Anda di halaman 1dari 42

ASKEP PADA KLIEN DENGAN STROKE DAN

PENINGKATAN TEKANAN INTRAKRANIAL

OLEH:

SGD 5
NI LUH PUTU SHINTA DEVI (0802105010)
I MADE ARYA KAMASUTA (0802105014)
NI WAYAN BUDI ARTHINI (0802105023)
LUH PUTU JUNIARI LISTUAYU (0802105024)
WAYAN WIRA ADNYANA (0802105037)
NI NYM. PRADNYA PARAMITHA D. (0802105038)
NI PUTU ARYSTA K.D. (0802105039)
I.A. EKA JAYANTHI (0802105048)
I GST. AYU SIKHA PERMATA A.S. (0802105049)
NI PUTU WINDA IRMALIA DEWI (0802105062)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
UDAYANA
2009
TINJAUAN PENYAKIT

1. PENGERTIAN
Menurut WHO stroke adalah adanya tanda-tanda klinik yang berkembang
cepat akibat gangguan fungsi otak fokal (atau global) dengan gejala-gejala
yang berlangsung selama 24 jam atau lebih yang menyebabkan kematian
tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain vaskuler. (Hendro Susilo, 2000).
Stroke dapat didefinisikan sebagai defisit neurologi yang yang mempunyai
awitan mendadak dan berlangsung 24 jam sebagai akibat dari Cerebrovaskular
Disease ( CVD), yaitu gangguan neurology yang sering terjadi pada orang
dewasa (Huddak & Gallo, 1996). Sedangkan menurut Neil F Gordon stroke
adalah gangguan potensial yang fatal pada suplai darah bagian otak.
Peningkatan tekanan intrakranial (PTIK) adalah suatu peningkatan
tekanan yang terjadi dalam rongga tengkorak. Tekanan intracranial
merupakan jumlah total dari tekanan yang mewakili volume jaringan otak,
volume darah intrakranial dan cairan serebrospinalis. Apabila volume dari
salah satu faktor tadi meningkat dan tidak dapat dikompensasi oleh kedua
faktor yang lain, maka terjadilah tekanan tinggi intrakranial. PTIK terjadi pada
penderita cedera kepala, stroke hemorrhagic dan trombotik, serta lesi desak
ruang seperti tumor otak. Massa intracranial bersama pembengkakkan otak
meninggikan TIK dan mendistorsikan otak.

2. EPIDEMIOLOGI
Stroke dan peningkatan TIK dapat menyerang kapan saja, mendadak, siapa
saja, baik laki-laki atau perempuan, tua atau muda. Diperkirakan satu sampai
tiga orang akan mengalami stroke dan satu dari tujuh orang meninggal karena
stroke. Insiden stroke timbul bervariasi, tergantung tempat atau negara, waktu,
serta penderitanya. Insiden stroke yang disebabkan oleh peningkatan TIK di
negara berkembang masih meningkat sedangkan di negara maju cenderung
menurun. Penurunan ini mungkin disebabkan karena manajemen hipertensi,
penyakit jantung dan penyakit metabolik di negara maju telah makin baik.
Memang sebagian besar dari kasus stroke dapat diakatakan merupakan bukti
kegagalan pengobatan hipertensi, penyakit jantung, dan penyakit metabolik.
Insiden stroke meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Setelah umur 55
tahun risiko stroke iskemik meningkat 2 kali lipat tiap dekade. Menurut
Schutz penderita yang berumur antara 70-79 tahun banyak menderita
perdarahan intrakranial (Junaidi, 2004). Laki-laki cenderung untuk terkena
stroke lebih tinggi dibandingkan wanita, dengan perbandingan 1,3 : 1, kecuali
pada usia lanjut laki-laki dan wanita hampir tidak berbeda. Laki-laki yang
berumur 45 tahun bila bertahan hidup sampai 85 tahun kemungkinan terkena
stroke 25%, sedangkan risiko bagi wanita hanya 20%. Pada laki-laki
cenderung terkena stroke iskemik, sedangkan wanita lebih sering menderita
perdarahan subarachnoid dan kematiannya 2 kali lebih tinggi dibandingkan
wanita (Junaidi, 2004). Sampai sekarang faktor keturunan masih belum dapat
dipastikan gen mana penentu terjadinya stroke, menurut Brass dkk., yang
meneliti lebih dari 1200 kasus kembar monozygot dibandingkan 1100 kasus
kembar dizygot, berbeda bermakna antara 17,7% dan 3,6%. Tingkat kejadian
stroke di seluruh dunia tertinggi dialami oleh orang Jepang dan Cina, menurut
Broderick dkk., melaporkan orang negro Amerika cenderung berisiko 1,4 kali
lebih besar mengalami stroke perdarahan intrakranial, sedang orang kulit putih
cenderung terkena stroke iskemik, akibat sumbatan ekstrakranial yang lebih
banyak (Junaidi, 2004).

3. ETIOLOGI
Penyebab PTIK antara lain :
1. Tumor primer atau metastasis
2. Hemoragia otak
3. Hematoma subdural
4. Abses otak
5. Hidrosefalus akut
6. Tumor serebri
7. Infark yang luas
8. Trauma
9. Hematoma ekstraserebral
10. Acute brain swelling
11. Nekrosis otak yang diinduksi oleh radiasi
12. Edema serebral
13. Hipoksia
Penurunan PaO2 menyebabkan vasodilatasi serebral kurang dari 60
mmHg.
14. Hiperkapnia (peningkatan CO2) yang menyebabkan vasodilatasi.
15. Kerusakan aliran balik vena yang eningkatkan volume darah serebral.
16. Peningkatan tekanan abdomen atau intratorakal
17. Meningginya tekanan vena karena kegagalan jantung atau karena
obstruksi mediastinal superior.
18. Gangguan absorpsi cairan serebrospinalis.

Penyebab stroke antara lain :


1. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi
- Usia
Dari berbagai penelitian, diketahui bahwa semakin tua usia,
semakin besar pula risiko terkena stroke. Hal ini berkaitan dengan
adanya proses degenerasi (penuan) yang terjadi secara alamiah dan
pada umumnya pada orang lanjut usia, pembuluh darahnya lebih
kaku oleh sebab adanya plak (atherosklerosis).
- Jenis kelamin
Laki-laki memiliki risiko lebih besar untuk terkena stroke
dibandingkan dengan perempuan. Hal ini mungkin terkait bahwa
laki-laki cenderung merokok. Dan rokok itu sendiri ternyata dapat
merusak lapisan dari pembuluh darah tubuh.
- Herediter
Hal ini terkait dengan riwayat stroke pada keluarga. Orang dengan
riwayat stroke pada kelurga, memiliki risiko yang lebih besar untuk
terkena stroke dibandingkan dengan orang tanpa riwayat stroke
pada keluarganya.
- Ras/etnik
Dari berbagai penelitian diyemukan bahwa ras kulit putih memiliki
peluang lebih besar untuk terkena stroke dibandingkan dengan ras
kulit hitam.

2. Faktor yang dapat dimodifikasi


- Hipertensi (darah tinggi)
Orang-orang yang tekanan darahnya tinggi memiliki peluang
besar untuk mengalami stroke. Bahkan hipertensi merupakan
penyebab terbesar (etiologi) dari kejadian stroke itu sendiri. Hal
ini disebabkan karena pada kasus hipertensi, dapat terjadi
gangguan aliran darah tubuh dimana diameter pembuluh darah
pada nantinya akan mengecil (vasokontriksi) sehingga darah
yang mengalir ke otak pun akan berkurang. Dengan
pengurangan aliran darah otak (ADO) maka otak akan akan
kekurangan suplai oksigen dan juga glukosa (hipoksia), karena
suplai berkurang secara terus menerus, maka jaringan otak
lama-lama akan mengalami kematian.
- Penyakit jantung
Adanya penyakit jantung seperti penyakit jantung koroner, infak
miokard (kematian otot jantung) juga merupakan faktor terbesar
terjadinya stroke. Seperti kita ketahui, bahwa sentral dari aliran
darah di tubuh terletak dijantung. Bilamana pusat mengaturan
aliran darahnya mengalami kerusakan, maka aliran darah tubuh
pun akan mengalami gangguan. Termasuk aliran darah yang
menuju ke otak. Karena adanya gangguan aliran, jaringan otak
pun dapat mengalami kematian secara mendadak ataupun
bertahap.
- Diabetes mellitus
Diabetes melitus atau disebut juga sebagai kencing manis,
memiliki risiko untuk mengalami stroke. Hal ini terkait dengan
pembuluh darah penderita DM yang umumnya menjadi lebih
kaku. Adanya peningkatan ataupun penurunan kadar glukosa
darah secara tiba-tiba juga dapat menyebabkan kematian
jaringan otak.
- Hiperkolesterolemia
Hiperkolesterolemia merupakan keadaan dimana kadar
kolesterol didalam darah berlebih. Kolesterol yang berlebih
terutama jenis LDL akan mengakibatkan terbentuknya
plak/kerak pada pembuluh darah, yang lama-lama akan semakin
banyak dan menumpuk sehingga lama-lama akan mengganggu
aliran darah.
- Peningkatan kolesterol (lipid total)
Kolesterol tubuh yang tinggi dapat menyebabkan aterosklerosis
dan terbentuknya embolus dari lemak.
- Obesitas
Kegemukan juga merupakan salah satu faktor risiko terjadinya
stroke. Hal tersebut terkait dengan tingginya kadar lemak dan
kolesterol dalam darah pada orang dengan obesitas, dimana
biasanya kadar LDL (lemak jahat) lebih tinggi dibandingkan
dengan kadar HDLnya (lemak baik/menguntungkan).
- Merokok
Dari penelitian didapatkan, bahwa orang-orang yang merokok
ternyata memiliki kadar fibrinogen darah yang lebih tinggi
dibandingkan dengan orang yang tidak merokok. Peningkatan
kadar fibrinogen ini dapat mempermudah terjadinya penebalan
pembuluh darah sehingga pembuluh darah menjadi sempit dan
kaku dengan demikian dapat menyebabkan gangguan aliran
darah.

