Bahasa dibentuk oleh kaidah aturan serta pola yang tidak boleh dilanggar agar tidak
menyebabkan gangguan pada komunikasi yang terjadi. Kaidah, aturan dan pola-pola yang
dibentuk mencakup tata bunyi, tata bentuk dan tata kalimat. Agar komunikasi yang dilakukan
berjalan lancar dengan baik, penerima dan pengirim bahasa harus harus menguasai bahasanya.
1. Pengertian Bahasa
Menurut Gorys Keraf (1997 : 1), Bahasa adalah alat komunikasi antara anggota
masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Mungkin ada yang
keberatan dengan mengatakan bahwa bahasa bukan satu-satunya alat untuk mengadakan
komunikasi. Mereka menunjukkan bahwa dua orang atau pihak yang mengadakan komunikasi
dengan mempergunakan cara-cara tertentu yang telah disepakati bersama. Lukisan-lukisan, asap
api, bunyi gendang atau tong-tong dan sebagainya. Tetapi mereka itu harus mengakui pula
bahwa bila dibandingkan dengan bahasa, semua alat komunikasi tadi mengandung banyak segi
yang lemah.
Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), bahasa adalah sistem lambang bunyi
yang arbiter, yang dipergunakan oleh sekelompok masyarakat untuk bekerjasama, berinteraksi,
dan mengidentifikasikan diri.
Menurut sumber dari Wilkipedia, bahasa adalah alat atau perwujudan budaya yang
digunakan manusia untuk saling berkomunikasi atau berhubungan, baik lewat tulisan, lisan atau
kemauan kepada lawan bicaranya atau orang lain. Melalui bahasa, manusia dapat menyesuaikan
diri dengan adat istiadat, tingkah laku, tata krama masyarakat, dan sekaligus mudah membaurkan
dirinya dengan segala bentuk masyarakat.
Fodor (1974) mengatakan bahwa bahasa adalah sistem simbol dan tanda. Yang dimaksud
dengan sistem simbol adalah hubungan simbol dengan makna yang bersifat konvensional.
Sedangkan yang dimaksud dengan sistem tanda adalah bahwa hubungan tanda dan makna bukan
konvensional tetapi ditentukan oleh sifat atau ciri tertentu yang dimiliki benda atau situasi yang
dimaksud.
Dari defenisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa bahasa adalah amat untuk
berkomunikasi melalui lisan (bahsa primer) dan tulisan (bahasa sekunder). Berkomunikasi
melalui lisan (dihasilkan oleh alat ucap manusia), yaitu dalam bentuk symbol bunyi, dimana
setiap simbol bunyi memiliki cirri khas tersendiri. Suatu simbol bisa terdengar sama di telinga
kita tapi memiliki makna yang sangat jauh berbeda. Misalnya kata ’sarang’ dalam bahasa Korea
artinya cinta, sedangkan dalam bahasa Indonesia artinya kandang atau tempat. Tulisan adalah
susunan dari simbol (huruf) yang dirangkai menjadi kata bermakna dan dituliskan. Bahasa lisan
lebih ekspresif di mana mimik, intonasi, dan gerakan tubuh dapat bercampur menjadi satu untuk
mendukung komunikasi yang dilakukan. Lidah setajam pisau / silet oleh karena itu sebaiknya
dalam berkata-kata sebaiknya tidak sembarangan dan menghargai serta menghormati lawan
bicara / target komunikasi.
2. Ciri Bahasa
a. Sistematik.
Bahasa itu terbuat dari gabungan fonem atau huruf yang membetuk kata-kata, yang
tersusun dan mempunyai arti, menjadi frasa. Dan jika frasa itu digabungkan dengan
kata lain akan menjadi klausa. Ketika klausa diberi ontonasi atau diikuti klausa lain
maka susunan kata menjadi kalimat.
b. Arbiter.
Arbiter yaitu tidak adanya hubungan antara lambang bunyi dengan bendanya.
Hubungan bahasa dengan kenyataan. Antara bahasa yang satu dengan yang lain,
mempunyai hubungan. Arti yang sama untuk sebuah objek dilambangkan dengan
kata yang berbeda. Misalnya: kata matahari dengan sun.
c. Vokal.
