Meskipun tak putus didera masalah, hingga saat ini Industri Tekstil dan Produk
Tekstil (TPT) Indonesia masih memainkan peran yang cukup besar terhadap
perekonomian nasional. Pada 2006, industri ini memberikan kontribusi sebesar 11,7
persen terhadap total ekspor nasional, 20,2 persen terhadap surplus perdagangan
nasional, dan 3,8 persen terhadap pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional.
Sementara daya serap industri ini terhadap tenaga kerja juga cukup besar, mencapai
1,84 juta tenaga kerja.
Hingga saat ini, industri TPT Indonesia menghadapi berbagai masalah. Masalah-
masalah tersebut diantaranya adalah biaya energi yang mahal, infrastruktur pelabuhan
yang belum kondusif, mesin-mesin pertekstilan yang sebagian besar sudah sangat tua,
dan maraknya produk impor ilegal terutama dari China. Berbagai permasalahan tersebut
menyebabkan Industri TPT Indonesia berjalan dengan kondisi yang kurang sehat. Biaya
operasional menjadi relatif mahal, namun dengan produktivitas yang relatif rendah.
Dengan kondisi yang cukup berat tersebut, produk TPT Indonesia masih berhasil
mendapat tempat yang cukup baik di pasar luar negeri, bahkan memiliki daya saing yang
cukup tinggi di pasar internasional. Ini terbukti dari cukup besarnya kontribusi devisa
yang dihasilkan dari sektor ini dari tahun ke tahun maupun kontribusi Indonesia terhadap
perdagangan TPT internasional dibanding negara-negara eksportir lainnya. Pada 2006
misalnya, devisa yang dihasilkan dari sub sektor TPT mencapai US$ 9,5 miliar.
Profil Industri
1
Analis Ekonomi dan Bisnis pada bank BUMN di Jakarta
Industri tekstil memiliki struktur industri yang terintegrasi dari hulu hingga ke
hilir (up stream, mid stream, dan down stream) dan memiliki keterkaitan yang sangat
erat antara satu industri dengan industri lainnya. Karena itu, analisis mengenai industri
ini akan menyentuh berbagai segmen industri baik langsung maupun tidak langsung
Di tingkat hulu Indonesia memiliki industri serat yang terdiri dari industri serat
alam, serat buatan dan benang filamen; dan industri pemintalan serta pencelupan
(spinning). Hingga 2006, Indonesia telah memiliki 26 perusahaan industri serat dengan
total kapasitas terpasang 1,077 ribu ton. Sekitar 70% dari hasil industri serat ini diserap
oleh industri pemintalan di dalam negeri. Sedangkan sisanya diekspor ke luar negeri.
Saat ini Indonesia merupakan produsen serat buatan ketujuh terbesar dunia yang
memasok 10% kebutuhan serat rayon dunia.
Kondisi yang relatif sama juga terlihat pada industri pertenunan, perajutan,
pencelupan dan finishing. Jumlah perusahaan yang berjumlah 1,044 perusahaan dengan
total kapasitas produksi 1,78 juta ton pada 2006 nyaris tidak mengalami perkembangan
sepanjang 5 tahun terakhir. Demikian juga jumlah mesin tidak mengalami penambahan
sejak 2003. Diantara industri TPT, industri ini kondisinya termasuk yang paling
memprihatinkan. Dari 248.957 unit mesin tenun yang ada, sekitar 66 persen diantaranya
telah berusia diatas 20 tahun, dan 26 persen diatas 10 tahun. Kondisi mesin rajut dan
mesin finishing jauh lebih memprihatinkan. Jumlah mesin rajut yang berusia diatas 20
tahun mencapai 84 persen dari jumlah mesin 41.312 unit. Sementara pada mesin finishing,
jumlah mesin yang berusia diatas 20 tahun jumlahnya mencapai 93 persen dari 349 unit
mesin yang ada. Itulah sebabnya, karena kemampuan mesin finishingnya yang rendah,
ekspor di sub sektor ini didominasi oleh kain mentah. Pasar utama dari hasil industri
tenun adalah negara-negara di Eropa dan Timur Tengah.
Beberapa Permasalahan
Salah satu permasalahan terbesar industri TPT Indonesia saat ini adalah usia
mesin-mesin yang sudah sangat tua. Ini memang permasalahan klasik, namun belum
terselesaikan hingga saat ini. Menurut catatan Departemen Perindustrian, dari seluruh
mesin TPT yang ada (8,38 juta unit mesin pada 2006), sekitar 80 persen diantaranya
telah berusia diatas 20 tahun. Ini menyebabkan produktivitas menurun hingga 50
persen. Di Industri pemintalan jumlah mesin yang berusia diatas 20 tahun mencapai 64
persen (5.025.287 mata pintal dari 7.803.241 mata pintal). Di industri pertenunan
jumlahnya mencapai 82,1 persen (204.393 ribu alat tenun mesin dibanding 248.957 unit),
perajutan 84%, finishing 93% dan pakaian jadi atau garmen 78%. Dengan kondisi mesin-
mesin yang sudah sangat tua tersebut, produktivitas industri TPT Indonesia diperkirakan
menurun hingga 50 persen.