Beberapa keadaan dibawah ini dapat menyebabkan stroke antara


lain:
1. Thrombosis Cerebral.
Thrombosis ini terjadi pada pembuluh darah yang mengalami
oklusi sehingga menyebabkan iskemi jaringan otak yang dapat
menimbulkan oedema dan kongesti di sekitarnya. Thrombosis
biasanya terjadi pada orang tua yang sedang tidur atau bangun
tidur. Hal ini dapat terjadi karena penurunan aktivitas simpatis
dan penurunan tekanan darah yang dapat menyebabkan iskemi
serebral. Tanda dan gejala neurologis seringkali memburuk pada
48 jam setelah thrombosis. Beberapa keadaan di bawah ini dapat
menyebabkan thrombosis otak:
a. Atherosklerosis
Atherosklerosis adalah mengerasnya pembuluh darah serta
berkurangnya kelenturan atau elastisitas dinding pembuluh
darah. Manifestasi klinis atherosklerosis bermacam-macam.
Kerusakan dapat terjadi melalui mekanisme berikut:
- Lumen arteri menyempit dan mengakibatkan
berkurangnya aliran darah.
- Oklusi mendadak pembuluh darah karena terjadi
thrombosis.
- Merupakan tempat terbentuknya thrombus dan
kemudian melepaskan kepingan thrombus (embolus).
- Dinding arteri menjadi lemah, terjadi aneurisma
kemudian robek dan terjadi perdarahan.
b. Hypercoagulasi pada polysitemia
Darah bertambah kental, peningkatan viskositas/hematokrit
meningkat dapat melambatkan aliran darah serebral.
c. Arteritis (radang pada arteri)
2.Emboli
Emboli serebral merupakan penyumbatan pembuluh darah otak
oleh bekuan darah, lemak dan udara. Pada umumnya emboli
berasal dari thrombus di jantung yang terlepas dan menyumbat
sistem arteri serebral. Emboli tersebut berlangsung cepat dan
gejala timbul kurang dari 10-30 detik. Beberapa keadaan
dibawah ini dapat menimbulkan emboli:
a. Katup-katup jantung yang rusak akibat Rheumatik Heart
Desease (RHD).
b. Myokard infark
c. Fibrilasi,. Keadaan aritmia menyebabkan berbagai bentuk
pengosongan ventrikel sehingga darah terbentuk gumpalan
kecil dan sewaktu-waktu kosong sama sekali dengan
mengeluarkan embolus-embolus kecil.
d. Endokarditis oleh bakteri dan non bakteri, menyebabkan
terbentuknya gumpalan-gumpalan pada endocardium.
3. Haemorhagi
Perdarahan intrakranial atau intraserebral termasuk perdarahan
dalam ruang subarachnoid atau kedalam jaringan otak sendiri.
Perdarahan ini dapat terjadi karena atherosklerosis dan
hypertensi. Akibat pecahnya pembuluh darah otak menyebabkan
perembesan darah kedalam parenkim otak yang dapat
mengakibatkan penekanan, pergeseran dan pemisahan jaringan
otak yang berdekatan ,sehingga otak akan membengkak, jaringan
otak tertekan.
4. Iskhemik
Stroke yang terjadi sebagai akibat dari adanya sumbatan pada
arteri sehingga menyebabkan penurunan suplay oksigen pada
jaringan otak ( iskhemik ) hingga menimbulkan nekrosis. Adanya
penimbunan lemak pada pembuluh darah otak (aterosklerosis)
akan meningkatkan resiko terjadinya stroke iskhemik.

4. PATOFISIOLOGI
Edema otak merupakan sebab yang paling lazim dari peningkatan tekanan
intrakranial dan memiliki banyak penyebab antara lain peningkatan cairan
intrasel, hipoksia, ketidak seimbangan cairan dan elektrolit, iskemia serebral,
meningitis, dan tentu saja cedera.
Tekanan intrakranial pada umumnya bertambah secara berangsur-angsur.
Setelah cedera kepala, timbulnya edema memerlukan waktu 36 sampai 48
jam untuk mencapai maksimum. Peningkatan tekanan intrakranial sampai 33
mmHg mengurangi aliran darah otak secara bermakna. Iskemia yang timbul
merangsang pusat motor, dan tekanan darah sistemik meningkat, Rangsangan
pada pusat inhibisi jantung mengakibatkan bradikardia dan pernapasan
menjadi lambat. Mekanisme kompensasi ini, dikenal sebagai refleks
Cushing, membantu mempertahankan aliran darah otak. Akan tetapi,
menurunnya pernapasan mengakibatkan retensi Co2 dan mengakibatkan
vasodilatasi otak yang membantu menaikkan tekananan intrakranial.
Trauma otak menyebabkan fragmentasi jaringan dan kontusio, merusak
sawar darah orak (SDO), disertai vasodilatasi dan eksudasi cairan sehingga
timbul edema. Edema menyebabkan peningkatan tekanan pada jaringan dan
akhirnya menngkatkan TIK, yang pada gilirannya akan menurunkan aliran
darah otak, iskemia, hipoksia, asidosis (penurunan pH dan penigkatan PCo2),
dan kerusakan SDO lebih lanjut. Siklus ini akan terus berlanjut sehingga
terjadi kematian sel dan edema bertambah secara progresif kecuali bila
dilakukan intervensi.
Otak sendiri merupakan 2% dari berat tubuh total. Dalam keadaan istirahat
otak menerima seperenam dari curah jantung. Otak mempergunakan 20%
dari oksigen tubuh. Otak sangat tergantung kepada oksigen, bila terjadi
anoksia seperti yang terjadi pada CVA di otak mengalami perubahan
metabolik, kematian sel dan kerusakan permanen yang terjadi dalam 3
sampai dengan 10 menit (non aktif total). Pembuluh darah yang paling sering
terkena ialah arteri serebral dan arteri karotis Interna.
Adanya gangguan peredaran darah otak dapat menimbulkan jejas atau cedera
pada otak melalui empat mekanisme, yaitu: :
1. Penebalan dinding arteri serebral yang menimbulkan penyempitan atau
penyumbatan lumen sehingga aliran darah dan suplainya ke sebagian otak
tidak adekuat, selanjutnya akan mengakibatkan perubahan-perubahan
iskemik otak. Bila hal ini terjadi sedemikian hebatnya, dapat
menimbulkan nekrosis.
2. Pecahnya dinding arteri serebral akan menyebabkan bocornya darah ke
kejaringan (hemorrhage).
3. Pembesaran sebuah atau sekelompok pembuluh darah yang menekan
jaringan otak.
4. Edema serebri yang merupakan pengumpulan cairan di ruang interstitial
jaringan otak.
Konstriksi lokal sebuah arteri mula-mula menyebabkan sedikit perubahan
pada aliran darah dan baru setelah stenosis cukup hebat dan melampaui batas
kritis terjadi pengurangan darah secara drastis dan cepat. Oklusi suatu arteri
otak akan menimbulkan reduksi suatu area dimana jaringan otak normal
sekitarnya yang masih mempunyai pendarahan yang baik berusaha
membantu suplai darah melalui jalur-jalur anastomosis yang ada. Perubahan
awal yang terjadi pada korteks akibat oklusi pembuluh darah adalah gelapnya
warna darah vena, penurunan kecepatan aliran darah dan sedikit dilatasi arteri
serta arteriole. Selanjutnya akan terjadi edema pada daerah ini. Selama
berlangsungnya perisriwa ini, otoregulasi sudah tidak berfungsi sehingga
aliran darah mengikuti secara pasif segala perubahan tekanan darah arteri. Di
samping itu reaktivitas serebrovaskuler terhadap PCO2 terganggu.
Berkurangnya aliran darah serebral sampai ambang tertentu akan memulai
serangkaian gangguan fungsi neural dan terjadi kerusakan jaringan secara
permanen.
(PATHWAY TERLAMPIR)

5. KLASIFIKASI
Stroke dapat diklasifikasikan menurut patologi dan gejala kliniknya, yaitu:
a. Stroke Haemorhagi
Merupakan perdarahan serebral dan mungkin perdarahan
subarachnoid. Disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah otak pada
daerah otak tertentu. Biasanya kejadiannya saat melakukan aktivitas
atau saat aktif, namun bisa juga terjadi saat istirahat. Kesadaran pasien
umumnya menurun.
b. Stroke Non Haemorhagi
Dapat berupa iskemia atau emboli dan thrombosis serebral, biasanya
terjadi saat setelah lama beristirahat, baru bangun tidur atau di pagi
hari. Tidak terjadi perdarahan namun terjadi iskemia yang
menimbulkan hipoksia dan selanjutnya dapat timbul edema sekunder.
Kesadaran umummnya baik.

