Anda di halaman 1dari 3

Oct 10, '08 3:55 AM

Kritisi terhadap kritik film Laskar Pelangi..


for everyone

Category: Movies
Genre: Education
Gue lagi sebel aja sama para kritikus film itu, mereka itu holywoodism banget ya.. film sebagus
Laskar pelangi tetap aja dibilang penuh cacatnya. Paling capek lagi kalo ada yang ngebandingin
ama novelnya… tapi memang benar, para kritikus itu memang professional sebagai kritikus,
alias memang Cuma bisa ngritik aja, dan memang benar bahwa kritikus juga engga pernah jadi
film maker dan akhirnya film dan kritik cuma jalan sendiri-sendiri.

Berikut adalah sebuah kritik dari blog dua orang…


Secara umum, film ini cukup mengasikkan dengan beberapa catatan:
1. Penggambaran karakternya kurang mendalam, utamanya pada karakter Mahar yang penuh
dengan nilai seni yang luar biasa. Nilai seninya hanya ditunjukkan dengan radio transistor yang
selalu dia bawa
2. Karakter Lintang pada awal tidak tergambarkan dengan baik sebagai siswa yang cerdas.
Mengapa Bu Mus begitu mudahnya percaya dengan kepintaran Lintang hanya dengan sekali
memberikan pertanyaan matematika ? Padahal, tidak akan sulit apabila ditambahkan 2-3 soal
lagi dengan tingkat kesulitan yang lebih tinggi.
3. Posisi tangan A Ling yang memperlihatkan kukunys sehingga membuat Ikal jatuh cinta malah
dirusak dengan efek glare dan lens yang berlebihan, sehingga keindahan kuku A Ling justru
tertutup.
4. Karakter Flo, sebagai gadis tomboy, amat jelek sekali. Akting yang amat kaku dan tidak
tomboy seperti yang seharusnya
5. Adegan karnaval tidak terlalu “heboh”, padahal pada bukunya, pembaca dapat
menggambarkan dengan jelas “kehebohan” yang terjadi. Hal ini karena pemerannya hanya 10
orang, padahal menurut buku itu dilakukan juga oleh siswa-siswa lain selain 10 orang ini. Efek
buah yang menyebabkan gatal juga tidak tampak sama sekali, hanya muncul dari amukan
Syahdan ke Mahar setelah acara selesai
6. Adegan Tuk Bayan Bula sangat hambar, tidak ada efek mereka susah payah kesana, padahal
disampaikan mereka sampai melawan badai yang amat kuat, lha baju aja masih kering kok.
7. Adegan meninggalnya Pak Harfan yang menyebabkan Bu Mus tidak mengajar selama 5 hari
justru memperlemah karakter Bu Mus yang amat perhatian pada siswanya.
8. Beberapa adegan yang tidak penting justru disampaikan dalam waktu lama (seperti adegan
Mahar menyanyi) dan beberapa adegan yang harusnya diperkuat justru hanya ditampilkan sambil
lalu.
Namun, lumayanlah dibandingkan dengan film-film Indonesia lainnya yang hanya menampilan
horor tak jelas dan humor yang garing.
Silakan pembaca menilai sendiri

Atau kritik yang satu ini

Menyaksikan film Laskar Pelangi, penonton serasa menyaksikan penuturan Riri yang ngos-
ngosan dalam menerjemahkan sebuah novel. Ngos-ngosan ini terlihat dari usaha Riri yang
dengan pasrah meladeni muatan novelnya yang sebenarnya banyak adegan yang sah bila
dihilangkan begitu saja. (walau banyak adegan yang dihilangkan tanpa mengurangi esensi cerita,
seperti mengenai ketakutan Ikal menjadi pegawai kantor pos atau mengenai kelompok mistik
Societeit de Limpai). Mata dan telinga penonton dipaksa ikut ngos-ngosan pada adegan tidak
tercapainya jumlah 10 siswa ketika hari pertama sekolah, pada adegan jatuh cintanya Ikal dengan
Aling, serta kepergian Aling ke Jakarta, adegan Samson yang memberitahu Ikal untuk
membesarkan badannya dengan bola tenis, atau adegan ketika mereka berkunjung ke Tuk Bayan
Tula. Semuanya dipaksakan masuk dalam cerita oleh Riri, tapi seakan-akan dikejar durasi untuk
meringkasnya. Jadi terkesan seperti, “Yah…pokoknya ada adegan itu deh”, namun tanpa
melayani hasrat intimitas penonton pada tiap detil adegan.

