Ilmu Hadis
Ilmu Hadis
I. Pengertian Hadits
Hadits adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada nabi Muhammad saw, baik
berupa perkataan, perbuatan, taqrir, sifat-sifat, keadaan dan himmah nya
Taqrir adalah perbuatan atau keadaan sahabat yang diketahui Rosulullah dan beliau
mendiamkannya atau mengisyaratkan sesuatu yang menunjukkan perkenannya atau
beliau tidak menunjukkan pengingkarannya.
Himmah adalah hasrat beliau yang belum terealisir, contohnya hadits riwayat Ibnu
Abbas :
“Dikala Rosulullah saw berpuasa pada hari ‘Asura dan memerintahkan untuk dipuasai,
para sahabat menghadap kepada Nabi, mereka berkata : ‘Ya Rasulullah, bahwa hari
ini adalah yang diagungkan oleh Yahudi dan Nasrani’, Rasulullah menyahuti : ‘Tahun
yang akan datang, Insya Allah aku akan berpuasa tanggal sembilan’.” (HR Muslim dan
Abu Dawud)
Atsar adalah segala sesuatu yang lebih umum dari hadits dan khabar, yaitu termasuk
perkataan tabi’in, tabi’it-tabi’in dan para ulama salaf.
Biasanya perkataan yang disandarkan atau berasal dari selain Nabi disebut atsar.
Sunnah adalah Jalan hidup atau kebiasaan yang ditempuh dalam berbuat dan
ber’itiqad (berkeyakinan). Dikatakan sunnah Nabi jika itu disyariatkan, ditempuh dan
diridloi oleh Nabi.
Hadits Qudsi adalah hadits yang mengandung kalimat langsung perkataan Allah,
cirinya dimulai dengan “Allah berkata…”
Sumber Hukum Islam yang pertama adalah Al-Qur’an dan yang kedua adalah Hadits.
Sebab-sebab Al-Qur’an lebih tinggi derajadnya dari hadits :
1. Al-Qur’an kita terima dari Nabi dengan jalan Qoth’i (pasti) karena didengar dan
dihafal oleh sejumlah sahabat dan ditulis oleh para penulis wahyu. Sedangkan hadits
tidak semuanya dihafal atau dituliskan dan tranmisinya berupa dzan (dugaan kuat).
2. Para sahabat mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushaf dan mentranmisikan
materinya kepada umat dalam keadaan aslinya (redaksinya) sehuruf pun tidak
berubah, tidak bertambah dan tidak berkurang dan mushaf itupun terpelihara dengan
sempurna dari masa ke masa. Sedangkan materi hadits dapat diriwayatkan dengan
maknanya saja.
3. Semua ayat Al-Qur’an Mutawatir. Sedangkan hadits kebanyakan tidak
mutawatir.
4. Al-Qur’an merupakan pokok yang memuat prinsip dasar dan hadits adalah
penjelas dari yang pokok atau hadits adalah cabang dari yang pokok. Bila hadits yang
cabang mendatangkan yang bertentangan dengan Al-Qur’an yang pokok maka
ditolak.
5. Ijma Sahabat, yaitu Khalifah Abu Bakar, Umar bila akan memutuskan hukum
suatu perkara yang belum ada keputusan hukumnya pada masa Rasulullah maka
mereka merujuk ke Al-Qur’an, bila tidak ditemukan di Al-Qur’an maka Khalifah
mengumpulkan sahabat-sahabat besar untuk ditanyakan apakah ada yang pernah
mendengar Hadits Rosulullah, mengenai masalah tersebut, bila ada yang
menyebutkan haditsnya maka Khalifah memutuskan hukum berdasarkan hadits
tersebut. Metode tersebut juga dilakukan oleh Usman dan Ali dan tidak ada yang
menyelisihi mengenai hal ini.
Sumber hukum Islam yang ketiga adalah Ijma (konsensus) ulil-amri (pemegang urusan
yaitu umaro dan ulama) kemudian yang keempat adalah dalil akal.
Dalil akal ini ada sekitar 40 tools yang dibahas secara terperinci dalam ilmu ushul
fikih, yang terkenal adalah :
1. Qiyas (analogi)
2. Ihtisan (keluar dari qiyas umum karena ada sebab yang lebih kuat)
3. Maslahah Mursalah (keluar dari qiyas umum dengan pertimbangan
kemaslahatan)
4. Saddudz Dzari’ah (menutup jalan yang menuju kemudhorotan)
5. Ar Raju’u ilal manfa’ati wal madharrati (mempertimbangkan kemanfaatan dan
kemudhorotan)
6. Istishab (hukum yang diyakini menetap sebelumnya tidak dapat dirubah oleh
yang masih meragukan)
7. Urf (kebiasaan yang berlaku pada suatu kaum dapat menjadi hukum).
dan lain lain sampai sekitar 40 macam.