Bahasa didasari oleh bunyi yang dihasilkan oleh suatu alat ucap manusia. Bunyi
tersebut divisualisasikan dalam bentuk tulisan yang disebut huruf, dalam sistem
tulisan gabungan huruf membentuk suku kata dan kata (Wardhaugh, 1970).
d. Bermakna.
Bahasa merupakan alat yang sistematik untuk menyampaikan gagasan dengan
memakai tanda-tanda, bunyi-bunyi, isyarat atau ciri konvensional yang memiliki arti
dan dapat dimengerti (Webster, new collegiate Dictionary 1981).
e. Komunikatif.
Merupakan sistem komunikasi, berinteraksinya pembicara dengan pendengar.
f. Ada di masyarakat.
Bahasa tampil dalam banyak model: idiolek, dialek, dan bahasa itu sendiri. Di
samping itu, ada orang yang dapat menguasai lebih arti satu bahasa.
3. Fungsi Bahasa
Derasnya arus globalisasi di dalam kehidupan kita akan berdampak pula pada
perkembangan dan pertumbuhan bahasa sebagai sarana pendukung pertumbuhan dan
perkembangan budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi. Di dalam era globalisasi itu, bangsa
Indonesia mau tidak mau harus ikut berperan di dalam dunia persaingan di bidang politik,
ekonomi, maupun komunikasi. . Konsep-konsep dan istilah baru di dalam pertumbuhan dan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) secara tidak langsung memperkaya
khasanah bahasa Indonesia.
Menurut Sunaryo (2000 : 6), tanpa adanya bahasa (termasuk bahasa Indonesia) iptek
tidak dapat tumbuh dan berkembang. Selain itu bahasa Indonesia di dalam struktur budaya,
ternyata memiliki kedudukan, fungsi, dan peran ganda, yaitu sebagai akar dan produk budaya
yang sekaligus berfungsi sebagai sarana berfikir dan sarana pendukung pertumbuhan dan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tanpa peran bahasa serupa itu, ilmu
pengetahuan dan teknologi tidak akan dapat berkembang. Implikasinya di dalam pengembangan
daya nalar, menjadikan bahasa sebagai prasarana berfikir modern. Oleh karena itu, jika cermat
dalam menggunakan bahasa, kita akan cermat pula dalam berfikir karena bahasa merupakan
cermin dari daya nalar (pikiran).
Fungsi bahasa dapat dibagi menjadi 2 bagian, yaitu fungsi bahasa secara umum dan
secara khusus
Melalui bahasa kita dapat menyatakan secara terbuka segala sesuatu yang tersirat di
dalam dada dan pikiran kita, sekurang-kurangnya dapat memaklimkan keberadaan kita. Misalnya
seperti seorang penulis buku, mereka akan menuangkan segala sesuatu yang mereka pikirkan ke
dalam sebuah tulisan tanpa memikirkan si pembaca, mereka hanya berfokus pada keinginan
mereka sendiri.
Sebenarnya ada 2 unsur yang mendorong kita untuk mengekspresikan diri, yaitu:
(2) Keinginan untuk membebaskan diri kita dari semua tekanan emosi.
Sebagai alat komunikasi, bahasa merupakan saluran perumusan maksud kita, melahirkan
perasaan kita dan memungkinkan kita menciptakan kerja sama dengan sesama warga. Ia
mengatur berbagai macam aktivitas kemasyarakatan, merencanakan dan mengarahkan masa
depan kita (Gorys Keraf, 1997 : 4). Komunikasi merupakan akibat yang lebih jauh dari ekspresi
diri. Komunikasi tidak akan sempurna bila ekspresi diri kita tidak diterima atau dipahami oleh
orang lain.
