Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

Menurut sejarah perkembangan laboratorium sebenarnya


laboratorium imunologi merupakan laboratorium yang pertama-tama
menunjang klinik dalam menegakkan diagnosis penyakit infeksi. Pengertian
awal imunitas adalah perlindungan terhadap penyakit, dan lebih spesifik lagi
perlindungan terhadap infeksi. Sel dan molekul yang bertanggung jawab atas
imunitas disebut system imun dan respons komponennya secara bersama
dan terkoordinasi disebut respons imun. Kemudian terungkap bahwa
substansi asing non-infeksius pun dapat menyulut respons imun, dan
ternyata pula bahwa mekanisme yang biasanya melindungi seseorang
terhadap infeksi dan berfungsi menyikingkirkan substansi asing, pada
keadaan tertentu dapat mengakibatkan kerusakan jaringan dan penyakit.

Dalam perkembangan imunologi selanjutnya, ternyata bahwa


imunologi dewasa ini tidak saja berkisar masalah infeksi tapi sudah meluas
hingga ruang lingkupnya telah meliputi hamper semua disiplin ilmu
kedokteran. Dalam 30 tahun terakhir telah terjadi perubahan dalam
pengertian kita tentang system imun dan fungsinya. Imunologi dalam
pengertian moder adalah ilmu eksperimental, dimana penjelasan tentang
fenomena imunologi di dasarkan atas observasi eksperimental dan
kesimpulan-kesimpulan yang dihasilkannya. Kemajuan dalam teknik kultur
sel, metode rekombinan DNA, dan biokimia protein telah merubah imunologi
dari ilmu deskriptif menjadi suatu ilmu dimana fenomena imunologik yang
sangat beragam dapat dihubungkan satu dengan lain dan dijelaskan melalui
pengetahuan tentang struktur dan biokimia komponen-komponen yang
terlibat dalam system imun. Perkembangan yang pesat dalam imunobiologi
dan imunokimia membuka jalan bagi klinik untuk secara luas menerapkan
pemeriksaan laboratorium imunologi untuk menunjang diagnosis atau
sebagai pedoman penatalaksanaan penderita. Secara umum pemeriksaan
laboratorium imunologi untuk menunjang diagnosis tersebut dibagi dalam
dua golongan yaitu:
1. Pemeriksaan untuk menetapkan kompetensi imunologik atau menilai
fungsi imunologik, baik pada orang normal maupun pada penderita
penyakit imunologik.
2. Periksaan yang di pakai untuk menunjang diagnosis penyakit-
penyakit tanpa latar belakang kelainan reaksi imunologik
BAB II
PEMBAHASAN

IMUNODIAGNOSTIK
2.1. Uji Kompetensi Imunologik
Respon imun yang normal memerlukan sejumlah proses terpadu yang
berlangsung secara berurutan yaitu :
 Pembentukan sel yang tepat, terutama sel T dan sel B, dengan cara
maturasi sel induk atau sel precuser dalam organ-organ tempat
sel-sel tersebut berdiferensiasi.
Makrofag dan sel dendritik serta sel-sel sitotosik yang tidak
mempunyai spesifitas antigen membantu atau meningkatkan
respon imun, walaupun tidak memerlukan tingkat diferensiasi
yang sama
 Presentasi antigen oleh APC, biasanya berupa kompleks peptida
yang dibentuk dari antigen yang ditelan dan dicerna dalam APC
 Pengenalan dan peningkatan peptida melalui reseptor spesifik
pada sel T atau B yang kemudian meneruskan sinyal stimulasi
tersebut ke dalam sel.
Sebagai tranduksi sinyal tersebut, terjadi trnskripsi berbagai
gen dan sel T dan sel B mensintesis dan mensekresi berbagai
molekul protein (misalnya sitokin dan reseptornya, molekul
adhesi atau molekul-molekullain) yang diperlikan untuk
meningkatkan poliferasi, diferensiasi selanjutnya, aktivasi sel-sel
accessory dan respon infalamasi.
 Aktivasi sistem komplemen untuk meningkatkan respon sel B atau
meningkatkan produksi sitolin, misalnya perforin, untuk
melisiskan sel sasaran.
Defek pada salah satu tahap proses di atas dapat
mengakibatkan gangguan respon imun atau imunodefesiensi. Melihat
rangkaian proses di atas, dapat dimengerti bahwa uji kompetensi imunologik
sebenarnya sangat kompleks, karena kompetensi imunolgik harus dievaluasi
mulai dari organ tempat sel berdiferensiasi dan selnya sendiri secara
kuantitatif, maupun secara kualitatif menguji kemampuan sel-sel tersebut
untuk melakukan fungsinya, termasuk kemampuannya untuk meneruskan
sinyal dari permukaan sel ke nukleus, dan untuk berlangsungnya respon
imun yang tepat. Walaupun demikian, secara garis besar defek sistem imun
dapat digolongkan dalam ;