Untuk memahami dengan baik tentang hal ini diperlukan penguasaan ilmu-ilmu Al-
Qur’an (ulumul Qur’an) dan menguasai nahwu-sharaf bahasa Arab serta menguasai
kaidah-kaidah yang mengatur kapan suatu hadits dapat mentakhsish atau me nasakh
Al-Qur’an. Kemampuan ini harus dimiliki oleh seorang mujtahid.
- Para sahabat bergaul dan berinteraksi langsung dengan Nabi, sehingga setiap
permasalahan atau hukum dapat ditanyakan langsung kepada Nabi.
- Para sahabat lebih concern dengan menghapal dan mempelajari Al-Qur’an
- Pada waktu pemerintahan Khalifah Ali, terjadi pemberontakan oleh Muawiyah Bin
Abu Sofyan, setelah peristiwa tahkim (arbitrase) muncul kelompok (sekte) kawarij
yang memusuhi Ali dan Muawiyah. Setelah terbunuhnya Khalifah Ali, muncul sekte
Syiah yang mendukung Ali dan keturunannya sementara kelompok jumhur
(mayoritas) tetap mengakui pemerintahan Bani Umayah. Sejak saat itu mulai
bermunculan hadits palsu yang bertujuan mendukung masing-masing kelompoknya.
Kelompok yang terbanyak membuat hadits palsu adalah Syiah Rafidah.
Khalifah Umar Bin Abdul Azis menulis instruksi kepada Ibnu Hazm :
“Lihat dan periksalah apa yang dapat diperoleh dari hadits Rasulullah, lalu tulislah
karena aku takut akan lenyap ikmu disebabkan meninggalnya ulama dan jangan anda
terima selain hadits Rasulullah saw dan hendaklah anda sebarkan ilmu dan
mengadakan majelis-majelis ilmu supaya orang yang tidak mengetahui dapat
mengetahuinya, lantaran tidak lenyap ilmu hingga dijadikannya barang rahasia.”
- Berdasarkan instruksi resmi Khalifah itu, Ibnu Hazm minta bantuan dan
menginstruksikan kepada Abu Bakar Muhammad Bin Muslim Bin Ubaidillah Bin Syihab
az Zuhry (Ibnu Syihab Az Zuhry)-seorang ulama besar dan mufti Hijaz dan Syam-
untuk turut membukukan hadits Rasulullah saw.
- Setelah itu penulisan hadits pun marak dan dilakukan oleh banyak ulama abad
ke-2 H, yang terkenal diantaranya :
a. Al-Muwaththa’, karya Imam Malik Bin Anas (95 H – 179 H).
b. Al Masghazy wal Siyar, hadits sirah nabawiyah karya Muhammad Ibn Ishaq (150
H).
c. Al Mushannaf, karya Sufyan Ibn ‘Uyainah (198 H)
d. Al Musnad, karya imam Abu Hanifah (150 H)
e. Al Musnad, karya imam Syafi’i (204 H)
E. Periode ke-lima (Masa Kodifikasi Hadits)
1. Periode Penyaringan hadits dari Fatwa-fatwa sahabat (abad ke-III H)
- Menyaring hadits nabi dari fatwa-fatwa sahabat nabi
- Masih tercampur baur hadits sahih, dhaif dan maudlu’ (palsu).
- Pertengahan abad tiga baru disusun kaidah-kaidah penelitihan ke sahihan
hadits.
- Penyaringan hadits sahih oleh imam ahli hadits Ishaq Bin Rahawaih (guru Imam
Bukhary).
- Penyempurnaan kodifikasi ilmu hadits dan kaidah-kaidah pen sahihan suatu
hadits.
- Penyusunan kitab Sahih Bukhory
- Penyusunan enam kitab induk hadits (kutubus sittah), yaitu kitab-kitab hadits
yang diakui oleh jumhur ulama sebagai kitab-kitab hadits yang paling tinggi mutunya,
sebagian masih mengandung hadits dhaif tapi ada yang dijelaskan oleh penulisnya
dan dhaifnya pun yang tidak keterlaluan dhaifnya, ke enam kuttubus shittah itu
adalah :
a. Sahih Bukhory
b. Sahih Muslim
c. Sunan Abu Dawud
d. Sunan An Nasay
e. Sunan At-Turmudzy
f. Sunan Ibnu Majah
3. Periode Klasifikasi dan Sistimasi Susunan Kitab-Kitab Hadits (abad ke-V H s.d 656
H, jatuhnya Baghdad)
- Mengklasifikasikan hadits dan menghimpun hadits-hadits yang sejenis.
- Menguraikan dengan luas (men syarah) kitab-kitab hadits.
