Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Merokok merupakan masalah yang serius karena pengaruhnya pada berbagai aspek, yaitu aspek
kesehatan, aspek ekonomi, aspek sosial. Ditinjau dari sisi kesehatan, kebiasan merokok telah
terbukti berhubungan dengan sedikitnya 25 jenis penyakit dari berbagai alat tubuh manusia,
seperti kanker paru, bronkitis kronik, emfisema dan berbagai penyakit paru lainnya (Aditama,
1997).
Estimasi biaya yang hilang akibat konsumsi tembakau adalah Rp167,1 triliun. Jumlah tersebut
5,1 kali lipat pemasukan cukai rokok sendiri yang hanya sebesar Rp32,6 triliun pada tahun 2005.
Belanja rokok rumah tangga perokok di Indonesia menempati urutan nomor 2 (10,4%) setelah
makanan pokok padi-padian (11,3%), sementara pengeluaran untuk daging, telur dan susu
besarnya rata-rata hanya 2%. Belanja rokok juga tercatat lebih dari 3 kali pengeluaran untuk
pendidikan (3,2%) dan hampir 4 kali lipat pengeluaran untuk kesehatan (2,7%).
Ironisnya, perilaku merokok justru didominasi oleh keluarga miskin. Dua belas juta ayah dari 19
juta keluarga miskin adalah perokok dengan asumsi rata-rata merokok sebanyak 10 batang setiap
harinya (Republika, Rabu 21 November 2007). Selain itu, Susenas tahun 1995, 2001, dan 2004
menunjukkan proporsi pengeluaran rokok masyarakat termiskin (K1), lebih tinggi dibandingkan
dengan masyarakat terkaya (K5). Perbandingan pengeluaran rokok K1 dan K5, tahun 1995
adalah (6,1 : 4,9), tahun 2001 adalah (9,1 : 7,5), dan tahun 2004 adalah (10,9 : 9,7).
Di belahan dunia lain setali tiga uang. Pria pada rumah tangga miskin dengan pendidikan lebih
rendah di Chicago merupakan perokok (Dell dkk, 2005). WHO juga melaporkan, bahwa jumlah
perokok paling banyak berasal dari kalangan masyarakat miskin. Di Madras, India mayoritas
perokok justru dari kelompok masyarakat buta huruf. Hasil riset lainnya di berbagai negara
membuktikan hal yang serupa, bahwa rokok lebih banyak dikonsumsi oleh kelompok masyarakat
termiskin.
Kelompok masyarakat dengan sosial ekonomi rendah yang patut mendapat perhatian dalam
bidang kesehatan adalah pekerja sektor informal. Diperkirakan saat ini jumlah pekerja sektor
informal besarnya sekitar 64 % dari angkatan kerja. Salah satu pekerja sektor informal yang saat
ini menjadi alternatif pilihan masyarakat dalam mencari nafkah adalah tukang ojek.
Hasil penelitian pendahuluan terhadap 108 tukang ojek yang dilakukan di Jakarta, Bekasi dan
Depok tahun 2006 menunjukkan bahwa 85 % tukang ojek adalah perokok, 20 % lebih tinggi
dibanding prevalensi merokok laki-laki dewasa nasional tahun 2004 (Susenas, 2004). Rata-rata
jumlah rokok yang diisap tukang ojek adalah 11 batang rokok perhari, dengan rata-rata
pengeluaran untuk rokok perhari mencapai Rp7.500.
Masalah kesehatan yang dihadapi oleh tukang ojek pun tidak kalah pelik, 85% pernah
mengalami kesulitan uang untuk berobat. Mereka mencari uang untuk berobat dengan cara
meminjam (39%), meminta bantuan saudaranya (37%), menjual barang/harta (17%), dan minta
kartu SKTM (7%). Hampir semua tukang ojek merasa khawatir bila suatu saat mereka sakit.
Sebagian besar dari mereka juga khawatir tidak punya uang dan tidak bisa mencari nafkah.
Perkiraan rata-rata kehilangan pendapatan selama sakit kurang lebih Rp83.000.
Berdasarkan hal tersebut di atas, dalam penelitian ini dikembangkan intervensi promosi
kesehatan berupa promosi berhenti merokok melalui pendekatan ekonomi yang berorientasi
kepada sasaran yang spesifik tukang ojek dan upaya menciptakan lingkungan yang kondusif
untuk tidak merokok. Penelitian ini dilakukan untuk menilai pengaruh promosi kesehatan
terhadap perilaku merokok dan pengeluaran biaya rokok tukang ojek.
Dapat dijelaskan bahwa ada hubungan timbal balik antara faktor individu, faktor lingkungan dan
faktor perilaku merokok. Semakin positif faktor individu dalam memahami masalah merokok
maka individu tersebut tidak akan merokok demikian sebaliknya. Semakin positif faktor
lingkungan dalam menciptakan lingkungan yang kondusif untuk tidak merokok, maka perilaku
merokok tidak akan terjadi demikian juga sebaliknya. Di sisi yang lain terjadi juga hubungan
timbal balik antara faktor individu dengan lingkungan yang dapat mempengaruhi perilaku
merokok. Intervensi promosi kesehatan diharapkan dapat mengubah faktor individu dan
lingkungan menjadi kondusif dalam menciptakan perilaku tidak merokok.
Penelitian dilakukan pada tukang ojek yang merokok dan mempunyai organisasi di wilayah
kampus UI Depok sebagai kelompok intervensi dan Cijantung Jakarta Timur sebagai kelompok
kontrol. Informasi awal tukang ojek yang merokok diperoleh dari pengelola tukang ojek disetiap
pangkalan. Selanjutnya dipilih sampel secara proporsional sampling pada setiap pangkalan ojek
sampai diperoleh sebanyak 160 responden pada masing-masing kelompok.
Promosi Kesehatan
Upaya promosi kesehatan yang dikembangkan adalah promosi berhenti merokok melalui
pendekatan ekonomi berorientasi sasaran dan upaya menciptakan lingkungan yang kondusif
untuk tidak merokok. Peningkatan pengetahuan dilakukan melalui penyuluhan dan
penyebarluasan media cetak kepada tukang ojek. Sedangkan pengembangan lingkungan yang
kondusif untuk tidak merokok dilakukan melalui pemasangan media cetak di sekitar pangkalan
dan pertemuan dengan pengelola tukang ojek. Secara rinci pelaksanaan intervensi adalah sebagai
berikut:
Mengubah perilaku masyarakat untuk berhenti merokok memang tidak mudah karena merokok
sudah menjadi kebiasaan umum di beberapa kelompok masyarakat, termasuk tukang ojek.
Untungnya, masih ada sikap positif masyarakat terhadap perilaku merokok. Semua responden
dalam penelitian kualitatif setuju bila pengeluaran rokok dapat dialihkan untuk kebutuhan pokok
rumah tangga lainnya. Caranya bervariasi, yaitu secara bertahap mengurangi jumlah rokok, dan
perlu niat berhenti yang tinggi.
Dalam penelitian ini dikembangkan juga beberapa media cetak promosi kesehatan, baik berupa
poster dan selebaran. Media tersebut dikembangkan dengan cara memproduksi media yang
sudah ada dan memproduksi baru. Dalam penelitian ini juga dilakukan penilaian terhadap 5
(lima) jenis media cetak produksi baru berupa poster. Penilaian dilakukan untuk melihat sejauh
mana media tersebut menarik, informatif, memotivasi, komunikatif, dan efektif bagi sasaran.
Penilaian dilakukan secara kualitatif melalui diskusi kelompok terarah.