1. Defek pada sistem sel T


2. Defek sistem sel B

Teknik dan metode laboratorium untuk menguji kompetensi


immunologik telah berkembang demikian cepat, sehingga saat ini hampir
semua komponen respons imun dapat diperiksa dan dievaluasi. Sebagian
besar test merupakan aplikasi dari riset dalam bidang imunologi dasar, dan
sebagian di antaranya telah mendapat tempat secara luas dalam
penerapannya di klinik untuk keperluan diagnosis, penentuan prognosis
maupun pemantauan perjalanan penyakit.Uji immunologik digunakan
bersama-sama dengan prosedur laboratorium lain dalam penilaian fungsi
imunologi dan diagnosis penyakit.
2.2. Uji Respon Imun Non-Spesifik

Uji respon imun non-spesifikmenggambarkan respon tubuh terhadap


zat asing secara non-spesifik. Pada umumnya fagosit yang terdiri atas
makrofag/monosit dan sel-sel polimorfonuklear (PMN) memegang peranan
utama sebagai sel efektor dalam respon imun non-spesifik. Ciri imunitas non-
spesifik adalah; sel-sel efektor sistem imun non-spesifik mempunyai
keterbatasan dalam membedakan satu mikroba yang lain dan sifatnya
streotip, yaitu fungsinya terhadap berbagai jenis mikroorganisme selalu
sama. Walaupun merupakan efektor utama, dari berbagai uraian terdahulu
diketehui bahwa dalam melakukan fungsinya sel-sel ini berinteraksi dengan
berbagai komponen lain, seperti interaksi dengan komplemen, antibodi dan
berbagai mediator sehingga sebenarnya fungsi fagosit tidak dapat dipisahkan
sama sekali dari respon imun spesifik seluler maupun humoral. Fagosit
mononukler maupun PMN mampu membunuh mikroorgnisme melalui
berbagai reaksi enzimatik intraseluler, walaupun sifat biologik kedua jenis
sel berbeda. Sel-sel MPN pada dasarnya merupakan sel yang berfungsi
menyingkirkan berbagai zat asing terutama melalui mekanisme non-
imunologik, sedangkan makrofag disamping fungsi di atas juga mempunyai
peran lain dalam kordinasi sistem imun, khususnya dalam imunoregulasi dan
fase akhir prosese respon imun seluler.

Telah diketahui bahwa sel-sel PMN merupakan sel yang pertama-tama


tiba diloksai infeksi atas rangsangan sinyal faktor kemotatik. Segera setelah
menerima rangsangan, sel PMN melekat pada endetol pembuluh darah,
meggelinding pada permukaan endetol, lalu melakukan diapedesis sehingga
tiba di jaringan tempat terjadinya infeksi, kemudian berinteraksi dengan
mikroba. Sistem pengenalan non-imun selanjutnya bertanggnung jawab
untuk proses pinositosis kompenen mikroba yang mengandung
polisakharida seperti zimosan dan lain-lain. Secara singkat fagositosis oleh
PMN berlangsung dalam satu tahap atau beberapa tahap sekaligus, misalnya
pada tahap kemotaksis, opsonisasi, penelanan, degranulasi dan proses
pembunuhan.

Makrofag dalam sistem imunoregulasi merupakan antigen presenting


cell (APC) yang berfungsi memproses antigen dan ,menampilkan antigen
yang telah diproses pada permukaan sel; tetapi disamping itu sel tersebut
juga memproduksi berbagai interleukin. Sifat-sifat ini tidak dimilki oleh MPN.
Perbedaan lain antara makrofag/ monosit dengan MPN adalah bahwa
makrofag/monosit lebih peka terhadap faktor kemotatik yang dilepaskan
oleh limfosit T dan komplemen, dibanding MPN. Kedua jenis fagosit juga
berbeda dalam hal kepekaanya terhadap anitgen yang akan ditangkap. PMN
lebih peka terhadap patikel yang tidak berbahaya, misalnya lateks, tetapi
kurang mampu berinteraksi dengan eritrosit homolog yang dilapisi antibodi,
sedangkan makrofag mempunyai sifat sebaliknya. Monosit dalam sirkulasi
dan makrofag dalam jaringan biasanya berada dalam status istrahat dam
baru menjadi akitf bila ada stimulasi. Stimulasi menyebabkan berbagai
perubahan morfologis maupun fungsional, yaitu: makrofag menjadi lebih
besar dan sitoplasmanya melebar. Komposisi membran sel berubah,
kecepatan pinositosis serta ingestion meningkat dan kadar enzim intra
seluler juga bertanbah. Selanjutnya proses pembunuhan berlangsung sama
seperti pada PMN. Perubahan-perubahan itulah yang sering digunakan
sebagai petanda kemampuan fungsional sel-sel tersebut.