& Finishing 3 miliar (finish) 971.380 ton 2.46 miliar 20.90 triliun
Permasalahan lain yang cukup serius adalah maraknya tekstil impor ilegal yang
masuk ke pasar domestik terutama dari China. Jumlah tekstil ilegal ini ditengarai
menguasai hingga 50 persen pasar tekstil domestik yang mencapai 1.013 ribu ton pada
2006. Diperkirakan produk TPT Ilegal yang masuk melalui pelabuhan mencapai 74
persen dan melalui bandara 25 persen. Di bandara Soekarno Hatta Cengkareng, produk
TPT ilegal masuk dalam bentuk pakaian jadi.
Biaya energi yang mahal merupakan permasalahan lain yang cukup mengganggu
daya saing produk tekstil Indonesia. Pada 2005 misalnya, biaya listrik yang dikeluarkan
industri TPT Indonesia mencapai US$ 0.08 (8 cent/kwh, tertinggi dibanding negara lain
yang hanya sebesar 7,6 cent/kwh di China, 7 cent/kwh di Vietnam, 6,6 cent/kwh di
Pakistan, dan 3 cent/kwh di Bangladesh dan Mesir. Disamping mahal, kebutuhan listrik
juga belum mampu dipenuhi secara optimal oleh PLN. Untuk biaya tenaga kerja,
Indonesia juga merupakan yang tertinggi diantara negara produsen lainnya. Bila negara
Bangladesh dan Vietnam hanya membayar upah buruh sebesar US$ 0,35/ jam, Pakistan
US$ 0,40/jam, India US$ 0,6/jam, Indonesia membayar lebih mahal yakni lebih dua
kalinya Bangladesh dan Vietnam, yakni sebesar US$ 0,76/jam. Diluar itu, Indonesia masih
dihadapi biaya pelabuhan yang cukup mahal, termahal kedua diantara negara-negara
ASEAN setelah Singapura.
Kinerja Industri
Kinerja ekspor industri TPT Indonesia sempat mengalami penurunan yang cukup
signifikan pada 2003. Namun demikian, sejak 2004 kinerjanya terus mengalami kenaikan
baik dari sisi volume maupun nilai ekspor. Bahkan volume maupun nilai ekspor yang
dicapai pada 2006 telah melampaui volume dan nilai ekspor pada tahun 2000. Lebih dari
separuh nilai ekspor dikontribusi oleh industri garmen yang mencapai 55,7 persen (USD
5,27 juta), diikuti oleh industri pemintalan sebesar 18,9 persen, dan industri pertenunan
Tahun Volume (ribu kg) Value (ribu USD) Harga rata-rata (USD/kg)
Sumber : - BPS
- Asosiasi Pertekstilan Indonesia
70,000 132,500
60,000 132,000
50,000 131,500
40,000 131,000
30,000 130,500
20,000 130,000
10,000 129,500
0 129,000
2001 2002 2003 2004 2005 2006
Investasi Modal (Rp miliar) 2001 2002 2003 2004 2005 2006
Serat/Fiber 11,640 11,929 11,929 11,929 11,929 12,306
Benang/Yarn 24,777 25,040 25,040 25,040 25,040 25,558
Kain/Fabric 30,811 31,428 31,636 31,705 31,567 32,330
Pakaian/Clothing 2,808 2,913 2,958 2,978 2,975 3,318
Produk lainnya 60,786 60,790 60,790 60,790 60,790 62,135
Total 130,822 132,100 132,353 132,442 132,301 135,647
Srilanka 1,703
Italy 2,068
Philippines 2,085
Thailand 2,124
Cambodia 2,151
Honduras 2,445
Canada 2,587
Hongkong 2,893
Bangladesh 2,998
Pakistan 3,250
Vietnam 3,396
Indonesia 3,902
India 5,031
Mexico 6,378
Cina 27,067
Tabel 3. Proyeksi Kapasitas Produksi dan Nilai Ekspor Industri TPT Indonesia 2010
Faktor lain yang akan menjadi ganjalan upaya peningkatan pangsa pasar industri
tekstil Indonesia adalah biaya energi dan biaya buruh yang mahal. Disamping mahal,
suplai energi dari PLN belum mampu memenuhi kebutuhan industri TPT secara maksimal.
Saat ini PLN masih berupaya meningkatkan kapasitas energinya dari baru bara dan gas.
Demikian juga dengan kebijakan sistem perburuhan yang hingga saat ini dirasakan masih
kurang berpihak kepada dunia usaha.
Terakhir adalah illegal textile import. Aksi yang sangat menganggu ini sudah
sedemikian rupa sehingga telah menyedot pangsa pasar tekstil domestik hingga 50
persen. Dengan biaya produksi yang jauh lebih murah ditambah biaya operasional yang
rendah pula adalah sulit bagi industri tekstil nasional bersaing dengan produk China.
Karena itu, diperlukan langkah-langkah yang serius dari pemerintah untuk mencegah dan
meminimalisir masuknya tekstil impor legal ke Indonesia.
Dengan restrukturisasi mesin-mesin dan iklim dunia usaha yang lebih kondusif
(sistem perburuhan, biaya energi yang murah dan cukup tersedia) peningkatan pangsa
pasar TPT Indonesia di dalam maupun luar negeri bukan lagi suatu yang mustahil untuk
dicapai.