Menurut perjalanan penyakit atau stadiumnya:


i. Transient Ischemic Attack (TIA)
Merupakan gangguan pembuluh darah otak yang menyebabkan
timbulnya defisit neurologis akut yang berlangsung kurang dari 24
jam. Stroke ini tidak akan meninggalkan gejala sisa sehingga pasien
tidak terlihat pernah mengalami serangan stroke. Akan tetapi adanya
TIA merupakan suatu peringatan akan serangan stroke selanjutnya
sehingga tidak boleh diabaikan begitu saja.
ii. Reversible Ischemic Neurological Deficit (RIND)
Kondisi RIND hampir sama dengan TIA, hanya saja berlangsung lebih
lama, maksimal 1 minggu (7 hari).
iii. Complete stroke
Merupakan gangguan pembuluh darah otak yang menyebabkan deficit
neurologist akut yang berlangsung lebih dari 24 jam.
iv. Stroke in Evolution (Progressive Stroke)
Stroke ini merupakan jenis yang terberat dan sulit ditentukan
prognosanya. Hal ini disebabkan kondisi pasien yang cenderung labil,
berubah-ubah, dan dapat mengarah ke kondisi yang lebih buruk.

6. MANIFESTASI KLINIS
Gejala-gejala klinis yang muncul tergantung berat ringannya gangguan
pembuluh darah dan lokasinya. Gambaran klinis stroke dapat berupa
(Junaidi,2004) :
• Adanya serangan defisit neurologis fokal, berupa kelemahan atau
kelumpuhan lengan atau tungkai, atau salah satu sisi tubuh.
• Hilangnya rasa atau adanya sensasi abnormal pada lengan, tungkai atau
salah satu sisi tubuh. Mati rasa sebelah, terasa kesemutan, terasa seperti
terbakar.
• Mulut, lidah mencong bila diluruskan.
• Gangguan menelan : sulit menelan, minum sering tersedak.
• Bicara tidak jelas, sulit berbahasa, kata yang diucapkan tidak sesuai
keinginan, pelo, sengau, bicaranya ngaco, kata-katanya tidak dapat
dipahami (afasia). Bicara tidak lancar, hanya sepatah-sepatah kata yang
terucap.
• Sulit memikirkan atau mengucapkan kata-kata yang tepat.
• Tidak memahami pembicaraan orang lain.
• Tidak mampu membaca dan menulis, dan tidak memahami tulisan.
• Tidak dapat berhitung, kepandaian menurun.
• Tidak mampu mengenali bagian dari tubuh.
• Hilangnya kendali terhadap kandung kemih, inkontinensia.
• Berjalan menjadi sulit, langkahnya kecil-kecil.
• Menjadi pelupa (demensia).
• Vertigo (pusing), atau perasaan berputar yang menetap saat tidak
beraktifitas.
• Awal terjadinya penyakit (onset) cepat, mendadak, dan biasanya terjadi
pada saat beristirahat atau bangun tidur.
• Hilangnya penglihatan berupa penglihatan yang terganggu, sebagian
lapang pandang tidak terlihat, gangguan pandangan tanpa rasa nyeri,
penglihatan gelap atau ganda sesaat.
• Kelopak mata sulit dibuka.
• Pendengaran hilang atau gangguan pendengaran, berupa tuli satu telinga
atau pendengaran berkurang.
• Menjadi lebih sensitif, menjadi mudah menangis atau tertawa
• Kebanyakan tidur atau selalu ingin tidur.
• Kehilangan keseimbangan, gerakan tubuh tidak terkoordinasi dengan
baik, sempoyongan, atau terjatuh.
• Gangguan kesadaran, pingsan sampai tidak sadarkan diri (koma).
Manifestasi klinik peningkatan tekanan intrakranial banyak dan bervariasi dan
dapat tidak jelas. Perubahan tingkat kesadaran penderita merupakan indikator
yang paling sensitif dari semua tanda peningkatan tekanan intracranial. Trias
klasik peningkatan tekanan intrakranial adalah:
1. Nyeri kepala karena regangan dura dan pembuluh darah
2. Papiledema yang disebabkan oleh tekanan dan pembengkakan diskus
optikus.
3. Muntah sering proyektil
Tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial lainnya;
1. Hipertermia
2. Perubahan motorik dan sensorik
3. Perubahan berbicara
4. Kejang

7. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan pada stroke :
A. Pemeriksaan radiologi
 CT scan didapatkan hiperdens fokal, kadang-kadang masuk
ventrikel, atau menyebar ke permukaan otak.
 MRI untuk menunjukkan area yang mengalami infark,hemoragik.
 Angiografi cerebral membantu menentukan penyebab stroke secara
spesifik seperti perdarahan atau obstruksi arteri.
 Pemeriksaan foto thorax dapat memperlihatkan keadaan jantung,
apakah terdapat pembesaran ventrikel kiri yang merupakan salah
satu tanda hipertensi kronis pada penderita stroke.
B. Pemeriksaan laboratorium
 Pungsi lumbal: menunjukan adanya tekanan Normal dan cairan tidak
mengandung darah.
 Pemeriksaan darah rutin
 Pemeriksaan kimia darah pada stroke akut dapat terjadi
hiperglikemia. Gula darah dapat mencapai 250 mg dalam serum dan
kemudian berangsur-angsur turun kembali.
 Pemeriksaan darah lengkap untuk mencari kelainan pada darah itu
sendiri
Pemeriksaan diagnostik pada PTIK :
 Scan otak : meningkat isotop pada tumor.
 Angiografi serebral : mengetahui adanya deviasi pada pembuluh
darah.
 X-ray tengkorak : erosi posterior atau adanya kalsifikasi
intracranial.
 X-ray dada : mendeteksi tumor paru primer atau penyakit metastase.
 CT scan atau MRI : mengidentfikasi vaskuler tumor, perubahan
ukuran ventrikel serebral.
 Ekoensefalogram : melihat peningkatan pada struktur midline.
8. PENATALAKSANAAN
Untuk mengobati keadaan akut perlu diperhatikan faktor-faktor kritis
sebagai berikut:
1. Berusaha menstabilkan tanda-tanda vital dengan:
a) Mempertahankan saluran nafas yang paten yaitu lakukan
pengisapan lendir yang sering, oksigenasi, kalau perlu lakukan
trakeostomi, membantu pernafasan.
b) Mengontrol tekanan darah berdasarkan kondisi pasien, termasuk
usaha memperbaiki hipotensi dan hipertensi.
2. Berusaha menemukan dan memperbaiki aritmia jantung.
3. Merawat kandung kemih, sedapat mungkin jangan memakai kateter.
4. Menempatkan pasien dalam posisi yang tepat, harus dilakukan secepat
mungkin pasien harus dirubah posisi tiap 2 jam dan dilakukan latihan-
latihan gerak pasif.

Pengobatan Konservatif
1. Vasodilator meningkatkan aliran darah serebral (ADS) secara percobaan,
tetapi maknanya pada tubuh manusia belum dapat dibuktikan.
2. Dapat diberikan histamin, aminophilin, asetazolamid, papaverin intra
arterial.
3. Anti agregasi thrombosis seperti aspirin digunakan untuk menghambat
reaksi pelepasan agregasi thrombosis yang terjadi sesudah ulserasi
alteroma.

Pengobatan Pembedahan
Tujuan utama adalah memperbaiki aliran darah serebral:
1. Endosterektomi karotis membentuk kembali arteri karotis, yaitu
dengan membuka arteri karotis di leher.
2. Revaskularisasi terutama merupakan tindakan pembedahan dan
manfaatnya paling dirasakan oleh pasien TIA.
3. Evaluasi bekuan darah dilakukan pada stroke akut.
4. Ligasi arteri karotis komunis di leher khususnya pada aneurisma.

9. PROGNOSIS
Prognosis stroke ditentukan oleh banyak parameter dan prediktor klinis. Pada
kasus stroke perdarahan, angka mortalitas relatif lebih tinggi. Penelitian
Larsen, dkk (1984) pada 53 pasien stroke perdarahan menunjukkan bahwa
angka mortalitas akut adalah 27%. Faktor prognosis yang utama adalah
tingkat kesadaran dan volume hematoma. Penelitian Fieschi, dkk (1988) pada
104 pasien stroke menunjukkan angka kematian pada bulan pertama adalah
30%. Faktor prognosis yang paling signifikan adalah usia, tingkat kesadaran
saat masuk RS, dan ukuran heatoma. Penelitian Kiyohara, dkk (2003) pada
1621 pasien stroke di Jepang memperlihatkan hasil serupa, angka kematian
pada perdarahan serebral di 30 hari pertama adalah 63,3% dibanding infark
serebral sebesar 9%. Faktor demografik, penyakit penyerta, dan keparahan
gejala stroke berkontribusi terhadap luaran stroke. Penelitian kohort Kernan,
dkk (2000) memperlihatkan prognosis stroke dipengaruhi oleh usia,
komorbiditas gagal jantung, riwayat stroke sebelumnya, diabetes, hipertensi,
dan penyakit jantung koroner. Adanya komorbiditas, usia tua, riwayat stroke
sebelumnya akan memberikan prognosis yang lebih buruk.

ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan proses keperawatan untuk
mengenal masalah klien, agar dapat memberi arah kepada tindakan keperawatan.
Tahap pengkajian terdiri dari tiga kegiatan, yaitu pengumpulan data,
pengelompokkan data dan perumusan diagnosis keperawatan. (Lismidar, 1990)
a. Pengumpulan data
Pengumpulan data adalah mengumpulkan informasi tentang status kesehatan
klien yang menyeluruh mengenai fisik, psikologis, sosial budaya, spiritual,
kognitif, tingkat perkembangan, status ekonomi, kemampuan fungsi dan gaya
hidup klien. (Marilynn E. Doenges et al, 1998)
1. Identitas klien
Meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia tua), jenis kelamin,
pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam MRS,
nomor register, diagnose medis.
2. Keluhan utama
Biasanya didapatkan kelemahan anggota gerak sebelah badan, bicara pelo,
dan tidak dapat berkomunikasi. (Jusuf Misbach, 1999)
3. Riwayat penyakit sekarang
Serangan stroke hemoragik seringkali berlangsung sangat mendadak, pada
saat klien sedang melakukan aktivitas. Biasanya terjadi nyeri kepala, mual,
muntah bahkan kejang sampai tidak sadar, disamping gejala kelumpuhan
separoh badan atau gangguan fungsi otak yang lain. (Siti Rochani, 2000)
4. Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat hipertensi, diabetes militus, penyakit jantung, anemia,
riwayat trauma kepala, kontrasepsi oral yang lama, penggunaan obat-obat
anti koagulan, aspirin, vasodilator, obat-obat adiktif, kegemukan. (Donna D.
Ignativicius, 1995)
5. Riwayat penyakit keluarga
Biasanya ada riwayat keluarga yang menderita hipertensi ataupun diabetes
militus. (Hendro Susilo, 2000)
6. Riwayat psikososial
Stroke memang suatu penyakit yang sangat mahal. Biaya untuk
pemeriksaan, pengobatan dan perawatan dapat mengacaukan keuangan
keluarga sehingga faktor biaya ini dapat mempengaruhi stabilitas emosi dan
pikiran klien dan keluarga.
7. Pola-pola fungsi kesehatan
a. Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat. Biasanya ada riwayat
perokok, penggunaan alkohol, penggunaan obat kontrasepsi oral.
b. Pola nutrisi dan metabolism. Adanya keluhan kesulitan menelan,
nafsu makan menurun, mual muntah pada fase akut, muntah proyektil.
c. Pola eliminasi. Biasanya terjadi inkontinensia urine dan pada pola
defekasi biasanya terjadi konstipasi akibat penurunan peristaltik usus.
d. Pola aktivitas dan latihan. Adanya kesukaran untuk beraktivitas
karena kelemahan, kehilangan sensori atau paralise/ hemiplegi, mudah
lelah.
e. Pola tidur dan istirahat. Biasanya klien mengalami kesukaran untuk
istirahat karena kejang otot/nyeri otot.
f. Pola hubungan dan peran. Adanya perubahan hubungan dan peran
karena klien mengalami kesukaran untuk berkomunikasi akibat
gangguan bicara.
g. Pola persepsi dan konsep diri. Klien merasa tidak berdaya, tidak
ada harapan, mudah marah, tidak kooperatif.
h. Pola sensori dan kognitif. Pada pola sensori klien mengalami
gangguan penglihatan/kekaburan pandangan, perabaan/sentuhan
menurun pada muka dan ekstremitas yang sakit. Pada pola kognitif
biasanya terjadi penurunan memori dan proses berpikir, nyeri pada
kepala dan tulang belakang terutama saat membungkuk.
i. Pola reproduksi seksual. Biasanya terjadi penurunan gairah seksual
akibat dari beberapa pengobatan stroke, seperti obat anti kejang, anti
hipertensi, antagonis histamin.
j. Pola penanggulangan stress. Klien biasanya mengalami kesulitan
untuk memecahkan masalah karena gangguan proses berpikir dan
kesulitan berkomunikasi.
k. Pola tata nilai dan kepercayaan. Klien biasanya jarang melakukan
ibadah karena tingkah laku yang tidak stabil, kelemahan/kelumpuhan
pada salah satu sisi tubuh.
8. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum
i. Kesadaran : umumnya mengelami penurunan kesadaran.
ii. Suara bicara : kadang mengalami gangguan yaitu sukar dimengerti,
kadang tidak bisa bicara
iii. Tanda-tanda vital : tekanan darah meningkat, denyut nadi bervariasi
b. Pemeriksaan integument
i. Kulit : jika klien kekurangan O2 kulit akan tampak pucat dan jika
kekurangan cairan maka turgor kulit kan jelek. Di samping itu perlu juga
dikaji tanda-tanda dekubitus terutama pada daerah yang menonjol karena
klien CVA Bleeding harus bed rest 2-3 minggu.
ii. Kuku : perlu dilihat adanya clubbing finger, cyanosis
iii. Rambut : umumnya tidak ada kelainan
c. Pemeriksaan kepala dan leher
1. Kepala : bentuk normocephalik
2. Muka : umumnya tidak simetris yaitu mencong ke salah satu sisi.
3. Leher : kaku kuduk jarang terjadi (Satyanegara, 1998).
4. Mata : selama tidur untuk pergerakan mata REMs yang akan berakibat
penurunan pernafasan akibat akumulasi berlebihan karbondioksida
d. Pemeriksaan dada
Pada pernafasan kadang didapatkan suara nafas terdengar ronchi,
wheezing ataupun suara nafas tambahan, pernafasan tidak teratur akibat
penurunan refleks batuk dan menelan.
e. Pemeriksaan abdomen
Didapatkan penurunan peristaltik usus akibat bed rest yang lama, dan
kadang terdapat kembung.
f. Pemeriksaan inguinal, genetalia, anus
Kadang terdapat incontinensia atau retensio urine.
g. Pemeriksaan ekstremitas
Pergerakan volunteer dan sering didapatkan kelumpuhan pada salah satu
sisi tubuh.
h. Pemeriksaan neurologi
a) Pemeriksaan nervus cranialis. Umumnya terdapat gangguan nervus
cranialis VII dan XII central.
b) Pemeriksaan motorik
Hampir selalu terjadi kelumpuhan/kelemahan pada salah satu sisi
tubuh.
c) Pemeriksaan sensorik
Dapat terjadi hemihipestesi.
d) Pemeriksaan reflex
Pada fase akut reflek fisiologis sisi yang lumpuh akan menghilang.
Setelah beberapa hari refleks fisiologis akan muncul kembali
didahuli dengan refleks patologis.(Jusuf Misbach, 1999)
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan radiologi :
1. CT scan : didapatkan hiperdens fokal, kadang-kadang masuk ventrikel,
atau menyebar ke permukaan otak. (Linardi Widjaja, 1993)
2. MRI : untuk menunjukkan area yang mengalami hemoragik. (Marilynn
E. Doenges, 2000)
3. Angiografi serebral : untuk mencari sumber perdarahan seperti
aneurisma atau malformasi vaskuler. (Satyanegara, 1998)
4. Pemeriksaan foto thorax : dapat memperlihatkan keadaan jantung,
apakah terdapat pembesaran ventrikel kiri yang merupakan salah satu
tanda hipertensi kronis pada penderita stroke. (Jusuf Misbach, 1999)
Pemeriksaan laboratorium
1. Pungsi lumbal : pemeriksaan likuor yang merah biasanya dijumpai pada
perdarahan yang masif, sedangkan perdarahan yang kecil biasanya
warna likuor masih normal (xantokhrom) sewaktu hari-hari pertama.
(Satyanegara, 1998)
2. Pemeriksaan darah rutin
3. Pemeriksaan kimia darah : pada stroke akut dapat terjadi hiperglikemia.
Gula darah dapat mencapai 250 mg dalajm serum dan kemudian
berangsur-angsur turun kembali. (Jusuf Misbach, 1999)
4. Pemeriksaan darah lengkap : unutk mencari kelainan pada darah itu
sendiri. (Linardi Widjaja, 1993).

