Anda di halaman 1dari 6

Islam merupakan salah satu agama yang masuk dan berkembang di Indonesia.

Hal ini tentu


bukanlah sesuatu yang asing, karena di media massa kita sudah sering mendengar atau
membaca bahwa Indonesia adalah negara yang memiliki penganut agama Islam terbesar di
dunia. Agama Islam masuk ke Indonesia dimulai dari daerah pesisir pantai, kemudian
diteruskan ke daerah pedalaman oleh para ulama atau penyebar ajaran Islam. Mengenai
kapan Islam masuk ke Indonesia dan siapa pembawanya terdapat beberapa teori yang
mendukungnya. Untuk lebih jelasnya mari kita simak uraian materi berikut ini.

A.Proses Masuk dan Berkembangnya Agama dan Kebudayaan Islam


di Indonesia

Proses masuk dan berkembangnya agama Islam di Indonesia memiliki beberapa teori
tersebut memberikan jawaban tentang permasalah waktu masuknya Islam ke Indonesia, asal
negara dan tentang pelaku penyebar atau pembawa agama Islam ke Nusantara.

1. Anak Benua India


Sarjana pertama yang mengemukakan pendapat ini adalah Pijnappel dari Universitas Leiden
(GJW. Drewes, 1968: 439-440). Dia mengitkan asal-muasal Islam di Nusantara dengan
wilayah Gujarat dan Malabar. Menurut dia, orang-orang Arab bermadzhab Syafi’i
berimigrasi dan menetap di wilayah India, kemudian orang-orang India yang membawa Islam
ke Nusantara. Pendapat ini kemudian dikembangkan oleh Snouck Hurgronje (1924: 7). Ia
berpendapat bahwa begitu Islam berpijak kokoh di beberapa kota pelabuhan Anak Benua
India, banyak di antara muslim India bertindak sebagai pedagang perantara dalam
perdagangan Timur Tengan dengan Nusantara. Mereka datang ke Nusantara sebagai para
penyebar Islam pertama. Baru kemudian disusul oleh orang-orang Arab yang melanjutkan
penyebaran Islam di Nusantara.

Moquette seorang sarjana Belanda lainnya, berpendapat bahwa tempat asal Islam di
Nusantara adalah Gujarat. Ia mendasarkan pendapatnya ini pada peninggalan artefak berupa
batu nisan yang ada di Pasai, kawasan utara Sumatera, terutama yang bertanggal 17
Dzulhijjah 831 H atau 27 September 1428 M. Batu nisan yang ia amati memiliki kemiripan
dengan batu nisan lain yang ditemukan di makam Maulana Malik Ibrahim (wafat 822/1419)
di Gresik, Jawa Timur. Kedua jenis batu nisan itu ternyata memiliki bentuk yang sama
dengan batu nisan yang ada di Cambay, Gujarat, India. Berdasarkan hal tersebut, Moquette
berkesimpulan bahwa batu nisan di Gujarat diperuntukkan bukan hanya bagi kepentingan
lokal, tapi juga diimpor ke kawasan lain, termasuk Sumatera dan Jawa. Selanjutnya, dengan
mengimpor batu nisan dari Gujarat, orang-orang Nusantara juga mengambil Islam dari sana.
Pendapat Moquette tersebut mendapat dukungan dari para sarjana lain seperti: Kern,
Winstedt, Bousquet, Vlekke, Gonda, Schrieke, dan Hall. Mereka ini sependapat dengan
Moquette, dalam hal Gujarat sebagai tempat datangnya Islam di Nusantara, tentu saja
dengan beberapa tambahan.
Yang menjadi dasar dari teori ini adalah :

a. Kurangnya fakta yang menjelaskan peranan bangsa Arab dalam penyebaran Islam di
Indonesia.
b. Hubungan dagang Indonesia dengan India telah lama melalui jalur Indonesia – Cambay –
Timur Tengah – Eropa.
c. Adanya batu nisan Sultan Samudra Pasai yaitu Malik Al Saleh tahun 1297 yang
bercorak khas Gujarat.
ci.
Pendukung teori Gujarat adalah Snouck Hurgronye, WF Stutterheim dan Bernard H.M.
Vlekke. Para ahli yang mendukung teori Gujarat, lebih memusatkan perhatiannya pada saat
timbulnya kekuasaan politik Islam yaitu adanya kerajaan Samudra Pasai. Hal ini juga
bersumber dari keterangan Marcopolo dari Venesia (Italia) yang pernah singgah di Perlak
( Perureula) tahun 1292. Ia menceritakan bahwa di Perlak sudah banyak penduduk yang
memeluk Islam dan banyak pedagang Islam dari India yang menyebarkan ajaran Islam.

