima oleh mayoritas. Ini dapat diartikan
sebagai mengupayakan agar suatu isu masuk ke dalam agenda, dan mengubah
kesadaran orang dari memandangnya sebagai hal kecil menjadi permasalahan inti dalam
suatu perdebatan. Dalam hal ini, membuat isu kecacatan menjadi persoalan penting
dalam perdebatan tentang Pendidikan untuk Semua dan Peningkatan mutu sekolah
merupakan suatu tujuan yang sangat penting.
4. Unit Kecil
Istilah ini dipergunakan untuk kelas khusus atau bangunan khusus yang merupakan
bagian dari suatu sekolah reguler. Pada umumnya unit ini memiliki guru khusus dan
digunakan untuk anak dengan ‘kebutuhan pendidikan khusus’. Cara ini sering disebut
‘integrasi’ atau bahkan ‘pendidikan inklusif’ karena unit tersebut secara fisik merupakan
bagian dari sekolah reguler, tetapi sebenarnya merupakan segregasi dalam jarak yang
lebih dekat. Sistem ini didasarkan pada filosofi yang sama dengan pendidikan luar biasa
dan memiliki banyak kelemahan – sering kali dapat meningkatkan segregasi dan
eksklusi dan karenanya merupakan strategi yang harus dihindari. Beberapa
permasalahannya adalah:
Guru sekolah reguler memandang bahwa anak yang memiliki kesulitan belajar
merupakan tanggung jawab ‘guru khusus’ di unit tersebut. Mereka tidak suka
dengan jumlah anak yang terlalu banyak dikelasnya sedangkan gaji mereka
rendah,sehingga ingin melepaskan diri dari beban anak yang ‘bermasalah’ itu
dengan melabelinya ‘berkebutuhan khusus’.
Pada prakteknya, jenis anak yang ditemukan di unit ini diklasifikasikan
berdasarkan karakteristiknya yang arbitrer, bukan berdasarkan kebutuhan
belajarnya. Misalnya, mereka disatukan karena memiliki kecacatan meskipun
jenis kecacatannya berbeda-beda. (Tidak ada keuntungan apapun dengan
menggabungkan anak tunarungu, tunanetra dan tunagrahita dalam satu
kelompok untuk tujuan pengajaran).
Dengan menempatkan semua anak ‘cacat’ dan ‘berkebutuhan khusus’ di unit
tersebut, mereka tidak memiliki kesempatan untuk belajar dari teman sebayanya,
dan teman sebayanya pun tidak memiliki kesempatan untuk belajar berhubungan
dengan mereka yang berbeda dari dirinya. Maka stigma dan pemisahan itu pun
terabadikan.6
6
Stubbs, “Inclusive…” hlm.42-46
7
Salamanca 5 years on a review of unesco activities in the light of the salamanca statement and
framework for action on special needs education. unesco 1999.
http://unesdoc.org./images/0011/001181/11811.pdf. hlm. 6
lama adalah menelaah contoh-contoh keberhasilan yang bertambah setiap harinya dari
berbagai konteks dan budaya. Semuanya ini merupakan contoh yang nyata bagaimana
sumber daya, sikap dan hambatan institusi terhadap inklusi dapat diatasi. Beberapa
contoh tersebut meliputi:
Anak penyandang kecacatan intelektual diinklusikan dalam sistem pendidikan
umum di TK, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi
(Inggris).
Anak penyandang cacat diinklusikan di sekolah dengan jumlah anak lebih dari
100 orang per kelas (Lesotho)
Anak penyandang cacat diinklusikan di sekolah-sekolah dilingkungan
masyarakat termiskin di dunia (Douentza, Mali).
Transformasi sistem yang kaku menjadi metodologi yang fleksibel yang
berfokus pada diri anak (Cina)
Peningkatan mutu sekolah yang mengarah pada pendidikan inklusif dalam level
pelatihan guru (Laos)8
10
http://unesdoc.unesco.org./images/0011/001181/11811.pdf
anak; orangtua juga dapat belajar bagaimana cara membimbing anaknya di rumah
dengan lebih baik, yaitu dengan menerapkan teknik yang digunakan guru di sekolah,
dan manfaat bagi masyarakat, antara lain: masyarakat merasa lebih bangga ketika
banyak anak bersekolah dan mengikuti pembelajaran, dan masyarakat akan menemukan
lebih banyak “calon pemimpin masa depan” yang disiapkan untuk berpartisipasi aktif di
masyarakat.