Ini fenomena atau memang fakta yang sudah lama ada ya? Mereka cenderung membahas hal
yang negative dahulu di kritik mereka yang porsinya lebih banyak, kemudian dengan kata
sambung “tapi” atau “namun” pada paragraph berikutnya baru diungkapkan yang positifnya,
itupun Cuma satu paragraf. Ini kan engga proporsional. Bahkan gue berani berasumsi bahwa
mereka tidak mendukung kemajuan film Indonesia dengan kritik semacam itu. Ayolah, film kita
sedang bangkit lagi dan lagi nih… kalo film Indonesia yang sampah sih boleh aja dikritik begitu.

film seharusnya menjadi media yang membawa pesan yang dapat ditangkap penontonnya. Untuk
menyampaikan pesan itu diperlukan pengolahan yang tepat dari semua aspek2nya. Gue yakin
film ini sudah melalui proses yang melelahkan itu dengan hasil sangat baik. Mulai dari pemilihan
castingnya, pemilihan cerita yang mau diangkat, property dan setting melayu, itu udah yang
paling top yang Indonesia punya. Gue bilang ini bukan karena ini filmnya Miles, Miles juga
pernah gagal sama produksinya.. gagal dalam arti, pesannya engga begitu nyampe.

Perubahan—perubahan yang dilakukan Riri di film disana sini gue pikir memang disengaja
dengan tujuan disederhanakan sehingga bisa dengan mudah diterima penonton. Seperti hal2 yang
di novel dideskripsikan secara berlebihan dan cenderung tidak bisa diterima akal (Misalnya soal
hitungan untuk lintang pada adegan cerdas cermat, atau alat musik tabla pada adegan karnaval,
hal itu juga dikritik saat novelnya terbit). walaupun kejadiannya benar, namun penerimaan orang
harus dinetralkan sehingga bisa diterima lebih luas selama itu tidak mengubah pesan yang ingin
disampaikan. maka di film itu soal hitungan lebih disederhanakan, tabla tidak digunakan dalam
karnaval dan pada adegan akhir ketika Ikal bertemu lagi dengan Lintang lebih disederhanakan
tanpa menghilangkan esensi dari adegan itu.

Tambahan adegan-adegan yang tidak ada di novel pada film ini adalah untuk menutupi alur yang
datar pada novelnya. Adegan seperti meninggalnya pak Harfan yang menjadi titik kembali
naiknya alur cerita atau adegan Mahar bernyanyi “Bunga Seroja” yang dianggap sebagai lucu-
lucuan atau dagelan saja sebenarnya menjadi penting dalam menggambarkan ciri khas bertutur
ala Andrea yang di dalam novelnya banyak mengundang tawa kita. Selain itu, di novel
sebenarnya memang ada cerita bahwa Mahar bernyanyi, tapi di muka kelas. Mahar membuat
takjub seisi kelas dengan menyanyikan lagu Tennesse Waltz. Adegan itu digantikan dengan
adegan Mahar menyayikan Bunga Seroja pada saat Ikal patah hati, lebih melayu dan merupakan
pilihan yang tepat untuk bangsa kita, bukan? Lagi-lagi lagu Tennesse Waltz mungkin tidak
terlalu logis untuk dinyanyikan dan lagu bunga seroja lebih bisa diterima oleh khalayak.

Ada lagi kritik yang bilang kalo film ini engga focus mau diarahkan ke mana. Menurut gue udah
sesuai dengan novelnya dengan fokusnya penjuangan ibu Mus dan cerita laskar pelanginya.
Deskripsi Ikal, Lintang dan Mahar cudah cukup memadai di film ini. Mengenai A Ling dan
edensornya serta kukunya kalau di gambarkan lebih jauh justru akan memcah focus cerita pada
sekuel pertama ini. Dan karakter flo sudah cukup sebagai karakter pelengkap, memang tak perlu
diceritakan secara lengkap seperti di novel, engga ada pentingnya juga. Posisi Flo sama dengan
anggota laskar lain, diluar 3 anak yang diberi porsi besar, yaitu Ikal, Lintang dan Mahar. Mm..
what d you expect? Kita tahu, tidak mungkin menggambarkan seluruh deskripsi di dalam novel
itu. Durasi akan terlalu panjang dan alur akan hancur dan bisa-bisa membosankan dan kemudian
antiklimaks.

Ayo, dukung dan banggakan produk Indonesia. Cuma itu yang bisa kita lakukan di masa krisis
keuangan global ini…

Anda mungkin juga menyukai