Pada saat kita menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi, kita sudah memiliki tujuan
tertentu. Kita ingin dipahami oleh orang lain. Kita ingin menyampaikan gagasan dan pemikiran
yang dapat diterima oleh orang lain. Kita ingin membuat orang lain yakin terhadap pandangan
kita. Kita ingin mempengaruhi orang lain. Lebih jauh lagi, kita ingin orang lain membeli atau
menanggapi hasil pemikiran kita. Jadi, dalam hal ini pembaca atau pendengar atau khalayak
sasaran menjadi perhatian utama kita. Kita menggunakan bahasa dengan memperhatikan
kepentingan dan kebutuhan khalayak sasaran kita.
Pada saat kita menggunakan bahasa untuk berkomunikasi, antara lain kita juga
mempertimbangkan apakah bahasa yang kita gunakan laku untuk dijual. Oleh karena itu,
seringkali kita mendengar istilah “bahasa yang komunikatif”. Misalnya, kata makro hanya
dipahami oleh orang-orang dan tingkat pendidikan tertentu, namun kata besar atau luas lebih
mudah dimengerti oleh masyarakat umum..Dengan kata lain, kata besar atau luas,dianggap lebih
komunikatif karena bersifat lebih umum. Sebaliknya, kata makro akan memberikan nuansa lain
pada bahasa kita, misalnya, nuansa keilmuan, nuansa intelektualitas, atau nuansa tradisional.
Pada saat kita beradaptasi kepada lingkungan sosial tertentu, kita akan memilih bahasa
yang akan kita gunakan bergantung pada situasi dan kondisi yang kita hadapi. Kita akan
menggunakan bahasa yang berbeda pada orang yang berbeda. Kita akan menggunakan bahasa
yang nonstandar di lingkungan teman-teman dan menggunakan bahasa standar pada orang tua
atau orang yang kita hormati.
Dalam mempelajari bahasa asing, kita juga berusaha mempelajari bagaimana cara
menggunakan bahasa tersebut. Misalnya, pada situasi apakah kita akan menggunakan kata
tertentu, kata manakah yang sopan dan tidak sopan. Jangan sampai kita salah menggunakan tata
cara berbahasa dalam budaya bahasa tersebut. Dengan menguasai bahasa suatu bangsa, kita
dengan mudah berbaur dan menyesuaikan diri dengan bangsa tersebut.
Kontrol sosial ini dapat diterapkan pada diri kita sendiri atau kepada masyarakat.
Berbagai penerangan, informasi, maupun pendidikan disampaikan melalui bahasa. Buku-buku
pelajaran, buku-buku instruksi, ceramah agama (dakwah), orasi ilmiah atau politik adalah contoh
penggunaan bahasa sebagai alat kontrol sosial. Selain itu, kita juga sering mengikuti diskusi atau
acara bincang-bincang (talk show) di televisi dan radio, iklan layanan masyarakat atau layanan
sosial merupakan salah satu wujud penerapan bahasa sebagai alat kontrol sosial. Semua itu
merupakan kegiatan berbahasa yang memberikan kepada kita cara untuk memperoleh pandangan
baru, sikap baru, perilaku dan tindakan yang baik. Di samping itu, kita belajar untuk menyimak
dan mendengarkan pandangan orang lain mengenai suatu hal.
Contoh lain yang menggambarkan fungsi bahasa sebagai alat kontrol sosial yang sangat
mudah kita terapkan adalah sebagai alat peredam rasa marah. Menulis merupakan salah satu cara
yang sangat efektif untuk meredakan rasa marah kita. Tuangkanlah rasa dongkol dan marah kita
ke dalam bentuk tulisan. Biasanya, pada akhirnya, rasa marah kita berangsur-angsur menghilang
dan kita dapat melihat persoalan secara lebih jelas dan tenang.
Manusia adalah mahkluk sosial yang tak akan pernah mungkin dapat terlepas dari
hubungan (komunikasi) dengan mahluk sosialnya. Komunikasi yang berlangsung dapat
mempergunakan dialeg resmi (baku) atau dialeg santai (tidak menghiraukan pemakaian bahasa
resmi, biasanya saat berkomunikasi dengan teman).
