Askep SGD 5
Askep SGD 5
OLEH:
SGD 5
NI LUH PUTU SHINTA DEVI (0802105010)
I MADE ARYA KAMASUTA (0802105014)
NI WAYAN BUDI ARTHINI (0802105023)
LUH PUTU JUNIARI LISTUAYU (0802105024)
WAYAN WIRA ADNYANA (0802105037)
NI NYM. PRADNYA PARAMITHA D. (0802105038)
NI PUTU ARYSTA K.D. (0802105039)
I.A. EKA JAYANTHI (0802105048)
I GST. AYU SIKHA PERMATA A.S. (0802105049)
NI PUTU WINDA IRMALIA DEWI (0802105062)
1. PENGERTIAN
Menurut WHO stroke adalah adanya tanda-tanda klinik yang berkembang
cepat akibat gangguan fungsi otak fokal (atau global) dengan gejala-gejala
yang berlangsung selama 24 jam atau lebih yang menyebabkan kematian
tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain vaskuler. (Hendro Susilo, 2000).
Stroke dapat didefinisikan sebagai defisit neurologi yang yang mempunyai
awitan mendadak dan berlangsung 24 jam sebagai akibat dari Cerebrovaskular
Disease ( CVD), yaitu gangguan neurology yang sering terjadi pada orang
dewasa (Huddak & Gallo, 1996). Sedangkan menurut Neil F Gordon stroke
adalah gangguan potensial yang fatal pada suplai darah bagian otak.
Peningkatan tekanan intrakranial (PTIK) adalah suatu peningkatan
tekanan yang terjadi dalam rongga tengkorak. Tekanan intracranial
merupakan jumlah total dari tekanan yang mewakili volume jaringan otak,
volume darah intrakranial dan cairan serebrospinalis. Apabila volume dari
salah satu faktor tadi meningkat dan tidak dapat dikompensasi oleh kedua
faktor yang lain, maka terjadilah tekanan tinggi intrakranial. PTIK terjadi pada
penderita cedera kepala, stroke hemorrhagic dan trombotik, serta lesi desak
ruang seperti tumor otak. Massa intracranial bersama pembengkakkan otak
meninggikan TIK dan mendistorsikan otak.
2. EPIDEMIOLOGI
Stroke dan peningkatan TIK dapat menyerang kapan saja, mendadak, siapa
saja, baik laki-laki atau perempuan, tua atau muda. Diperkirakan satu sampai
tiga orang akan mengalami stroke dan satu dari tujuh orang meninggal karena
stroke. Insiden stroke timbul bervariasi, tergantung tempat atau negara, waktu,
serta penderitanya. Insiden stroke yang disebabkan oleh peningkatan TIK di
negara berkembang masih meningkat sedangkan di negara maju cenderung
menurun. Penurunan ini mungkin disebabkan karena manajemen hipertensi,
penyakit jantung dan penyakit metabolik di negara maju telah makin baik.
Memang sebagian besar dari kasus stroke dapat diakatakan merupakan bukti
kegagalan pengobatan hipertensi, penyakit jantung, dan penyakit metabolik.
Insiden stroke meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Setelah umur 55
tahun risiko stroke iskemik meningkat 2 kali lipat tiap dekade. Menurut
Schutz penderita yang berumur antara 70-79 tahun banyak menderita
perdarahan intrakranial (Junaidi, 2004). Laki-laki cenderung untuk terkena
stroke lebih tinggi dibandingkan wanita, dengan perbandingan 1,3 : 1, kecuali
pada usia lanjut laki-laki dan wanita hampir tidak berbeda. Laki-laki yang
berumur 45 tahun bila bertahan hidup sampai 85 tahun kemungkinan terkena
stroke 25%, sedangkan risiko bagi wanita hanya 20%. Pada laki-laki
cenderung terkena stroke iskemik, sedangkan wanita lebih sering menderita
perdarahan subarachnoid dan kematiannya 2 kali lebih tinggi dibandingkan
wanita (Junaidi, 2004). Sampai sekarang faktor keturunan masih belum dapat
dipastikan gen mana penentu terjadinya stroke, menurut Brass dkk., yang
meneliti lebih dari 1200 kasus kembar monozygot dibandingkan 1100 kasus
kembar dizygot, berbeda bermakna antara 17,7% dan 3,6%. Tingkat kejadian
stroke di seluruh dunia tertinggi dialami oleh orang Jepang dan Cina, menurut
Broderick dkk., melaporkan orang negro Amerika cenderung berisiko 1,4 kali
lebih besar mengalami stroke perdarahan intrakranial, sedang orang kulit putih
cenderung terkena stroke iskemik, akibat sumbatan ekstrakranial yang lebih
banyak (Junaidi, 2004).
3. ETIOLOGI
Penyebab PTIK antara lain :
1. Tumor primer atau metastasis
2. Hemoragia otak
3. Hematoma subdural
4. Abses otak
5. Hidrosefalus akut
6. Tumor serebri
7. Infark yang luas
8. Trauma
9. Hematoma ekstraserebral
10. Acute brain swelling
11. Nekrosis otak yang diinduksi oleh radiasi
12. Edema serebral
13. Hipoksia
Penurunan PaO2 menyebabkan vasodilatasi serebral kurang dari 60
mmHg.
14. Hiperkapnia (peningkatan CO2) yang menyebabkan vasodilatasi.
15. Kerusakan aliran balik vena yang eningkatkan volume darah serebral.
16. Peningkatan tekanan abdomen atau intratorakal
17. Meningginya tekanan vena karena kegagalan jantung atau karena
obstruksi mediastinal superior.
