Anda di halaman 1dari 8

Sejarah Indonesia

(1945-1949)

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas

Mata Pelajaran Sejarah

Oleh :

LIA NURBAETI

Kelas : X – 1

SMA NEGERI 2 SUBANG


2010
A. Pendahuluan

Adakah terdengar lagi gaung Pancasila dalam kancah kehidupan bangsa Indonesia dewasa
ini? Agaknya untuk melihat hal itu, perlu penelaahan yang cukup luas sudut pandangnya.
Atau dapat dikatakan bahwa jika Pancasila dilihat sebagai sebuah fenomena, maka perlu juga
dilihat noumena atau esensi dari fenomena itu, dengan begitu sudut pandangnya tidak hanya
dibatasi pada tataran luaran yang nampak, tetapi juga berupaya melihat apa yang sedang
terjadi di dalam. Dan sebagai generasi yang hadir hidup di tengah pergumulan “hidup-mati’
Pancasila, sepertinya hal itu dapat dilakukan. Melihat apa yang sebenarnya terjadi pada
Pancasila.

Akhir-akhir ini kita tahu bahwa, Pancasila sedang mengalami satu fase delegitimasi
keberadaan, di mana sebagai sebuah pandangan hidup sebuah bangsa ia tak lagi “diakui”
sebagai pedoman hidup bersama. Pancasila sekarang sudah tidak sakti lagi, meski kita masih
sering mendengar tiap tahunnya pada akhir bulan September dan awal Oktober selalu ada
peringatan hari Kesaktian Pancasila. Reformasi 1998-1999 telah mencabik-cabiknya, dan
melabelinya sebagai kaki tangan sebuah rezim kekuasaan, pada masa-masa Orba (orde baru).
Pancasila menjadi korban. Korban yang diperalat, dan korban untuk dijadikan kambing
hitam. Begitulah nasib Pancasila.

Ada satu hal yang selama ini menghantui penulis, terkait dengan Pancasila ini. Apakah
Pancasila benar-benar ada dalam diri bangsa ini, sejak awal dirumuskan hingga sekarang ini,
menjadi pedoman dan cara pandang bersama sebagai sebuah bangsa yang beraneka ragam?
Atau ia hanyalah sebuah slogan yang didengungkan sebagai sebuah pilihan-pilihan politis
para founding father kita untuk melegitimasi atau mengukuhkan keberadaan bangsa
Indonesia. Dengan Pancasila adalah produk ide-ide yang sebenarnya tidak pernah diperlukan.
Hanya sebagai legitimator yang sekali-kali digunakan kala dibutuhkan. Tak pernah benar-
benar menjadi pedoman hidup bangsa ini.

Dengan cara lain kita dapat melihat hal itu. Pertama, Pancasila ada sebagai pedoman bangsa
setelah dirumuskan dan ditetapkan sebagai pedoman hidup bangsa ini. Kedua, Pancasila
sebenarnya telah hadir dalam kelokalan-kelokalan bangsa ini yang kemudian disintesiskan
dan dinyatakan sebagai sebuah pedoman hidup bersama oleh kelompok-kelompok lokal yang
telah menyatu. Jiwa dulu atau badannya yang ada?

A. Pintu Masuk Pembahasan

Dalam pembagian cabang-cabang ilmu pengetahuan, etika adalah anak cabang dari filsafat.
Masuk dalam kategori filsafat praktis. Pembahasannya langsung mengarah pada tindakan dan
bagaimana manusia harus berbuat. Filsafat praktis ini diupayakan untuk memberi
pemahaman pada manusia dalam mengarahkan tindakannya. Begitulah etika sebagai bagian
dari filsafat praktis bekerja. Kemudian pun etika masih dibagi lagi menjadi etika individual
dan etika sosial. Mengingat manusia memang memiliki kedua dimensi itu. Sebagai individu
dan makhluk sosial. Sebagai individu manusia memiliki kewajiban-kewajiban terhadap
dirinya sendiri, terhadap Tuhan, dan wilayah-wilayah hidup mereka yang berkenaan dengan
sisi individual. Sedangkan sebagai makhluk sosial, manusia diarahkan untuk mengatur hidup
sesuai dengan garis kodrat mereka sebagai makhluk sosial, berkenaan dengan nilai-nilai
moral yang menentukan sikap dan tindakan antarmanusia.

