Anda di halaman 1dari 5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Pemrosesan plastik dengan foaming adalah pemrosesan yang dilakukan


dengan cara mendispersikan gas sebagai blowing agent ke dalam material plastik
sehingga menghasilkan plastik berpori. Plastik foam mikroseluler baru
dikembangkan pada awal tahun 1980 yang merupakan teknologi alternatif dari
plastik seluler. Pengembangan produksi plastik mikroseluler ditujukan untuk
memperoleh plastik dengan densitas sel tinggi, diameter sel kecil dan rasio ekspansi
volume tinggi. Plastik ini banyak memiliki kelebihan dibandingkan dengan plastik
seluler, oleh karena itu, penelitian tentang plastik mikroseluler terus dikembangkan
hingga saat ini. Kelebihan yang dimiliki plastik ini antara lain, memiliki
karakteristik fisik yang lebih baik dibandingkan plastik seluler, disamping prosesnya
yang lebih aman bagi lingkungan dan kesehatan. Struktur sel yang dihasilkan plastik
mikroseluler adalah struktur sel tertutup dengan ukuran sel antara 0,1 – 10 µ m dan
memiliki densitas sel 109 – 1015. Sehingga memiliki high impact yang tinggi (hingga
lima kali lipat plastik murni), ketahanan dalam waktu yang lama (hingga 40 kali
plastik murni), stabilitas thermal yang tinggi dan thermal konduktivitas yang rendah.
Dari sifat-sifat diatas, plastik mikroseluler memiliki jangkauan aplikasi yang luas
seperti packaging, isolasi, industri outomotif dan lain-lain.
Proses pemanasan pada plastik diperlukan untuk menurunkan kekakuan dari
rantai polimer sehingga sel-sel dapat tumbuh didalamnya. Struktur sel dalam plastik
dapat dikontrol dengan mengatur temperatur dan waktu pemanasan. Bahan yang
sering digunakan untuk membuat plastik seluler ini antara lain polystyrene,
polyethylene, polypropylene, polyurethane dan phenolic. Densitas sel dari produk
yang dihasilkan ini lebih kecil dari 106 sel/cm3 dan ukuran sel lebih besar dari 100
µm. Fase gas didistribusikan ke dalam ruang kosong atau sel yang berada dalam
sistem plastik. Sel-sel yang berada dalam sistem plastik itu sendiri berdasarkan
sifatnya dibagi menjadi dua. Apabila sel-sel tersebut berhubungan satu dengan yang
lainnya dimana gas dapat lewat dari satu sel ke sel yang lainnya, maka sel tersebut
dikatakan sebagai sel terbuka (open cells). Sedangkan bila sel-sel tersebut terpisah
sehingga fase gas tidak dapat berhubungan dengan fase gas lainnya dalam sel yang
berbeda maka sel tersebut dikatakan sebagai sel tertutup (closed cells). Struktur dari
sel terbuka dan sel tertutup dapat dilihat pada Gambar 2.1 dibawah ini.

(a) (b)

Gambar 2.1. Struktur sel pada plastik berpori, (a) sel terbuka ; (b) sel tertutup
(dikutip dari Training Plastic Technology, Michaeli/ Greif/Kaufmann/Vossebrgürger,
Hanser Publishers).