- Memberikan komentar (takhrij) kitab-kitab hadits.
- Meringkas (ikhtisar) kitab-kitab hadits.
- Menciptakan kamus hadits.
- Mengumpulkan (jami’) hadits-hadits bukhory-Muslim
- Mengumpulkan hadits targhib dan tarhib.
- Menyusun kitab athraf, yaitu kitab yang hanya menyebut sebagian hadits
kemudian mengumpulkan seluruh sanadnya, baik sanad kitab maupun sanad dari
beberapa kitab.
- Menyusun kitab istikhraj, yaitu mengambil sesuatu hadits dari sahih Bukhory
Muslim umpamanya, lalu meriwayatkannya dengan sanad sendiri, yang lain dari
sanad Bukhary atau Muslim karena tidak memperoleh sanad sendiri.
- Menyusun kitab istidrak, yaitu mengumpulkan hadits-hadits yang memiliki
syarat-syarat Bukhary dan Muslim atau syarat salah seorangnya yang kebetulan tidak
diriwayatkan atau di sahihkan oleh keduanya.
Ilmu hadits dibagi menjadi dua : Hadits Riwayah dan Hadits Dirayah (mushthalahul
hadits)
a. Hadits Riwayah adalah suatu ilmu untuk mengetahui cara-cara penukilan,
pemeliharaan dan penulisan apa apa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw,
baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir dan lain sebagainya.
Ilmu ini tidak berkompeten membicarakan apakah matannya ada yang janggal atau
ber ‘illat, apakah sanadnya terputus atau bersambungan. Lebih jauh tidak dibahas hal
ihawa dan sifat sifat perawinya.
Faedah mengetahui ilmu ini adalah untuk menghindari adanya kemungkinan salah
kutip terhadap apa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw.
b. Hadits Dirayah adalah kaidah-kaidah untuk mengetahui hal ihwal sanad, matan,
cara-cara menerima dan menyampaikan hadits, sifat-sifat rawi dan lain sebagainya.
Ilmu hadits dirayah ini disebut juga ilmu Mushthalahul hadits. Kitab yang dianggap
paling ‘mapan’ menerangkan ilmu Mushthalahul hadits adalah kitab “Al-Kilafah”
karangan Al-Khatib Abu Bakar Al-Baghdady (meninggal tahun 463 H).
Faedahnya untuk menetapkan ke sahihan suatu hadits dan untuk menetapkan apakah
hadits tersebut dapat diterima (maqbul) untuk diamalkan atau ditolak (mardud) untuk
ditinggalkan.
b. Matan
Matan adalah materi atau isi dari hadits.
Dalam meriwayatkan atau mentransmisikan materi (isi) hadits ada dua jalan, yang
keduanya tidak dilarang oleh Rasulullah saw, yaitu :
1. Dengan lafad yang sama persis dari Rasulullah.
2. Dengan maknanya saja, sedang redaksinya disusun sendiri oleh orang yang
meriwayatkannya.
c. Sanad
Sanad adalah jalan atau jalur transmisi yang menghubungkan materi hadits (matan)
kepada Rasulullah saw.
Misalnya seperti kata Imam Bukhary :
“Telah mewartakan kepadaku Muhammad Bin al-Mutsanna, ujarnya : ‘Abdul Wahhab
ats-tsaqafy telah mengabarkan kepadaku, ujarnya : Telah bercerita kepadaku Ayyub
atas pemberitaan Abi Qilabah dari Anas dari Nabi Muhammad saw, beliau bersabda :
‘Tiga perkara, yang barang siapa mengamalkannya niscaya memperoleh kelezatan
iman, yakni : 1. Allah dan Rasul-NYA hendaknya lebih dicintai daripada selainnya. 2.
Kecintaannya kepada seseorang, tak lain karena Allah semata-mata dan 3.
Keengganannya kembali kepada kekufuran, seperti keengganannya dicampakkan ke
neraka’.”
Dalam hal ini materi hadits diterima oleh Imam Bukhary dari sanad pertama
Muhammad Bin al-Mutsanna, terus bersambung sampai dari sanad terakhir yaitu
sahabat Anas ra.
Dengan demikian Imam Bukhary menjadi sanad pertama bagi kita dan sebagai rawi
terakhir pada hadits tersebut diatas.
Dalam ilmu hadits sanad ini merupakan neraca untuk menimbang sahih atau tidaknya
suatu hadits. Andaikata salah satu rawi dalam jalur transmisi (sanad) itu ada yang
fasik atau tertuduh dusta maka hadits tersebut menjadi dhaif (lemah).