18. Gangguan absorpsi cairan serebrospinalis.
4. PATOFISIOLOGI
Edema otak merupakan sebab yang paling lazim dari peningkatan tekanan
intrakranial dan memiliki banyak penyebab antara lain peningkatan cairan
intrasel, hipoksia, ketidak seimbangan cairan dan elektrolit, iskemia serebral,
meningitis, dan tentu saja cedera.
Tekanan intrakranial pada umumnya bertambah secara berangsur-angsur.
Setelah cedera kepala, timbulnya edema memerlukan waktu 36 sampai 48
jam untuk mencapai maksimum. Peningkatan tekanan intrakranial sampai 33
mmHg mengurangi aliran darah otak secara bermakna. Iskemia yang timbul
merangsang pusat motor, dan tekanan darah sistemik meningkat, Rangsangan
pada pusat inhibisi jantung mengakibatkan bradikardia dan pernapasan
menjadi lambat. Mekanisme kompensasi ini, dikenal sebagai refleks
Cushing, membantu mempertahankan aliran darah otak. Akan tetapi,
menurunnya pernapasan mengakibatkan retensi Co2 dan mengakibatkan
vasodilatasi otak yang membantu menaikkan tekananan intrakranial.
Trauma otak menyebabkan fragmentasi jaringan dan kontusio, merusak
sawar darah orak (SDO), disertai vasodilatasi dan eksudasi cairan sehingga
timbul edema. Edema menyebabkan peningkatan tekanan pada jaringan dan
akhirnya menngkatkan TIK, yang pada gilirannya akan menurunkan aliran
darah otak, iskemia, hipoksia, asidosis (penurunan pH dan penigkatan PCo2),
dan kerusakan SDO lebih lanjut. Siklus ini akan terus berlanjut sehingga
terjadi kematian sel dan edema bertambah secara progresif kecuali bila
dilakukan intervensi.
Otak sendiri merupakan 2% dari berat tubuh total. Dalam keadaan istirahat
otak menerima seperenam dari curah jantung. Otak mempergunakan 20%
dari oksigen tubuh. Otak sangat tergantung kepada oksigen, bila terjadi
anoksia seperti yang terjadi pada CVA di otak mengalami perubahan
metabolik, kematian sel dan kerusakan permanen yang terjadi dalam 3
sampai dengan 10 menit (non aktif total). Pembuluh darah yang paling sering
terkena ialah arteri serebral dan arteri karotis Interna.
Adanya gangguan peredaran darah otak dapat menimbulkan jejas atau cedera
pada otak melalui empat mekanisme, yaitu: :
1. Penebalan dinding arteri serebral yang menimbulkan penyempitan atau
penyumbatan lumen sehingga aliran darah dan suplainya ke sebagian otak
tidak adekuat, selanjutnya akan mengakibatkan perubahan-perubahan
iskemik otak. Bila hal ini terjadi sedemikian hebatnya, dapat
menimbulkan nekrosis.
2. Pecahnya dinding arteri serebral akan menyebabkan bocornya darah ke
kejaringan (hemorrhage).
3. Pembesaran sebuah atau sekelompok pembuluh darah yang menekan
jaringan otak.
4. Edema serebri yang merupakan pengumpulan cairan di ruang interstitial
jaringan otak.
Konstriksi lokal sebuah arteri mula-mula menyebabkan sedikit perubahan
pada aliran darah dan baru setelah stenosis cukup hebat dan melampaui batas
kritis terjadi pengurangan darah secara drastis dan cepat. Oklusi suatu arteri
otak akan menimbulkan reduksi suatu area dimana jaringan otak normal
sekitarnya yang masih mempunyai pendarahan yang baik berusaha
membantu suplai darah melalui jalur-jalur anastomosis yang ada. Perubahan
awal yang terjadi pada korteks akibat oklusi pembuluh darah adalah gelapnya
warna darah vena, penurunan kecepatan aliran darah dan sedikit dilatasi arteri
serta arteriole. Selanjutnya akan terjadi edema pada daerah ini. Selama
berlangsungnya perisriwa ini, otoregulasi sudah tidak berfungsi sehingga
aliran darah mengikuti secara pasif segala perubahan tekanan darah arteri. Di
samping itu reaktivitas serebrovaskuler terhadap PCO2 terganggu.
Berkurangnya aliran darah serebral sampai ambang tertentu akan memulai
serangkaian gangguan fungsi neural dan terjadi kerusakan jaringan secara
permanen.
(PATHWAY TERLAMPIR)
5. KLASIFIKASI
Stroke dapat diklasifikasikan menurut patologi dan gejala kliniknya, yaitu:
a. Stroke Haemorhagi
Merupakan perdarahan serebral dan mungkin perdarahan
subarachnoid. Disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah otak pada
daerah otak tertentu. Biasanya kejadiannya saat melakukan aktivitas
atau saat aktif, namun bisa juga terjadi saat istirahat. Kesadaran pasien
umumnya menurun.
b. Stroke Non Haemorhagi
Dapat berupa iskemia atau emboli dan thrombosis serebral, biasanya
terjadi saat setelah lama beristirahat, baru bangun tidur atau di pagi
hari. Tidak terjadi perdarahan namun terjadi iskemia yang
menimbulkan hipoksia dan selanjutnya dapat timbul edema sekunder.
Kesadaran umummnya baik.
6. MANIFESTASI KLINIS
Gejala-gejala klinis yang muncul tergantung berat ringannya gangguan
pembuluh darah dan lokasinya. Gambaran klinis stroke dapat berupa
(Junaidi,2004) :
• Adanya serangan defisit neurologis fokal, berupa kelemahan atau
kelumpuhan lengan atau tungkai, atau salah satu sisi tubuh.