2. Bengal
Kesimpulan Moquette ditentang oleh Fatimi. Ia berpendapat bahwa mengaitkan seluruh batu
nisan yang ada di Pasai, termasuk batu nisan Maulana Malik al-Saleh, dengan Gujarat adalah
keliru. Menurut penelitiannya, bentuk dan gaya batu nisan Malik al-Saleh berbeda
sepenuhnya dengan batu nisan yang terdapat di Gujarat dan batu-batu nisan lain yang
ditemukan Nusantara. Fatimi berpendapat bentuk dan gaya batu nisan itu justru mirip dengan
batu nisan yang terdapat di Bengal. Oleh karenanya, seluruh batu nisan itu hampir dipastikan
berasal dari Bengal. Dalam kaitan dengan data artefak ini, Fatimi mengkritik para ahli yang
mengabaikan batu nisan Siti Fatimah bertanggal 475/1082 yang ditemukan di Leran, Jawa
Timur. Teori bahwa Islam di Nusantara berasal dari Bengal bisa dipersoalkan lebih lanjut
termasuk berkenaan dengan adanya perbedaan madzhab yang dianut kaum muslim
Nusantara (Syafi’i) dan mazhab yang dipegang oleh kaum muslimin Bengal (Hanafi).

3. Pantai Coromandel
Pendapat bahwa Gujarat sebagai tempat asal Islam di Nusantara mempunyai kelemahan-
kelemahan tertentu. Kelemahan itu ditemukan oleh Marrison. Ia berpendapat bahwa
meskipun batu-batu nisan yang ditemukan di tempat-tempat tertentu di Nusantara boleh jadi
berasal dari Gujarat, atau dari Bengal, itu tidak lantas berarti Islam juga datang berasal dari
tempat batu nisan itu diproduksi. Marrison mematahkan teori Gujarat ini dengan menunjuk
pada kenyataan bahwa pada masa Islamisasi Samudera Pasai, yang raja pertamanya wafat
tahun 698/1297, Gujarat masih merupakan kerajaan Hindu. Baru setahun kemudian
(699/1298) Cambay, Gujarat ditaklukkan kekuasaan muslim. Jika Gujarat adalah pusat Islam,
yang dari tempat itu para penyebar Islam datang ke Nusantara, maka pastilah Islam telah
mapan dan berkembang di Gujarat sebelum kematian Malik al-Saleh, yakni sebelum tahun
698/1297. Marrison selanjutnya mencatat, meski lasykar muslim menyerang Gujarat
beberapa kali – masing-masing tahun 415/1024, 574/1178, dan 595/1197 – raja Hindu di sana
mampu mempertahankan kekuasaannya hingga 698/1297. mempertimbangkan semua ini,
Marrison mengemukakan pendapatnya bahwa Islam di Nusantara bukan berasal dari Gujarat,
melainkan dibawa oleh para penyebar Muslim dari pantai Coromandel pada akhir abad ke-13.
4. Arab
Teori yang dikemukakan oleh Marrison mendukung pendapat yang disampaikan oleh Arnold
yang menulis jauh sebelum Marrison. Arnold berpendapat bahwa Islam dibawa ke Nusantara
antara lain juga dari Coromandel dan Malabar. Pendapatnya ini didasarkan pada persamaan
madzhab fiqh di antara kedua wilayah tersebut. Mayoritas muslim di Nusantara adalah
pengikut madzhab Syafi’i, yang juga cukup dominan di wilayah Coromandel dan Malabar.
Menurut Arnold, para pedagang dari Coromandel dan Malabar mempunyai peranan penting
dalam perdagangan antara India dan Nusantara. Sejumlah besar pedagang ini mendatangi
pelabuhan-pelabuhan dagang dunia Melayu-Indonesia dimana mereka ternyata tidak hanya
terlibat dalam perdagangan, tetapi juga dalam penyebaran Islam. Akan tetapi, menurut
Arnold, Coromandel dan Malabar bukan satu-satunya tempat asal Islam dibawa, tetapi juga
dari Arabia. Dalam pandangannya, para pedagang Arab juga menyebarkan Islam ketika
mereka dominan dalam perdagangan Barat-Timur sejak abad awal Hijriah atau abad ke-7 dan
ke-8 Masehi. Asumsi bahwa pedagang Arab turut serta dalam penyebaran Islam
mempertimbangkan fakta yang disebutkan sumber-sumber Cina, bahwa menjelang akhir
perempat abad ketiga abad ke-7 seorang pedagang Arab menjadi pemimpin sebuah
pemukiman Arab Muslim di pesisir pantai Sumatera. Sebagian orang-orang Arab ini
dilaporkan melakukan perkawinan dengan wanita lokal, sehingga membentuk nekleus sebuah
komunitas Muslim yang terdiri dari orang-orang Arab pendatang dan penduduk lokal.
Menurut Arnold, anggota-anggota komunitas Muslim ini juga melakukan kegiatan-kehiatan
penyebaran Islam. Pendapat bahwa Islam juga dibawa langsung oleh orang Arab diakui oleh
Crawfurd, walaupun ia menyarankan bahwa interaksi penduduk Nusantara dengan kaum
muslim yang berasal dari pantai timur India juga merupakan faktor penting dalam penyebaran
Islam di Nusantara.