Proses foaming terjadi pada suhu glass transisi (di atas Tg), dimana pada
daerah itu plastik mulai menunjukkan perubahan struktur ikatannya dari glass
menjadi karet (rubber). Ketika suhu dinaikkan maka plastik akan menunjukkan
perubahan yang jelas, dimana plastik mulai melepaskan sifat-sifat gelasnya dan
mengambil sifat-sifat karet. Blowing agent yang dipergunakan dalam pemrosesan
plastik mikroseluler ini adalah N2 dan CO2, yang tidak berbahaya bagi kesehatan
manusia dan lingkungan. Pemilihan gas ini sebagai blowing agent pada pemrosesan
plastik mikroseluler didasarkan atas difusifitas dan solubilitas gas tersebut dalam
polimer yang akan diproses. Data-data solubilitas dan koefisien difusi dari beberapa
gas tertentu dalam polimer dihitung berdasarkan penelitian yang dilakukan Sato,dkk
[9]. Dalam penelitian tersebut juga disimpulkan bahwa solubilitas karbondioksida
dalam polystyrene, HDPE, dan PP memang lebih rendah daripada solubilitas
fluorocarbon dalam polimer tersebut, tetapi perbedaannya tidak terlalu signifikan.
Sehingga CO2 dan N2 dapat digunakan sebagai blowing agent pengganti
fluorocarbon pada pemrosesan plastik mikroseluler .
Pengembangan plastik didasarkan sifat-sifat fisik yang dimiliki, terutama
morfologi polimer yang sangat penting untuk menentukan sifat dan penggunaannya.
Plastik dibedakan dalam 2 jenis, yaitu plastik amorf dan plastik semikristalin. Secara
umum pembentukan struktur sel pada plastik berkristal lebih sulit dikontrol
dibanding plastik amorf, ketika gas tidak larut dalam daerah berkristal, larutan
polimer–gas yang dibentuk selama pemrosesan plastik mikroseluler tidak seragam.
Model berumbai (fringed micelle) didefinisikan kekristalan dengan istilah daerah-
daerah teratur yang disebut kristalit (crystallite), dimana sembarang rantai polimer
tertentu bisa memanjang melalui sejumlah kristalit, sebagaimana diperlihatkan oleh
Gambar 2.2. Polimer kristal umumnya lebih keras, lebih kuat, lebih keruh (tingkat
kebeningan), lebih tahan terhadap pelarut, dan massa jenisnya lebih tinggi dibanding
polimer amorf.
Sato dkk [9] meneliti pengaruh kelarutan blowing agent CO2 dan N2 dalam
berbagai jenis polimer, yaitu polistiren dan polipropilen. Hasil menunjukkan
kelarutan blowing agent polipropilen lebih besar daripada polistiren. Hal ini
disebabkan struktur rantai kristal polipropilen lebih teratur dan rapat sehingga lebih
banyak gas yang bertahan dalam polimer. Untuk polistiren struktur rantainya amorf,
sehingga gas lebih mudah berdifusi keluar.

daerah
struktur
kristal

daerah
struktur
amorf

Gambar 2.2 Gambar Model berumbai dengan daerah


struktur plastik amorf dan kristal
Gambar 2.3. Kelarutan CO2 dan N2 dalam polipropilen dan polistiren pada berbagai
temperatur penjenuhan

Pengembangan plastik berkristal dilakukan oleh Chul B. Park dkk [8].


Dijelaskan bahwa kelarutan CO2 dalam sampel semikristalin dipengaruhi oleh
struktur kristal dalam polimer. Mereka meneliti pengaruh kristalinitas dan morfologi
tehadap struktur foam yang terbentuk pada plastik polipropilen, polietilen tereptalat
(PET), polibutadien, dan high density polietilen (HDPE). Molekul gas dapat
berdifusi keseluruh bagian polimer amorf. Adanya struktur kristal mermpengaruhi
kelarutan gas dalam polimer seperti ditunjukkan sebagai berikut :

K = K * (1 − X c ) (2.1)

Dimana K* kelarutan gas dalam amorf, Xc derajat kristalinitas.

Baldwin dkk [3], meneliti pemrosesan plastik mikroseluler pada PET amorf
dan PET semikristal dengan CO2 yang dilakukan dibawah temperatur leleh polimer.
Hasil menunjukkan untuk PET semikristal sampai temperatur 100 oC tidak diperoleh
struktur sel. Struktur sel bimodal diperoleh pada temperatur penjenuhan 150 oC atau
lebih. Mereka juga meneliti pengaruh waktu penjenuhan, tekanan penjenuhan, dan
konsentrasi gas CO2 terhadap kristalinitas PET. Pada Gambar 2.4 menunjukkan
bahwa waktu penjenuhan akan meningkat dengan kenaikan kristalinitas PET.
Penelitian ini dilakukan dengan meletakkan sampel dalam tangki penjenuhan,
mengalirkan gas CO2 (98% CO2 murni). Pengatur tekanan pada keadaan konstan
sampai waktu penjenuhan tercapai, sampel dikeluarkan dan dibersihkan. Untuk
pengukuran derajat kristalinitas polimer menggunakan Perkin-Elmer DSC-7.

Gambar 2.4. Pengaruh Waktu penjenuhan terhadap % kristalinitas

Anda mungkin juga menyukai