• Hilangnya rasa atau adanya sensasi abnormal pada lengan, tungkai atau
salah satu sisi tubuh. Mati rasa sebelah, terasa kesemutan, terasa seperti
terbakar.
• Mulut, lidah mencong bila diluruskan.
• Gangguan menelan : sulit menelan, minum sering tersedak.
• Bicara tidak jelas, sulit berbahasa, kata yang diucapkan tidak sesuai
keinginan, pelo, sengau, bicaranya ngaco, kata-katanya tidak dapat
dipahami (afasia). Bicara tidak lancar, hanya sepatah-sepatah kata yang
terucap.
• Sulit memikirkan atau mengucapkan kata-kata yang tepat.
• Tidak memahami pembicaraan orang lain.
• Tidak mampu membaca dan menulis, dan tidak memahami tulisan.
• Tidak dapat berhitung, kepandaian menurun.
• Tidak mampu mengenali bagian dari tubuh.
• Hilangnya kendali terhadap kandung kemih, inkontinensia.
• Berjalan menjadi sulit, langkahnya kecil-kecil.
• Menjadi pelupa (demensia).
• Vertigo (pusing), atau perasaan berputar yang menetap saat tidak
beraktifitas.
• Awal terjadinya penyakit (onset) cepat, mendadak, dan biasanya terjadi
pada saat beristirahat atau bangun tidur.
• Hilangnya penglihatan berupa penglihatan yang terganggu, sebagian
lapang pandang tidak terlihat, gangguan pandangan tanpa rasa nyeri,
penglihatan gelap atau ganda sesaat.
• Kelopak mata sulit dibuka.
• Pendengaran hilang atau gangguan pendengaran, berupa tuli satu telinga
atau pendengaran berkurang.
• Menjadi lebih sensitif, menjadi mudah menangis atau tertawa
• Kebanyakan tidur atau selalu ingin tidur.
• Kehilangan keseimbangan, gerakan tubuh tidak terkoordinasi dengan
baik, sempoyongan, atau terjatuh.
• Gangguan kesadaran, pingsan sampai tidak sadarkan diri (koma).
Manifestasi klinik peningkatan tekanan intrakranial banyak dan bervariasi dan
dapat tidak jelas. Perubahan tingkat kesadaran penderita merupakan indikator
yang paling sensitif dari semua tanda peningkatan tekanan intracranial. Trias
klasik peningkatan tekanan intrakranial adalah:
1. Nyeri kepala karena regangan dura dan pembuluh darah
2. Papiledema yang disebabkan oleh tekanan dan pembengkakan diskus
optikus.
3. Muntah sering proyektil
Tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial lainnya;
1. Hipertermia
2. Perubahan motorik dan sensorik
3. Perubahan berbicara
4. Kejang
7. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan pada stroke :
A. Pemeriksaan radiologi
CT scan didapatkan hiperdens fokal, kadang-kadang masuk
ventrikel, atau menyebar ke permukaan otak.
MRI untuk menunjukkan area yang mengalami infark,hemoragik.
Angiografi cerebral membantu menentukan penyebab stroke secara
spesifik seperti perdarahan atau obstruksi arteri.
Pemeriksaan foto thorax dapat memperlihatkan keadaan jantung,
apakah terdapat pembesaran ventrikel kiri yang merupakan salah
satu tanda hipertensi kronis pada penderita stroke.
B. Pemeriksaan laboratorium
Pungsi lumbal: menunjukan adanya tekanan Normal dan cairan tidak
mengandung darah.
Pemeriksaan darah rutin
Pemeriksaan kimia darah pada stroke akut dapat terjadi
hiperglikemia. Gula darah dapat mencapai 250 mg dalam serum dan
kemudian berangsur-angsur turun kembali.
Pemeriksaan darah lengkap untuk mencari kelainan pada darah itu
sendiri
Pemeriksaan diagnostik pada PTIK :
Scan otak : meningkat isotop pada tumor.
Angiografi serebral : mengetahui adanya deviasi pada pembuluh
darah.
X-ray tengkorak : erosi posterior atau adanya kalsifikasi
intracranial.
X-ray dada : mendeteksi tumor paru primer atau penyakit metastase.
CT scan atau MRI : mengidentfikasi vaskuler tumor, perubahan
ukuran ventrikel serebral.
Ekoensefalogram : melihat peningkatan pada struktur midline.
8. PENATALAKSANAAN
Untuk mengobati keadaan akut perlu diperhatikan faktor-faktor kritis
sebagai berikut:
1. Berusaha menstabilkan tanda-tanda vital dengan:
a) Mempertahankan saluran nafas yang paten yaitu lakukan
pengisapan lendir yang sering, oksigenasi, kalau perlu lakukan
trakeostomi, membantu pernafasan.
b) Mengontrol tekanan darah berdasarkan kondisi pasien, termasuk
usaha memperbaiki hipotensi dan hipertensi.
2. Berusaha menemukan dan memperbaiki aritmia jantung.
3. Merawat kandung kemih, sedapat mungkin jangan memakai kateter.
4. Menempatkan pasien dalam posisi yang tepat, harus dilakukan secepat
mungkin pasien harus dirubah posisi tiap 2 jam dan dilakukan latihan-
latihan gerak pasif.
Pengobatan Konservatif
1. Vasodilator meningkatkan aliran darah serebral (ADS) secara percobaan,
tetapi maknanya pada tubuh manusia belum dapat dibuktikan.