Beberapa manifestasi klinik mengarahkan dugaan kepada gangguan


fungsi fagosit adalah infeksi tanpa disertai demam, jumlah leukosit yang
rendah pada infeksi akut dan tidak adanya respon imun non-spesifik dapat
digolongkan dalam
1. Gangguan kuantitatif yang ditandai dengan jumlah sel PMN
dibawah jumlah normal
2. Gangguan kualitatif pada sel PMNyang ditandai dengan gangguan
fungsi efektor.

Berdasarkan hal itu, maka test laboratorium untuk menguji respon


imun non-spesifik digolongkan dalam uji kuantitatif dan uji kualitatif atau uji
fungsi. Uji kuantitatif dilakukan dengan menghitung jumlah dan hitung jenis
leukosit dalam darah tepi. Makrofag/monosit dalam sirkulasi dapat
ditentukan dengan menggunakan pewarnaan sitokimia NSE dan lihat di
bawak mikroskop atau menggunakan antibodi monoklonal terhadap CD14
yang berlabel fluorokrom dan kemudian jumlah sel yang berwarna
fluorokrom diukur dengan teknik flwcytometry. Pada umumnya uji
kuantitatif saja tidak cukup untuk menentukan kompotensi imunolgik,
karena itu uji kuantitatif perlu disertai uji kualitatif atau uji fungsi. Selain
unutk menunjang diagnosis gangguan kompotensi imunolgik non-spesifik, uji
fungsi PMN khususnya yang dilakukan dengan cara flocytometry juga dapat
digunakan untuk mendeteksi carrier penyakit imunodefesiensi herediter,
misalnya chronic granulomatous disease (CGD) . beberapa metode uji fungsi
merupakan uji biologik yang memberikan hasil yang sangat bervariasi,
karena itu hasilnya harus datafsirkan bersama-sama hasil pemeriksaan lain
termasuk gejala klinik.

2.2.1. Uji Fungsi Leukosit

Indiaksi untuk melakukan uji fungsi leukosit adalah untuk


mengevaluasi dan memantau pasien yang diduga menderita defisiensi
imunologik seluler atau menunjukan gejala infeksi yang tidal lazim. Selain itu,
indikasi lain untuk uji fungsi leukosit, khususnya uji fungsi sintesis sitokin,
adalah untuk memantau pasien yang mendapat pengobatan “biologic
response modifier”. Jenis tes yang perlu dilakukan bergantung pada kondisi
pasien.
Defek fungsi leukosit polimorfonuklear (PMN) di antaranya
dapat dinyatakn dengan ketidak mampuan PMN melaksanakan fungsi
fagositosis walupun jumlahnya secara kuantitatif normal atau meningkat.
Seperti telah disebut diatas. Proses fagositosis oleh PMN dapat dibagi dalam
5 tahap. Disfungsi fagositosis dapat terjadi pada setiap tahap, sehinga defek
pada setiap tahap dapat mengakibatkan defek fagositosis.

Kemampuan fagositosis dapat diuji dengan menentukan


kemampuan PMN mereduksi nitroblue tetrazolium (NBT) yang tidak
berwarna menjadi formazan, berwarna biru. Metode ini sudah sangat lama
dikenal dan masih ada dilaboratorium yang menggunakannya, tetapi akhir-
akhir ini dikembangkan metode baru yang lebih akurat, yaitu mengukur
jumlah neutrofil yang mengandung bakteri menggunakan flowcytometry.
Perkembangan ilmu dan teknologi akhir-akhir ini juga mengungkapkan
bahwa pada setiap tahap fagositosis terjadi proses biokimiawi yang
produknya dapat diukur, sehingga seringkali pengukuran produk-produk
hasil proses fagositosis diantaranya yang sudah lama diketahui adalah
penglepasan berbagai jenis mediator terlarut seperti IL-1, IL-6, GM-CSF, TNF
dan PGE2. Kemampuan membunuh bakteri dievaluasi dengan mengukur
metabolisme oksidatif (oxdatve burst) yang secara tidak lengsung ditentukan
dengan mengukur banyaknya superoksida dan hydorgen peroksida atau
reactive oxygen spesies (ROS) lain yang dilepaskan oleh leukosit/PMN
setelah distimulasi.

