Oleh
Chrisna Permana, MEc )*
Pasca kemacetan yang terjadi di hampir sepenjuru Kota Jakarta pada kamis malam
pertengahan bulan oktober lalu (14/10), Ramai-ramai masyarakat menyuarakan
kekecewaannya, baik secara langsung, maupun tidak langsung (termasuk melalui
media jejaring sosial), dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai sasaran
utamanya. “Bang kumis, nggak becus mana katanya Ahlinya?!” begitu tulis salah seorang
warga Jakarta yang menjadi “korban” kemacetan lewat situs jejaring sosial twitternya,
merefleksikan komentar serupa dari ribuan orang lainnya.
Kemacetan yang disebabkan oleh komplikasi banjir dan hujan deras yang terjadi di
Jakarta sebenarnya bukanlah hal yang baru. Bahkan, kejadian ini sudah seringkali
terjadi, hanya saja mungkin pada hari tersebut adalah akumulasi klimaks kesabaran
masyarakat untuk menunggu dan terus bertanya-tanya tentang apa yang sudah
pemerintah lakukan untuk mengatasi kemacetan. Benarkah pemerintah tidak sungguh-
sungguh mengupayakan kebijakan mengatasi kemacetan atau sudah mencoba
mengatasi namun kebijakannya belum efektif?
Yang pertama kali harus kita pahami bersama adalah, jika mengacu pada konteks
kebijakan publik maka sesungguhnya pemerintah Provinsi DKI Jakarta sudah
mengupayakan kebijakannya. Karena mengambil tindakan atau diam sekalipun, adalah
dianggap sebagai bentuk kebijakan publik (Definisi Kebijakan Publik dalam
Introduction of Public Policy, William Dunn: What government choose to do or not to do).
Hanya saja persoalannya kemudian adalah, kebijakan tersebut ada yang efektif dan ada
yang tidak, dan itu tergantung pada kematangan rencana dan pra-pengambilan
kebijakannya.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dibantu oleh pemerintah pusat sebenarnya sudah
menempuh tiga langkah utama untuk mengatasi kemacetan, kalau boleh saya
menganalogikannya dalam peristilahan ekonomi, maka tiga langkah utama tersebut
adalah: dari sisi supply adalah dengan menambah kapasitas dan menata daya dukung
infrastruktur jalan, dari sisi demand adalah mengurangi jumlah kendaraan yang beredar,
serta dari sisi invicible hand (diluar pemerintah dan masyarakat) adalah mengeliminir
titik banjir.
Melintasi Jl. Gatot Subroto dari Cawang hingga Kuningan pagi-pagi misalnya,
sepanjang +5 kilometer saja masih harus ditempuh merayap selama satu jam, atau
melalui ruas Casablanca dari mulai Pejompongan hingga Kampung Melayu sepanjang
+7 kilometer, masih ditempuh tersendat selama satu jam lebih. Belum lagi di Tol Dalam
Kota, Cempaka Putih, Pondok Indah, bahkan hingga depan Istana Negara dan Gedung
DPR/MPR, tambah-tambah jika sedang hujan atau banjir! Mengendarai kendaraan
pribadi macet, sedangkan menumpang angkutan umum itu berdesakan dan sama
macet. Maka inilah yang menyebabkan rasionalitas sebagian orang yang mampu
kemudian tetap bertahan menggunakan angkutan pribadinya. Alhasil, di saat
pemerintah sibuk belanja angkutan umum dan perbaikan jalan, ratusan ribu mobil cuek
berkeliaran dan sepeda motor sudah seperti segerombolan rayap di jalanan. Bisa jadi
inilah contoh konkret dari yang disebut sebagai pemerintah dalam tahap policy failure,
ke kelor tidak ke kidul tidak.
Banyak pengamat berpersepsi untuk menjawab pertanyaan di atas. Ada sebagian pakar
yang menilai Garbage in, garbage out. Setiap input yang buruk akan menghasilkan
rencana/kebijakan yang kurang efektif. Dalam konteks kemacetan DKI Jakarta, bisa
jadi pemerintah mengambil kebijakan mengatasi kemacetannya dengan didasari data,
peta, dan informasi yang kurang akurat atau tidak terkoordinasi. Atau sebagian lainnya
yang menyatakan pemerintah DKI dan kemacetan adalah ibarat inequality of growth,
yakni pemerintah melakukan sesuatu dua kali lipat, masalah kemacetan bertumbuh
empat kali lipat. Namun, saya secara pribadi lebih suka menilai kinerja pemerintah dari
aspek konsistensi dan terutama kesesuaian pemerintah menerapkan kebijakannya itu
lewat analogi yang sederhana.