Bahasa yang dipakai untuk menyampaikan atau mengungkapkan perasaan melalui media
seni, misalnya puisi, syair, prosa,dll. Terkadang bahasa yang dipergunakan merupakan bahasa
yang memiliki makna atau arti denotasi atau memiliki makna yang tersirat. Dalam hal ini, kita
memerlukan pemahaman yang lebih mendalam agar bisa mengetahui apa makna atau apa yang
ingin disampaikan kepada kita.
Dengan kita mempelajari bahasa-bahasa kuno ini, kita akan dapat mengetahui kejadian
atau peristiwa yang sudah di masa lampau, untuk mengantisipasi kejadian yang mungkin atau
dapat terjadi di masa yang akan datang, atau hanya sekedar memenuhi rasa keingintahuan
tentang latar belakang dari suatu hal, misalnya saja untuk mengetahui keberadaan atau asal dari
suatu budaya yang dapat ditelusuri melalui naskah-naskah kuno atau penemuan prasasti-prasasti..
- Mengeksploitasi IPTEK
Dengan jiwa dan sifat keingintahuan yang dimiliki manusia, ditambah dengan akal dan
pikiran yang sudah diberikan Tuhan hanya kepada manusia, maka manusia akan selalu
mengembangkan berbagai hal untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Pengetahuan yang
dimiliki oleh manusia akan selalu akan didokumentasikan supaya manusia lainnya juga dapat
mempergnakannya dan melestarikannya demi kebaikan manusia itu sendiri.
Berbahasa dengan baik dan benar tidak hanya menekankan kebenaran dalam hal tata
bahasa, melainkan juga memperhatikan aspek komunikatif. Bahasa yang komunikatif tidak
selalu hanus merupakan bahasa standar. Sebaliknya, penggunaan bahasa standar tidak selalu
berarti bahwa bahasa itu baik dan benar. Sebaiknya, kita menggunakan ragam bahasa yang serasi
dengan sasarannya dan disamping itu mengikuti kaidah bahasa yang benar (Alwi dkk., 1998: 21)
Penggunaan bahasa dengan baik menekankan pada aspek komunikatif bahasa, sehingga
kita harus memperhatikan sasaran bahasa kita, kepada siapa kita akan menyampaikan bahasa
kita. Untuk itu, unsur-unsur seperti umur, pendidikan, agama, status sosial, lingkungan sosial,
dan sudut pandang khalayak sasaran kita tidak boleh kita abaikan. Akan sangat berbeda cara kita
berbahasa kepada anak kecil dengan cara kita berbahasa kepada orang dewasa. Sudah pasti kita
akan mempergunkan bahasa yang lebih baik dan sopan kepada orang dewasa daripada kepada
anak kecil Penggunaan bahasa untuk lingkungan yang berpendidikan tinggi dengan yang
berpendidikan rendah juga tidak dapat disamakan.
Bahasa yang benar berkaitan dengan aspek kaidah, yakni peraturan bahasa yang terdiri
dari 4 hal, yaitu masalah tata bahasa, pilihan kata, tanda baca, dan ejaan. Pengetahuan atas tata
bahasa dan pilihan kata, harus dimiliki dalam penggunaan bahasa lisan dan tulis. Pengetahuan
atas tanda baca dan ejaan harus dimiliki dalam penggunaan bahasa tulis..
Kriteria yang akan digunakan untuk melihat penggunaan bahasa yang benar adalah
kaidah bahasa. Kaidah ini meliputi aspek, yaitu
(1) Tata bunyi (Fonologi), misalnya kita telah menerima bunyi f, v dan z. Oleh karena
itu, kata-kata yang benar adalah fajar, motif, aktif, variabel, vitamin, devaluasi, zakat, izin, bukan
pajar, motip, aktip, pariabel, pitamin, depaluasi, jakat, ijin. Masalah lafal juga termasuk aspek
tata bumi. Pelafalan yang benar adalah kompleks, transmigrasi, ekspor, bukan komplek,
tranmigrasi, ekspot.
(2) Tata bahasa (kata dan kalimat), misalnya, bentuk kata yang benar adalah ubah,
mencari, terdesak, mengebut, tegakkan, dan pertanggungjawaban, bukan obah, robah, rubah,
nyari, kedesak, ngebut, tegakan dan pertanggung jawaban.
