Kawasan Perkot
aan
Irfan Ridwan Maksum
Pendahuluan
Ingat definisi desentralisasi di awal kuliah.
Desentralisasi adalah otonomisasi
masyarakat lokal (Hoessein: 1999).
Desentralisasi menjadi sumber dari adanya
penyelenggaraan pemerintahan daerah agar
otonomi dapat terselenggara.
Masayarakat yang menerima otonomi
tersebut merupakan kesatuan masyarakat
secara hukum. Dalam kacamata norma
hukum Indonesia, disebut sebagai daerah
otonom.
Terdapat perbedaan antara masyarakat
berciri perdesaan dan bereciri perkotaan.
Sudah semestinya pemerintahan yang
menjalankan otonomi bagi masyarakat
tersebut pun bervariasi karena hal tersebut.
Apa itu Kawasan perkotaan?
TIDAK ADA SATU PUN
DEFINISI YANG DAPAT DITERIMA OLEH
SEMUA KALANGAN.
STEVEN PINCH (1985)
MENGEMUKAKAN TIGA KRITERIA UNTU
K MENENTUKAN
APAKAH SUATU WILAYAH DAPAT DIKA
TAKAN SEBAGAI KOTA ATAU BUKAN.
KRITERIA FISIK
BERKAITAN DENGAN ADA
TIDAKNYA WILAYAH TERBANGUN DAN
INTENSITAS WILAYAH
TERBANGUN TERSEBUT
KRITERIA ADMINISTRATIF
DEFINISI INI BERKAITAN DENGAN
UPAYA PEMBUATAN BATAS WILAYAH
KOTA . SUATU WILAYAH DAPAT
DIKATAKAN MENJADI KOTA JIKA
SECARA LEGAL TELAH DINYATAKAN
SEBAGAI KOAT DAN DIKELOLA OLEH
SEBUAH PEMEIRNTAH KOTA DENGAN
YURISDIKSINYA.
KRITERIA FUNGSIONAL
KATA PINCH (1985), KRITERIA INI
BERKAITAN DENGAN DOMINASI
PENDUDUK SUATU WILAYAH YANG
BEKERJA DI SEKTOR NON-
AGRICULTURE.
MENURUT SUJAMTO, DARI BERBAGAI
PENGERTIAN KOTA OLEH
PARA PAKAR, DARI SISI
BATAS WILAYAH MUNCUL POLA-
POLA PERKOTAAN:
1. SUATU WILAYAH YANG ANTARA
BATAS FUNGSIONAL DAN NON-
FUNGSIONALNYA BERHIMPIT
2. SUATU WILAYAH KOTA YANG
BATAS FUNGSIONALNYA LEBIH
LUAS DARI BATAS NON-
FUNGSIONALNYA
3. SUATU WILAYAH KOTA YANG
BATAS FUNGSIONALNYA LEBIH
SEMPIT DARI BATAS NON-
FUNGSIONALNYA
4. HANYA BATAS FUNGSIONAL
SAJA, SEMENTARA BELUM
TERDAPAT PERATURAN YANG
MENJADI DASAR BAGI WILAYAH
TERSEBUT UNTUK MENAJDI KOTA.
DISAMPING
MENURUT SUJAMTO, VARIASI
KOTA PUN DAPAT DIBEDAKAN
ATAS DASAR BERBAGAI
ASPEK (HOSSEIN: 1999):
1. STATUS KEPEMERINTAHAN
2. LETAK URBAN CENTER
3. LINGKUP PELAYANAN
4. JUMLAH PENDUDUK
5. AGEN PENGEMBANGAN KOTA
6. STATUS PEMUSATAN KOTA
(NIESSEN: 1996)
Segi Hukum kawasan perkotaan
Daldjoeni (2003): “Pengertian kota
di sini dikaitkan dengan adanya hak-
hak hukum bagi penghuni kota.
Di zaman Hindia belanda kota-
kota seperti Salatiga,
Sukabumi, dan Probolinggo,
bersatatus haminte (gemeente)
dengan alasan jumlah
penduduknya yang berbangsa
Eropa 10% lebih, mereka
ini tidak di bawah kekuasaan Bupati lalu
kota diatur menurut
hukum Belanda ditempatkan
di bawah kekuasaan burgemeester
(walikota). Di zaman
kemerdekaan jumlah kotamadya
(bekas gemeente) terus
bertambah dengan alasan
lain yaitu daya otonominya.”
Oleh karena itu terkait dengan
struktur pemerintahan daerah
yang diatur dalam UU
Pemerintahan daerah.
Hoessein (2002)
“Dalam Pasal 90 UU No. 22
Tahun 1999 diidentifikasikan
empat jenis kawasan
perkotaan. Pertama, kawasan
perkotaan yang telah
berstatus kota.---diatur jelas
dan terwujud (KOTA).