2. Dapat diberikan histamin, aminophilin, asetazolamid, papaverin intra
arterial.
3. Anti agregasi thrombosis seperti aspirin digunakan untuk menghambat
reaksi pelepasan agregasi thrombosis yang terjadi sesudah ulserasi
alteroma.
Pengobatan Pembedahan
Tujuan utama adalah memperbaiki aliran darah serebral:
1. Endosterektomi karotis membentuk kembali arteri karotis, yaitu
dengan membuka arteri karotis di leher.
2. Revaskularisasi terutama merupakan tindakan pembedahan dan
manfaatnya paling dirasakan oleh pasien TIA.
3. Evaluasi bekuan darah dilakukan pada stroke akut.
4. Ligasi arteri karotis komunis di leher khususnya pada aneurisma.
9. PROGNOSIS
Prognosis stroke ditentukan oleh banyak parameter dan prediktor klinis. Pada
kasus stroke perdarahan, angka mortalitas relatif lebih tinggi. Penelitian
Larsen, dkk (1984) pada 53 pasien stroke perdarahan menunjukkan bahwa
angka mortalitas akut adalah 27%. Faktor prognosis yang utama adalah
tingkat kesadaran dan volume hematoma. Penelitian Fieschi, dkk (1988) pada
104 pasien stroke menunjukkan angka kematian pada bulan pertama adalah
30%. Faktor prognosis yang paling signifikan adalah usia, tingkat kesadaran
saat masuk RS, dan ukuran heatoma. Penelitian Kiyohara, dkk (2003) pada
1621 pasien stroke di Jepang memperlihatkan hasil serupa, angka kematian
pada perdarahan serebral di 30 hari pertama adalah 63,3% dibanding infark
serebral sebesar 9%. Faktor demografik, penyakit penyerta, dan keparahan
gejala stroke berkontribusi terhadap luaran stroke. Penelitian kohort Kernan,
dkk (2000) memperlihatkan prognosis stroke dipengaruhi oleh usia,
komorbiditas gagal jantung, riwayat stroke sebelumnya, diabetes, hipertensi,
dan penyakit jantung koroner. Adanya komorbiditas, usia tua, riwayat stroke
sebelumnya akan memberikan prognosis yang lebih buruk.
ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan proses keperawatan untuk
mengenal masalah klien, agar dapat memberi arah kepada tindakan keperawatan.
Tahap pengkajian terdiri dari tiga kegiatan, yaitu pengumpulan data,
pengelompokkan data dan perumusan diagnosis keperawatan. (Lismidar, 1990)
a. Pengumpulan data
Pengumpulan data adalah mengumpulkan informasi tentang status kesehatan
klien yang menyeluruh mengenai fisik, psikologis, sosial budaya, spiritual,
kognitif, tingkat perkembangan, status ekonomi, kemampuan fungsi dan gaya
hidup klien. (Marilynn E. Doenges et al, 1998)
1. Identitas klien
Meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia tua), jenis kelamin,
pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam MRS,
nomor register, diagnose medis.
2. Keluhan utama
Biasanya didapatkan kelemahan anggota gerak sebelah badan, bicara pelo,
dan tidak dapat berkomunikasi. (Jusuf Misbach, 1999)
3. Riwayat penyakit sekarang
Serangan stroke hemoragik seringkali berlangsung sangat mendadak, pada
saat klien sedang melakukan aktivitas. Biasanya terjadi nyeri kepala, mual,
muntah bahkan kejang sampai tidak sadar, disamping gejala kelumpuhan
separoh badan atau gangguan fungsi otak yang lain. (Siti Rochani, 2000)
4. Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat hipertensi, diabetes militus, penyakit jantung, anemia,
riwayat trauma kepala, kontrasepsi oral yang lama, penggunaan obat-obat
anti koagulan, aspirin, vasodilator, obat-obat adiktif, kegemukan. (Donna D.
Ignativicius, 1995)
5. Riwayat penyakit keluarga
Biasanya ada riwayat keluarga yang menderita hipertensi ataupun diabetes
militus. (Hendro Susilo, 2000)
6. Riwayat psikososial
Stroke memang suatu penyakit yang sangat mahal. Biaya untuk
pemeriksaan, pengobatan dan perawatan dapat mengacaukan keuangan
keluarga sehingga faktor biaya ini dapat mempengaruhi stabilitas emosi dan
pikiran klien dan keluarga.
7. Pola-pola fungsi kesehatan
a. Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat. Biasanya ada riwayat
perokok, penggunaan alkohol, penggunaan obat kontrasepsi oral.
b. Pola nutrisi dan metabolism. Adanya keluhan kesulitan menelan,
nafsu makan menurun, mual muntah pada fase akut, muntah proyektil.
c. Pola eliminasi. Biasanya terjadi inkontinensia urine dan pada pola
defekasi biasanya terjadi konstipasi akibat penurunan peristaltik usus.
d. Pola aktivitas dan latihan. Adanya kesukaran untuk beraktivitas
karena kelemahan, kehilangan sensori atau paralise/ hemiplegi, mudah
lelah.
e. Pola tidur dan istirahat. Biasanya klien mengalami kesukaran untuk
istirahat karena kejang otot/nyeri otot.
f. Pola hubungan dan peran. Adanya perubahan hubungan dan peran
karena klien mengalami kesukaran untuk berkomunikasi akibat
gangguan bicara.
g. Pola persepsi dan konsep diri. Klien merasa tidak berdaya, tidak
ada harapan, mudah marah, tidak kooperatif.
