ITS Research 10017 132311406 Chapter2
ITS Research 10017 132311406 Chapter2
TINJAUAN PUSTAKA
(a) (b)
Gambar 2.1. Struktur sel pada plastik berpori, (a) sel terbuka ; (b) sel tertutup
(dikutip dari Training Plastic Technology, Michaeli/ Greif/Kaufmann/Vossebrgürger,
Hanser Publishers).
Proses foaming terjadi pada suhu glass transisi (di atas Tg), dimana pada
daerah itu plastik mulai menunjukkan perubahan struktur ikatannya dari glass
menjadi karet (rubber). Ketika suhu dinaikkan maka plastik akan menunjukkan
perubahan yang jelas, dimana plastik mulai melepaskan sifat-sifat gelasnya dan
mengambil sifat-sifat karet. Blowing agent yang dipergunakan dalam pemrosesan
plastik mikroseluler ini adalah N2 dan CO2, yang tidak berbahaya bagi kesehatan
manusia dan lingkungan. Pemilihan gas ini sebagai blowing agent pada pemrosesan
plastik mikroseluler didasarkan atas difusifitas dan solubilitas gas tersebut dalam
polimer yang akan diproses. Data-data solubilitas dan koefisien difusi dari beberapa
gas tertentu dalam polimer dihitung berdasarkan penelitian yang dilakukan Sato,dkk
[9]. Dalam penelitian tersebut juga disimpulkan bahwa solubilitas karbondioksida
dalam polystyrene, HDPE, dan PP memang lebih rendah daripada solubilitas
fluorocarbon dalam polimer tersebut, tetapi perbedaannya tidak terlalu signifikan.
Sehingga CO2 dan N2 dapat digunakan sebagai blowing agent pengganti
fluorocarbon pada pemrosesan plastik mikroseluler .
Pengembangan plastik didasarkan sifat-sifat fisik yang dimiliki, terutama
morfologi polimer yang sangat penting untuk menentukan sifat dan penggunaannya.
Plastik dibedakan dalam 2 jenis, yaitu plastik amorf dan plastik semikristalin. Secara
umum pembentukan struktur sel pada plastik berkristal lebih sulit dikontrol
dibanding plastik amorf, ketika gas tidak larut dalam daerah berkristal, larutan
polimer–gas yang dibentuk selama pemrosesan plastik mikroseluler tidak seragam.
Model berumbai (fringed micelle) didefinisikan kekristalan dengan istilah daerah-
daerah teratur yang disebut kristalit (crystallite), dimana sembarang rantai polimer
tertentu bisa memanjang melalui sejumlah kristalit, sebagaimana diperlihatkan oleh
Gambar 2.2. Polimer kristal umumnya lebih keras, lebih kuat, lebih keruh (tingkat
kebeningan), lebih tahan terhadap pelarut, dan massa jenisnya lebih tinggi dibanding
polimer amorf.
Sato dkk [9] meneliti pengaruh kelarutan blowing agent CO2 dan N2 dalam
berbagai jenis polimer, yaitu polistiren dan polipropilen. Hasil menunjukkan
kelarutan blowing agent polipropilen lebih besar daripada polistiren. Hal ini
disebabkan struktur rantai kristal polipropilen lebih teratur dan rapat sehingga lebih
banyak gas yang bertahan dalam polimer. Untuk polistiren struktur rantainya amorf,
sehingga gas lebih mudah berdifusi keluar.
daerah
struktur
kristal
daerah
struktur
amorf
K = K * (1 − X c ) (2.1)
Baldwin dkk [3], meneliti pemrosesan plastik mikroseluler pada PET amorf
dan PET semikristal dengan CO2 yang dilakukan dibawah temperatur leleh polimer.
Hasil menunjukkan untuk PET semikristal sampai temperatur 100 oC tidak diperoleh
struktur sel. Struktur sel bimodal diperoleh pada temperatur penjenuhan 150 oC atau
lebih. Mereka juga meneliti pengaruh waktu penjenuhan, tekanan penjenuhan, dan
konsentrasi gas CO2 terhadap kristalinitas PET. Pada Gambar 2.4 menunjukkan
bahwa waktu penjenuhan akan meningkat dengan kenaikan kristalinitas PET.
Penelitian ini dilakukan dengan meletakkan sampel dalam tangki penjenuhan,
mengalirkan gas CO2 (98% CO2 murni). Pengatur tekanan pada keadaan konstan
sampai waktu penjenuhan tercapai, sampel dikeluarkan dan dibersihkan. Untuk
pengukuran derajat kristalinitas polimer menggunakan Perkin-Elmer DSC-7.