Prinsip beberapa tes yang telah diketahui bermanfaat untuk uji fungsi
leukosit/PMN
1. Pengukuran kemampuan fagositosis dan metabolisme oksifatif.
Prinsip pengukuran fagositosis adalah mengukur jumlah
partikel (bakteri) yang difagositosis oleh neutrofil setelah
inkubasi selama waktu tertentu. Pengukuran partikel yang
difagositosis dapat dilakukan dengan berbagai cara,
diantaranya menghitung proporsi neutrofil yang mengandung
partikel di bahwa mikroskop, atau dengan flowcytometry.
Flowcytometry saat inim merupakan metode yang banyak
digunakan karena menunjukkan ketepatan dan ketelitian yang
cukup baik. Disamping itu keuntungan metode flowcytometry
dalah :
a. Jumlah sampel yang digunakan sedfikit
b. Tidak perlu memisahkan leukosit dari komponen darah
yang lain ( dapat menggunakan darah lengakap)
c. Dapat membedakan partikel yang benar-benar
difagositosis dengan partikel yang melekat atau
mengendap pada permukaan sel.
2. Kemampuan sintesis dan sekresi sitokin

2.2.2. Uji Gerakan Sel

Teknik jendela kulit Rebuck , metode in vivo klasik untuk


penelitian inflamasi adalah teknik jendela kulit rebuck.Penutup kecil
steril ditempatatkan diatas area kulit yang dilecetkan secara
suferfesial ; beberapa jam kemudian penutup kecil diambil dan jumlah
leukosit dihitung. Dalam tiga sampai empat jam ,lebih dari 90% dari
komposisi seluler terdiri dari leukosit polimorfonuklear. Sesudah 12
jam mereka diganti oleh sel-sel mononuklear dan pada 24 jam lebih
dari 50 % dari sel-sel adalah monosit dan makrofag. Teknik ini juga
dapat digunakan unuk meneliti respon terhadap rangsangan antigen
maupun non antigen. Penggunaannya diindikasikan pada cacat
kemotaksis, pada defisiensi komplemen dan pada keadaan-keadaan
yang lain yang mempengaruhi respon inflamatoris seperti
alkoholisme, pembicaraan steroid, dan diabetes, serta imaturitas,
perkembangan dan imaturitas nutrisional. Meskipun teknik ini adalah
semikuantitatif dan tidak dapat dengan benar mengukur kemotaksis
ia memberikan beberapa informasi yang berguna berkenaan
dengangerakan sel in vivo.

Uji Invitro Gerakan Sel

Gerakan sel fagosit dapat acak atau terarah


(kemotaksis).motilitas acak leukosit biasanya dilakukan dengan
pengukuran migrasi leukosit pada keadaan tanpa lpenarik
kimia( kemoatraktan). Penderita dengan sindrom leukosit malas telah
dijelaskan sebagai yang menunjukkan abnormalitas migrasi acak
bersama dengan kemotaksis tidak sempurna (defektif) dan
neutropenia.

Cacat kemotaktik terdapat paling sering pada penderita dengan


infeksi bakteri berulang kronik yang dapat disebabakan baik karena
cacat intraseluler, misalnya sindroma chediak –Higashi, maupun cacat
dalam pembentukan faktor kemotaktik ekstraseluler, misalnya
defisiensi.

2.2.3. Uji Fagositosis (Perlekatan Dan Ingesti)

Uji fagositosis ini mengukur kemampuan sel fagositik untuk


mengambil partikel ,misalnya polistirene; mikroorganisme misalnya
bakteri; Atau immunoglobulin. Karena masuknya partikel ini mungkin
memerlukan adanya opsonin (komplemen atau antibodi), uji ini
biasanya dilakukan dalam serum segar, serum penderita sendiri yang
akan menguji kemampuan opsoniknya, atau kumpulan serum
manusia. Sesudah inkubasi yang tepat pada keadaan spesifik, tidak
hanya jumlah sel yang fagositik dihitung tetapi juga jumlah partikel
yang diingesti tiap sel fagositik.