A. Hadits Sahih
Hadits sahih adalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, sempurna
ingatan, sanadnya bersambung-sambung, tidak ber ‘illat dan tidak janggal (syadz)
Jadi suatu hadits dapat dikatakan sahih apabila memenuhi lima persyaratan :
1. Semua rawinya adil.
2. Semua rawinya sempurna ingatan (dlabith)
3. Sanadnya bersambung-sambung tidak putus
4. Tidak ber ‘iilat (cacat tersembunyi)
5. Tidak janggal (Syadz)
Keadilan Rawi
Keadilan seorang rawi menurut Ibnu Sam’any harus memenuhi empat syarat :
1. Selalu memelihara perbuatan taat dan menjauhi maksiat.
2. Menjauhi dosa-dosa kecil yang dapat menodai agama dan sopan santun.
3. Tidak melakukan perkara-perkara mubah yang dapat menggugurkan iman
kepada qadar dan mengakibatan penyesalan.
4. Tidak mengikuti pendapat salah satu sekte yang bertentangan dengan syara’.
Ulama-ulama hadits menerima periwayatan tokoh-tokoh syiah yang dikenal benar dan
kepercayaan.
Kalau ada pertanyaan : ‘Bagaimana mengetahui keadilan seorang rawi ?’. Jawabannya
adalah dengan mempelajari ilmu Jarh wat Ta’dil, yaitu suatu ilmu yang membahas
tentang memberikan kritikan adanya aib atau memberikan penilaian adil kepada
seorang rawi. Menurut Dr. ‘Ajjaj Al-Khatib Ilmu Jarh wat Ta’dil adalah suatu ilmu yang
membahas hal-ihwal para rawi dari segi diterima atau ditolak periwayatannya.
Keadilan seorang rawi dapat diketahui dengan salah satu dari tiga kaidah berikut :
1. Semua sahabat nabi adalah adil, baik yang terlibat dalam masa pertikain dan
peperangan antar sesama kaum muslimin ataupun yang tidak terlibat.
Sahabat nabi adalah semua orang yang pernah bertemu Nabi Muhammad saw dengan
pertemuan yang wajar sewaktu Rasulullah saw masih hidup dan dalam keadaan Islam
lagi beriman.
2. Dengan kepopulerannya dikalangan ahli ilmu bahwa dia terkenal sebagai orang
yang adil, seperti Anas Bin Malik, Sufyan Ats Tsaury, Syub’ah bin Al Hajjaj, Asy Syafi’i,
Ahmad Bin Hanbal, dsb.
3. Dengan pujian dari seseorang yang adil, yaitu ditetapkan sebagai rawi yang adil
oleh seorang yang adil, yang semula rawi itu belum dikenal atau belum populer
sebagai rawi yang adil.
Penetapan tentang kecacatan (tidak adil) juga dapat ditentukan dengan
kepopulerannya sebagai orang yang mempunyai cacat sifat adilnya atau berdasarkan
pentarjihan dari seseorang yang adil.
Men-ta’dil-kan atau men-tajrih-kan seorang rawi itu ada kalanya tidak disebutkan
sebab-sebabnya (mubham) dan adakalanya disebutkan sebab-sebabnya (mufassar).
Untuk yang tidak disebutkan sebab-sebabnya (mubham) diperselisihkan oleh para
ulama tentang diterima atau tidaknya, tapi jumhur ulama menetapkan bahwa men-
ta’dil-kan tanpa menyebut sebab-sebabnya diterima, karena sebab-sebab itu banyak
sekali, sehingga hal itu kalau disebutkan semua tentu mubadzir. Adapun men-tajrih-
kan, tidak diterima, kalau tanpa menyebutkan sebab-sebabnya, karena jarh itu dapat
berhasil dengan satu sebab saja.
Tentang jumlah orang yang dipandang cukup untuk men-ta’dil-kan dan men-tajrih-kan
rawi masih diperselisihkan apakah minimal dua orang atau cukup satu orang saja.
Bila terjadi pertentangan antara jarh dan ta’dil pada seorang rawi, yakni sebagian
ulama men-ta’dil-kan dan sebagian ulama men-tajrih-kan, maka masih diperselisihkan
tapi jumhur ulama berpendapat Jarh harus didahulukan secara mutlak, walaupun
jumlah yang men-ta’dil-kan lebih banyak daripada yang men-jarh-kan. Sebab bagi
orang yang men-jarh-kan tentu mempunyai kelebihan ilmu yang tidak diketahui oleh
orang yang men-ta’dil-kan, dan kalau orang yang men-jahr-kan dapat membenarkan
orang yang men-ta’dil-kan tentang apa yang diberitakan menurut lahirnya saja,
sedang orang yang men-jahr-kan memberitakan urusan batiniyah yang tidak diketahui
oleh orang yang men-ta’dil-kan.