Sedangkan dimensi politik dalam etika politik di sini adalah dimaksudkan ada dalam
pengertiannya yang lebih luas. Bukan hanya berkenaan dengan sistem kenegaraan atau
hubungan antar negara misal, yang mencangkup kehidupan kenegaraan, pemerintahan,
penentuan dan pelaksanaan kebijakan negara tentang berbagai hal menyangkut kepentingan
publik, serta kegiatan-kegiatan lain dari berbagai lembaga sosial, partai politik dan organisasi
keagamaan yang berkaitan langsung dengan kehidupan kemasyarakatan dan negara yang
dibatasi oleh konsep-konsep negara (state), kekuasaan (power), pengambilan keputusan
(decission making), pembagian (distribution), dan alokasi (alocation), tetapi di sini
pengertian itu diperluas lagi ke dalam tataran manusia sebagai makhluk yang berpolitik.
Secara kasar dapat disebutkan bahwa segala tindakan manusia atau bahkan manusia itu
sendiri tidak akan lepas dari orientasi dan moda-moda politik. Manusia hidup karena
berpolitik. Secara kodrati sebagai makhluk individual atau sosial manusia akan memerlukan
aturan-aturan atau norma-norma untuk dapat menjalani hidupnya. Kata kunci dari dimensi
politik ini adalah kaitannya dengan hak dan kewajiban manusia. Sebagai warga dunia,
sebagai warga negara, sebagi anggota masyarakat, sebagai individu, dan sebagai makhluk
Tuhan.
Dengan melihat dua dimensi ini, etika dan politik, dalam Pancasila sebagai Etika Politik,
maka kita dapat memberi kesimpulan awal bahwa Pancasila adalah pedoman hidup bersama
kita, yang mengatur bagaimana kita bersikap dan bertindak antar satu dengan lain, yang
disertai hak dan kewajibannya. Dengan kata lain Pancasila adalah moral identity kita. Baik
sebagai warga dunia, sebagai warga negara, sebagai anggota masyarakat. Kita dikenali karena
kita memiliki Pancasila dalam diri kita sebagai pedoman hidup bersama.

A. Melihat Ulang Kesejarahan Pancasila

Awal bulan ketiga tahun 1945, adalah tonggak baru sejarah bangsa Indonesia dalam upaya
menjadi diri sebagai bangsa yang merdeka. Pada masa itu, secara resmi diumumkanlah
BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia) atau Dokuritzu Zyundai
Tjosakai oleh Panglima Tentara XVI Letjen Kumaici Harada. Badan ini memiliki tugas untuk
menyelidiki dan merumuskan dasar dan rancangan undang-undang dasar Indonesia.

Pancasila lahir dari sidang BPUPKI yang pertama, yang diselenggarakan tanggal 29 Mei-1
Juni 1945. Dalam tiga hari inilah, para founding father kita “bersitegang” mempersoalkan
dasar atau falsafah negara yang akan digunakan. Di antara beberapa orang yang mengusulkan
draft dasar negara adalah Prof. Mohammad Yamin, Dr. Soepomo, dan Ir. Soekarno. Tiga
orang ini dalam tiga hari berurutan berargumen di hadapan anggota sidang.

Tanggal 29 Mei, Prof. Moh. Yamin, terlebih dahulu membacakan dan menyerahkan
usulannya. Versi lisan yang diusulkan beliau adalah; peri kebangsaan, peri ketuhanan, peri
kerakyatan, dan kesejahteraan rakyat. Sedangkan versi tulisannya; ketuhanan yang Maha Esa,
kebangsaan persatuan Indonesia, rasa kemanusiaan yang adil dan beradab, kerakyatan yang
dipimpin oleh hidmat kebijaksanaan dalam permusyawatan/ perwakilan, dan keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dalam sidang hari berikutnya, Dr. Soepomo menyampaikan usulannya. Yang meliputi;
negara yang kita bentuk harus berdasarkan aliran pikiran kenegaraan kesatuan yang bersifat
integralistis atau negara nasional yang bersifat totaliter, setiap warga dianjurkan untuk hidup
berketuhanan tetapi urusan agama terpisah dari urusan negara, dibentuk Badan Musyawarah
agar pemimpin negara bersatu jiwa dengan wakil rakyat, sistem ekonomi diatur berdasarkan
azas kekeluargaan, tolong menolong dan sistem kooperasi, negara Indonesia yang besar atas
semangat kebudayaan Indonesia asli. Kemudian juga mengusulkan dasar negara yang
meliputi; persatuan, kewargaan, kesinambungan lahir batin, musyawarah dan keadilan sosial.
Hari berikutnya, Ir. Soekarno menyampaikan pidato filsafat dasar negaranya dengan
rumusan; kebangsaan Indonesia-nasionalisme, perikemanusiaan-Internasionalisme, mufakat
atau demokrasi, kesejahteraan sosial, dan ketuhanan yang berkebudayaan.