Pendidikan tidak pernah lekang oleh waktu. Pendidikan selalu diharapkan menjadi
media perbaikan dan perubahan bagi segala masalah yang membelit di semua sektor
kehidupan. Pendidikan acapkali diidentikkan dengan perubahan sosial, karena dengan
pendidikan suatu perubahan dapat dimulai dan begitupula sebaliknya perubahan tidak
dapat dimulai tanpa adanya pendidikan. Meminjam kalimat Ashari Cahyo Edhi
perubahan sosial dan pendidikan yang transformatif ibarat menyebut sesuatu dalam satu
tarikan nafas: pendidikan trasnformatif adalah perubahan sosial dan perubahan sosial
adalah pendidikan transformatif.11 Mengapa demikian, perubahan sosial tentu
membutuhkan pemain-pemain yang memiliki pengetahuan, kemampuan, komitmen,
serta kesadaran akan diri dan posisi strukturalnya. Untuk itu perlu tersedianya suatu
media (baca; pendidikan) dimana ide-ide, nilai-nilai maupun ideologi, yang tentunya
kontra ideologi hegemonik, ditransmisikan kepada para pelaku perubahan sosial.Paulo
Freire, pemikir dan aktivis Pendidikan Kritis, mempunyai pendapat cemerlang perihal
pendidikan dan kaitannya dengan perubahan sosial 12. Dalam bentuknya yang paling
ideal, menurut Freire, pendidikan dapat membangkitkan kesadaran (conscientizacao)
diri manusia sebagai subjek. Dengan kesadaran sebagai subjek tersebut manusia dapat
memerankan liberative action. Kesadaran ini secara komunal akhirnya membentuk
kesadaran sosial. Dengan kesadaran sosial yang dibangun diatas basis relasi
intersubjektif rakyat dapat memainkan peranan dalam rekonstruksi tatanan sosial baru
yang lebih demokratis. Tatanan sosial yang demokratis ini menurutnya kondusif bagi
humanisme dan pembebasan.
11
Ashari Cahyo Edi, “Pendidikan Transformatif” http://jurnalyics.tripod.com/index/html diakses
23 maret 2009
12
Basis edisi Paulo Freire, No.01-02 tahun ke-50, januari-febuari 2001
Untuk menghasilkan perubahan sosial pendidikan tidak hadir begitu saja seperti
sulap tanpa ada landasan yang menjadi latar belakang bagaimana kebijakan pendidikan
diambil. Dalam implementasinya pendidikan adalah produk dari world view atau
paradigma dan atau ideologi yang menaunginya. Secara konseptual ada tiga
paradigma/ideologi pendidikan yang dapat menjadi peta pijakan untuk memahami
bagaimana penyelenggaraan pendidikan dilakukan dan sangat berdampak bagi agenda
perubahan sosial.
Dua diantaranya adalah Liberal dan Konservatif yang sama sama berpendirian
bahwa pendidikan adalah a-politik, dan “excellence” haruslah merupakan target utama
pendidikan. Kaum Liberal beranggapan bahwa masalah masyarakat dan pendidikan
adalah dua masalah yang berbeda. Mereka tidak melihat kaitan pendidikan dalam
struktur kelas dan dominasi politik dan budaya serta diskriminasi gender dimasyarakat
luas. Bahkan pendidikan bagi salah satu aliran liberal yakni ‘structural functionalisme’
justru dimaksud sebagai sarana untuk menstabilkan norma dan nilai masyarakat13.
Pendidikan justru dimaksudkan sebagai media untuk mensosialisasikan dan
mereproduksi nilai nilai tata susila keyakinan dan nilai nilai dasar agar masyarakat luas
berfungsi secara baik. Keduanya juga tidak melihat keterkaitan sistem pendidikan
dengan kelas-kelas sosial yang terbentuk dan cenderung menyalahkan individual jika
tertimpa kegagalan. Dengan model seperti ini pendidikan tidak lebih hanya sekedar
mereproduksi kelas sosial yang sama dengan pola “kelas atas - pendidikan berkualitas –
kelas atas”.14 Hal ini terlihat dari bahwa siswa yang memiliki modal besar akan
mendaptkan pendidikan berkualitas (versi liberal-pragmatis) dan memilki kesempatan
yang besar pula untuk kembali ke kelas sosial mereka semula, dan sebaliknya siswa
dengan modal pas-pasan akan sulit mendapat akses pendidikan bermutu dan kemudian
berakhir di kelas sosial bawah kembali. Dengan dua idelogi diatas para ABK sama
sekali tidak mendapat tempat dalam dunia pendidikan, alih-alih berimpian merubah
status mereka dari kaum marjinal menjadi dan terlabeli status sosial kelas atas justeru
Para ABK hanya berkubang pada kesulitan mereka atas sistem yang meng-eksklusi
mereka.
