Anda di halaman 1dari 4

Sekelumit catatan (etnografi) mengenai Singkawang

Etnografi merupakan tulisan mengenai sesuatu yang liyan (other), gambaran deskriptif perihal
segala hal yang ada di luar diri (self) etnografer itu sendiri. Segala hal yang digambarkan
sebagai sesuatu yang liyan tersebut identik disebut “budaya” dalam arti yang luas. Berarti
penyajian dalam bentuk tulisan mengenai budaya lain yang ada di sekeliling etnografer yang
sama sekali berbeda dengan budayanya sendiri, atau mungkin juga dia menjadi bagian dari
budaya itu sendiri tapi tidak sepenuhnya (total).

Etnografi merupakan cikal bakal dari ilmu antropologi, yang bersumber dari catatan-catatan
para etnografer mengenai sesuatu yang liyan. Dan etnografer awal yang melahirkan antropologi
ini adalah para kolonial (penjajah) yang dengan catatan-catatan etnografinya menggambarkan
keliyanan yang didapat di tanah koloni tersebut. Para antropolog awal ini membuat catatan-
catatan etnografi setelah mereka “bergaul” dan menjadi bagian dari budaya liyan itu melalui
serangkaian proses observasi partisipatoris.

(Etnografi adalah bagian dari ilmu antropolog yang mempelajari karakteristik orang(group)
lain - hubungan dan perbedaan diantara mereka)

Rivalitas Dua Kubu Pemimpin Rakyat

Sebagai seorang yang belajar menjadi etnografer dan antropolog kencur, saya sungguh takjub
dengan keliyanan (baca: budaya) yang ada di Singkawang sejak awal kedatangan saya di tanah
seribu kelenteng ini. Sebelum saya mulai adaptasi dengan lingkungan fisik Singkawang, saya
sudah dikagetkan dengan polemik di media cetak mengenai “pertengkaran” antara dua kubu
pemimpin rakyat yang mana salah satu pihak menyebut pihak lain tidak selevel dengannya.
Langsung di benak saya terlintas beberapa istilah jelek yang (mungkin) akan terjadi membaca
polemik tersebut; impeachment, mosi tidak percaya, atau persona nongrata terhadap salah satu
pihak. Ternyata polemik tersebut tidak sampai berlarut, dan saya saat itu juga berpikir bahwa
(mungkin) Singkawang masih sangat arif menyikapi “pertengkaran” dua kubu yang
mengatasnamakan rakyat tersebut.(Antara Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Singkawang-
DPRD dengan Wali kota)

Tidak berapa lama berselang, masing-masing kubu kerakyatan ini kembali membuat ulah. Salah
satu pihak mengeluarkan policy – pertama kali sejak menjabat – yang merupakan hak
prerogratifnya dan policy yang dikeluarkan tersebut uniknya setara dengan Perda yang menjadi
kewenangan kubu rivalnya. Saya tidak harus menyebutkan policy tersebut secara mendetail,
yang mana intinya menunjuk salah satu organisasi “ilegal” menjadi aktor penting melaksanakan
salah satu agenda pemerintah namun dengan cara melancangi instansi-instansi pemerintah yang
berwenang. Lantas saya kembali berpikir, apakah organisasi tersebut tidak mempunyai etika
(politik), atau jangan-jangan memang diajari demikian oleh pemberi mandat tersebut? Saya
tidak mau menjawabnya, karena saya tahu jawaban saya sebagian besar selaras dengan
pemikiran kalangan bawah yang selama ini menjadi sumber catatan etnografi saya. Selain itu,
saya sendiri mengetahui kalau kalangan bawah – tidak hanya dari utara – sudah gerah akan
lagak salah satu kubu pemimpin rakyat ini. Seandainya pemimpin rakyat ini mengetahui –
setidaknya menyadari benar-benar – bahwa (Majelis Adat)nya sudah sangat repot untuk
meredam “api dalam sekam” para kalangan bawah akibat dari lagak politiknya yang sungguh
kekanak-kanakan tersebut. Sebaiknya pihak pemimpin rakyat yang satu ini segera tahu diri,
sehingga kursi gading yang sedang nyaman didudukinya tidak segera retak dan
menyebabkannya terjungkal. Mempermainkan adat akan sangat kualat akibatnya. (baca
artikel SK Walikota Singkawang no.138 )

Berbeda dengan rivalnya tersebut di atas, kubu rakyat satunya juga seolah tidak mau kalah
untuk berulah. Ulah salah satu kubu ini terbukti “lucu” namun sungguh konyol. Disebutkan dua
event nasional yang seharusnya menggugah nasionalisme dibuat lawakan sedemikian rupa
dengan tidak dihadiri satu pun anggota kubu rakyat ini. Heroiknya, rivalnya malah tampak
menghadiri event tersebut meskipun hanya sebatas formalitas semata. Kalau mau
membandingkan tingkat rasa nasionalisme – sebagaimana juga diumbarkan oleh salah satu
kubu – maka drama dagelan politik tersebut dengan mudah diketahui lakon yang menjadi
pemenangnya. Andai saya dapat bertemu dengan beberapa anggota salah satu kubu –
sebagaimana biasanya di warkop – maka sungguh seru mengetahui tanggapan dan alasannya
mengenai ulah tersebut. Kita akan tunggu mungkin tidak lama lagi ada yang legawa komentar
sekaligus mungkin “meminta maaf” atas ulah tersebut.(Event yang hanya dipaksakan,tidak ada
manfaatnya.Tidak bisa mengubah kehidupan masayarkat Singkawang yang lebih baik)