5. Dari Mesir dan Hadhramaut


Keijzer memandang Islam di Nusantara berasal dari Mesir. Pendapatnya ini didasarkan pada
pertimbangan kesamaan kepemelukan penduduk Muslim di kedua wilayah kepada madzhab
Syafi’i. „Teori Arab“ ini juga dianut oleh Niemann da de Hollander dengan sedikit catatan.
Mereka bukan dari Mesir, melainkan dari Hadhramaut. Sebagian ahli Indonesia setuju
dengan teori Arab ini. Dalam seminar yang diselenggarakan pada 1969 dan 1978 tentang
kedatangan Islam ke Indonesia disimpulkan bahwa Islam ke Indonesia langsung dari Arab,
tidak dari India; bukan pada abad ke-12 atau ke-13, melainkan pada abad pertama hijrah atau
abad ke-7 Masehi.

B. Wujud Akulturasi Kebudayaan Indonesia dan Kebudayaan Islam

Sebelum Islam masuk dan berkembang, Indonesia sudah memiliki corak kebudayaan yang
dipengaruhi oleh agama Hindu dan Budha seperti yang pernah Anda pelajari pada modul
sebelumnya. Dengan masuknya Islam, Indonesia kembali mengalami proses akulturasi
(proses bercampurnya dua (lebih) kebudayaan karena percampuran bangsa-bangsa dan saling
mempengaruhi), yang melahirkan kebudayaan baru yaitu kebudayaan Islam Indonesia.
Masuknya Islam tersebut tidak berarti kebudayaan Hindu dan Budha hilang. Bentuk budaya
sebagai hasil dari proses akulturasi tersebut, tidak hanya bersifat kebendaan/material tetapi
juga menyangkut perilaku masyarakat Indonesia.
1. Seni Bangunan

Wujud kulturasi dalam seni bangunan dapat terlihat pada bangunan masjid, makam,
istana.

Wujud akulturasi dari masjid kuno seperti yang tampak pada gambar 1.1. memiliki
ciri sebagai berikut:

a. Atapnya berbentuk tumpang yaitu atap yang bersusun semakin ke atas semakin kecil dari
tingkatan paling atas berbentuk limas. Jumlah atapnya ganjil 1, 3 atau 5. Dan biasanya
ditambah dengan kemuncak untuk memberi tekanan akan keruncingannya yang disebut
dengan Mustaka.
b. Tidak dilengkapi dengan menara, seperti lazimnya bangunan masjid yang ada di luar
Indonesia atau yang ada sekarang, tetapi dilengkapi dengan kentongan atau bedug untuk
menyerukan adzan atau panggilan sholat. Bedug dan kentongan merupakan budaya asli
Indonesia.
c. Letak masjid biasanya dekat dengan istana yaitu sebelah barat alun-alun atau bahkan
didirikan di tempat-tempat keramat yaitu di atas bukit atau dekat dengan makam.
Mengenai contoh masjid kuno selain seperti yang tampak pada gambar 1.1 Anda
dapat memperhatikan Masjid Agung Demak, Masjid Gunung Jati (Cirebon), Masjid
Kudus dan sebagainya.

Ciri-ciri dari wujud akulturasi pada bangunan makam terlihat dari:

a. makam-makam kuno dibangun di atas bukit atau tempat-tempat yang keramat.


b. makamnya terbuat dari bangunan batu yang disebut dengan Jirat atau Kijing,
nisannya juga terbuat dari batu.
c. di atas jirat biasanya didirikan rumah tersendiri yang disebut dengan cungkup
atau kubba.
d. dilengkapi dengan tembok atau gapura yang menghubungkan antara makam
dengan makam atau kelompok-kelompok makam. Bentuk gapura tersebut ada
yang berbentuk kori agung (beratap dan berpintu) dan ada yang berbentuk candi
bentar (tidak beratap dan tidak berpintu).
e. Di dekat makam biasanya dibangun masjid, maka disebut masjid makam dan
biasanya makam tersebut adalah makam para wali atau raja.
2. Seni Rupa
Tradisi Islam tidak menggambarkan bentuk manusia atau hewan. Seni ukir relief yang
menghias Masjid, makam Islam berupa suluran tumbuh-tumbuhan namun terjadi pula
Sinkretisme (hasil perpaduan dua aliran seni logam), agar didapat keserasian, misalnya ragam
hias pada gambar 1.3. ditengah ragam hias suluran terdapat bentuk kera yang distilir. Ukiran
ataupun hiasan seperti pada gambar 1.3., selain ditemukan di masjid juga
ditemukan pada gapura-gapura atau pada pintu dan tiang.