A. Paradigma Kritis Transformatif
13
Arif Rohman, “Politik Ideologi Pendidikan”, Yogyakarta:laksbang mediatama, 2009, cet.I,
hlm. 81
M. Agus Nuryatno, “sekolah, reproduksi sosial dan critical citizenship”, Kompas, 22 desember
14
2003. http://www2.kompas.com/kcm
Pendidikan bagi mereka merupakan arena perjuangan politik. Jika bagi
konservatif, pendidikan bertujuan untuk menjaga status quo, sementara bagi kaum
liberal untuk perubahan moderat, maka paradigma kritis menghendaki perubahan
struktur secara fundamental dalam politik ekonomi masyarakat dimana pendidikan
berada. Bagi mereka kelas dan diskriminasi gender dalam mayarakat tercermin pula
dalam dunia pendidikan. Paham ini bertentangan dengan pandangan kaum liberal
dimana pendidikan dianggap terlepas dari persoalan kelas dan gender yang ada dalam
masyarakat. Dalam perspektif kritis, urusan pendidikan adalah melakukan refleksi
kritis, terhadap ‘the dominant ideology’ ke arah transformasi sosial. Tugas utama
pendidikan adalah menciptakan ruang agar sikap kritis terhadap sistim dan sruktur
ketidakadilan, serta melakukan dekonstruksi dan advokasi menuju sistim sosial yang
lebih adil. Pendidikan tidak mungkin dan tidak bisa bersikap netral, bersikap obyektif
maupun berjarak dengan masyarakat (detachment) seperti anjuran positivisme. Visi
pendidikan adalah melakukan kritik terhadap sistim dominan sebagai pemihakan
terhadap rakyat kecil dan yang tertindas untuk mencipta sistem sosial baru dan lebih
adil. Dalam perspektif kritis, pendidikan harus mampu menciptakan ruang untuk
mengidentifikasi dan menganalisis secara bebas dan kritis untuk transformasi soaial.
Dengan kata lain tugas utama pendidikan adalah ‘memanusiakan’ kembali manusia
yang mengalami dehumanisasi karena sistim dan struktur yang tidak adil.15
Mazhab pendidikan kritis berbasis pada keadilan dan kesetaraan. Oleh karena
itu, pendidikan tidak boleh berkubang dalam urusan persekolahan, kurikulum dan
kebijakan pendidikan saja tetapi juga tentang keadilan dan kesetaraan. Visi tersebut
tidak boleh terlisan dalam kata-kata saja melainkan juga dalam praktek pendidikan
sehari-hari. Tidak boleh ada ambiguisitas, paradoksal dan ketidak-konsintenan antara
apa yang dikonstruksi secara konstitusional dengan praktek di lapangan. Realitas
menunjukkan bahwa sekolah sering sekali menampakkan wajah ambigu, kontradiktif
dan paradoks.16 Disatu sisi sekolah mengagungkan visi menciptakan masyarakat yang
demokratis, tetapi dalam praksisnya justru sekolah melakukan tindakan otoriter dan anti
demokrasi dengan tidak memberikan ruang bagi tumbuhnya subyek yang kritis, toleran,
apresiasif, dan pluralis/multikulturalis. Sekolah berkoar bahwa pendidikan untuk semua
15
Arif Rohman, 2009. “politik…….”hlm.85
16
M. Agus Nuryatno, “Mazhab Pendidikan Kritis”, yogyakarta: resist book, 2008, hlm 3.
tetapi prakteknya justru mengeliminir kelompok minoritas utamanya kaum miskin dan
difabel.
Telah disinggung diatas bahwa setiap paradigma yang diusung oleh pendidikan
menggambarkan situasi dan kondisi yang berbeda. Dari pemetaan diatas, sistem
pendidikan di Indonesia selama ini masih jauh untuk dikategorikan sebagai pendidikan
kritis. Dapat pula dikatakan, dalam taraf tertentu pendidikan kita justru terjebak dalam
paradigma konservatif, meskipun kalau dilihat secara umum pendidikan nasional
termasuk dalam mainstream liberal. Ini ditandai mulai dari privatisasi pendidikan,
model subjek-objek, serta orientasinya yang kental dengan ideologi kapitalisme.
Dewasa ini, ketika dunia didera gelombang globalisasi, pendidikan kian bergeser dari
status dan fungsi awalnya. Pendidikan mau tidak mau dipaksa tereduksi hanya sebagai
komoditas dan harus terbingkai dalam logika pasar. Disatu sisi ia menjadi eksklusif dan
tak terjangkau oleh kalangan bawah, sehingga darwinisme sosial pun sulit dielakkan
berlaku, yaitu secara sederhana Darwinisme Sosial dapat dipahami sebagai suatu
keadaan diamana kehidupan sosial dianalogikan dengan konsep Darwin tentang iklim
kompetisi antar penyusun ekosistem yang berpijak pada postulat survival of the fittest.