Perlu diperhatikan juga penilaian jahr oleh beberapa Muhaditsin yang terkenal
keterlaluan dan berlebihan dalam men tajrih seorang rawi, yaitu Abu Hatim, An
Nasa’iy, Yahya Bin Ma’in, Yahya Bin Khaththan dan Ibnu Hibban.
Kitab-kitab yang membahas jahr dan ta’dil rawi-rawi hadits yang terkenal
diantaranya :
- Ad-Dlu’afa’ karya Imam Bukhary.
- Lisanu’l Mizan karya Al-hafidz Ibnu Hajar Asqolany.
Untuk mengetahui apakah sanad hadits itu bersambungan tidak putus atau tidak perlu
mempelajari dua macam ilmu yaitu : Ilmu Rijalil Hadits, ilmu Thabaqoh Ruwah dan
Ilmu Tawarihi Ruwah.
Ilmu Rijalil Hadits adalah ilmu pengetahuan yang membahas hal-ihwal dan sejarah
kehidupan para rawi dari golongan sahabat, tabiin dan tabiit-tabiin.
Ilmu Thabaqoh Ruwah adalah ilmu yang membahas pengelompokan sahabat nabi
dalam kelompok (thabaqoh) yang tertentu. Thabaqoh pertama : sahabat yang
pertama masuk Islam, thabaqoh kedua : sahabat yang masuk Islam sebelum
musyawarah orang musyrik Mekkah di Darun Nadwah yang berencana membunuh
Nabi Muhammad saw, thabaqoh ketiga : sahabat yang hijrah ke habsy, thabaqoh
keempat : sahabat peserta bai’at aqabah pertama, thabaqot kelima : sahabat yang
menghadiri bai’at aqobah kedua, thabaqoh keenam : Muhajirin yang menyusul Nabi di
Quba sebelum memasuki Madinah, thabaqoh ketujuh : sahabat peserta perang Badar,
thabaqot kedelapan : sahabat yang hijrah ke Madinah setelah perang Badar, tahbaqot
kesembilan : sahabat yang menghadiri bai’at baitur ridwan, thabaqot kesepuluh :
sahabat yang hijrah setelah perjanjian Hudaibiyah sebelum futuh Mekkah, thabaqot
kesebelas : sahabat yang masuk Islam setelah futuh Mekkah, thabaqot kedua belas :
anak-anak yang melihat Nabi Muhammad saw setelah Futuh Mekkah dan haji wada’.
Kitab terbaik yang membahas sejarah, hal-ihwal dan thabaqot sahabat adalah kitab
“Al-Isabah” karya Al-Hafidz Ibnu Hajar Asqolany.
Ilmu Tawarihi Ruwah adalah ilmu untuk mengetahui para rawi hal-hal yang
bersangkutan dengan meriwayatkan hadits, mencakup keterangan tentang hal-ihwal
para rawi, tanggal lahir, tanggal wafat, guru-gurunya, kapan tanggal mendengar dari
gurunya, orang-orang yang berguru kepadanya, kota dan kampung halamannya,
perantauannya, tanggal kunjungannya ke negeri yang berbeda-beda, mendengarnya
hadits dari sebagian guru, sebelum dan sesudah ia lanjut usia dan sebagainya yang
ada hubungannya dengan masalah per haditsan.
Kejanggalan Hadits
Kejanggalan hadits terletak pada adanya perlawanan antara suatu hadits yang
diriwayatkan oleh rawi yang maqbul (dapat diterima) dengan hadits yang
diriwayatkan oleh rawi yang lebih rajih (kuat), disebabkan adanya kelebihan jumlah
sanad atau kelebihan dalam ke-dlabith-an rawinya atau adanya segi-segi tarjih yang
lain.
B. Hadits Hasan
Hadits hasan adalah hadits yang dinukilkan oleh seorang adil, (tapi) tak begitu kokoh
ingatannya (kurang dlabith), bersambung-sambung sanadnya dan tidak terdapat ‘illat
serta kejanggalan pada matannya.
Hadits hasan li-dzatih adalah hadits hasan yang memenuhi syarat hadits hasan diatas.
Hadits hasan li-ghairih adalah hadits yang sanadnya tidak sepi dari seorang yang tidak
nyata keahliannya, bukan pelupa yang banyak salahnya, tidak tampak adanya sebab
yang menjadikannya fasik dan matan haditsnya adalah baik berdasarkan periwayatan
yang semisal dan semakna dari sesuatu segi yang lain.
Menurut Imam Turmudzi dan Ibnu Taimiyah hadits hasan adalah hadits yang banyak
jalan datangnya dan tidak ada dalam sanadnya yang tertuduh dusta dan tidak pula
janggal (syadz).
Dibawah hadits hasan ada yang lebih rendah derajadnya yaitu hadits dhaif.