Kedua, kawasan perkotaan
yang merupakan bagian dari
kabupaten. Kawasan ini
dapat berstatus kelurahan
dan/atau kecamatan.---tidak
jelas operasionalnya (PRA-
KOTA).
lanjutan
Ketiga, kawasan perkotaan baru yang
merupakan hasil pembangunan yang
mengubah kawasan perdesaan menjadi
perkotaan di kabupaten.---ada prakteknya
tapi belum diatur dengan jelas
operasionalnya. (KOTA BARU)
Keempat, kawasan perkotaan yang
merupakan bagian dari dua atau lebih
daerah otonom yang berbatasan sebagai satu
kesatuan sosial, ekonomi dan fisik
perkotaan.---ada gejalanya, belum diatur
(METROPOLIS).
“Keempat macam kawasan
perkotaan tersebut oleh
NUDS disebut sebagai kota
dalam arti fungsional.
Selanjutnya dalam Buku
Repelita VI, jumlah kota
tersebut telah mencapai 412
buah yang terdiri atas sebuah
kota megapolitan, 10 kota
metropolitan, 6 kota besar, 84
kota sedang dan 311 kota
kecil. “
lanjutan
“Kota metropolitan berpenduduk lebih
dari 1 juta jiwa, kota besar berpenduduk
500.000 s/d 1 juta, kota sedang
berpenduduk 100.000 s/d 500.000 dan
kota kecil berpenduduk 20.000 s/d
100.000. Struktur pemerintahan bagi 86
kota yang telah berstatus berotonomi
hingga kini belum terlihat variatif.”
PERSAMAAN
Sama-sama secara normatif
menganggap kelurahan
adalah perangkat
pemerintahan bagi
masyarakat perkotaan dan
Desa bagi masyarakat
perdesaan.
Sama-sama secara
sosiologis, masyarakat Kota
dapat berada dalam sebuah
wilayah dengan status
pemerintahan Kabupaten
(bukan Kota). Oleh karena
itu, kelurahan dapat
berada di wilayah
Kabupaten.
PERBEDAAN
1. Dalam UU No. 22
Tahun 1999 tidak menghendaki
adanya pemerintah Desa
di dalam kawasan Pemerintah
Kota, sedangkan UU No.
5 Tahun 1974, bahwa
di dalam Kotamadya masih
dimungkinkan adanya Pemerintah Desa.
2. Dalam UU No. 5
Tahun 1974 maupun UU No. 22 tahun 1999
terdapat variasi status
pemerintahan kawasan perkotaan.
UU No. 22 Tahun
1999 empat jenis, sedangkan
UU No. 5 Tahun 1974 menyebutkan (1)
DKI Jakarta, (2) Kotamadya,
dan (3) Kota administratif.
Lanjutan
3. Realisasi yang ada, pada masa UU No.
5 Tahun 1974, ada
tiga tingkatan pemerintah
Kota yang berjalan: DKI, Kotamadya, dan
Kota administratif; sedangkan
UU No. 22 Tahun
1999 praktis hanya Provinsi
DKI dan seluruh Kota.
4. Sebutan pemerintahan perkotaan
pada UU No. 5 Tahun 1974 ditujukan untuk
pembagian wilayah dalam
rangka asas dekonsentrasi
semata, sedangkan UU No. 22 Tahun 1999
ditujukan untuk desentralisasi
semata dan selebihnya di’rencanakan
merupakan perangkat daerah
kecuali ‘metropolitan’.
UU No. 32 Tahun 2004
BAB X
KAWASAN PERKOTAAN
Pasal 199
(1) Kawasan perkotaan dapat berbentuk :
a. Kota sebagai daerah otonom;
b. bagian daerah kabupaten
yang memiliki ciri perkotaan;
c. bagian dari dua
atau lebih daerah yang berbatasan langsung
dan memiliki ciri perkotaan.
(2) Kawasan perkotaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a dikelola oleh pemerintah kota.
(3) Kawasan perkotaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b dikelola oleh daerah atau lembaga pengelola
yang dibentuk dan bertanggungjawab kepada pe
merintah kabupaten.
lanjutan
(4) Kawasan perkotaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
c dalam hal penataan ruang dan penyediaan
fasilitas pelayanan umum tertentu dikelola
bersama oleh daerah terkait.
(5) Di kawasan perdesaan
yang direncanakan dan dibangun menjadi kawa
san
perkotaan, pemerintah daerah yang bersangkut
an
dapat membentuk badan pengelola pembanguna
n.
lanjutan
(6) Dalam perencanaan,
pelaksanaan pembangunan, dan pengelolaan ka
wasan
perkotaan, pemerintah daerah mengikutsertaka
n masyarakat
sebagai upaya pemberdayaan masyarakat.
(7) Ketentuan, sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), ayat (3), ayat
(4), ayat (5), dan ayat (6) ditetapkan
dengan Perda dengan berpedoman pada Peratura
n Pemerintah.
UU No. 22 Tahun
1999 dan UU No. 32 Tahun 200
4
Hampir sama dalam
mengatur sejumlah kawasan perkotaan dan
pemerintahan perkotaan.