Uji ini mengukur kemampuan fagosit untuk mengingesti partikel


tetapi tidak perlu kemampuanya untuk menghancurkan partikel
secara intra seluler. Namun demikan modifikasi uji ini menggunakan
puls supravital atau fluorokrom, telah memungkinkan mengkombinasi
uji fungsi fagosit dengan uji yang mengukur digesti intra seluler. Uji
fagositosis biasanya dilakukan pada penderita yang diduga
mempunyai ganggaun fagosit, seperti sindroma disfungsi neutrofil,
atau cacat pada opsonisasi yang ditengahi antibodi atau komplemen.

2.2.3.1. Uji Pengukuran Kejadian-Kejadian Metabolik


Berkaitan Dengan Fagositosis

Meskipun sejumlah reaksi-reaksi biokimiawi


canggih dapat diukkur, dua assay telah menerima
perhatian dilaboratorium imunologi klinik: uji reduksi
pulas nitrobiru tetrazdanolium (nitroblue tetrazolium
dife reduction test =NBT) dan kemiluminesensi.

Uji kuantitatif NBT telah dikembangkan yang didasarkan pada


penambahan aktivitas metabolik dari fagosit yang terjadi setelah
rangsangan sel fagositik.pelepasan elektron selama aktivasi HMP
diukur secara kolorimetris dengan reduksi pulas nitrobiru tetrazolium
menjadi pigmen formazena biru atau dengan pemancaran sinar
melalui kemiluminesensi (chemiluminescence). Uji ini ditekankan
secara menyolok pada kasus –kasus yang ada .pelemahan pada
aktivitas metabolik leukosit , seperti pada penyakit granulomatosa
kronik (chronic granulomatous disease (CGD)).

Uji ini dapat mengukur tingkat relatif reduksi pulas oleh leukosit
istirahat (tidak dirangsang ) serta mereka yang telah dirangsang oleh
ingesti partikel atau oleh pemaparan terhadap endotoksin .Uji NTB
merupakan uji penyaringan awal untuk diagnosis penyakit
granulamatosa kronik.

2.2.3.2. Uji Pengukuran Mekanisme Anti Mikrobial

Uji fungsi sel fagositik yang terakhir adalah uji


aktivitas mikrobisidalnya. uji ini biasanya dilakukan
dengan bakteri dan mengukur kemampuan sel
fagositik untuk mengingesti (fagositose) dan
selanjutnya membunuh organisme. aktivitas fagositik
melibatkan kerja multifase yang memerlukan
integritas kedua faktor ekstraseluler (komplemen
antibodi), reseptor permukaan sel dan faktor-faktor
intraseluler (integritas metabolik utuh dari sel). uji ini
biasanya dilakukan dengan mencampur supensi
leukosit dengan bakteri bersama serum yang
mengandung aktiovitas opsonik yang cukup, muisalnya
c3b dan antibodi spesifik. sesudah jangka waktu yang
sesuai jumlah bakteri yang masih hidup di dalam sel
diukur dengan teknik biakan langsung, fluoresensi,
atau pulasan supravital.
2.2.4. Pengukuran Kuantitatif Enzim Leukosit Spesifik
Sekarang jelas bahwa sejumlah penyebab infeksi berulang
dihubungkan dengan defisiensi enzim selektif, seperti terjadfipada
syndroma disfungsi neutrofil. Defisiensi enzim spesifik ini meliputi
NaDH oksidase leukosit, NADPH oksidase, glucose-6-phosfat
dehidrogenase, glutation peroksidase, myeloperoksidase leukosit dan
laktoferum.

2.3. Uji Fungsi Imun Spesifik (Sekunder)

Uji ini mengukur fungsi-fungsi yang berhubungan dengaan imunitas


humoral (di tengah limfosit B) atau dengan imunitas seluler (ditengahi
limfosit T).