Contoh yang dapat merefleksikan hampir sejumlah besar kejadian kemacetan di Jakarta,
misalnya di Kawasan Mampang. Pemerintah awalnya membangun sistem transportasi
Busway untuk jalur Ragunan hingga Kuningan, dengan target mengurangi kemacetan
melalui berkurangnya kepadatan kendaraan pribadi karena beralih ke busway. Akan
tetapi sejak dan sepanjang pemberlakuannya, tidak diberlakukan three in one bagi
kendaraan pribadi, tidak adanya penataan jalur bagi armada transportasi umum lain
(seperti Kopaja, Bus, dan Metromini), tidak adanya upaya tegas terkait pemberhentian
angkutan umum sembarangan (optimalisasi penyediaan Halte), hingga kacaunya
sistem penataan traffic light dan u-turn di persimpangan (yang memang banyak di ruas
jalan tesebut). Dilain pihak, pemerintah sudah memperkecil kapasitas jalan dengan
membangun jalur Busway dan haltenya. Alhasil, jalan yang padat semakin padat,
aturan lalulintas semakin rumit (karena adanya busway), dan macet semakin merajalela.
Untuk alam pikir saya, menerapkan busway tanpa disertai penataan angkutan umum
pendukung dan penerapan three in one, atau menerapkan three in one tapi dengan tetap
membiarkan joki berkeliaran, bahkan lebih dari itu memberlakukan busway namun
membiarkan kendaraan lain masuk dan menghalangi jalur busway, adalah seperti
pemerintah sedang menabur garam di lautan. Alih-alih memperlancar sistem
perhubungan justru menambah kemacetan dan ketidaknyamanan. Rupanya selain
masalah inkonsistensi pemerintah juga sedang berhadapan dengan masalah integrasi.
Teori kebijakan publik memperkenalkan incremental public policy sebagai salah satu
alternatif pengambilan kebijakan. Ciri-cirinya adalah fokus pada satu persoalan namun
melihat kemungkinan untuk menggabungkan alternatif-alternatif yang ada secara
bersama-sama untuk mengatasinya atau lazim dikenal dengan istilah lain integrated
policy. Penggabungan ini adalah mengakui bahwa alternatif kebijakan yang ada adalah
saling mengisi dan saling mendukung, karena semata-mata permasalahan yang
dihadapi tidak ditimbulkan oleh satu aspek saja. Masih ingat film kartun Kura-Kura
Ninja? Empat kura-kura dengan kelebihannya masing-masing berhasil mengatasi
lawan-lawannya sekuat apapun. Kolaborasi antar kura-kura pemberani, karismatik,
cerdas dan humoris menghasilkan sinergi yang luar biasa dan mampu memecahkan
setiap permasalahan yang ada. Apa bedanya dengan Jakarta dan masalah kemacetan?
Three in one, busway, electronic road pricing, pembangunan jembatan layang, perbesaran
drainase, bahkan yang baru-baru ini diwacanakan pengaturan jadwal kerja pegawai,
saya yakini semuanya adalah solusi-solusi terbaik yang seharusnya dapat efektif
mengatasi kemacetan, namun jika diterapkan bersamaan.
Misalkan, konsep integrated policy di atas kita dapat uji dengan cara penerapan busway
yang bersamaan dengan pengaturan jadwal bekerja pegawai, pemberlakuan three in one,
penertiban pemberhentian angkutan umum, mengalihkan sebagian rute angkutan
umum, dan penetapan tarif parkir mahal di Kawasan Mampang (sepanjang ruas
Ragunan-Kuningan) sebagai test case policy nya. Di terapkan dengan rentan waktu
percobaan selama delapan bulan, disertai dengan konsistensi aparat pelaksana, dan
kesadaran masyarakatnya. Jika kemudian berhasil, maka menggunakan teori snow ball
policy (berganda), diterapkan kemudian pada dua ruas macet lainnya, empat, delapan
dan begitu seterusnya. Jika konsisten dan benar-benar diintegrasikan, saya yakin
kemacetan lalulintas akan berkurang dalam kurun waktu 4-5 tahun ke depan, tanpa
harus membangun jembatan layang baru atau menggali tanah demi proyek bermimpi
seperti MRT. Semoga.