Perbedaan utamanya adalah UU No. 22
Tahun 1999 menganggap bahwa dalam Kota
tidak dimungkinkan adanya Desa,
sedangkan UU No. 32 Tahun 2004 masih
memungkinkan jika kondisi sosial ekonomi
masih perdesaan, dan secara umum
masyarakat masih menghendaki
bentuk Desa. Dalam hal ini UU No.
32 Tahun 2004 sama dengan UU
No. 5 Tahun 1974.
Kawasan perkotaan
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Belum Diperiksa
Langsung ke: navigasi, cari
Gedung pencakar langit di Jakarta
Kawasan perkotaan (urban) adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian
dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi
pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
Kawasan perkotaan yang besar dengan jumlah penduduk diatas satu juta orang dan berdekatan
dengan kota satelit disebut sebagai metropolitan.
o RDTR
o RTR
Renstra SKPD RPJMD Kebijakan strategi, program dan kegiatan kawasan perkotaan
Satu Dokumen Prog. Kewilayahan utk msg2 kwsn perkotaan oleh Bapeda RKPD Kota
Kaw. perkotaan Perencanaan Pembangunan kawasan perkotaan oleh Bapeda BAB III
RENCANA KAWASAN PERKOTAAN
3.
o Arah pembangunan kawasan perkotaan yang tertuang dalam RPJPD memuat :
o a. peningkatan kesejahteraan masyarakat perkotaan;
o b. pemenuhan standar pelayanan perkotaan; dan
o c. keterkaitan fungsi antar kawasan perkotaan.
o Arah pembangunan kawasan perkotaan yang berada di dua atau lebih kabupaten
dituangkan dalam masing- masing RPJPD Kabupaten yang bersangkutan.
o (Pasal 8)
Arah pembangunan kawasan perkotaan yang tertuang dalam RPJPD menjadi acuan
penyusunan rencana tata ruang dan pedoman penyusunan RPJMD. (Pasal 9)
4.
o Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Otonom tertuang dalam RTRW kota ,
Rencana Detail Tata Ruang, dan Rencana Teknik Ruang.
o Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan yang berada di kabupaten tertuang
dalam Rencana Detail Tata Ruang dan Rencana Teknik Ruang.
o (Pasal 10)
5.
o Rencana detail tata ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, dijadikan
pedoman untuk :
o a. pengaturan tata guna tanah ( land regulation );
o b. penerbitan surat keterangan pemanfaatan ruang;
o c. penerbitan Advise Planning ;
o d. penerbitan izin prinsip pembangunan;
o e. penerbitan izin lokasi;
o f. pengaturan teknis bangunan;
o g. penyusunan rencana teknik ruang kawasan perkotaan; dan
o h. penyusunan rencana tata bangunan dan lingkungan.
o 2. Rencana Teknik Ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, dijadikan
pedoman untuk:
o a. penerbitan izin mendirikan bangunan;
o b. penertiban letak, ukuran bangunan gedung dan bukan gedung; dan
o c. penyusunan rancang bangun bangunan gedung dan bukan gedung. (Pasal 11)
6.
o Kebijakan, strategi, program dan kegiatan kawasan perkotaan tertuang dalam
RPJMD kabupaten/kota.
o Kebijakan, strategi, program dan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
yang berada di dua atau lebih Kabupaten dituangkan dalam masing- masing
RPJMD kabupaten/kota bersangkutan.
o (Pasal 12)
7.
o RKPD Kabupaten memuat program kewilayahan untuk masing-masing kawasan
perkotaan.
o Program kewilayahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dan
diintegrasikan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah.
o Program kawasan perkotaan yang berada di dua atau lebih Kabupaten dituangkan
dalam RKPD masing- masing kabupaten. (Pasal 14)
desinain skripsi 2
JUDUL PENELITIAN : Pengaruh Gaya Kepemimpinan Terhadap Kinerja Pegawai dalam Organisasi
Pemerintah Desa Sendoyan Kecamatan Sejangkung
I. PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Desa dilihat dari sistem pemerintahan Indonesia merupakan ujung tombak dari pemerintahan daerah
yang langsung berhadapan dengan masyarakat luas. Citra birokrasi pemerintahan secara keseluruhan
akan banyak ditentukan oleh kinerjaorganisasi tersebut. Kelurahan sebagai instansi pelayanan publik
dituntut untuk memperbaiki dan senantiasa melakukan reformasi serta mengantisipasi perkembangan
masyarakat yang terjadi. Dalam rangka meningkatkan citra, kerja dan kinerja instansi pemerintah
menuju kearah professionalisme dan menunjang terciptanya pemerintahan yang baik (good governance),
perlu adanya penyatuan arah dan pandangan bagi segenap jajaran pegawai Pemerintah yang dapat
dipergunakan sebagai pedoman atau acuan dalam melaksanakan tugas baik manajerial maupun
operasional diseluruh bidang tugas dan unit organisasi Instansi Pemerintah secara terpadu.