Menurut Imam Nawawi : “Hadits dhaif yang banyak jalan dan saling menguatkan bisa
naik menjadi hadits hasan”. Yaitu hasan li-ghairih, tapi ke dhaifannya bukan karena
ada rawi yang tertuduh dusta atau fasiq. Maka dengan demikian dapat diamalkan
berdasarkan kumpulannya, bukan berdasarkan kepada satu per satunya.
C. Hadits Dhaif
Hadits dhaif adalah hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat
hadits sahih atau hadits hasan.
Berdasarkan dapat diterima atau ditolak sebagai hujjah hadits diklasifikasikan menjadi
dua yaitu :
a. Hadits Maqbul : yaitu hadits yang dapat diterima
b. Hadits Mardud : yaitu hadits yang ditolak dan tidak dapat diterima.
Hadits Mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh banyak orang yang tidak
mungkin bahwa mereka itu telah sepakat untuk berdusta. Syarat hadits mutawatir :
1. Hadits yang diriwayatkan berdasarkan pendengaran atau penglihatan sendiri,
bukan dari hasil pemikiran, rangkuman atau dugaan.
2. Jumlah rawi-rawinya harus mencapai bilangan yang mampu mencapai ilmu’dl-
dlarury (meyakinkan).
3. Ada keseimbangan antara rawi-rawi dalam lapisan pertama dengan jumlah rawi-
rawi pada lapisan berikutnya. Misalnya ada hadits yang diriwayatkan oleh 10 orang
sahabat kemudian diriwayatkan oleh 5 orang tabiin dan seterusnya diriwayatkan oleh
3 orang tabi’it-tabi’in maka hadits tersebut tidak termasuk hadits mutawatir, karena
jumlah rawi-rawinya tidak seimbang antara lapisan pertama dengan lapisan kedua
dan ketiga.
Kitab yang menghimpun segala hadits mutawatir yang terkenal adalah kitab Al-
Azharu’l Mutanatsirah fi’l Akhbari Mutawatirah, karya Imam As Suyuthi (911 H).
Hadits Masyhur adalah hadits yang terdiri lapisan perawi yang pertama atau lapisan
kedua, dari orang seorang, atau beberapa orang saja. Sesudah itu barulah tersebar
luas, dinukilkan oleh segolongan orang yang tak dapat disangka bahwa mereka
sepakat untuk berdusta. Jumhur ulama hadits mensyaratkan minimal 3 orang perawi.
Ulama-ulama mazhab hanafi men-takhsis-kan (meng khusus kan) ayat Al-Qur’an yang
umum dengan hadits masyhur ini dan menambah hukum-hukum yang belum terdapat
dalam Al-Qur’an. Hadits ahad yang belum mencapai derajad hadits masyhur tidak
dapat digunakan untuk fungsi ini.
Imam Malik menjadikan hadits ahad pen takh sis Al-Qur’an dengan syarat jika
dikuatkan oleh amal penduduk Madinah atau oleh Qiyas.
Imam Syafii dan Imam Ahmad Bin Hanbal menggunakan hadits ahad untuk
mentakhsis ayat Al-Qur’an.
Hadits Ahad adalah segala hadits yang diriwayatkan oleh orang seorang atau dua
orang atau lebih tetapi tidak cukup terdapat sebab-sebab yang menjadikannya
masyhur.
Hadits Azis adalah hadits yang rentetan perawinya terdiri dari dua-dua orang atau
pada suatu tingkat terdiri dari dua-dua orang saja.
Hadits Garib adalah hadits yang dalam sanadnya ada seorang rawi yang menyendiri,
di lapisan mana saja penyendirian dalam sanad itu terjadi.
Berkata Imam Ahmad Bin Hanbal : “Jangan kamu mencatat hadits hadits gharib,
lantaran hadits-hadits gharib itu mungkar-mungkar dan pada umumnya berasal dari
orang-orang lemah”.
B. Hadits Masyhur
Mutlak dapat dipakai hujjah atau diamalkan, dapat dijadikan pen-takhsish (meng
khususkan) ayat Al-Qur’an yang umum (‘Am)
C. Hadits Ahad
Apabila sahih mempunyai sifat dapat diterima yang tinngi, apabila hasan mempunyai
sifat dapat diterima yang menengah / rendah, dapat diamalkan dalam urusan-urusan
amal bukan dalam urusan i’tiqad.
Imam Abu Hanifah menolak hadits ahad untuk men takhsis dan menasakh ayat Al-
Qur’an.
Imam Malik menjadikan hadits ahad untuk men takhsish dan menasakh Al-Qur’an jika
dikuatkan oleh amalan penduduk Madinah atau oleh qiyas.
Imam Syafi’i dan Imam Ahmad Bin Hanbal menjadikan semua hadits ahad untuk men
takhsish Al-Qur’an.