2.3.1. Penghitungan Populasi Limfosit


Penelitian diagnostik seharusnya dimulai dengan jumlah sel
darah putih dan hitung jenis untuk menilai jumklah absolut dan jumlah
relatif limfosit darah perifer. Langkah berikutnya pada evaluasi
imunologik adalah penentuan jumlah relatif limfosit-T dan limfosit-B.
Limfosit darah perifer manusia biasa ya diklasifikasikan menjadi jenis
B, T atau sel nul atas dasar sifat-sifat permukaan tertentu. Uji ini sering
dilakukan pada sel mononuklear darah yang dipisahkan oleh gradien
vikolhipak ( ficoll-hypaque gradient ) kira-kira terdiri dari 30% dari sel
ini monosit, sisanya yang menyolok adalah limfosit. Kurang lebih 80%
dari limfosit dikenal (diidentifikasi) sebagai limfosit T atas dasar
kemampuannya untuk membentuk roset dengan eritrosit kambing ;
dari 10 – 15 % adalah sel B atas dasar imunoglobulin permukaan yang
didateksi dengan imunofluorisensi langsung, dan sisanya adalah sel nul
yang tidak mempunyai baik imunoglobulin permukaan maupun
kemampuan untuk membentuk roset dengan eritrosit kambing.
Lagipula sel B mengandung 2 reseptor tambahan yang telah
memudahkan pengenalan mereka. Ini meluputi reseptor permukaan
untuk komponen C3b komplemen dan bagian Fc molekul
imunoglobulin.

Baru-baru ini, karakterisasi sel T telah sangat dipermudah dengaan


tersedianya antibodi monoklonal yang diarahkan melawan
determinan antigenik sel T spesifik atau penanda. Ini tidak hanya
memungkinkan karakterisasi sel T manusia selama diferensisasi
intratimik tetapi juga telah menyediakan reagen yang kuat untuk
penghitungan dan fungsi imunologik sel-sel limfoit dalam sirkulasi
dan dalam jaringan.
.
Daya Guna Analisis (Assay) Penghitungan Sel B Dan Sel T

 Uji Roset –E (sel T) teknik ini berasal dati pengamatan


bahwa limfosit T membentuk Roset spontan tetapi lemah
dengan eritrosit kambing, yang menyediakan salah satu
dari penanda yang paling sederhana untuk pengenalan
limfosit T. meskipun beberapa modifikasi uji tersebut telah
muncul pada kepustakaan lebih tua, beberapa ahli
mengaku mengukur “ Roset-E Aktif” karena berkorelasi
lebih baik dengan imunitas seluler, penggunaan utama uji
ini sekarang adalah untuk perhitungan jumlah absolut
limfosit T. Nilai rata-rata Roset E adalah 85 ± s.d. 6%
dengan kisaran (range) 72–93 %.

 Imunoglobulin membran permukaan ( SMIg ) (sel B)


Uji ini dilakukan dengan analisis (Assay) imunofluoresensi
langsung dan limfosit pembawa imunoglobulin permukaan
dideteksi oleh antibodi yang dilabel dengan fluorokrom.
Penting dalam determinasi ini bahwa imunoglobulin
permukaan terbukti disintesis oleh limfosit dan bukan
diabsorpsi secara eksogen. Imunoglobulin yang menonjol
pada permukaan limfosit B darah perifer adalah IgD dan
IgM. Reagen anti-Fab2 biasanya digunakan dalam assay
karena penggunaan antiimunoglobulin seluruhnya atau
imunoglobulin yang diagregasi akan menaikkan angjka
secara tidak alamiah karena pengikatan terhadap sel-sel
pembawea reseptor Fc, misalnya limfosit T dan monosit.

 Uji untuk reseptor membran untuk reseptor Fc


(terutama pada sel B)
Uji ini biasanya menggunakan kompleks imun yang dilabel
dengan fluorokrom atau pembentukan roset dengan IgG
atau eritrosit berselimut antibodi IgM ( uji roset EA ).
Aslinya dilaporkan untuk mendiferensiasi limfosit T-helper
( Tµ ) dan T-supresor masing- masing menggunakan
eritrosit berselimut IgM dan eritrosit berselimut IgG, uji ini
telah diganti dengan assay yang menggunakan antibodi
mionoklonal terghadap reseptor antigenik spesifik seperti
dibicarakan di atas. Reseptor Fc dari IgG dideteksi
terutama pada sel B tetapi sejumlah kecil pada sel T dan sel
nul.

 Uji untuk reseptor permukaan untuk komplemen


( C3b) ( terutama pada sel B)
Limfosit manusia juga mengandung 2 jenis reseptor
komplemen, termasuk
1. Reseptor adherens imun C3b
2. Reseptor C3d
Ini ditemukan menonjol pada sel B tetapi juga sejumlah
kecil pada sel nul. Limfosit pembawa reseptor komplemen
dideteksi dengan pembentukan roset dengan eritrosit
kambing yang diselimuti dengan antibodi terkait IgM dan
komplenmen ( EAC). Nilai rata-rata untuk sel pembentuk
roset EAC adalah 16,5 ± s.d 5,1 % dengan kisaran 6-28 %.