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Perfusi jaringan Cerebral tidak efektif berhubungan dengan aliran
arteri ke cerebral terhambat ditandai dengan perubahan tingkat kesadaran,
kehilangan memori, perubahan dalam respon motorik/sensorik, gelisah,
perubahan tanda-tanda vital.
2. Risiko cedera berhubungan dengan perubahan fungsi serebral
sekunder akibat hipoksia jaringan.
3. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan
kesadaran ditandai dengan ketidakmampuan mengeluarkan secret, ronchi
(+).
4. Syndrome defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan
otot sekunder akibat penyakit neurologis (stroke) ditandai dengan
kelemahan otot yang berlebih, ketidakmampuan dalam melakukan hygine
diri, makan, dan toileting secara mandiri.
5. Nyeri akut berhubungan dengan pembuluh darah pada otak
tertekan ditandai dengan sakit kepala.
6. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan keletihan,
penurunan motivasi, dan nyeri ditandai dengan keterbatasan rentang gerak,
penurunan kemampuan untuk bergerak dengan sengaja.
7. Hambatan komunikasi verbal berhubungan dengan kerusakan
motoris otot – otot bicara sekunder akibat penyakit neurologis (stroke)
ditandai dengan kerusakan kemampuan untuk berbicara, berbicara tidak
sesuai.
8. Gangguan persepsi sensori berhubungan dengan kesalahan
interpretasi sekunder akibat perubahan neurologis (stroke) ditandai dengan
tidak akuratnya interpretasi stimulus lingkungan, perubahan negative
dalam jumlah atau pola stimulus yang datang, perubahan perilaku atau
pola komunikasi.
9. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan kelemahan otot dan
tirah baring lama.
10. Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan disfagia sekunder akibat paralisis serebral ditandai
dengan menurunnya asupan makanan, penurunan berat badan, kelemahan
otot – otot mengunyah, muntah proyektil, albumin menurun.
11. Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan penurunan isyarat
kandung kemih atau gangguan kemampuan untuk mengenali isyarat
kandung kemih sekunder akibat cedera cerebrovaskular (stroke) ditandai
dengan inkontinensia, sering berkemih, nokturia.

3. INTERVENSI
Menentukan Prioritas
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan
kesadaran ditandai dengan ketidakmampuan mengeluarkan secret, ronchi
(+).
2. Perfusi jaringan Cerebral tidak efektif berhubungan dengan aliran arteri ke
cerebral terhambat ditandai dengan perubahan tingkat kesadaran,
kehilangan memori, perubahan dalam respon motorik/sensorik; gelisah,
perubahan tanda-tanda vital.
3. Risiko cedera berhubungan dengan perubahan fungsi serebral sekunder
akibat hipoksia jaringan.
4. Nyeri akut berhubungan dengan pembuluh darah pada otak tertekan
ditandai dengan sakit kepala.
5. Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan disfagia sekunder akibat paralisis serebral ditandai dengan
menurunnya asupan makanan, penurunan berat badan, kelemahan otot –
otot mengunyah, muntah proyektil, albumin menurun.
6. Gangguan persepsi sensori berhubungan dengan kesalahan interpretasi
sekunder akibat perubahan neurologis (stroke) ditandai dengan tidak
akuratnya interpretasi stimulus lingkungan, perubahan negative dalam
jumlah atau pola stimulus yang datang, perubahan perilaku atau pola
komunikasi.
7. Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan penurunan isyarat kandung
kemih atau gangguan kemampuan untuk mengenali isyarat kandung kemih
sekunder akibat cedera cerebrovaskular (stroke) ditandai dengan
inkontinensia, sering berkemih, nokturia.
8. Hambatan komunikasi verbal berhubungan dengan kerusakan motoris otot
– otot bicara sekunder akibat penyakit neurologis (stroke) ditandai dengan
kerusakan kemampuan untuk berbicara, berbicara tidak sesuai.
9. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan keletihan, penurunan
motivasi, dan nyeri ditandai dengan keterbatasan rentang gerak, penurunan
kemampuan untuk bergerak dengan sengaja.
10. Syndrome defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan otot
sekunder akibat penyakit neurologis (stroke) ditandai dengan kelemahan
otot yang berlebih, ketidakmampuan dalam melakukan hygine diri, makan,
dan toileting secara mandiri.
11. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan kelemahan otot dan
tirah baring lama.

Intervensi Keperawatan
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan
kesadaran ditandai dengan ketidakmampuan mengeluarkan secret,
ronchi (+).
Tujuan :
Setelah diberikan askep selama …x 24 jam, diharapkan bersihan jalan
nafas efektif, dengan criteria hasil :
- Klien mampu batuk dan mengeluarkan sputum dengan efektif.
-Bunyi napas klien normal
-Ronchi (-)
- Frekuensi, irama, dan kedalaman pernapasan normal dengan RR :
12-20 x/menit.
- Pola napas normal.
- Pergerakan dada simetris, bunyi napas normal.

Mandiri :
a. Auskultasi suara napas klien
Rasional : Mengetahui suara napas klien, untuk tindakan
keperawatan selanjutnya.
b. Kaji status pernafasan meliputi respiratory rate, penggunaan otot
bantu nafas, warna kulit.
Rasional : Tachipnea, pernafasan dangkal, dan gerakan otot dada
tidak simetris sering terjadi karena ketidak nyamanan gerakan
dinding dada/cairan paru.
c. Berikan cairan (khususnya yang hangat) sedikitnya 2500 ml/hari.
Rasional : Cairan (khususnya yang hangat) dapat memobilisasi
dan mencairkan sekret.
d. Lakukan suction jika terdapat sekret di jalan nafas
Rasional : Merangsang batuk atau pembersihan jalan nafas secara
mekanik pada pasien yang tak mampu melakukan karena batuk tak
efektif atau penurunan tingkat kesadaran.
e. Posisikan kepala lebih tinggi
Rasional : Posisi kepala yang lebih tinggi memungkinkan upaya
nafas lebih dalam dan lebih kuat. Tindakan ini meningkatkan
inspirasi maksimal, meningkatkan pengeluaran secret untuk
memperbaiki ventilasi.
f. Bantu pasien mempelajari melakukan batuk yang efektif, misalnya
menekan dada dan batuk efektif sementara posisi duduk tinggi.
Rasional : Nafas dalam memudahkan ekspansi maksimum paru-
paru. Batuk adalah pembersihan jalan nafas alami, membantu silia
untuk mempertahankan jalan nafas paten. Penekanan menurunkan
ketidaknyamanan dada dan posisi duduk memungkinkan upaya
nafas lebih dalam dan lebih kuat.
Kolaborasi:
a. Kolaborasi dengan fisiotherapist untuk melakukan fisiotherapi
dada
Rasional : Memudahkan pengenceran dan pembuangan sekret.
Koordinasi pengobatan/jadwal dan masukan oral menurunkan
muntah karena batuk, pengeluaran sputum.
b. Berikan obat sesuai indikasi : mukolitik, ekspektoran,
bronkodilator, analgesik.
Rasional : Alat untuk menurunkan spasme broncus dengan
mobilisasi sekret. Analgesik diberikan untuk memperbaiki batuk
dengan menurunkan ketidaknyamanan tetapi harus digunakan
secara hati-hati, karena dapat menekan upaya pernafasan.

2. Perfusi jaringan Cerebral tidak efektif berhubungan dengan aliran


arteri ke cerebral terhambat ditandai dengan perubahan tingkat
kesadaran, kehilangan memori, perubahan dalam respon
motorik/sensorik; gelisah, perubahan tanda-tanda vital.
Tujuan :
Setelah diberikan askep selama 2x24 jam diharapkan perfusi jaringan
serebral adekuat, dengan out come :
- Tingkat kesadaran meningkat.
- Tidak ada perubahan dalam respon motorik/sensorik.
- TD dalam batas normal (120/80mmHg).
- Klien tidak gelisah.
Intervensi :
Mandiri
1. Tentukan faktor-faktor yang berhubungan dengan keadaan/penyebab
khusus selama koma/penurunan perfusi serebral dan potensial terjadinya
peningkatan TIK.
Rasional: mempengaruhi penetapan intervensi. Kerusakan/kemunduran
tanda/gejala neurologis atau kegagalan memperbaikinya setelah fase
awal memerlukan tindakan pembedahan dan/atau pasien harus
dipindahkan ke ruang perawatan kritis (ICU) untuk melakukan
pemamtauan terhadap peningkatan TIK.
2. Pantau tanda-tanda vital:
a. Adanya hipertensi/hipotensi, bandingkan tekanan darah yang terbaca
pada kedua lengan
Rasional: hipertensi/hipotensi postural dapat menjadi faktor
pencetus.
b. Frekuensi dan irama jantung; auskultasi adanya murmur
Rasional: Adanya bradikardi dapat terjadi sebagai akibat adanya
kerusakan otak
c. Catat pola dan irama dari pernapasan.
Rasional: ketidakteraturan pernapasan dapat menggambarkan lokasi
kerusakan serebral/peningkatan TIK dan kebutuhan untuk intervensi
lainnya.
3. Evaluasi pupil, catat ukuran, bentuk, kesamaan dan reaksinya terhadap
cahaya
Rasional: reaksi pupil diatur oleh saraf kranial okulomotor (III) dan
berguna dalam menentukan apakab batang otak masih baik.
4. Letakkan kepala dengan posisi agak ditinggikan dan dalam posisi
anatomis
Rasional: menurunkan tekanan arteri dengan meningkatkan drainase
dan meningkatkan sirkulasi.
Kolaborasi:
1. Berikan oksigen sesuai indikasi
Rasional: menurunka hipoksia yang dapat menyebabkan vasodilatasi
serebral dan tekanan meningkat/terbentuknya edema.
2. Berikan obat sesuai indikasi:
a. Antikoagulasi seperti Natrium warfarin (Coumadin); heparin,
antitrombosit (ASA); dipiridamol (Persantine)
Rasional: dapat digunakan untuk meningkatkan / memperbaiki aliran
darah serebral dan selanjutnya dapat mencegah pembekuan saat
embolus/trombus merupakan faktor masalahnya.
b. Antihipertensi
Rasional: menurunkan tekanan darah
c. Fenitoin, fenobarbital
Rasional: dapat digunakan untuk mengontrol kejang dan/atau untuk
aktifitas sedative.