D. Hadits Dha’if
Dalam hal berhujah dengan / mengamalkan hadits dha’if, terbagi dalam 3 pendapat :
a. Melarang secara mutlak , itu pendapat Imam Bukhary dan Abu Bakar Ibnu
Araby.
b. Membolehkan, yaitu bila dha’ifnya tidak terlalu dan khusus untuk menerangkan
fadlilah amal, yang isinya mendorong berbuat baik, mencegah perbuatan buruk,
cerita-cerita dan perkara-perkara mubah. Bukan untuk menetapkan masalah hukum-
hukum syariat seperti halal-haram, akidah. Pendapat ini dianut oleh Imam Ahmad Bin
Hanbal, Abdurrahman Bin Mahdy, Abdullah Ibn Mubarak, mereka berkata :
“Apabila kami meriwayatkan hadits tentang halal, haram dan hukum-hukum, kami
perkeras sanad-sanadnya dan kami kritik rawi-rawinya. Tetapi bila kami meriwayatkan
tentang keutamaan, pahala dan siksa, kami permudah sanadnya dan kami perlunak
rawi-rawinya”
Al Hafidz Ibnu Hajar Asqolany membolehkan berhujah dengan hadits dha’if untuk
keutamaan amal, dengan memberikan 3 syarat :
1. Hadits Dha’if yang tidak terlalu. Dha’if yang karena rawinya pendusta, tertuduh
dusta dan banyak salah tidak dapat dijadikan hujjah.
2. Dasar amal yang ditunjuk oleh hadits tersebut masih selaras dengan dasar yang
dibenarkan oleh hadits yang lebih sahih.
3. Dalam mengamalkannya tidak meng ‘itiqadkan bahwa hadits tersebut benar
benar dari Nabi, tetapi tujuannya mengamalkan hanya semata-mata untuk ikhtiyat
(hati-hati).
E. Hadits Mursal
Hadits mursal adalah hadits yang gugur perawi pada tingkatan sahabat. Jadi perawi
tabi’in tidak menyebutkan nama sahabat yang meriwayatkan hadits kepadanya.
Bila perawi yang gugur (tidak disebutkan) sebelum sahabat , baik tabi’in atau
selainnya, bila satu orang yang gugur dinamakan hadits munqathi’, bila dua orang
yang gugur disebut hadits mu’dlal.
Berhujah dengan hadits Mursal, terdapat perbedaan pendapat, sebagian menolak dan
menganggapnya sebagai hadits dha’if, sebagian menerima dan menganggapnya
sebagai hadits musnad, tetapi jumhur ulama hadits menerima hadits mursal tapi
dengan syarat;
Imam Abu Hanifah menerima hadits mursal, bila yang meng irsal kan itu sahabat atau
tabi’in. Irsal yang sesudah tabi’it-tabi’in ditolak.
Imam Malik menerima segala hadits mursal dari orang yang kepercayaan (tsiqoh).
Imam Syafi’ii hanya menerima hadits mursal dari periwayatan Said Bin Musayyab dan
Hasan Al Basri.
Imam Ahmad Bin Hanbal lebih mengutamakan fatwa sahabat dari pada menerima
hadits mursal.
Bagan
Jenis / Derajad Hadits
Maqbul Mardud
6. Azis
9. Syahid
10. Marfu’
11. Musnad
12. Maushul/Muttashil
15. Syadz
16. Ma’ruf
17.Munkar
18. Muhkam
19. Mutasyabih
*) Dengan catatan :
20. Mukhtalif
21. Nasikh
22. Mansukh
23. Rajih
24. Marjuh
25. Maqthu
26. Mursal
27. Munqathi
28.Mu’dlal/Musykil
29. Mu’allaq
30.Mudallas
31. Mu’allal
32. Mudltharab
33. Matruk
34. Mudraj
35. Maqlub
36. Musalsal
37. Mu’an’an
38. Mushahaf
39. Muannan
Untuk mengetahui mana hadits yang nasikh dan mana hadits mansukh nya, dapat
diketahui dari beberapa jalan, antara lain :
a. Penjelasan dari syar’i sendiri, contoh :
“Konon aku pernah melarangmu menziarahi kubur. Kemudian ziarahlah. Dan konon
aku pernah melarangmakandaging binatang kurban selama lebih tiga hari, kemudian
makanlah sesukamu” (HR Muslim).
Imam Syarajuddin Al-bulqiny menyusun ilmu cabang dari ilmu hadits mengenai awal
atau akhirnya dikeluarkan suatu matan hadits dalam kitab yang diberi nama
“Mahasinu’l-ishthilah”.
Kalau usaha mencari nasikhnya tidak pula berhasil, beralih kepada penelitian mana
hadits yang lebih kuat, baik sanad maupun matannya, untuk ditarjihkan. Hadits yang
kuat disebut hadits rajih, sedang yang ditarjihkan disebut hadits marjuh.