h. Pola sensori dan kognitif. Pada pola sensori klien mengalami
gangguan penglihatan/kekaburan pandangan, perabaan/sentuhan
menurun pada muka dan ekstremitas yang sakit. Pada pola kognitif
biasanya terjadi penurunan memori dan proses berpikir, nyeri pada
kepala dan tulang belakang terutama saat membungkuk.
i. Pola reproduksi seksual. Biasanya terjadi penurunan gairah seksual
akibat dari beberapa pengobatan stroke, seperti obat anti kejang, anti
hipertensi, antagonis histamin.
j. Pola penanggulangan stress. Klien biasanya mengalami kesulitan
untuk memecahkan masalah karena gangguan proses berpikir dan
kesulitan berkomunikasi.
k. Pola tata nilai dan kepercayaan. Klien biasanya jarang melakukan
ibadah karena tingkah laku yang tidak stabil, kelemahan/kelumpuhan
pada salah satu sisi tubuh.
8. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum
i. Kesadaran : umumnya mengelami penurunan kesadaran.
ii. Suara bicara : kadang mengalami gangguan yaitu sukar dimengerti,
kadang tidak bisa bicara
iii. Tanda-tanda vital : tekanan darah meningkat, denyut nadi bervariasi
b. Pemeriksaan integument
i. Kulit : jika klien kekurangan O2 kulit akan tampak pucat dan jika
kekurangan cairan maka turgor kulit kan jelek. Di samping itu perlu juga
dikaji tanda-tanda dekubitus terutama pada daerah yang menonjol karena
klien CVA Bleeding harus bed rest 2-3 minggu.
ii. Kuku : perlu dilihat adanya clubbing finger, cyanosis
iii. Rambut : umumnya tidak ada kelainan
c. Pemeriksaan kepala dan leher
1. Kepala : bentuk normocephalik
2. Muka : umumnya tidak simetris yaitu mencong ke salah satu sisi.
3. Leher : kaku kuduk jarang terjadi (Satyanegara, 1998).
4. Mata : selama tidur untuk pergerakan mata REMs yang akan berakibat
penurunan pernafasan akibat akumulasi berlebihan karbondioksida
d. Pemeriksaan dada
Pada pernafasan kadang didapatkan suara nafas terdengar ronchi,
wheezing ataupun suara nafas tambahan, pernafasan tidak teratur akibat
penurunan refleks batuk dan menelan.
e. Pemeriksaan abdomen
Didapatkan penurunan peristaltik usus akibat bed rest yang lama, dan
kadang terdapat kembung.
f. Pemeriksaan inguinal, genetalia, anus
Kadang terdapat incontinensia atau retensio urine.
g. Pemeriksaan ekstremitas
Pergerakan volunteer dan sering didapatkan kelumpuhan pada salah satu
sisi tubuh.
h. Pemeriksaan neurologi
a) Pemeriksaan nervus cranialis. Umumnya terdapat gangguan nervus
cranialis VII dan XII central.
b) Pemeriksaan motorik
Hampir selalu terjadi kelumpuhan/kelemahan pada salah satu sisi
tubuh.
c) Pemeriksaan sensorik
Dapat terjadi hemihipestesi.
d) Pemeriksaan reflex
Pada fase akut reflek fisiologis sisi yang lumpuh akan menghilang.
Setelah beberapa hari refleks fisiologis akan muncul kembali
didahuli dengan refleks patologis.(Jusuf Misbach, 1999)
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan radiologi :
1. CT scan : didapatkan hiperdens fokal, kadang-kadang masuk ventrikel,
atau menyebar ke permukaan otak. (Linardi Widjaja, 1993)
2. MRI : untuk menunjukkan area yang mengalami hemoragik. (Marilynn
E. Doenges, 2000)
3. Angiografi serebral : untuk mencari sumber perdarahan seperti
aneurisma atau malformasi vaskuler. (Satyanegara, 1998)
4. Pemeriksaan foto thorax : dapat memperlihatkan keadaan jantung,
apakah terdapat pembesaran ventrikel kiri yang merupakan salah satu
tanda hipertensi kronis pada penderita stroke. (Jusuf Misbach, 1999)
Pemeriksaan laboratorium
1. Pungsi lumbal : pemeriksaan likuor yang merah biasanya dijumpai pada
perdarahan yang masif, sedangkan perdarahan yang kecil biasanya
warna likuor masih normal (xantokhrom) sewaktu hari-hari pertama.
(Satyanegara, 1998)
2. Pemeriksaan darah rutin
3. Pemeriksaan kimia darah : pada stroke akut dapat terjadi hiperglikemia.
Gula darah dapat mencapai 250 mg dalajm serum dan kemudian
berangsur-angsur turun kembali. (Jusuf Misbach, 1999)
4. Pemeriksaan darah lengkap : unutk mencari kelainan pada darah itu
sendiri. (Linardi Widjaja, 1993).
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Perfusi jaringan Cerebral tidak efektif berhubungan dengan aliran
arteri ke cerebral terhambat ditandai dengan perubahan tingkat kesadaran,
kehilangan memori, perubahan dalam respon motorik/sensorik, gelisah,
perubahan tanda-tanda vital.
2. Risiko cedera berhubungan dengan perubahan fungsi serebral
sekunder akibat hipoksia jaringan.
3. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan
kesadaran ditandai dengan ketidakmampuan mengeluarkan secret, ronchi
(+).
4. Syndrome defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan
otot sekunder akibat penyakit neurologis (stroke) ditandai dengan
kelemahan otot yang berlebih, ketidakmampuan dalam melakukan hygine
diri, makan, dan toileting secara mandiri.