3. Aksara dan Seni Sastra


Tersebarnya agama Islam ke Indonesia maka berpengaruh terhadap bidang aksara atau
tulisan, yaitu masyarakat mulai mengenal tulisan Arab, bahkan berkembang tulisan Arab
Melayu atau biasanya dikenal dengan istilah Arab gundul yaitu tulisan Arab yang dipakai
untuk menuliskan bahasa Melayu tetapi tidak menggunakan tanda-tanda a, i, u seperti
lazimnya tulisan Arab. Di samping itu juga, huruf Arab berkembang menjadi seni kaligrafi
yang banyak digunakan sebagai motif hiasan ataupun ukiran. Sedangkan dalam seni sastra
yang berkembang pada awal periode Islam adalah seni sastra yang berasal dari perpaduan
sastra pengaruh Hindu – Budha dan sastra Islam yang banyak mendapat pengaruh Persia.
Dengan demikian wujud akulturasi dalam seni sastra tersebut terlihat dari tulisan/ aksara yang
dipergunakan yaitu menggunakan huruf Arab Melayu (Arab Gundul) dan isi ceritanya juga
ada yang mengambil hasil sastra yang berkembang pada jaman Hindu.

Bentuk seni sastra yang berkembang adalah:

a. Hikayat yaitu cerita atau dongeng yang berpangkal dari peristiwa atau tokoh
sejarah. Hikayat ditulis dalam bentuk peristiwa atau tokoh sejarah. Hikayat ditulis
dalam bentuk gancaran (karangan bebas atau prosa). Contoh hikayat yang
terkenal yaitu Hikayat 1001 Malam, Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Pandawa
Lima (Hindu), Hikayat Sri Rama (Hindu).
b. Babad adalah kisah rekaan pujangga keraton sering dianggap sebagai peristiwa
sejarah contohnya Babad Tanah Jawi (Jawa Kuno), Babad Cirebon.
c. Suluk adalah kitab yang membentangkan soal-soal tasawwuf contohnya Suluk
Sukarsa, Suluk Wijil, Suluk Malang Sumirang dan sebagainya.
d. Primbon adalah hasil sastra yang sangat dekat dengan Suluk karena berbentuk
kitab yang berisi ramalan-ramalan, keajaiban dan penentuan hari baik/buruk.
Bentuk seni sastra tersebut di atas, banyak berkembang di Melayu dan Pulau Jawa.
.
4. Sistem Pemerintahan
Dalam pemerintahan, sebelum Islam masuk Indonesia, sudah berkembang pemerintahan yang
bercorak Hindu ataupun Budha, tetapi setelah Islam masuk, maka kerajaan-kerajaan yang
bercorak Hindu/Budha mengalami keruntuhannya dan digantikan peranannya oleh kerajaan-
kerajaan yang bercorak Islam seperti Samudra Pasai, Demak, Malaka dan sebagainya. Sistem
pemerintahan yang bercorak Islam, rajanya bergelar Sultan atau Sunan seperti halnya para
wali dan apabila rajanya meninggal tidak lagi dimakamkan dicandi/ dicandikan tetapi
dimakamkan secara Islam.

5. Sistem Kalender
Sebelum budaya Islam masuk ke Indonesia, masyarakat Indonesia sudah mengenal Kalender
Saka (kalender Hindu) yang dimulai tahun 78M. Dalam kalender Saka ini ditemukan nama
nama pasaran hari seperti legi, pahing, pon, wage dan kliwon. Setelah berkembangnya Islam
Sultan Agung dari Mataram menciptakan kalender Jawa, dengan menggunakan perhitungan
peredaran bulan (komariah) seperti tahun Hijriah (Islam). Pada kalender Jawa, Sultan Agung
melakukan perubahan pada nama-nama bulan seperti Muharram diganti dengan Syuro,
Ramadhan diganti dengan Pasa. Sedangkan nama-nama hari tetap menggunakan hari-hari
sesuai dengan bahasa Arab. Dan bahkan hari pasaran pada kalender saka juga dipergunakan.
Kalender Sultan Agung tersebut dimulai tanggal 1 Syuro 1555 Jawa, atau tepatnya 1
Muharram 1053 H yang bertepatan tanggal 8 Agustus 1633 M.

Anda mungkin juga menyukai