(3) Kosa kata (termasuk istilah), kata-kata seperti bilang, kasih, entar dan udah lebih
baik diganti dengan berkata/mengatakan, memberi, sebentar, dan sudah dalam penggunaan
bahasa yang benar. Dalam hubungannya dengan peristilahan, istilah dampak (impact), bandar
udara, keluaran (output), dan pajak tanah (land tax) dipilih sebagai istilah yang benar daripada
istilah pengaruh, pelabuhan udara, hasil, dan pajak bumi.
(4) Ejaan, penulisan yang benar adalah analisis, sistem, objek, jadwal, kualitas, dan
hierarki
(5) Makna, penggunaan bahasa yang benar bertalian dengan ketepatan menggunakan
kata yang sesuai dengan tuntutan makna. Misalnya, dalam penggunaan bahasa dalam ilmu
pengetahuan tidak tepat menggunakan bahasa konotasi memiliki makna kiasan)
Butir ketiga dianggap sesuatu yang luar biasa., sebab negara-negara lain, khususnya negara
tetangga kita, mencoba untuk membuat hal yang sama selalu mengalami kegagalan yang
dibarengi dengan bentrokan sana-sini. Oleh pemuda kita, kejadian itu dilakukan tanpa hambatan
sedikit pun, sebab semuanya telah mempunyai kebulatan tekad yang sama. Kita patut bersyukur
dan angkat topi kepada mereka.
Kita tahu bahwa saat itu, sebelum tercetusnya Sumpah Pemuda, bahasa Melayu dipakai
sebagai lingua franca di seluruh kawasan tanah air kita. Hal itu terjadi sudah berabad-abad
sebelumnya. Dengan adanya kondisi yang semacam itu, masyarakat kita sama sekali tidak
merasa bahwa bahasa daerahnya disaingi. Di balik itu, mereka telah menyadari bahwa bahasa
daerahnya tidak mungkin dapat dipakai sebagai alat perhubungan antar suku, sebab yang diajak
komunikasi juga mempunyai bahasa daerah tersendiri. Adanya bahasa Melayu yang dipakai
sebagai lingua franca ini pun tidak akan mengurangi fungsi bahasa daerah. Bahasa daerah tetap
dipakai dalam situasi kedaerahan dan tetap berkembang. Kesadaran masyarakat yang semacam
itulah, khusunya pemuda-pemudanya yang mendukung lancarnya inspirasi sakti di atas.
Dengan fungsi ini memungkinkan masyarakat Indonesia yang beragam latar belakang
sosial budaya dan berbeda-beda bahasanya dapat menyatu dan bersatu dalam kebangsaan, cita-
cita, dan rasa nasib yang sama. Dengan bahasa Indonesia, bangsa Indonesia merasa aman dan
serasi hidupnya, sebab mereka tidak merasa bersaing dan tidak merasa lagi ‘dijajah’ oleh
masyarakat suku lain. Apalagi dengan adanya kenyataan bahwa dengan menggunakan bahasa
Indonesia, identitas suku dan nilai-nilai sosial budaya daerah masih tercermin dalam bahasa
daerah masing-masing. Kedudukan dan fungsi bahasa daerah masih tegar dan tidak bergoyah
sedikit pun. Bahkan, bahasa daerah diharapkan dapat memperkaya khazanah bahasa Indonesia.
Secara terperinci perbedaan lapangan atau ranah pemakaian antara kedua bahasa itu
terlihat pada perbandingan berikut ini.
Bahasa Melayu:
a). Bahasa resmi kedua di samping bahasa Belanda, terutama untuk tingkat yang
dianggap rendah.
b). Bahasa yang diajarkan di sekolah-sekolah yang didirikan atau menurut sistem
pemerintah Hindia Belanda.
Bahasa Indonesia:
a). Bahasa yang digunakan dalam gerakan kebangsaan untuk mencapai kemerdekaan
Indonesia.