3. Risiko cedera berhubungan dengan perubahan fungsi serebral


sekunder akibat hipoksia jaringan.
Tujuan:
Setelah dilaksakan asuhan keperawatan selama ... x 24 jam
diharapkan cidera tidak terjadi dengan kriteria hasil :
- Tidak ada luka
- Pasien tidak terjatuh
Intervensi :
Mandiri :
a) Orientasikan pasien pada kondisi di sekelilingnya.
Rasional : Mengetahui kondisi sekeliling membantu mencegah
terjadinya cidera.
b) Lakukan kewaspadaan keamanan pada pasien
Rasional: Kewaspadaan dapat menghindarkan pasien dari
kemungkinan mengalami cidera.
c) Gunakan tempat tidur rendah, dengan pagar yang terpasang
Rasional : Penggunaan tempat tidur yang rendah dengan pagar
terpasang dapat menghindari terjatuhnya pasien dari
tempat tidur.
d) Gunakan matras pada lantai
Rasional : Mencegah pasien mengalami cidera dan mengantisipasi
kemungkinan pasien terjatuh ke lantai.

4. Nyeri akut berhubungan dengan pembuluh darah pada otak tertekan


ditandai dengan sakit kepala.
Tujuan:
Setelah diberikan asuhan keperawatan …x24 jam diharapkan klien
melaporkan nyeri berkurang/dapat terkontrol dengan outcome :
- Menunjukkan postur rileks
- Mampu tidur/istirahat dengan tepat.
Intervensi:
Mandiri:
1. Berikan lingkungan yang tenang, ruangan agak gelap sesuai
indikasi.
Rasional: Menurunkan reaksi terhadap stimuli dari luar atau
sensitivitas pada cahaya dan meningktkan istirahat atau relaksasi.
2. Tingkatkan tirah baring, bantulah kebutuhan perawatan diri
yang penting.
Rasional: Menurunkan gerakan yang dapat meningkatkan nyeri.
3. Letakkan kantung es pada kepala, pakaian dingin di atas
mata.
Rasional: Meningkatkan vasokontriksi penumpulkan resepsi sensori
yang selanjutnya akan menurunkan nyeri.
4. Dukung untuk menemukan posisi yang nyaman, seperti
kepala agak tinggi sedikit.
Rasional: Melancarkan aliran darah dalam Kranial.
5. Berikan latihan rentang gerak aktif/pasif secara tepat dan
masase otot daerah leher/bahu.
Rasional: Dapat membantu merelaksasikan ketegangan otot yang
meningkatkan reduksi nyeri atau rasa tidak nyaman tersebut.
Kolaborasi:
1. Berikan analgetik seperti asetaminofen, kodein.
Rasional: Untuk menghilangkan nyeri yang berat.

5. Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh


berhubungan dengan disfagia sekunder akibat paralisis serebral
ditandai dengan menurunnya asupan makanan, penurunan berat
badan, kelemahan otot – otot mengunyah, muntah proyektil, albumin
menurun.
Tujuan :
Setelah diberikan askep selama …x24 jam diharapkan kebutuhan nutrisi
klien adekuat dengan kriteria hasil :
- Klien menghabiskan 1 porsi makanan yang disediakan
- Berat badan klien dalam rentang normal
- Klien tidak tampak lemah
- Klien tidak muntah
Intervensi :
Mandiri :
a) Kaji kemampuan klien untuk mengunyah, menelan, batuk, dan
mengatasi sekresi.
Rasional : Faktor ini menentukan pemilihan terhadap jenis makanan
sehingga pasien harus terlindungi dari aspirasi.
b) Berikan makanan dalam jumlah kecil namun sering dan teratur.
Rasional : Meningkatkan proses pencernaan dan toleransi klien
terhadap nutrisi yang diberikan.
c) Tingkatkan kenyamanan, lingkungan yang santai termasuk saat
sosialisasi makanan. Anjurkan orang terdekat untuk membawa makanan
yang disukai pasien.
Rasional : Meskipun proses pemilihan klien memerlukan bantuan
makan dan atau menggunakan alat bantu, sosialisasi waktu makan
dengan orang terdekat dapat menormalkan fungsi makan klien.
d) Sajikan makanan yang hangat pada klien.
Rasional : makanan yang hangat dapat menurunkan rasa mual klien
sehingga meningkatkan pemasukan nutrisi.
Kolaborasi:
a) Konsultasi dengan ahli gizi.
Rasional : Merupakan sumber yang efektif untuk mengidentifikasi
kebutuhan nutrisi klien.
b) Libatkan terapi wicara, terapi okupasi/fisioterapi jika masalah mekanis
masih ada, seperti gangguan menelan, efek kaku rahang, kontraktur
pada tangan dan paralisis.
Rasional : Strategi / peralatan khusus mungkin diperlukan untuk
meningkatkan kemampuan makan klien.

6. Gangguan persepsi sensori berhubungan dengan kesalahan


interpretasi sekunder akibat perubahan neurologis (stroke) ditandai
dengan tidak akuratnya interpretasi stimulus lingkungan, perubahan
negative dalam jumlah atau pola stimulus yang datang, perubahan
perilaku atau pola komunikasi.
Tujuan :
Setelah diberikan askep selama …x24 jam diharapkan gangguan persepsi
sensori teratasi dengan kriteria hasil :
- akuratnya interpretasi stimulus lingkungan
- tidak adanya perubahan negative dalam jumlah atau pola
stimulus yang dating
- tidak adanya perubahan perilaku atau pola komunikasi
Intervensi:
Mandiri:
a) Evaluasi / pantau secara teratur perubahan orientasi ,
kemampuan bicara, alam perasaan/ afektif, sensorik, dan proses
piker.
Rasional : Fungsi serebral bagian atas biasanya terpengaruh
lebih dulu dengan adanya gangguan sirkulasi,
oksigenasi.
b) Hilangkan suara bising / stimulus yang berlebihan sesuai
kebutuhan.
Rasional : Menurunkan ansietas, respon emosi yang berlebihan/
bingung yang berhubungan dengan sensorik yang
berlebihan.
c) Bicara dengan suara lembut dan pelan. Gunakan kalimat yang
pendek dan sederhana. Pertahankan kontak mata.
Rasional :. Pasien mungkin mengalami keterbatasan perhatian
selama fase akut dan penyembuhan, tindakan ini
dapat membantu pasien dalam memunculkan
komunikasi.
d) Buat jadwal istirahat yang adekuat/ periode tidur tanpa gangguan.
Rasional : Mengurangi kelelahan, mencegah kejenuhan,
memberikan klien kesempatan untuk tidur.
e) Gunakan penerangan siang atau malam hari.
Rasional :. Memberikan perasaan normal tentang pola perubahan
waktu dan pola tidur/bangun.
f) Berikan kesempatan lebih banyak untuk berkomunikasi dan
melakukan aktivitas.
Rasional : Menurunkan frustasi yang berhubungan dengan
perubahan kemampuan / pola respon yang
memanjang.
Kolaborasi
a) Rujuk pada ahli fisioterapi, terapi okupasi, terapi wicara, dan
kognitif.
Rasional :. Pendekatan antardisiplin dapat menciptakan rencana
penatalaksanaan terintegrasi yang didasarkan atas
kombinasi kemampuan / ketidakmampuan secara
individu yang unik dengan berfokus pada peningkatan
evaluasi dan fungsi fisik, kognitif, dan keterampilan
perceptual.

7. Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan penurunan isyarat


kandung kemih atau gangguan kemampuan untuk mengenali isyarat
kandung kemih sekunder akibat cedera cerebrovaskular (stroke)
ditandai dengan inkontinensia, sering berkemih, nokturia.
Tujuan :
Setelah diberikan askep selama …x24 jam diharapkan eliminasi urine
klien tidak mengalami gangguan dengan kriteria hasil :
- Klien tidak mengalami inkontinensia
- Klien tidak mengalami nokturia
- Klien dapat berkemih dengan normal
Intervensi :
Mandiri :
a) Kaji pola berkemih seperti frekuensi dan jumlahnya. Bandingkan
haluaran urine dan masukan cairan dan catat berat jenis urine.
Rasional : Mengidentifikasikan fungsi kandung kemih, fungsi ginjal,
dan keseimbangan cairan.
b) Mulailah latihan kandung kemih jika diperlukan, contoh dengan
pemberian cairan diantara beberapa jam, lakukan stimulasi digital pada
tubuh yang sensitive, kontraksi otot abdomen.
Rasional : Waktu dan jenis latihan kandung kemih tergantung pada
jenis trauma.
c) Bersihkan daerah perineum dan jaga agar tetap kering, lakukan
perawatan kateter bila perlu.
Rasional : Menurunkan risiko terjadinya iritasi kulit/ kerusakan kulit
atau infeksi ke atas menuju ginjal.
Kolaborasi :
a) Jangan biarkan kandung kemih penuh. Jika awalnya memakai kateter
mulai melakukan program kateterisasi secara intermiten jika diperlukan.
Rasional : Kateter digunakan selama fase akut untuk mencegah retensi
urine dan untuk memantau haluaran urine.
b) Berikan pengobatan sesuai indikasi, seperti vitamin dan atau antiseptic
urinarius, contohnya mendelamine.
Rasional : Mempertahankan lingkungan asam dan menghambat
pertumbuhan bakteri.