Hadits tersebut ditarjihkan dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abi Rafi’ yang
mengabarkan :
“Bahwa Rasulullah saw menikahi Maimunah Binti Al-Haris pada waktu beliau tahallul”.
Hadits ‘Abi Rafi’ lebih rajih daripada hadits Ibnu ‘Abbas karena Abi Rafi’ sendiri
bersama-sama pergi dengan Rasulullah saw dan Maimunah disaat itu dan kebanyakan
sahabat meriwayatkan seperti hadits Abi Rafi’.
Kalau usaha inipun gagal, kedua hadits tersebut hendaklah dibekukan, ditinggalkan
untuk pengamalannya. Hadits yang di tawaqquf kan ini disebut hadits mutawaqqaf-fihi
. Hadits yang dibekukan ini menurut sebagian ulama dapat diamalkan salah satu, dan
ada pula yang berpendapat bisa diamalkan berganti-ganti dalam waktu yang berbeda.
Disebut kitab induk karena inilah kitab-kitab hadits yang oleh jumhur ulama dinilai
paling tinggi mutunya diantara semua kitab hadits yang ada, disusun urut mulai yang
paling tinggi mutunya terus kebawah :
1. Sahih Bukhary (Al Jami’ush Sahih Al Musnadu Min Haditsi Rasul saw).
Penulisnya adalah Imam Bukhary (194 H – 252 H / 810 M – 870 M), kelahiran Bukhara
di Uzbekistan, kakeknya seorang Persia beragama Majusi. Sejak umur 10 tahun sudah
tertarik mendalami hadits, berkelana hampir ke seluruh kota kota besar Wilayah
Daulah Islam untuk mencari hadits. Mempunyai hafalan yang luar biasa, beliau hafal
sampai ratusan ribu hadits beserta semua rawi-rawinya.
Kitab Sahih Bukhory disusun dalam waktu 16 tahun, terdiri dari 2.602 yang tanpa
diulang-ulang. Setiap menuliskan hadits dalam kitab sahihnya, beliau melakukan
sholat sunnah 2 rokaat.
Kitab Syarah (penjelasan secara panjang lebar) Sahih Bukhory yang terbaik adalah
Fathul Bary karya Al Hafidz Ibnu Hajar Asqolany.
Jumhur ulama sepakat menilai kitab Sahih Bukhory ini paling tinggi tingkat ke sahihan
dan mutunya.
2. Sahih Muslim
Penulisnya adalah Imam Abul Husain Muslim Bin Hajaj Al Qusyairy (204 H-261 H / 820
M-875M), murid imam Bukhary. Sama seperti gurunya beliau berkelana hampir ke
seluruh kota kota besar dalam mencari hadits. Walaupun tingkat kesahihan dan mutu
haditsnya masih dibawah Sahih Bukhary, tetapi sistematika penulisannya lebih baik
bila dibandingkan dengan kitab Sahih Bukhary, karena lebih mudah mencari hadits
didalamnya. Kitab Sahih Muslim berisi sekitar 4.000 hadits yang tidak diulang-ulang.
Kitab syarah nya yang terbaik adalah Minhajul Muhadditsin, karya Imam Nawawi.
5. Sunan At Turmudzy
Penulisnya adalah Imam Abu ‘Isa Muhammad Bin Isa Bin Surah (200 H-279 H / 824 M-
892 M), termasuk murid Imam Bukhary. Beliau berkata : “Aku tidak memasukkan ke
dalam kitab ini terkecuali hadits yang sekurang-kurangnya telah diamalkan oleh
sebagian fukaha”. Beliau menulis hadits dengan menerangkan yang sahih dan yang
tercacat serta sebab-sebabnya sebagaimana beliau menerangkan pula mana-mana
yang diamalkan dan mana-mana yang ditinggalkan. Kitab Sunan Turmudzy isinya
jarang yang berulang-ulang.
Ilmu-ilmu pendukung lainnya yang merupakan cabang dari ilmu hadits yang perlu
dipelajari juga untuk memahami hadits adalah :
1. Ilmu Rijalil Hadits
Ilmu untuk mengetahui sejarah dan hal-ihwal sahabat, tabiin dan tabi’it tabi’in.
Kitab yang terkenal dalam bidang ini diantaranya “’Ilalu’l Hadits” karya Imam Ahmad
Bin Hanbal dan “AL-‘Ilal Waridah fi’l Ahaditsin Nabawiyah karya Al Hafidz Ali Bin Umar
Ad Daraquthny.
Reference :
2. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, author : Teungku Moh. Hasbi Ash Shiddieqy,
published by : PT. Pustaka Rizki Putra Semarang.