Kita tidak hendak melihat pergumulan ide antara ketiga orang ini atau alotnya sidang
perumusan dasar negara ini. Konsep siapa yang digunakan dan siapa yang menang. Karena
kita langsung dapat menganalisanya sendiri dengan membandingkan tiga usulan di atas
dengan Pancasila yang ada sampai sekarang ini.

Dan kemudian pada tanggal 22 Juni, usulan-usulan ini disintesiskan oleh Panitia 9 yang
dibentuk oleh BPUPKI, dan menghasilkan sebuah dokumen dengan nama Piagam Jakarta.
Yang isinya adalah rumusan Pancasila berikut ini;

1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya


2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusywaratan
perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh Indonesia

Setelah Indonesia diprokamirkan merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, timbul polemik
yang sangat tajam antara para elit tokoh Indonesia terkait dengan tujuh kata pada sila
pertama. Penduduk Indonesia yang mayoritas umat Islam tentu merasa senang hati dengan
adanya tujuh kata ini. Namun, karena kesadaran bahwa Indonesia merdeka dan terbentuk
bukan hanya karena umat Islam, dan demi menangkal perpecahan pada negeri yang baru
lahir, atas usul Bung Hatta, tujuh kata itu dihapus, menjadi Ketuhanan yang Maha Esa.

A. Mencermati Lima Sila

Abdul Hadi W.M. dalam makalahnya menyatakan bahwa Pancasila adalah landasan ideologis
berdirinya NKRI merupakan sekumpulan sistem nilai. Sebagai sistem nilai yang dijadikan
pedoman hidup sebuah bangsa Pancasila adalah jiwa yang menghidupi kehidupan bangsa ini.
Sila pertama, Ketuhanan yang Maha Esa ada pada puncak pedoman hidup bangsa Indonesia.
Dan seperti apa yang dikatakan Abdul Hadi W.M. sila ini menjadi pengayom bagi sila yang
lain dalam prakteknya. Semangat kemanusiaan, semangat persatuan, semangat kerakyatan,
dan dan semangat keadilan berjalan dengan berlandaskan pada Ketuhanan.
Sila kedua, Kemanusiaan yang adil dan beradab. Secara sempit atau ke dalam, sila ini dapat
diartikan bahwa setiap warga negara Indonesia memperoleh perlakuan yang adil dan beradab.
Dan secara luas, bangsa Indonesia menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusian. Bahwa setiap
orang memiliki hak dan kewajiban yang sama tanpa harus dibeda-bedakan.

Sila ketiga, Persatuan Indonesia. Sila ini paling tidak menggambarkan bahwa bangsa ini
adalah satu keluarga besar yang di dalamnya didasari adanya kesadaran perbedaan satu sama
lain. Dari perbedaan inilah sebenarnya bangsa ini ada. Bangsa ini adalah mozaik yang terdiri
dari fragmen-fragmen yang membentuknya.

Sila keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam


permusyawaratan/Perwakilan. Satu nilai yang menjadi ciri bangsa ini adalah kebersamaan
dan suka bermusyawarah dalam menentukan satu kebijakan demi kepentingan bersama. Di
dasari oleh tiga sila sebelumnya.