Pada sebuah organisasi pemerintahan, sumber daya manusia terdiri dari
pemimpin danpegawai. Desa Sendoyan Kecamatan Sejangkung kabupaten Sambas merupakan suatu
organisasi pemerintah yang memiliki personil / pegawai. Untuk mewujudkan sikap kerja pegawai yang
baik, diperlukan berbagai cara yang dapat dilakukan oleh seorang pemimpin suatu organisasi
pemerintah, yaitu dengan menggunakan gaya kepemimpinan yang tepat.
Peranan seorang pemimpin penting untuk mencapai tujuan organisasi yang diinginkan termasuk
organisasi pemerintahan di Desa Sendoyan Kecamatan Sejangkung terutama berkaitan dengan
peningkatan kinerja pegawai dalam melaksanakan pekerjaannya. Kinerja pegawai merupakan hasil
kerja yang dapat dicapai seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi sesuai
wewenang dan tanggung jawab masing-masing dalam rangka mewujudkan tujuan organisasi.
Menurut Kerlinger dan Padhazur (2002) faktor kepemimpinan mempunyai peran yang sangat penting
dalam meningkatkan kinerja pegawai karena kepemimpinan yang efektif memberikan
pengarahan terhadap usaha-usaha semua pekerja dalam mencapai tujuan-tujuan organisasi. Gaya
kepemimpinan yang efektif dibutuhkan pemimpin untuk dapat meningkatkan kinerja semua pegawai
dalam mencapai tujuan organisasi sebagai instansi pelayanan publik. Dengan demikian, gaya
kepemimpinan dapat menjadi pedoman yang baik dalam peningkatan kinerja pegawai .
Berdasarkanlatar belakang tersebut, maka perlu diteliti: “Pengaruh Gaya
KepemimpinanTerhadap Kinerja Pegawai Dalam Organisasi Pemerintah Desa Sendoyan Kecamatan
Sejangkung ”.
DAFTAR PUSTAKA
Dessler. 1997. Manajemen Sumber Daya Manusia. Edisi Bahasa Indonesia Jilid 2. Jakarta: PT.
Prenhallindo.
Ranupandojo, H, Suad Husnan. 2000. Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: BPFE-UGM.
Siagian, Sondang P. 2006. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Penerbit Bumi Aksara.
Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi. 1989. Metode Penelitian Survai. Jakarta:LP3ES.
Surakhmad, Winarno. 1989. Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar. Bandung: Alumi.
Susilo, Martoyo. 1998. Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: BPFE-UGM.
Thoha, Miftah. 1993. Perilaku Organisasi: Konsep Dasar dan Aplikasinya. Jakarta: Rajawali Pers.
Wahjosumidjo. 1984. Kepemimpinan dan Motivasi. Jakarta: Ghalia Indonesia.
TUGAS INDIVIDU
“Hubungan antara gaya kepemimpinan terhadap motivasi kerja pegawai pada instansi pemerintah
Kecamatan Sejangkung Kabupaten Sambas”
Disusun Oleh :DEDI
NIM : E0117024
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2 0 1 0
BAB. I
PENDAHULUAN
1. 1. Latar Belakang Masalah
Kecamatan Sejangkung Kabupaten Sambas Provinsi Kalimantan Barat adalah lembaga pemerintahan
yang mempunyai tugas sebagai unsur pelaksana daerah bidang pemerintahan di tingkat Kecamatan
yang berhubungan dengan usaha peningkatan pelayanan masyarakat.. Didalam perjalananya,
Kecamatan kecamatn Sejangkung a telah menunjukkan kemandiriannya dengan
kemajuan dan peningkatan pembangunan seiring dengan agenda pembangunan nasional, baik dalam
pertumbuhan ekonomi, sosial kemasyarakatan maupun dalam pelayanan kehidupan masyarakat. Disisi
lain penerapan pembangunan tersebut juga mengandung risiko yang memerlukan perhatian, antara lain
penurunan produktifitas pelayanan masyarakat, sebagai akibat cara kerja aparatur atau pegawai
Pemerintah Kecamatan Sejangkung melayani masyarakat.
Dengan kata lain pelayanan masyarakat perlu ditingkatkan bukan saja melalui perbaikan sistem prosedur
yang digunakan, tetapi juga yang lebih penting lagi adalah dengan meningkatkan motivasi kerja pegawai
instansi pemerintah kecamatan Sejangkung itu sendiri. Oleh sebab itu setiap pimpinan
harus mampu memanfaatkan sumber daya manusia, dalam hal ini adalah para pegawai dalam
meningkatkan pelayanan masyarakat. Agar supaya pegawai dapat lebih efektif dalam melakukan
tugasnya, maka pimpinan harus memahami situasi dalam organisasi atau instansi pemerintah
Kecamatan Sejangkung Kabupaten Sambas. khusunya. Dengan demikian setiap pimpinan perlu
mengetahui faktor yang mempengaruhi motivasi kerja pegawai. Salah satu faktor yang yang
mempengaruhi motivasi kerja pegawai adalah faktor pimpinan yang dalam hal ini menyangkut gaya
kepemimpinan.