5. Nyeri akut berhubungan dengan pembuluh darah pada otak
tertekan ditandai dengan sakit kepala.
6. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan keletihan,
penurunan motivasi, dan nyeri ditandai dengan keterbatasan rentang gerak,
penurunan kemampuan untuk bergerak dengan sengaja.
7. Hambatan komunikasi verbal berhubungan dengan kerusakan
motoris otot – otot bicara sekunder akibat penyakit neurologis (stroke)
ditandai dengan kerusakan kemampuan untuk berbicara, berbicara tidak
sesuai.
8. Gangguan persepsi sensori berhubungan dengan kesalahan
interpretasi sekunder akibat perubahan neurologis (stroke) ditandai dengan
tidak akuratnya interpretasi stimulus lingkungan, perubahan negative
dalam jumlah atau pola stimulus yang datang, perubahan perilaku atau
pola komunikasi.
9. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan kelemahan otot dan
tirah baring lama.
10. Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan disfagia sekunder akibat paralisis serebral ditandai
dengan menurunnya asupan makanan, penurunan berat badan, kelemahan
otot – otot mengunyah, muntah proyektil, albumin menurun.
11. Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan penurunan isyarat
kandung kemih atau gangguan kemampuan untuk mengenali isyarat
kandung kemih sekunder akibat cedera cerebrovaskular (stroke) ditandai
dengan inkontinensia, sering berkemih, nokturia.
3. INTERVENSI
Menentukan Prioritas
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan
kesadaran ditandai dengan ketidakmampuan mengeluarkan secret, ronchi
(+).
2. Perfusi jaringan Cerebral tidak efektif berhubungan dengan aliran arteri ke
cerebral terhambat ditandai dengan perubahan tingkat kesadaran,
kehilangan memori, perubahan dalam respon motorik/sensorik; gelisah,
perubahan tanda-tanda vital.
3. Risiko cedera berhubungan dengan perubahan fungsi serebral sekunder
akibat hipoksia jaringan.
4. Nyeri akut berhubungan dengan pembuluh darah pada otak tertekan
ditandai dengan sakit kepala.
5. Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan disfagia sekunder akibat paralisis serebral ditandai dengan
menurunnya asupan makanan, penurunan berat badan, kelemahan otot –
otot mengunyah, muntah proyektil, albumin menurun.
6. Gangguan persepsi sensori berhubungan dengan kesalahan interpretasi
sekunder akibat perubahan neurologis (stroke) ditandai dengan tidak
akuratnya interpretasi stimulus lingkungan, perubahan negative dalam
jumlah atau pola stimulus yang datang, perubahan perilaku atau pola
komunikasi.
7. Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan penurunan isyarat kandung
kemih atau gangguan kemampuan untuk mengenali isyarat kandung kemih
sekunder akibat cedera cerebrovaskular (stroke) ditandai dengan
inkontinensia, sering berkemih, nokturia.
8. Hambatan komunikasi verbal berhubungan dengan kerusakan motoris otot
– otot bicara sekunder akibat penyakit neurologis (stroke) ditandai dengan
kerusakan kemampuan untuk berbicara, berbicara tidak sesuai.
9. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan keletihan, penurunan
motivasi, dan nyeri ditandai dengan keterbatasan rentang gerak, penurunan
kemampuan untuk bergerak dengan sengaja.
10. Syndrome defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan otot
sekunder akibat penyakit neurologis (stroke) ditandai dengan kelemahan
otot yang berlebih, ketidakmampuan dalam melakukan hygine diri, makan,
dan toileting secara mandiri.
11. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan kelemahan otot dan
tirah baring lama.
Intervensi Keperawatan
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan
kesadaran ditandai dengan ketidakmampuan mengeluarkan secret,
ronchi (+).
Tujuan :
Setelah diberikan askep selama …x 24 jam, diharapkan bersihan jalan
nafas efektif, dengan criteria hasil :
- Klien mampu batuk dan mengeluarkan sputum dengan efektif.
-Bunyi napas klien normal
-Ronchi (-)
- Frekuensi, irama, dan kedalaman pernapasan normal dengan RR :
12-20 x/menit.
- Pola napas normal.
- Pergerakan dada simetris, bunyi napas normal.
Mandiri :
a. Auskultasi suara napas klien
Rasional : Mengetahui suara napas klien, untuk tindakan
keperawatan selanjutnya.
b. Kaji status pernafasan meliputi respiratory rate, penggunaan otot
bantu nafas, warna kulit.
Rasional : Tachipnea, pernafasan dangkal, dan gerakan otot dada
tidak simetris sering terjadi karena ketidak nyamanan gerakan
dinding dada/cairan paru.
c. Berikan cairan (khususnya yang hangat) sedikitnya 2500 ml/hari.
Rasional : Cairan (khususnya yang hangat) dapat memobilisasi
dan mencairkan sekret.
d. Lakukan suction jika terdapat sekret di jalan nafas
Rasional : Merangsang batuk atau pembersihan jalan nafas secara
mekanik pada pasien yang tak mampu melakukan karena batuk tak
efektif atau penurunan tingkat kesadaran.
e. Posisikan kepala lebih tinggi
Rasional : Posisi kepala yang lebih tinggi memungkinkan upaya
nafas lebih dalam dan lebih kuat. Tindakan ini meningkatkan
inspirasi maksimal, meningkatkan pengeluaran secret untuk
memperbaiki ventilasi.
f. Bantu pasien mempelajari melakukan batuk yang efektif, misalnya
menekan dada dan batuk efektif sementara posisi duduk tinggi.