Kita akan mengetahui bagaimana tensi rivalitas antara dua kubu pemimpin rakyat ini pada 2009
nanti setelah terpilihnya para anggota baru salah satu kubu pemimpin rakyat, yang kita harap
mudah-mudahan akan selevel dengan kubu pemimpin rakyat satunya. Kalau tidak selevel lagi
pasti akan sangat mudah digoyang ke sana kemari, sehingga akan mudah menimbulkan ulah
konyol lainnya, dan tentu saja tidak bisa melaksanakan amanat rakyat yang dipimpinnya.
Sekarang pun kita masih harus tetap optimis dengan kinerja kubu pemimpin rakyat ini
menjelang berakhirnya tugas, mudah-mudahan akan ada kebijakan “spektakuler” yang populis.
Kita tunggu.(Baca artikel Wawancara dengan Bapak Janudin Fam,nasib wako kita.Juga
baca artikel Level)

Menuju Singkawang Spektakuler?

Festival Singkawang yang ditengarai sukses sudah berakhir. Saya akan mengurai
sebagian cerita – kembali dari kalangan bawah – mengenai festival Singkawang tersebut.
Kecewa bercampur heran, adalah kata yang tepat untuk menggambarkan event tersebut.
Bagaimana tidak, orang Singkawang sendiri tidak sedikit yang tidak mengetahui keberadaan
“gawe” ini, dan ternyata memang salah satu media nasional juga meliput betapa kurang
promosinya event tersebut, sehingga keheranan saya pun terjawab.

Potensi (budaya) lokal yang ada di Singkawang sungguh tidak muncul dalam “gawe”
yang mengatasnamakan kebudayaan tersebut. Sesungguhnya saya berharap akan disuguhi
pagelaran permainan hian, wayang gantung, musik kesong-kesong hingga Tanjidor oleh
mayoritas orang orang lokal Singkawang – tanpa membedakan etnik tertentu – bukan
performance “maksa” sedemikian rupa yang tidak mempunyai (kelihatan) bau khas
Singkawang. Kebudayaan yang digembor-gemborkan mana? Singkawang itu sendiri tidak
muncul, apakah dalam tarian NKRI yang “dipaksakan” merepresentasikan wajah Singkawang
itu sendiri? Masyarakat kalangan bawah dengan tegas menggelengkan kepala, sekaligus
menunjukkan mimik tidak puas sedemikian rupa. Mudah-mudahan penyelenggara tidak
selamanya bersembunyi dibalik alasan klise teknis ataupun proyek awal.

Polemik di Singkawang tampaknya memang tidak akan pernah habis. Selesai (baca: mereda)
satu polemik maka muncul polemik yang lain, atau bahkan memicu polemik baru lagi. Belum
sampai teredam emosi arus bawah sudah mulai disuguhi dengan polemik baru. Kali ini polemik
terkait dengan salah satu identitas suatu kelompok etnik mayoritas Singkawang yang akan
dibangun di salah satu perempatan pusat kota. Kembali saya hanya memaparkan “riak-riak”
dari kalangan bawah terkait upaya pembangunan “ikon” etnik tertentu tersebut. Kalangan
bawah ternyata sangat tanggap, entah dari kelompok etnik tertentu ataupun dari kelompok etnik
yang diwakili oleh ikon tersebut. Kalangan bawah ini menakutkan akan terpicunya konflik yang
tidak diinginkan di tanah multietnik ini.