Hal-hal yang merupakan penentu keberhasilan pemilihan suatu bahasa sebagai bahasa
negara apabila (1) bahasa tersebut dikenal dan dikuasai oleh sebagian besar penduduk negara itu,
(2) secara geografis, bahasa tersebut lebih menyeluruh penyebarannya, dan (3) bahasa tersebut
diterima oleh seluruh penduduk negara itu. Bahasa-bahasa yang terdapat di Malaysia, Singapura,
Filipina, dan India tidak mempunyai ketiga faktor di atas, terutama faktor yang nomor (3).
Masyarakat multilingual yang terdapat di negara itu saling ingin mencalonkan bahasa daerahnya
sebagai bahasa negara. Mereka saling menolak untuk menerima bahasa daerah lain sebagai
bahasa resmi kenegaraan. Tidak demikian halnya dengan negara Indonesia. Ketiga faktor di atas
sudah dimiliki bahasa Indonesia sejak tahun 1928. Bahkan, tidak hanya itu. Sebelumnya bahasa
Indonesia sudah menjalankan tugasnya sebagai bahasa nasional, bahasa pemersatu bangsa
Indonesia. Dengan demikian, hal yang dianggap berat bagi negara-negara lain, bagi kita tidak
merupakan persoalan. Oleh sebab itu, kita patut bersyukur kepada Tuhan atas anugerah besar ini.
Pembuktian bahwa bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi kenegaran ialah digunakannya
bahasa Indonesia dalam naskah proklamasi kemerdekaan RI 1945. Mulai saat itu dipakailah
bahasa Indonesia dalam segala upacara, peristiwa, dan kegiatan kenegaraan baik dalam bentuk
lisan maupun tulis.
Untuk memperlancar hal tesebut maka, materi pelajaran ynag berbentuk media cetak
hendaknya juga berbahasa Indonesia. Hal ini dapat dilakukan dengan menerjemahkan buku-buku
yang berbahasa asing atau menyusunnya sendiri. Apabila hal ini dilakukan, sangatlah membantu
peningkatan perkembangan bahasa Indonesia sebagai bahasa ilmu pengetahuan dan teknolologi
(iptek). Mungkin pada saat mendatang bahasa Indonesia berkembang sebagai bahasa iptek yang
sejajar dengan bahasa Inggris.
(3) Bahasa resmi di dalam perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan
pe-rencanaan dan pelaksanaan pembangunan serta pemerintah
(4) Bahasa resmi di dalam pengembangan kebudayaan dan pemanfaatan ilmu pe-
ngetahuan serta teknologi modern.
Jika kita mendengarkan pidato sambutan Menteri Sosial dalm rangka peringatan Hari
Hak-hak Asasi Manusia dan pidato sambutan Menteri Muda Usaha wanita dalam rangka
peringatan Hari Ibu, misalnya, tentunya kita tidak menjumpai kalimat-kalimat yang semacam ini.
“Sodara-sodara! Ini hari adalah hari yang bersejarah. Sampeyan tentunya udah tau,
bukan? Kalau kagak tau yang kebacut, gitu aja”.
Kalimat tersebut juga tidak pernah kita jumpai pada saat kita membaca surat-surat dinas,
dokumen-dokumen resmi, dan peraturan-peraturan pemerintah.Namun di sisi lain, ketika kita
berkenalan dengan seseorang yang berasal dari daerah atau suku yang berbeda, pernahkah kita
memakai kata-kata seperti ‘kepingin’, ‘paling banter’, ‘kesusu’ dan ‘mblayu’? Jika kita
menginginkan tercapainya tujuan komunikasi, kita tidak akan menggunakan kata-kata ataupun
struktur kalimat yang tidak akan dimengerti oleh lawan bicara kita sebagaimana contoh di atas..
Perbedaan wujud secara khusus antara bahasa Indonesia sebagai bahasa negara/resmi
sebagaimana yang kita dengar dan kita baca pada contoh di atas, dan bahasa Indonesia sebagai
bahasa nasional, sebagaimana yang pernah juga kita lakukan pada saat berkenalan dengan
seeorang lain daerah atau lain suku memang ada, misalnya penggunaan kosakata dan istilah. Hal
ini disebabkan oleh lapangan pembicaraannya berbeda. Dalam lapangan politik diperlukan
kosakata tertentu yang berbeda dengan kosakata yang diperlukan dalam lapangan administrasi.