Rasional : Nafas dalam memudahkan ekspansi maksimum paru-
paru. Batuk adalah pembersihan jalan nafas alami, membantu silia
untuk mempertahankan jalan nafas paten. Penekanan menurunkan
ketidaknyamanan dada dan posisi duduk memungkinkan upaya
nafas lebih dalam dan lebih kuat.
Kolaborasi:
a. Kolaborasi dengan fisiotherapist untuk melakukan fisiotherapi
dada
Rasional : Memudahkan pengenceran dan pembuangan sekret.
Koordinasi pengobatan/jadwal dan masukan oral menurunkan
muntah karena batuk, pengeluaran sputum.
b. Berikan obat sesuai indikasi : mukolitik, ekspektoran,
bronkodilator, analgesik.
Rasional : Alat untuk menurunkan spasme broncus dengan
mobilisasi sekret. Analgesik diberikan untuk memperbaiki batuk
dengan menurunkan ketidaknyamanan tetapi harus digunakan
secara hati-hati, karena dapat menekan upaya pernafasan.
Intervensi:
Mandiri:
a. Kaji tipe/derajat disfungsi, seperti pasien tidak tampak memahami
kata atau mengalami kesulitan berbicara atau membuat pengertian
sendiri.
Rasional : Membantu menentukan daerah dan derajat kerusakan
serebral yang terjadi dan kesulitan pasien dalam beberapa atau
seluruh tahap proses komunikasi. Pasien mungkin mempunyai
kesulitan memahami kata yang diucapkan; mengucapkan kata-kata
dengan benar; atau mengalami kerusakan pada kedua daerah
tersebut.
b. Bedakan antara afasia dengan disartria.
Rasional : Intervensi yang dipilih tergantung pada tipe
kerusakannya. Afasia adalah gangguan dalam menggunakan dan
menginterpretasikan simbol-simbol bahasa dan mungkin
melibatkan komponen sensorik dan/atau motorik, seperti
ketidakmampuan untuk memahami tulisan/ucapan atau menulis
kata, membuat tanda, berbicara. Seseorang dengan disartria dapat
memahami, membaca, dan menulis bahasa tetapi mengalami
kesulitan membentuk/mengucapkan kata sehubungan dengan
kelemahan dan paralisis dari otot-otot daerah oral.
c. Perhatikan kesalahan dalam komunikasi dan berikan umpan balik.
Rasional : Pasien mungkin kehilangan kemampuan untuk
memantau ucapan yang keluar dan tidak menyadari bahwa
komunikasi yang diucapkannya tidak nyata. Umpan balik
membantu pasien merealisasikan kenapa pemberi asuhan tidak
mengerti/berespon sesuai dan memberikan kesempatan untuk
mengklarifikasikan isi/makna yang gterkandung dalam ucapannya.
d. Mintalah pasien untuk mengikuti perintah sederhana (seperti “buka
mata,” “tunjuk ke pintu”) ulangi dengan kata/kalimat yang
sederhana.
Rasional : Melakukan penilaian terhadap adanya kerusakan
sensorik (afasia sensorik)
e. Tunjukkan objek dan minta pasien untuk menyebutkan nama benda
tersebut.
Rasional : Melakukan penilaian terhadap adanya kerusakan
motorik (afasia motorik), seperti pasien mungkin mengenalinya
tetapi tidak dapat menyebutkannya.
f. Mintalah pasien untuk mengucapkan suara sederhana seperti “Sh”
atau “Pus”
Rasional : Mengidentifikasikan adanya disartria sesuai komponen
motorik dari bicara (seperti lidah, gerakan bibir, kontrol napas)
yang dapat mempengaruhi artikulasi dan mungkin juga tidak
disertai afasia motorik.
g. Minta pasien untuk menulis nama dan/atau kalimat yang pendek.
Jika tidak dapat menulis, mintalah pasien untuk membaca kalimat
yang pendek
Rasional : Menilai kemampuan menulis (agrafia) dan kekurangan
dalam membaca yang benar (aleksia) yang juga merupakan bagian
dari afasia sensorik dan afasia motorik.
h. Tempatkan tanda pemberitahuan pada ruang perawat dan ruangan
pasien tentang adanya gangguan bicara. Berikan bel khusus bila
perlu.
Rasional : Menghilangkan ansietas pasien sehubungan dengan
ketidakmampuannya untuk berkomunikasi dan perasaan takut
bahwa kebutuhan pasien tidak akan terpenuhi dengan segera.
Penggunaan bel yang diaktifkan dengan tekanan minimal akan
bermanfaat ketika pasien tidak dapat menggunakan system bel
regular.
i. Berikan metode komunikasi alternative, seperti menulis di papan
tulis, gambar. Berikan petunjuk visual (gerakan tangan, gambar-
gambar, daftar kebutuhan, demonstrasi).
Rasional : Memberikan komunikasi tentang kebutuhan
berdasarkan keadaan/deficit yang mendasarinya.
j. Katakan secara langsung dengan pasien, bicara perlahan, dan
dengan tenang. Gunakan pertanyaan terbuka dengan jawaban
“ya/tidak,” selanjutnya kembangkan pada pertanyaan yang lebih
kompleks sesuai dengan respons pasien.
Rasional : Menurunkan kebingungan/ansietas selama proses
komunikasi dan berespons pada informasi yang lebih banyak pada
satu waktu tertentu. Sebagai proses latihan kembali untuk lebih
mengembangkan komunikasi lebih lanjut dan lebih kompleks akan
menstimulasi memori dan dapat meningkatkan asosiasi ide/kata.
k. Hargai kemampuan pasien sebelum terjadi penyakit; hindari
“pembicaraan yang merendahkan” pada pasien atau membuat hal-
hal yang menentang kebanggaan pasien.