1. 2. MASALAH
1. 2. 1. Identifikasi Masalah
1. Apakah ada hubungan antara gaya kepemimpinan terhadap motivasi kerja pegawai pada instansi
pemerintah Kecamatan Sejangkung Kabupaten Sambas ?
2. Seberapa besar pengaruh gaya kepemimpinan terhadap motivasi kerja pegawai pada instansi
Kecamatan Sejangkung Kabupaten Sambas ?
1. 2. 2. Pembatasan Masalah
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi motivasi kerja seorang pekerja/ pegawai menurut A.
Mintorogo dan Sedarmayanti ( 1992 ) faktor tersebut antara lain: pimpinan, rekan sekerja, sarana fisik,
kebijaksanaan dan peraturan organisasi, kompensasi/ imbalan jasa uang dan atau non uang serta jenis
pekerjaan dan tantangan. Dengan melihat banyaknya faktor yang mempengaruhi motivasi kerja pegawai
sebagaimana tersebut diatas, maka dalam penelitian ini dibatasi hanya pada faktor pimpinan terutama
mengenai gaya kepemimpinan . Untuk itu penelitian dilakukan di instansi pemerintah Kecamatan
Sejangkung Kabupaten Sambas.
1. 2. 3. Perumusan Masalah
Gaya kepemimpinan merupakan faktor penting yang dapat mempengaruhi motivasi kerja pegawai.
Dengan demikian faktor gaya kepemimpinan berhubungan dengan motivasi kerja pegawai instansi
pemerintah Kecamatan Sejangkung Kabupaten Sambas. Berdasarkan uraian diatas dapatlah dirumuskan
masalahnya sebagai berikut:
1. 3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Berdasarkan pembatasan dan perumusan masalah yang dikemukakan, penelitian ini secara umum ingin
melihat hubungan antara gaya kepemimpinan dan situasi kepemimpinan terhadap motivasi kerja
pegawai pada instansi Kecamatan Sejangkung Kabupaten Sambas.
1. 4. Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini antara lain adalah:
1. Sebagai bahan masukan bagi pimpinan untuk dapat menyangkutkan motivasi kerja pegawai pada
instansi pemerintah Kecamatan Sejangkung Kabupaten Sambas
2. Sebagai bahan masukan atau bahan bagi penelitian yang serupa atau penelitian yang lebih luas
sifatnya
1. 5. Hipotesis
Dalam penelitian ini, hipotesis yang diajukan adalah sebagai berikut:
1. Motivasi kerja pegawai instansi pemerintah Kecamatan Sejangkung Kabupaten Sambas lebih tinggi
setelah diberlakukannya kebijakan-kebijakan oleh KepalaPemerintah kecamatan dibandingkan dengan
sebelumnya.
2. Ada pengaruh signifikan faktor Gaya kepeimipinan terhadap motivasi kerja
pagawai pemerintah Kecamatan Sejangkung Kabupaten Sambas
1. 6. Metodologi Penelitian
Adapun variabel variabel yang diteliti dalam penulisan skripsi ini adalah
sebagai berikut:
1. Variabel Bebas ( Independent Variable )
Dalam hal ini yang menjadi variabel bebas ( Independent Variable ) adalah gaya kepemimpinan yang
dalam hal ini dilambangkan dengan X1
2. Variabel Terikat ( Dependent Variable )
Yang menjadi variabel terikat dalam penelitian ini adalah motivasi kerja pegawai yang dilambangkan
dengan variabel Y
1. 6. 2. Populasi dan Sampel
Populasi adalah keseluruhan semua karakter yang mungkin dari obyek yang lengkapdan jelas yang ingin
diteliti. Sehingga sasaran yang akan menjadi obyek penelitian ini merupakan keseluruhan karakteristik
yang ada dalam instansi pemerintah Kecamatan Sejangkung Kabupaten Sambas. Sampel adalah
sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi (Sugiyono; 2005), sehingga sample
merupakan bagian dari populasi yang terpilih dan dimaksudkan untuk dapat mewakili populasi penelitian.
Dalam penelitian ini yang menitikbertakan pada gaya serta situasi kepemipinan
pengaruhnya terhadap motivasi kerja pegawai pada instansi pemerintah Kecamatan Sejangkung
Kabupaten Sambas, maka penulis mendapatkan data baik dari instansi terkait maupun diluar instansi
tersebut.
a. Observasi ( pengamatan/ questioner ), yaitu dengan cara pengumpulan data diperoleh langsung dari
perusahaan atau objek yang diteliti.
b. Wawancara/ interview, yaitu mengadakan wawancara secara langsung dengan pihak perusahaan.