Pendek kata, adalah sah bagi individu dan kelompok msyarakat yang punya sumber
daya untuk 'memukul roboh' kelompok dan individu lain demi kepentingan dan
kelangsungan kelompok tersebut.17 Sedang disisi lain visi dan misinya tidak keluar dari
koridor ekonomi (menyiapkan peserta didik sebagai homo economicus semata).
Dalam ideologi konservative dan liberal misi utama adalah menjaga staus quo
sehingga tidak terjadi transformasi sosial dan akibatanya pendidikan menjadi tidak ada
artinya. Berlawanan dengan kedua ideologi tersebut, idologi kritis berkehendak
terwujudnya transformasi dan mobilisasi sosial yang signifikan sehinga peserta didik
dari kalangan menengah kebawah dapat berpindah kedalam status sosial yang lebih
tinggi. Sejauh ini berdasarkan teori korespondensi/reproduksi18, yang terjadi adalah
pengulangan produksi struktur sosial dengan pola:
17
Ashari Cahyo Edi, “Pendidikan Transformatif”, http://jurnalyics.tripod.com/index/html
diakses 23 maret 2009
18
M. Agus Nuryatno, “sekolah…..”
Kelas atas Pendidikan bermutu kelas atas
Bahwa setiap kelas atas akan kembali lagi kekelas semula dengan mudah dan
gampang, begitu pula sebaliknya. Seharusnya pendidikan yang diselengarakan adalah
menjadi production force agar setidaknya para golongan kelas atas tidak akan selalu
merasa besar kepala dengan posisinya dan mengahantarkan pendidikan menjadi
pengabdi untuk semua golongan. Disamping sebagai agen produksi kelas sosial
pendidikan kritis juga mengumandangkan pesan transformasi intelektual.
1. Ada setting dan interaksi sosial yang sebenarnya. Para ABK belajar dalam
lingkungan yang nyata (bukan hanya bergaul dengan para ABK dan terpisah dari
dunia nyata) dan siswa non ABK mampu mengenal dan belajar untuk tidak
mengabaikan ABK dan mereka semua belajar hidup berdampingan
2. Ada interaksi kelompok yang plural dalam pembelajaran karena siswa non ABK
diajarkan untuk membantu para ABK dan para ABK belajar apa yang dilakukan
siswa lainnya
3. Memperbesar rasa percaya diri ABK
4. Mengaktualisasikan lingkungan setempat
5. Meminimalisir hambatan berkaitan dengan kelainan fisik, sosial dan masalah
lainnya terhadap akses dan pembelajaran
6. Anak mendapat pelayanan sesuai kebutuhan anak
7. Membangun sikap empatik, simpatik dan solidaritas terhadap mereka yang
selama ini tereksklusi dari pendidikan
8. Menghilangkan sikap diskriminataif
KESIMPULAN
Pendidikan masih diklaim sebagai salah satu media perubahan sosial. Karena
perubahan sosial harus dibarengi dengan produk-produk pendidikan yang mengawal
transformasi sosial. Pendidikan yang selama ini dilakukan tidak lebih sekedar menjadi
alat bagi kelanggengan hegemoni kapitalis, mereproduksi kelas-kelas yang sama dan
mengekslusikan pihak-pihak yang bermodal rendah serta orang-orang yang dianggap
tidak normal oleh mereka seperti difabel. Jika demikian yang terjadi maka proses
dehumanisasi dan domestikasi telah menjadi agenda utama pendidikan. Melihat
fenomena ini critical pedagogy merangsek naik untuk mengkrtisi realitas tersebut.
Misinya membuat pendidikan dengan kualitas baik bisa dinikmati oleh semua orang
terutama mereka yang tertindas. Sejauh ini prakteknya sukar untuk ditemui tetapi
tawaran pendidikan inklusif yang mengakomodasi semua anak tanpa terkecuali dengan
pola sistem yang menyesuaikan anak dan bukan sebaliknya paling tidak telah
menginklusi orang-orang yang terekslusi dengan mutu pendidikan yang sama.
Berdasarkan hal tersebut anak-anak yang berkebutuhan khusus tentu dapat menikmati
keadilan dan kesetaraan sistem sehinga peluang mereka untuk merubah status sosial
mereka tentu jauh lebih besar. Setidaknya secara teoritis, jika mereka belum mampu
menjadi kelas atas mereka telah menjadi dan masuk kedalam kelas inklusi masyarakat
bukan sebagai orang buangan dan keberadaannya dianggap in-eksis. Wallahu A’lam
DAFTAR PUSTAKA
http://www.unesco.org/education/efa/ed_for_all/background/07bpubl.shtml
http://unesdoc.org./images/0011/001181/11811.pdf
Stubbs, Sue, ” Inclusive Education; Where There Are Few Resources”, pdf,
http://www.eenet.org.uk/theory_practice/IE%20few%20resources
%20Bahasa.pdf