Rasional : Kemampuan pasien untuk merasakan harga diri, sebab
kemampuan intelektual pasien seringkali tetap baik
Kolaborasi
a. Konsultasikan dengan/rujuk kepada ahli terapi wicara.
5. EVALUASI
No.
Diagnosa Keperawatan Evaluasi
Dx
1. Bersihan jalan nafas tidak Bersihan jalan nafas efektif :
efektif berhubungan dengan - Klien mampu batuk dan mengeluarkan
penurunan kesadaran ditandai sputum dengan efektif.
dengan ketidakmampuan - Bunyi napas klien normal
mengeluarkan secret, ronchi - Ronchi (-)
(+). - Frekuensi, irama, dan kedalaman
pernapasan normal dengan RR : 12-
20x/menit.
- Pola napas normal.
- Pergerakan dada simetris, bunyi napas
normal.
2. Gangguan perfusi jaringan Tercapainya perfusi jaringan serebral
serebral berhubungan dengan adekuat :
peningkatan TIK. - Tingkat kesadaran meningkat.
- Klien tidak sakit kepala.
- TD dalam batas normal (120/80
mmHg).
- Klien tidak gelisah.
3. Risiko cedera berhubungan Cidera tidak terjadi dengan kriteria
dengan perubahan fungsi hasil :
serebral sekunder akibat - Tidak ada luka
hipoksia jaringan. - Pasien tidak terjatuh
4. Nyeri akut berhubungan dengan Nyeri berkurang/dapat terkontrol dengan
pembuluh darah pada otak outcome :
tertekan ditandai dengan sakit - Menunjukkan postur rileks
kepala. - Mampu tidur/istirahat dengan tepat.
5. Gangguan pemenuhan nutrisi Kebutuhan nutrisi klien adekuat dengan
kurang dari kebutuhan tubuh kriteria hasil :
berhubungan dengan disfagia - Klien menghabiskan 1 porsi
sekunder akibat paralisis makanan yang disediakan
serebral ditandai dengan - Berat badan klien dalam rentang
menurunnya asupan makanan, normal
penurunan berat badan, - Klien tidak tampak lemah
kelemahan otot – otot - Klien tidak muntah
mengunyah, muntah proyektil,
albumin menurun.
6. Gangguan persepsi sensori Gangguan persepsi sensori teratasi dengan
berhubungan dengan kesalahan kriteria hasil :
interpretasi sekunder akibat - akuratnya interpretasi stimulus
perubahan neurologis (stroke) lingkungan
ditandai dengan tidak - tidak adanya perubahan negative
akuratnya interpretasi stimulus dalam jumlah atau pola stimulus yang
lingkungan, perubahan dating
negative dalam jumlah atau - tidak adanya perubahan perilaku
pola stimulus yang datang, atau pola komunikasi
perubahan perilaku atau pola
komunikasi.
7. Gangguan eliminasi urine Eliminasi urine klien tidak mengalami
berhubungan dengan gangguan dengan kriteria hasil :
penurunan isyarat kandung - Klien tidak mengalami
kemih atau gangguan inkontinensia
kemampuan untuk mengenali - Klien tidak mengalami nokturia
isyarat kandung kemih - Klien dapat berkemih dengan
sekunder akibat cedera normal
cerebrovaskular (stroke)
ditandai dengan inkontinensia,
sering berkemih, nokturia.
8. Hambatan komunikasi verbal Kerusakan komunikasi verbal klien dapat
berhubungan dengan teratasi:
kerusakan motoris otot – otot - Menerima pesan-pesan melalui metode
bicara sekunder akibat alternatif (mis; komunikasi tertulis,
penyakit neurologis (stroke) bahasa isyarat, bicara dengan jelas pada
ditandai dengan kerusakan telinga yang baik).
kemampuan untuk berbicara, - Memperlihatkan suatu peningkatan
berbicara tidak sesuai. kemampuan berkomunikasi.
- Meningkatkan kemampuan untuk
mengerti.
- Mengatakan penurunan frustrasi dalam
berkomunikasi.
- Mampu berbicara yang koheren.
- Mampu menyusun kata – kata/ kalimat.
9. Hambatan mobilitas fisik Mobilisasi klien mengalami peningkatan,
berhubungan dengan keletihan, dengan kriteria hasil:
penurunan motivasi, dan nyeri - mempertahankan posisi optimal,
ditandai dengan keterbatasan - mempertahankan/meningkatkan
rentang gerak, penurunan kekuatan dan fungsi bagian tubuh yang
kemampuan untuk bergerak terserang hemiparesis dan hemiplagia.
dengan sengaja. - mempertahankan perilaku yang
memungkinkan adanya aktivitas.
10. Defisit perawatan diri Peningkatan perawatan diri dengan
berhubungan dengan kriteria hasil :
kelemahan otot sekunder - pasien mampu untuk
akibat penyakit neurologis makan sendiri, mandi sendiri dan
(stroke) ditandai dengan mengenakan pakaian sendiri
kelemahan otot yang berlebih,
ketidakmampuan dalam
melakukan hygine diri, makan,
dan toileting secara mandiri.
11. Resiko kerusakan integritas Kerusakan integritas kulit tidak
kulit berhubungan dengan terjadi dengan kriteria hasil :
kelemahan otot dan tirah - Tidak ada lesi, eritema,
baring lama. pruritus, abrasi (lecet)
- Tidak adanya gangguan
jaringan epidermis dan dermis.