Merupakan pengumpulan data pendukung yang diperoleh dari lapranlaporan dari instansi pemerintah
Kecamatan Sejangkung Kabupaten Sambas dan dengan mempelajari literatur pelengkap berupa buku,
jurnal atau dan edisi situs website yang berkaitan dengan masalah yang akan dibahas.tersebut diatas.
1. 6. 6. 1 Analisis Kuantitatif
Dengan analisa kuantitatif ini dapat dibuktikan ada atau tidaknya hubungan antara gaya kepemimpinan
dengan motivasi kerja pegawai atau sejauh mana pengaruh situasi kepemimpinan terhadap motivasi
kerja pegawai. Adapun analisa kuantitatif yang digunakan terdiri atas:
b = ( ) ( )( )
( ) ( )2 ) 2 ΣΧ − ΣΧ
ΣΥ ΣΧ − ΣΧΥ
n
n
a=xbY−
dimana:
(nilai rata rata variabel Y)y = n Y / ∑
(nilai rata rata variabel X)x = n X / ∑
1. 6. 4. 3. Analisis Koefisien Korelasi
Yaitu uji yang menentukan derajat atau kekuatan korelasi antara motivasi kerja(Y) dengan gaya
kepemimpinan (X). Kegunaannya untuk menentukan apakah suatu hipotesa dapat diterima atau tidak.
Adapun hasil nilai perhitungan itu cukup berarti atau dapat diperoleh dengan jalan mengadakan uji
kebenaran dengan nol
hipotesa dan alternatif Hipotesa.
Untuk mengukur seberapa besar bvariabel variabel independen dapat menjelaskan variabel dependen,
maka digunakan koefisien determinasi (R2). Koefisien ini menunjukkan proporsi variabilitas total pada
variabel dependen yang dijelaskan oleh model regreso. Nilai R2 berada pada interval 0 ≤ R2 ≤ 1. Secara
logika dapat diketahui bahwa makin baik estimasi model dalam menggambarkan data, maka makin dekat
nilai R ke nilai 1 (satu). Nilai R dapat diperoleh dengan rumus:
R2 = (r)2 X 100%
Dimana:
R2 = Koefisien determinasi
R = Koefisien korelasi
1. 6. 4. 5. Uji Hipotesis Dengan t- test
Uji hipotesis dengan t-test digunakan untuk mengetahui apakah variable independen
memiliki pengaruh signifikan atau tidak terhadap variabel dependen secara untuk setiap variabel.
Rumus yang digunakan untuk mengetahui nilai thitung adalah sebagai berikut:
Rumus Uji Signifikansi (Uji t)
t=()()212−−nρρ
Keterangan:
t = Signifikansi korelasi
ρ = Koefisien korelasi
n = Jumlah Responden
Setelah didapatkan nilai t-hitung melalui rumus diatas, maka untuk
menginterpretasikan hasilnya berlaku ketentuan sebagai berikut:
i. Jika t-hitung > t-tabel, maka Ho ditolak (ada hubungan yang
signifikan)
ii. Jika t-hitung < t-tabel, maka Ho diterima (tidak ada hubungan
yang signifikan)
Untuk mengetahui t-tabel digunakan ketentuan n-2 pada level of significance ( α) sebesar 5% (tingkat
kesalahan 5% atau 0,05) atau taraf keyakinan 95% atau 0,95. Jadi apabila tingkat kesalahan suatu
variabel lebih dari 5% berarti variable tersebut tidak signifikan.
1. 6. 7 Deskripsi Kuantitatif
Analisa diskriptif kuantitatif yaitu teknis analisis yang pada dasarnya menggunkan penjelasan-penjelasan
serta gambaran umum penjelasan koefisien korelasi yang bersimbol r mempunyai batasan = - 1 < r < 1.
artinya bila r = 1, hubungan X dan Y sempurna serta positif atau mendekati 1 hubungan X dan Y sangat
erat dan positif. Bila r = - 1 hubungan X dan Y sangat erat dan negetif. Bila r = 0 hubungan X dan Y tidak
ada hubungan.
1. 6. .8. Kerangka Analisis
Penerapan sistem gaya kepemimpinan adalah merupakan suatu kebijakan yang
mempunyai pengaruh terhadap tingkat motivasi kerja pegawai pada instansi pemerintah Kecamatan
Sukmajaya Kota Depok sehingga kinerja dan produktivitas pegawai juga berpengaruh signifikan.
1. 7. Sistematika Skripsi
Untuk memperhatikan memudahkan pemahaman keseluruhan tulisan, maka dalam penulisan ini penulis
membagi dan menyusun sistematika skripsi sebagai berikut:
BAB. I PENDAHULUAN
Berisikan latar belakang pemilihan judul pokok masalah, identifikasi masalah, batasan masalah,
kegunaan penelitian dan metodologi penelitian. Inti pada bab ini adalah menguraikan
permasalahan dan pokok-pokok pembahasan sehingga dapat diketahui masalah yang ingin disampaikan
dalam tulisan ini.