Interpretasi Dan Arti Penting Hasil Uji

Sesuai dengan hasil uji ini, limfosit B merupakan 4-21 persen


dari limfosit darah dalam sirkulasi darah dan sel -T merupakan
kurang lebih 72 sampai 93 persen. Sifat dari populasi sel
sisanya, yaitu populasi nul, tidak jelas, tetapi nampaknya
merupakan kumpulan heterogen sel limfosit dan sel
mononuclear lain, termasuk sel kiler (K) yang berperan serta
dalam reaksi sitotoksisitas seluler tergantung antibody
(antibody-dependent cellular cytotoxicity = ADCC), sel
pembunuh alami (NK) dan sel nul lain yang mengandung
penanda permukaan yang tidak dapat dideteksi.

Indikasi Klinis Untuk Melakukan Uji Penghitungan Limfosit

Kini penghitungan limfosit-B dan limfosit-T dengan penanda


permukaan, telah menerima penerapan klinis yang makin
bertambah baik untuk diagnosis maupun pengelolaan
beberapa proses penyakit dengan tanda-tanda imunologik. Ini
termasuk penggunaannya dalam diagnosis penyakit
limfoproliferatif yang mengandung kumpulan sel B abnormal
(misalnya leukemia limfatik kronik) atau kumpulan sel-sel-T
abnormal (misalnya sindroma sezary) atau pada diferensiasi
berbagai macam bentuk leukemia dan limfoma. Mereka juga
digunakan pada defisiensi imun dengan defisiensi sel-B
(misalnya agamaglobulinemia X-linked) atau dengan defisiensi
sel-T (misalnya sindroma DiGeorge) atau dengan defisiensi
imun variable biasa dengan jumlah sel-T supresor yang naik.
Uji ini juga diterapkan pada area penyakit yang ditengahi
secara ideologis, misalnya alergi, penyakit autoimun , dan
defisiensi imun yang berkaitan dengan penyakit malignan.

2.3.2. Uji Fungsional Limfosit

2.3.2.1. Uji Fungsi Imun Humoral (Ditengahi limfosit-B)


Uji yang paling sering digunakan adalah penjumlahan
(kuantitasi) gamaglobulin individu. Uji ini tersedia
pada kebanyakan laboratorium klinik dan paling
sering dilakukan dengan imunodifusi radial dalam
agar, menggunakan cawan yang dilapisi dengan
antisera spesifik terhadap masing-masing
imunoglibulin individu. Lebih disukai kuantitasi
dengan elektroforesis kertas atau selulose aseta, yang
tidak mempunyai sensitivitas dan spesifitas dari
tehnik imunokimia. Imunoelektroforesis
immunoglobulin serum atau urin sering memberikan
informasi tambahan, misalnya myeloma multiple.
Lagi pula, teknik yang lebih baru dan lebih sensitive
talah dikembangkan untuk penghitungan
immunoglobulin, yaitu :
(1) Presipitasi imun yang diautomatiskan (automated
immune precipitation = AIP)
(2) Elektroimuni assay (EIA), juga disebut teknik roket
Laurell,
(3) Variasi yang lebar metode yang didasarkan pada
interaksi antigen-antibodi yang menggunakan
fluoresen, nefelometrik, enzimatik, atau penanda
radioaktif.

Uji ini diindikasi pada penilaian penderita dengan


penyakit yang ditengahi secara imunologis, dan
dengan penyakit imunoproliferatif dan pada keadaan
defisiensi imunologik.

2.3.2.2. Uji Respons Antibodi Spesifik ; Sebelum


Sensitisasi
Kemampuan penderita untuk menghasilkan antibody
spesifik diukur dalam satu dari dua cara :
1. Pengukuran antibody yang terjadi sebagai hasil
pemaparan alamiah atau sebagai hasil imunisasi
sebelumnya, misalnya isohemaglutinin, virus polio,
dan antibody morbili; atau
2. Pengukuran sintesis antibody yang sudah ada (de
novo) setelah penggunaan vaksin spesifik, misalnya
toksoid tetanus dan vaksin salmonella.