Begitu juga dalam lapangan ekonomi, sosial, dan yang lain-lain. Akan tetapi, secara umum
terdapat kesamaan. Semuanya menggunakan bahasa yang berciri baku. Dalam lapangan dan
situasi di atas tidak pernah digunakan, misalnya, struktur kata ‘kasih tahu’ (untuk
memberitahukan), ‘bikin bersih’ (untuk membersihkan), ‘dia orang’ (untuk mereka), ‘dia punya
harga’ (untuk harganya), dan kata ‘situ’ (untuk Saudara, Anda, dan sebagainya), ‘kenapa’ (untuk
mengapa), ‘bilang’ (untuk mengatakan), ‘nggak’ (untuk tidak), ‘gini’ (untuk begini), dan kata-
kata lain yang dianggap kurang atau tidak baku.
Secara implisit, perbedaan dilihat dari proses terbentuknya antara kedua kedudukan
bahasa Indonesia, sebagai bahasa negara dan nasional, sebenarnya sudah diuraikan sebelumnya.
Akan tetapi, untuk mempertajam perbadaan latar belakangnya dapat ditelaah hal berikut.
Adanya kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional didorong oleh rasa
persatuan bangsa Indonesia pada waktu itu. Putra-putra Indonesia sadar bahwa persatuan
merupakan sesuatu yang mutlk untuk mewujudkan suatu kekuatan. Semboyan “Bersatu kita
teguh bercerai kta runtuh” benar-benar diresapi oleh mereka. Mereka juga sadar bahwa untuk
mewujudkan persatuan perlu adanya saran yang menunjangnya. Dari sekian sarana penentu,
yang tidak kalah pentingnya adalah sarana komunikasi yang disebut bahasa. Dengan
pertimbangan kesejarahan dan kondisi bahasa Indonesia yang lingua franca itu, maka
ditentukanlah ia sebagai bahasa nasional.
Perbedan fungsi kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dengan fungsi
kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara terlihat juga pada wilayah pemakaian dan
tanggung jawab kita terhadap pemakaian fungsi itu. Kapan bahasa Indonesia sebagai bahasa
negara/resmi dipakai, kiranya sudah kita ketahui.
Yang menjadi masalah kita adalah perbedaan sehubungan dengan tanggung jawab kita
terhadap pemakaian fungsi-fungsi itu. Ketika kita (misalnya, karena kita sebagai bangsa
Indonesia yang hidup di wilayah tanah air Indonesia) menggunakannya sebagai bahasa
negara/resmi, maka Bahasa Indonesia dipakai sebagai alat penghubung antarsuku,. Sehubungan
dengan itu, apabila ada orang yang berbangsa lain yang menetap di wilayah Indonesia dan mahir
berbahasa Indonesia, dia tidak mempunyai tanggung jawab moral untuk menggunakan bahasa
Indonesia sebagai fungsi tersebut.
Lain halnya dengan contoh berikut ini. Walaupun Ton Sin Hwan keturunan Cina, tetapi
karena dia warga negara Indonesia dan secara kebetulan menjabat sebagai Ketua Lembaga
Bantuan Hukum, maka pada saat dia memberikan penataran kepada anggotnyan berkewajiban
moral untuk menggunakan bahasa Indonesia. Tidak perduli apakah dia lancar berbahasa
Indonesia atau tidak. Tidak perduli apakah semua pengikutnya keturunan Cina yang berwarga
negara Indonesia ataukah tidak.
Jadi seseorang menggunakan bahasa Indonesia sebagai penghubung antarsuku, karena dia
berbangsa Indonesia yang menetap di wilayah Indonesia; sedangkan seseorang menggunakan
bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi, karena dia sebagai warga negara Indonesia yang
menjalankan tugas-tugas ‘pembangunan’ Indonesia.