BAB. II LANDASAN TEORI
Menguraikan landasan teori yang akan mendukung dan berhubungan dengan teori atau gaya
kepemimpinan dan motivasi yang akan dijadikan dasar serta perbandingan dalam pemecahan masalah.
Bab ini berisikan tentang pengertian kepemimpinan, arti kepemimpinan bagi organisasi/ instansi,
pengertian manajemen sumber daya manusia, pengertian motivasi, faktor-faktor yang mempengaruhi
motivasi kerja, analisa regresidan korelasi.
BAB III. GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN
Bab ini menguraikan tentang berbagai informasi mengenai gambaran umum organisasi. Bab ini berisikan
tentang profile singkat instansi, lokasi instansi, struktur organisasi, macam macam job deskripsi, jumlah
pegawai, system operasional dan prosedur yang digunakan dalam menjalankan roda organisasi.
BAB IV. ANALISIS PEMBAHASAN DAN INTERPRETASI
Dalam bab ini diuraikan hasil penelitian dan sekaligus membahas tentang kepemimpinan atau gaya
kepemimpinan, analisa tentang motivasi dan segala hal yang terkait serta analisa regresi dan korelasi.
BAB V. PENUTUP
Bab ini menyimpulkan hasil-hasil dari penelitian maupun pembahasan dari bab sebelumnya serta saran-
saran yang diberikan sehubungan dengan penelitian terhadappengaruh gaya
kepemimpinan terhadap motivasi kerja pegawai pada instansi pemerintah Kecamatan sukmajaya.
A. Latar Belakang
1. Bahwa gangguan gizi pada anak dibawah usia dua tahun pada umumnya secara
kuantitas tidak pernah berkurang. Demikian pula halnya yang terjadi di Indonesia
selama ini, yang cenderung naik tingkat kerawanannya akibat krisis ekonomi
tahun 1997 yang dikhawatirkan dapat mengancam kualitas SDM generasi
penerus. Sesungguhnya kita memiliki tehnologi untuk mengatasinya, yakni bila
Posyandu dapat melaksanakan fungsi dasarnya sebagai unit pemantau tumbuh
kembang anak, serta menyampaikan pesan kepada ibu sebagai agen
pembaharuan dan anggota keluarga yang memiliki bayi dan balita dengan
mengupayakan bagaimana memelihara anak secara baik, yang mendukung
tumbuh kembang anak sesuai potensinya.
2. Hikmah yang bisa dipetik saat terjadi krisis ekonomi, bahwa pemerintah telah
mengambil langkah yang dinilai tepat oleh banyak pihak termasuk para donor,
yakni dengan melaksanakan revitalisasi Posyandu, yang harapannya adalah agar
Posyandu dapat berfungsi secara optimal untuk
menyelamatkan dan meningkatkan status gizi maupun derajat kesehatan
anak dan ibu sebagai upaya mencegah terjadinya hilangnya generasi penerus.
3. Pemeliharaan dan perawatan kesejahteraan ibu dan anak-anak sejak usia dini,
merupakan suatu strategi dalam upaya pemenuhan pelayanan dasar yang meliputi
peningkatan derajat kesehatandan gizi yang baik, lingkungan yang
sehat dan aman, pengembangan psikososial/emosi, kemampuan
berbahasa dan pengembangan kemampuan kognitif (daya pikir dan daya cipta)
serta perlindungan anak terhadap penabaian. Pengalaman empirik dibeberapa
tempat menunjukan, bahwa strategi pelayanan kesehatan dasar masyarakat
dengan fokus pada ibu dan anak seperti itu, dapat dilakukan pada Posyandu.
Karena Posyandu merupakan wadah peranserta masyarakat untuk
menyampaikan dan memperoleh pelayanan kesehatan dasarnya, maka diharapkan
pula strategi operasional pemeliharaan dan perawatan kesejahteraan ibu dan anak
secara dini, dapat dilakukan di setiap posyandu.
4. Kesepakatan melakukan Revitalisasi Posyandu sebagai tanggap darurat atas krisis
ekonomi yang terjadi di Indonesia, merupakan piakan dalam membangun SDM
dini. Pengalaman selama ini membuktikan bahwa bila penyelenggaraan
Posyandu baik, maka upaya untuk pemenuhan kebutuhan dasar pengembangan
anak akan baik pula, seperti tercapainya cakupan imunisasi yang cukup tinggi
pada tahun-tahun sebelum kritis dan adanya peningkatan umur harapan hidup.
Sebaliknya bila kinerja Posyandu tidak baik, seperti dalam memantau
pertumbuhan anak, maka status gizi anak perkebangannya dapat terganggu.
5. Kurang berfungsinya Posyandu sehingga kinerjanya menjadi rendah, antara lain
disebabkan karena rendahnya kemampuan kader dan pembinaan dari unsur
Pemerintah Desa dandinas/instansi/lembaga terkait, yang kemudian
mengakibatkan rendahnya minat masyarakat untuk menggunakan Posyandu.