Dicurigai kerukunan yang sudah terjalin baik antar semua etnik di Singkawang akan dapat
rusak dengan pembangunan ikon etnik tersebut. Apakah keinginan menjadikan Singkawang
menjadi spektakuler harus dibayar dengan konflik etnik (baca: SARA) yang bisa saja meletus
suatu saat. Disamping itu juga, sebagaimana mitologi dan kepercayaan etnik yang “memiliki”
ikon itu, pembuatan ikon yang menjadi salah satu hewan suci tersebut tidak bisa sembarangan
tempat. Bisa-bisa menimbulkan malapetaka bagi kota Singkawang. Sebagaimana pada beberapa
waktu lampau pernah terjadi bencana banjir, dan juga kematian yang dikarenakan tidak
“menghormati” kesakralan hewan suci serupa dengan yang akan dibangun tersebut. Masyarakat
Singkawang masih menunggu akan dibuat bagaimana kepala hewan sakral itu. Seperti sebut
saja arah kepalanya akan kemana, apakah berani dan sanggup orang-orang yang tinggal sekitar
perempatan tersebut dengan kepala hewan khayangan menghadap ke arah mereka? Atau apakah
ada pihak yang berani bertanggung jawab akan (kemungkinan) resiko buruk akibat
pembangunan ikon mistis tersebut? Apakah cuaca buruk akhir-akhir ini menjadi pertanda?
Saya bukan bermaksud menyajikan takhayul atau semacamnya, namun sesungguhnya hal
seperti ini secara jujur sudah diprediksi oleh banyak pihak. Mistis dan spiritual seperti ini
sangat umum di masyarakat kita, pun dipraktikkan dalam keseharian. Menurut saya hal-hal
lumrah dalam keseharian kita ini sudah selayaknya tidak menafikan fakta-fakta bahwa sebagian
besar kita memang masih mempercayainya. Kepercayaan seperti ini pun sudah selayaknya
dihormati. Kearifan lokal (local wisdom) Singkawang ini setidaknya harus diindahkan oleh
salah satu kubu pemimpin rakyat yang berkeinginan menjadikan Singkawang menjadi (Kota)
Spektakuler. (Entah apa gunanya patung naga untuk masyarakat Singkawang? Yang jelas,
patung itu bukan proyek komunitas Tionghoa Singkawang.Hanya kemauan Pak Bong Li Thiam
dan mendesak Pak wako kita untuk menuruti kemauannya .Jika kelak diSingkawang terjadi
sesuatu,orang tersebut harus diminta bertanggungjawabannya karena mendanai sesuatu
proyek(kejahatan)yang dapat mengancam keselamatan masyarakat Singkawang .Menurut
sumber informasi yang dapat dipercaya bahwa MABT Singkawang tidak memberi dukungan
pembangunan patung naga tersebut.Karena proyek tersebut bukan atas kemauan komunitas
Tionghoa Singkawang. Baik Pemkot(Pak Hasan Karman) maupun Pak Bong Li Thiam tidak
pernah "berkonsultasi "dengan pihak MABT sebagai wadah resmi menangani masalah budaya
komunitas Tionghoa di Singkawang dalam hal ini(pembangunan patung naga). Kita tidak tahu
pasti kelak siapa yang akan menjabat wako sesudah Pak Hasan Karman.Wako yang akan
datang juga boleh membangun patung bersimbol(ikon) agama tertentu juga.Kota Singkawang
bukan hanya kota penuh dengan sarang walet tetapi juga penuh dengan simbol-simbol
agama,kota yang sakit?)

Sedikit berkaca pada konflik-konflik yang terjadi di berbagai daerah lain, sebut saja konflik
SARA di Ambon (sebenarnya) bermula dari munculnya tulisan, spanduk, simbol atau lambang
yang “mengagungkan” suatu kelompok tertentu. Sekali ada trigger maka konflik dengan sangat
cepat meluas membakar Ambon yang pada awalnya adem ayem tersebut. Seharusnya ini yang
harus dipikirkan dengan arif oleh para pemrakarsa Singkawang Spektakuler. Pertanyaannya,
Singkawang sudah siap belum akan terjadinya konflik? Tentu saja masyarakat bawah tidak mau
ada konflik di Singkawang.

Polemik ini akan semakin hangat, menjadi satu hidangan para penikmat kopi di warkop-warkop
yang banyak bertebaran di Kota Singkawang. Sebagaimana ungkapan salah seorang yang
sungguh mencintai Singkawang, “Masyarakat Singkawang sangat pandai berpolitik, sedikit isu
atau wacana tertentu muncul di media langsung ditanggapi berbeda-beda. Baru tahu rasa orang
yang pernah bilang sangat mengerti karakter masyarakat Singkawang. Dia sekarang dibuat
mabok oleh masyarakat yang diyakini sangat dikenal karakternya.” Demikian segelintir
komentar disela-sela menyeruput kopi saat saya berada diantara orang-orang yang sepanjang
malam selalu “menjaga” ketenangan Singkawang.(Itu memang keistimewaan orang
Singkawang, mulutnya lebih cepat berkerja daripada otaknya)

Sebagai seorang partisipan observer, local knowledge seperti di atas sangat berguna dalam jagat
antropologi. Hendaknya local knowledge yang sangat banyak di Singkawang – dari semua etnik
yang ada – selalu diindahkan dan tidak ada salahnya untuk diketahui dan kemudian dihormati
oleh semua pihak, khususnya yang “ngebet” menjadikan Singkawang menjadi bombastis
dengan mengatasnamakan (kebudayaan) namun sebenarnya “cetek” pengetahuan akan budaya-
budaya yang ada di Singkawang. Menutup tulisan ini, saya selalu terngiang wejangan seorang
guru (sepuh) Singkawang – meskipun dia bukan asli Singkawang – yang selalu menasehati
muridnya yang asli Singkawang, “ jangan arogan!”

A Fian. Tinggal di Kuala

Anda mungkin juga menyukai