2.3.2.3. Uji Fungsi Imun Seluler (ditengahi Limfosit-T)


Kemampuan penderita untuk mendatangkan
imunitas seluler dapat diukur dengan uji in vivo
atauin vitro. Uji in vivo ini, misalnya uji
hipersensitivitas kulit lambat, mengukur baik
sebelum sensitisasi atau sensitisasi yang telah ada (de
novo). Karena diketahui bahwa lebih dari 80%
individu mempunyai respons hipersensitivitas lambat
terhadap antigen uji kulit yang biasa, misalnya
candida dan Trychophyton, antigen ini memberikan
sarana uji in vivo yang baik sekali untuk
hipersensitivitas lambat. Lagi pula jika diketahui
bahwa penderita mempunyai infeksi jamur atau
tuberculosis sebelumnya, reaksi hipersensitivitas
lambat terhadap organism ini dapat di uji.
Selanjutnya, pada penderita yang diketahui
sebelumnya reaktifterhadap antigen ini yang
kemudian tidak lagi menunjukkan reaktivitas ini
(anergi), timbul kecurigaan adanya penyakit yang
mendasari seperti sarkoidosis atau limfoma.

2.3.2.4. Rangsangan limfosit


Uji ini didasarkan pada respons transformasi,
proliferasi dan replikasi limfosit normal terhadap
rangsangan in vitro oleh rangsangan nonspesifik
(misalnya fitohemaglutinin (PHA)), sel-sel asing, atau
antigen spesifik. Meskipun kebanyakan mitogen
erangsang limfosit B maupun limfosit-T, beberapa
menunjukkan selektivitas untuk limfosit kelas
tertentu . titik akhir dari reaksi ini diukur dengan
transformasi blast, indeks mitotic, atau
penggabungan precursor radio aktif kedalam DNA
(Tritiated thymidine) atau RNA (tritieted uridine).
2.3.3. Pengukuran Enzim Limfosit
Sekarang tampak jelas bahwa beberapa defisiensi enzim
telah dihubungkan dengan bentuk tertentu defisiensi imun pada
manusia., misalnya defisiensi system limfosit-B atau Limfosit-
Tserta defisiensi imun kombinasi berat (severe combined
immune deficiency SCID). Defisiensi enzim ini termasuk
defisiensi adenosine deaminase (ADA), defisiansi fosforilase
nucleoside, dan defisiensi karboksilasetergantung-biotin. Uji ini
sekarang tersedia untuk mengukur enzim-enzim tersebut dalam
eritrosit penderitadengan penyakit ini.

2.3.4. Uji Fungsi Imun Penderita Jaringan (Tersier)


Uji fungsi imun pencedera jaringan. Mengukur respons imun
yang menimbulkan manifestasi penyakit melalui injury jaringan.
Uji ini meliputi :
1. Pengukuran reagen spesifik (IgE)dengan uji kulit
hipersensitivitas cepat in vivo dan uji in vitro dengan RAST atau
pelepasan histamine atau pengukuran langsung globuline IgE
dengan PRIST
2. Uji Coomb
3. Uji factor rheumatoid
4. Fenomen sel LE dan biopsy jaringan. Uji ini di indikasikan bila
ada manifestasi penyakit yang ditengahi secara imunologis.
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Secara luas penerapan pemeriksaan laboratorium imunologi


untuk menunjang diagnosis atau sebagai pedoman
penatalaksanaan penderita. Secara umum pemeriksaan
laboratorium imunologi untuk menunjang diagnosis tersebut
dibagi dalam dua golongan yaitu:
1. Pemeriksaan untuk menetapkan kompetensi imunologik atau
menilai fungsi imunologik, baik pada orang normal maupun
pada penderita penyakit imunologik.
2. Pemeriksaan yang dipakai untuk menunjang diagnosis penyakit-
penyakit tanpa latar belakang kelainan reaksi imunologik

3.2. Saran

Tes laboratorium untuk mengevaluasi kompetensi


immunologic tidak berdiri sendiri tetapi hasilnya harus
ditafsirkan bersama hasil pemeriksaan lain, termasuk
pemeriksaan klinik dan riwayat penyakit. Disamping itu evaluasi
hasil test laboratorium imunologik harus dilakukan dengan
mempertimbangkan berbagai variasi biologis, misalnya usia,
jenis kelamin,ras, medikasi, status nutrisi dan lain-lain
DAFTAR PUSTAKA

Kresno, S. Boedina. 2001. Immunologi: Diagnosis dan Prosedur Laboratorium.


Jakarta: Balai Penerbit FK UI.

Sacher, Ronald A, and McPherson, Richard A. 2004. Tinjauan Klinis Hasil


Pemeriksaan Laboratorium. Jakarta: EGC

www.infokedokteran.com/article/diagnosa-sistem-imun.html

http://www.infokedokteran.com/article/diagnosa-keperawatan-sistem-
imun.html

Anda mungkin juga menyukai