Akibat lebih lanjut adalah banyak hal yang sesungguhnya dapat bermanfat bagi
ibu-ibu untuk memahami cara memelihara anak secara baik sejak dalam
kandungan, kemudian meningkatkan keselamatan ibu saat melahirkan secara
mudah dan terjangkau, menjadi tidak dapat dilaksanakan. Oleh karena itu, perlu
diupayakan langkah dalam memberdayakan kadar agar lebih professional dalam
memantau tumbuh kembang anak, serta membangun kemitraan masyarakat untuk
meningkatkan dukungan dan memanfatkan Posyandu secara optimal. Upaya
tersebut telah diawali melalui berbagai kegiatan seperti sosialisasi,
pelatihan danLokakarya Revitalisasi Posyandu sepanjang tahun 1999-2000.
6. Perubahan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang ditengarai oleh
reformasi, memerlukan peneyesuain-penyesuaian dalam melaksanakan
Revitalisasi Posyandu. Hal ini disebabkan karena berubahnya sistem
pemerintahan di daerah, sistem bermasyarakat di tingkat Desa/Kelurahan, sistem
berorganisasi dalam pelaksanaan demokratisasi dan berpartisipasi dalam
penetapan kebijakan, serta tanggung jawab dalam pelaksanaannya, yang secara
keseluruhan harus tetap dapat mendukung berkembangnya sistem
penyelenggaraan pelayanan terpadu (Posyandu) untuk pemenuhan kebutuhan
dasar pengembangan kualits manusia dini berbasis masyarakat.
7. Peran Posyandu sebagai salah satu sistem penyelenggaraan pelayanan kebutuhan
kesehatan dasar dalam rangka peningkatan kualitas sumberdaya manusia,
memang sudah diakui keberadaannya. Agar Posyandu dapat melaksanakan fungsi
dasarnya, maka perlu upaya Revitalisasi terhadap fungsi dan kinerja Posyandu
yang telah dilaksanakan sejak krisis ekonomi timbul. Namun diakui pula, bahwa
meskipun sejak tahun 1999 telah diprogramkan upaya Revitalisasi Posyandu di
seluruh Indonesia, tetapi fungsi dan kinerja Posyandu secara umum masih belum
menunjukkan hasil yang optimal. Oleh karena itu pula, upaya Revitalisasi
posyandu perlu terus ditingkatkan dan dilanjutkan agar mampu memenuhi
kebutuhan pelayanan terhadapkelompok sasaran yang rentan.
8. Mengingat begitu pentingnya peran Posyandu sebagai wahana pelayanan dari
berbagai program, maka peneyelenggaraan kegiatan Revitalisasi Posyandu perlu
menyertakan aspek pemberdayaan masyarakat secara konsisten. Hal ini menuntut
konsekuensi, bahwa aspek pemberdayaan masyarakat menjadi tumpuan uapaya
Reviatalisasi Posyandu, yang dalam pelaksanaannya perlu tetap memperoleh
bantuan tehnis ari Pemerintah, serta dengan menjalin kemitraan dengan berbagai
pihak, seperti LSM, lembaga-lembaga donor, swasta, dunia
usaha,dan sebagainya. Jadi aspek pemberdayaan masyarakat sebagai tumpuan
kegiatan Revitalisasi Posyandu dimaksud perlu diarahkan pada strategi
pendekatan Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM) dengan akses
kepada modal sosial-budaya masyarakat yang didasarkan atas nilai tradisi gotong-
royong yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat menuju
kemandirian dan keswadayaan masyarakat.
9. Menyadari di satu sisi adanyakebhinekaan kondisi ekonomi, sosial dan budaya
masyarakat, dan pada sisi yang lain ada keinginan kesamaan dalam mencapai
tingkat kemajuan dankesejahteraan, maka diperlukan pedoman yang bersifat
nasional guna melaksanakan Revitalisasi Posyandu. Karena berhasil atau tidak
berhasinya pengembangan kualitas anak, sangat tergantung pula kepada sukses
atau tidaknya upaya-upaya yang dilakukan dalam rangka Revitalisasi Posyandu.
B. Tujuan.
1. Tujuan Umum.
Meningkatkannya fungsi dan kinerja Posyandu agar dapat memenuhi kebutuhan
tumbuh kembang anak sejak dalam kandungan,dan agar status gizi maupun
derajat kesehatan ibu dan anak dapat dipertahankan dan atau ditingkatkan.
2. Tujuan Khusus.
a. Meningkatkan kualitas kemampuan dan ketrampilan kader Posyandu.
b. Meningkatkan pengelolaan dalam pelayanan Posyandu.
c. Meningkatkan pemenuhan kelengkapan sarana, alat, dan obat di Posyandu.
d. Meningkatkan kemitraan dan pemberdayaan masyarakat untuk
kesinambungan kegiatan Posyandu.
e. Meningkatkan fungsi pendampingan dan kualitas pembinaan Posyandu.