8. Hambatan komunikasi verbal berhubungan dengan kerusakan


motoris otot – otot bicara sekunder akibat penyakit neurologis
(stroke) ditandai dengan kerusakan kemampuan untuk berbicara,
berbicara tidak sesuai.
Tujuan:
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama …x 24 jam diharapkan
kerusakan komunikasi verbal klien dapat teratasi, dengan kriteria hasil :
- Menerima pesan-pesan melalui metode alternatif (mis; komunikasi
tertulis, bahasa isyarat, bicara dengan jelas pada telinga yang baik).
- Memperlihatkan suatu peningkatan kemampuan berkomunikasi.
- Meningkatkan kemampuan untuk mengerti.
- Mengatakan penurunan frustrasi dalam berkomunikasi.
- Mampu berbicara yang koheren.
- Mampu menyusun kata – kata/ kalimat.

Intervensi:
Mandiri:
a. Kaji tipe/derajat disfungsi, seperti pasien tidak tampak memahami
kata atau mengalami kesulitan berbicara atau membuat pengertian
sendiri.
Rasional : Membantu menentukan daerah dan derajat kerusakan
serebral yang terjadi dan kesulitan pasien dalam beberapa atau
seluruh tahap proses komunikasi. Pasien mungkin mempunyai
kesulitan memahami kata yang diucapkan; mengucapkan kata-kata
dengan benar; atau mengalami kerusakan pada kedua daerah
tersebut.
b. Bedakan antara afasia dengan disartria.
Rasional : Intervensi yang dipilih tergantung pada tipe
kerusakannya. Afasia adalah gangguan dalam menggunakan dan
menginterpretasikan simbol-simbol bahasa dan mungkin
melibatkan komponen sensorik dan/atau motorik, seperti
ketidakmampuan untuk memahami tulisan/ucapan atau menulis
kata, membuat tanda, berbicara. Seseorang dengan disartria dapat
memahami, membaca, dan menulis bahasa tetapi mengalami
kesulitan membentuk/mengucapkan kata sehubungan dengan
kelemahan dan paralisis dari otot-otot daerah oral.
c. Perhatikan kesalahan dalam komunikasi dan berikan umpan balik.
Rasional : Pasien mungkin kehilangan kemampuan untuk
memantau ucapan yang keluar dan tidak menyadari bahwa
komunikasi yang diucapkannya tidak nyata. Umpan balik
membantu pasien merealisasikan kenapa pemberi asuhan tidak
mengerti/berespon sesuai dan memberikan kesempatan untuk
mengklarifikasikan isi/makna yang gterkandung dalam ucapannya.
d. Mintalah pasien untuk mengikuti perintah sederhana (seperti “buka
mata,” “tunjuk ke pintu”) ulangi dengan kata/kalimat yang
sederhana.
Rasional : Melakukan penilaian terhadap adanya kerusakan
sensorik (afasia sensorik)
e. Tunjukkan objek dan minta pasien untuk menyebutkan nama benda
tersebut.
Rasional : Melakukan penilaian terhadap adanya kerusakan
motorik (afasia motorik), seperti pasien mungkin mengenalinya
tetapi tidak dapat menyebutkannya.
f. Mintalah pasien untuk mengucapkan suara sederhana seperti “Sh”
atau “Pus”
Rasional : Mengidentifikasikan adanya disartria sesuai komponen
motorik dari bicara (seperti lidah, gerakan bibir, kontrol napas)
yang dapat mempengaruhi artikulasi dan mungkin juga tidak
disertai afasia motorik.
g. Minta pasien untuk menulis nama dan/atau kalimat yang pendek.
Jika tidak dapat menulis, mintalah pasien untuk membaca kalimat
yang pendek
Rasional : Menilai kemampuan menulis (agrafia) dan kekurangan
dalam membaca yang benar (aleksia) yang juga merupakan bagian
dari afasia sensorik dan afasia motorik.
h. Tempatkan tanda pemberitahuan pada ruang perawat dan ruangan
pasien tentang adanya gangguan bicara. Berikan bel khusus bila
perlu.
Rasional : Menghilangkan ansietas pasien sehubungan dengan
ketidakmampuannya untuk berkomunikasi dan perasaan takut
bahwa kebutuhan pasien tidak akan terpenuhi dengan segera.
Penggunaan bel yang diaktifkan dengan tekanan minimal akan
bermanfaat ketika pasien tidak dapat menggunakan system bel
regular.
i. Berikan metode komunikasi alternative, seperti menulis di papan
tulis, gambar. Berikan petunjuk visual (gerakan tangan, gambar-
gambar, daftar kebutuhan, demonstrasi).
Rasional : Memberikan komunikasi tentang kebutuhan
berdasarkan keadaan/deficit yang mendasarinya.
j. Katakan secara langsung dengan pasien, bicara perlahan, dan
dengan tenang. Gunakan pertanyaan terbuka dengan jawaban
“ya/tidak,” selanjutnya kembangkan pada pertanyaan yang lebih
kompleks sesuai dengan respons pasien.
Rasional : Menurunkan kebingungan/ansietas selama proses
komunikasi dan berespons pada informasi yang lebih banyak pada
satu waktu tertentu. Sebagai proses latihan kembali untuk lebih
mengembangkan komunikasi lebih lanjut dan lebih kompleks akan
menstimulasi memori dan dapat meningkatkan asosiasi ide/kata.
k. Hargai kemampuan pasien sebelum terjadi penyakit; hindari
“pembicaraan yang merendahkan” pada pasien atau membuat hal-
hal yang menentang kebanggaan pasien.
Rasional : Kemampuan pasien untuk merasakan harga diri, sebab
kemampuan intelektual pasien seringkali tetap baik

Kolaborasi
a. Konsultasikan dengan/rujuk kepada ahli terapi wicara.

9. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan keletihan, penurunan


motivasi, dan nyeri ditandai dengan keterbatasan rentang gerak,
penurunan kemampuan untuk bergerak dengan sengaja.
Tujuan:
Setelah diberikan askep ....x 24 jam diharapkan mobilisasi klien
mengalami peningkatan, dengan kriteria hasil:
- mempertahankan posisi optimal,
- mempertahankan/meningkatkan kekuatan dan fungsi bagian tubuh
yang terserang hemiparesis dan hemiplagia.
- mempertahankan perilaku yang memungkinkan adanya aktivitas.
Intervensi:
Mandiri:
a. Kaji kemampuan secara fungsional/luasnya kerusakan awal dan
dengan cara yang teratur.
Rasional : Mengidentifikasi kekuatan/kelemahan dan dapat
memberikan informasi mengenai pemulihan. Bantu dalam
pemilihan terhadap intervensi sebab teknik yang berbeda
digunakan untuk paralisis spastik dengan flaksid.
b. Ubah posisi minimal setiap 2 jam (telentang,miring) dan
sebagainya dan jika memungkinkan bisa lebih sering jika
diletakkan dalam posisi bagian yang terganggu.
Rasional : Menurunkan risiko terjadinya trauma/iskemia jaringan.
Daerah yang terkena mengalami perburukan/sirkulasi yang lebih
jelek dan menurunkan sensasii dan lebih besar menimbulkan
kerusakan pada kulit/ dekubitus.
c. Letakkan pada posisi telungkup satu kali atau dua kali sekali jika
pasien dapat mentoleransinya.
Rasional : Membantu mempertahankan ekstensi pinggul
fungsional;tetapi kemungkinan akan meningkatkan ansietas
terutama mengenai kemampuan pasien untuk bernapas.
d. Mulailah melakukan latihan rentang gerak aktif dan pasif pada
semua ekstremitas saat masuk. Anjurkan melakukan latihan sepeti
latihan quadrisep/gluteal, meremas bola karet, melebarkan jari-jari
kaki/telapak.
Rasional : Meminimalkan atrofi otot, meningkatkan sirkulasi,
membantu mencegah kontraktur. Menurunkan risiko terjadinya
hiperkalsiuria dan osteoporosis jika masalah utamanya adalah
perdarahan. Catatan: Stimulasi yang berlebihan dapat menjadi
pencetus adanya perdarahan berulang.
e. Sokong ekstremitas dalam posisi fungsionalnya, gunakan papan
kaki (foot board) seelama periode paralisis flaksid. Pertahankan
posisi kepala netral.
Rasional : Mencegah kontraktur/footdrop dan memfasilitasi
kegunaannya jika berfungsi kembali. Paralisis flaksid dapat
mengganggu kemampuannya untuk menyangga kepala, dilain
pihak paralisis spastik dapat meengarah pada deviasi kepala ke
salah satu sisi.
f. Tempatkan bantal di bawah aksila untuk melakukan abduksi pada
tangan.
Rasional : Mencegah adduksi bahu dan fleksi siku.
g. Tempatkan ”handroll’ keras pada teelapak tangan dengan jari – jari
dan ibu jari saling berhadapan.
Rasional : Alas/dasar yang keras menurunkan stimulasi fleksi jari-
jari, mempertahankan jari-jari dan ibu jari pada posisi normal
(posisi anatomis).
h. Posisikan lutut dan panggul dalam posisi ekstensi.
Rasional : Mempertahankan posisi fungsional.
i. Bantu untuk mengembangkan keseimbangan duduk (seperti
meninggikan bagian kepala tempat tidur, bantu untuk duduk di sisi
tempat tidur, biarkan pasien menggunakan kekuatan tangan untuk
menyokong berta badan dan kaki yang kuat untuk memindahkan
kaki yang sakit; meningkatkan waktu duduk) dan keseimbangan
dalam berdiri (seperti letakkan sepatu yang datar;sokong bagian
belakang bawah pasien dengan tangan sambil meletakkan lutut
penolong diluar lutut pasien;bantu menggunakan alat pegangan
paralel dan walker).
Rasional : Membantu dalam melatih kembali jaras saraf,
meningkatkan respon proprioseptik dan motorik.
j. Anjurkan pasien untuk membantu pergerakan dan latihan dengan
menggunakan ekstremitas yang tidak sakit untuk menyokong/
menggerakkan daerah tubuh yang mengalami kelemahan.
Rasional : Mungkin diperlukan untuk menghilangkan spastisitas
pada ekstremitas yang terganggu.
Kolaborasi
a. Konsultasikan dengan ahli fisioterapi secara aktif, latiahn resistif,
dan ambualsi pasien.
b. Bantulah dengan stimulasi elektrik, seperi TENS sesuai indikasi.
d. Berikan obat relaksan otot, antispasmodik sesuai indikasi seperti
baklofen dantrolen.