Sila kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Keadilan di sini seperti yang
dikatakan Abdul Hadi W.M., adalah Keadilan yang mencakup tiga bentuk keadilan: (1)
Keadilan distributif: menyangkut hubungan negara terhadap warganegara, berarti bahwa
negaralah yang wajib memenuhi keadilan dalam membagi kemakmuran, kesejahteraaan
penghasilan negara, yang terakhir ini dalam bentuk bantuan, subsidi dan kesempatan untuk
hidup bersama yang didasarkan atas hak dan kewajiban yang setara dan seimbang; (2)
Keadilan legal, yaitu keadilan dalam kaitannya dengan hak dan kewajiban warganegara
terhadap negara, tercermin dalam bentuk ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan
yang berlaku dalam negara; (3) Keadilan komutatif: yaitu suatu hubungan keadilan antara
warga dengan warga lainnya secara timbal balik.

A. Penutup, Titik Awal Menghidupkan Kembali Pancasila Sebagai Etika Politik


Bangsa

Dari pencermatan pada lima sila ini, kembali pada pertanyaan di atas bahwa apakah Pancasila
hadir sebagai jiwa dahulu ataukah badannya terlebih dahulu? Jika Pancasila hadir dalam diri
bangsa ini sebelum badan Pancasila itu dirumuskan, berarti bangsa Indonesia secara khas
memang memiliki nilai-nilai atau pedoman yang berkesuaian dengan Pancasila setelah
dirumuskan. Tetapi jika badannya terlebih dahulu yang hadir, kemudian bangsa ini
menghayati nilai-nilainya, berarti ada kesepakat berikutnya tentang nilai-nilai baru yang
terbentuk yang harus dipatuhi dan jadikan pedoman besama. Pertanyaan ini muncul karena
terkait dengan fenomena sekarang ini, fenomena akan ketidakpercayaan bangsa Indonesia
pada Pancasila. Atau pe-marginal-an Pancasila dari kehidupan bangsa ini.

Sebenarnya tidaklah begitu penting apakah Pancasila hadir menjiwai terlebih dahulu sebelum
badannya dirumuskan, atau sebaliknya. Hanya saja ada implikasi yang dapat digunakan untuk
menganalisa masalah delegitimasi Pancasila akhir-akhir ini dengan melihat itu mana yang
hadir terlebih dahulu. Ketika melihat Pancasila sebagai jiwa yang hadir terlebih dahulu,
dengan melihat kondisi saat ini, berarti bukan Pancasilanya yang bermasalah. Bahwa
Pancasila tidak lagi relevan adalah omong kosong belaka. Pancasila adalah tetap Pancasila
yang tetap terbuka bagi semua golongan dan nilai-nilainya akan terus termutakhirkan sesuai
dengan perkembangan zaman, seperti yang dikatakan oleh Prof. Dr. Nurcholish Madjid,
“Pancasila adalah sebuah ideologi, maka itu berarti terbuka lebar adanya kesempatan untuk
semua kelompok sosial guna mengambil bagian secara positif dalam pengisian dan
pelaksanaannya. Maka para pemuka Islam pun harus tanggap kepada masalah ini.” Jadi
manusia-manusianya yang kepribadiannya tergerus.

Dan jika kemudian, jika yang hadir terlebih dahulu adalah badannya, maka kita memang
perlu melihat kembali sila-sila Pancasila. Sudahkan hal itu sesuai dengan watak dan pribadi
bangsa ini. Atau paling tidak sudah cukup dapat menampung watak dan kepribadian itu.

Terakhir, yang bermasalah apakah Pancasila ataukah manusia-manusianya, masih menjadi


pekerjaan rumah, yang bukan hanya diteliti dalam tataran teoritis atau sekedar wacana saja.
Namun, juga dalam tataran praktisnya. Atau bahkan kita melepaskan itu semua, didasari
ketakberdayaan kita dalam menghadapi gerusan arus globalisasi, dengan nilai-nilai positif
dan negatifnya.

Bahan Bacaan dan Rujukan

Rahman, Budhi Munawar, Ensiklopedia Cak Nur, Jakarta; Paramadina, 2007

Abdul Hadi W.M,“Pancasila sebagi Etika Politik dan Dasar Negara,” makalah ini
disampaikan pada mata kuliah Pancasila di ICAS Jakarta, 06 November 2006

Suseno, Franz-Magniz, Etika Politik; Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern,


Jakarta: Gramedia, 2003

Anda mungkin juga menyukai