10. Syndrome defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan otot


sekunder akibat penyakit neurologis (stroke) ditandai dengan
kelemahan otot yang berlebih, ketidakmampuan dalam melakukan
hygine diri, makan, dan toileting secara mandiri.
Tujuan :
Setelah dilaksakan asuhan keperawatan selama ... x 24 jam
diharapkan mengalami peningkatan perawatan diri dengan kriteria
hasil :
- pasien mampu untuk makan sendiri, mandi sendiri dan
mengenakan pakaian sendiri,
Intervensi :
a) Kaji faktor penyebab atau yang berperan
Rasional : dengan mengetahui penyebab, memudahkan untuk
melakukan intervensi yang tepat
b) Tingkatkan partisipasi optimal pasien
Rasional : dengan partisipasi optimal diharapkan pasien dapat
terlatih dalam perawatan dirinya.
c) Evaluasi kemampuan untuk berpartisipasi dalam setiap
aktivitas perawatan.
Rasional : mengetahui sejauh mana keberhasilan pasien dalam
partisipasi yang dilakukan.
d) Dorong mengekspresikan perasaan tentang kurang
perawatan diri
Rasional :untuk menumbuhkan kesadaran pasien tentang
pentingnya perawatan diri.
e) Tingkatkan partisipasi optimal pasien
Rasional : dengan partisipasi optimal diharapkan pasien dapat
terlatih dalam perawatan dirinya.
f) Hindari tingkat ketergantungan individu dengan tidak
campur tangan saat pasien menunjukkan kemampuan.
Rasional : dapat memberikan pasien kesempatan untuk melatih
diri dalam melakukan hygine secara mandiri dan
meningkatkan rasa percayadiri klien.
11. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan kelemahan otot
dan tirah baring lama.
Tujuan:
Setelah dilaksakan asuhan keperawatan selama ... x 24 jam diharapkan
kerusakan integritas kulit tidak terjadi dengan kriteria hasil :
- Tidak ada lesi, eritema, pruritus, abrasi ( lecet )
- Tidak adanya gangguan jaringan epidermis dan dermis
Intervensi :
Mandiri:
1. Dorong latihan rentang gerak pasif pada bagian ekstremitas yang
mengalami
Rasional : Latihan menggerakkan kepala mencegak penekanan
pada area tertentu yang dapat mengakibatkan kerusakan
integritas kulit.
2. Ubah posisi atau instruksikan anak untuk berbalik dan
menggerakkan kepala.
Rasional : Membantu mengurangi tekanan pada hanya pada area
tertentu saja.
3. Amati adanya eritema dan kepucatan, dan lakukan palpasi untuk
mengetahui adanya area yang hangat dan jaringan seperti spon
pada setiap perubahan posisi.
Rasional : Eritema, kepucatan dapat mengindikasikan adanya
kerusakan integritas kulit.

5. EVALUASI
No.
Diagnosa Keperawatan Evaluasi
Dx
1. Bersihan jalan nafas tidak Bersihan jalan nafas efektif :
efektif berhubungan dengan - Klien mampu batuk dan mengeluarkan
penurunan kesadaran ditandai sputum dengan efektif.
dengan ketidakmampuan - Bunyi napas klien normal
mengeluarkan secret, ronchi - Ronchi (-)
(+). - Frekuensi, irama, dan kedalaman
pernapasan normal dengan RR : 12-
20x/menit.
- Pola napas normal.
- Pergerakan dada simetris, bunyi napas
normal.
2. Gangguan perfusi jaringan Tercapainya perfusi jaringan serebral
serebral berhubungan dengan adekuat :
peningkatan TIK. - Tingkat kesadaran meningkat.
- Klien tidak sakit kepala.
- TD dalam batas normal (120/80
mmHg).
- Klien tidak gelisah.
3. Risiko cedera berhubungan Cidera tidak terjadi dengan kriteria
dengan perubahan fungsi hasil :
serebral sekunder akibat - Tidak ada luka
hipoksia jaringan. - Pasien tidak terjatuh
4. Nyeri akut berhubungan dengan Nyeri berkurang/dapat terkontrol dengan
pembuluh darah pada otak outcome :
tertekan ditandai dengan sakit - Menunjukkan postur rileks
kepala. - Mampu tidur/istirahat dengan tepat.
5. Gangguan pemenuhan nutrisi Kebutuhan nutrisi klien adekuat dengan
kurang dari kebutuhan tubuh kriteria hasil :
berhubungan dengan disfagia - Klien menghabiskan 1 porsi
sekunder akibat paralisis makanan yang disediakan
serebral ditandai dengan - Berat badan klien dalam rentang
menurunnya asupan makanan, normal
penurunan berat badan, - Klien tidak tampak lemah
kelemahan otot – otot - Klien tidak muntah
mengunyah, muntah proyektil,
albumin menurun.
6. Gangguan persepsi sensori Gangguan persepsi sensori teratasi dengan
berhubungan dengan kesalahan kriteria hasil :
interpretasi sekunder akibat - akuratnya interpretasi stimulus
perubahan neurologis (stroke) lingkungan
ditandai dengan tidak - tidak adanya perubahan negative
akuratnya interpretasi stimulus dalam jumlah atau pola stimulus yang
lingkungan, perubahan dating
negative dalam jumlah atau - tidak adanya perubahan perilaku
pola stimulus yang datang, atau pola komunikasi
perubahan perilaku atau pola
komunikasi.
7. Gangguan eliminasi urine Eliminasi urine klien tidak mengalami
berhubungan dengan gangguan dengan kriteria hasil :
penurunan isyarat kandung - Klien tidak mengalami
kemih atau gangguan inkontinensia
kemampuan untuk mengenali - Klien tidak mengalami nokturia
isyarat kandung kemih - Klien dapat berkemih dengan
sekunder akibat cedera normal
cerebrovaskular (stroke)
ditandai dengan inkontinensia,
sering berkemih, nokturia.
8. Hambatan komunikasi verbal Kerusakan komunikasi verbal klien dapat
berhubungan dengan teratasi:
kerusakan motoris otot – otot - Menerima pesan-pesan melalui metode
bicara sekunder akibat alternatif (mis; komunikasi tertulis,
penyakit neurologis (stroke) bahasa isyarat, bicara dengan jelas pada
ditandai dengan kerusakan telinga yang baik).
kemampuan untuk berbicara, - Memperlihatkan suatu peningkatan
berbicara tidak sesuai. kemampuan berkomunikasi.
- Meningkatkan kemampuan untuk
mengerti.
- Mengatakan penurunan frustrasi dalam
berkomunikasi.
- Mampu berbicara yang koheren.
- Mampu menyusun kata – kata/ kalimat.
9. Hambatan mobilitas fisik Mobilisasi klien mengalami peningkatan,
berhubungan dengan keletihan, dengan kriteria hasil:
penurunan motivasi, dan nyeri - mempertahankan posisi optimal,
ditandai dengan keterbatasan - mempertahankan/meningkatkan
rentang gerak, penurunan kekuatan dan fungsi bagian tubuh yang
kemampuan untuk bergerak terserang hemiparesis dan hemiplagia.
dengan sengaja. - mempertahankan perilaku yang
memungkinkan adanya aktivitas.
10. Defisit perawatan diri Peningkatan perawatan diri dengan
berhubungan dengan kriteria hasil :
kelemahan otot sekunder - pasien mampu untuk
akibat penyakit neurologis makan sendiri, mandi sendiri dan
(stroke) ditandai dengan mengenakan pakaian sendiri
kelemahan otot yang berlebih,
ketidakmampuan dalam
melakukan hygine diri, makan,
dan toileting secara mandiri.
11. Resiko kerusakan integritas Kerusakan integritas kulit tidak
kulit berhubungan dengan terjadi dengan kriteria hasil :
kelemahan otot dan tirah - Tidak ada lesi, eritema,
baring lama. pruritus, abrasi (lecet)
- Tidak adanya gangguan
jaringan epidermis dan dermis.

Anda mungkin juga menyukai