Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia secara geografis terletak antara tiga lempeng yang saling
bertumbukkan. Lempeng Samudra Hindia-Australia bergerak relatif ke arah utara
menyusup ke bawah Lempeng Benua Eurasia yang relatif diam di sebelah utaranya
menghasilkan zona subduksi di sebelah barat Pulau Sumatera sampai di sebelah
selatan Pulau Jawa dan Kepulauan Nusa Tenggara. Selain itu, gerakan lempeng
Samudra Hindia-Australia ke arah utara di Pulau Papua bertumbukan dengan lempeng
Samudra Pasifik dan membentuk zona obduksi di tengah Pulau Papua Pasifik.
Gerakan Lempeng Samudra Pasifik yang relatif diam dan membentuk zona subduksi
di sekitar Kepulauan Maluku dan Pulau Sulawesi bagian utara.
Pertemuan tiga lempeng besar di Indonesia menyebabkan banyaknya kejadian
gempabumi tektonik yang terjadi di dasar laut. Gempabumi tektonik di sekitar zona
subduksi yang disertai dengan deformasi lempeng di bawah permukaan laut dapat
menyebabkan terjadinya tsunami. Tsunami adalah istilah yang digunakan untuk
menggambarkan gelombang lautan yang sangat besar yang dihasilkan oleh perubahan
vertikal massa air dan juga dikaitkan oleh massa air di laut yang terjadi secara tiba-
tiba (Dewi dan Dulbahri, 2009).
Kejadian tsunami di Indonesia sangat dipengaruhi oleh adanya gempabumi.
Latief dkk (2000, dalam Dewi dan Dulbahri, 2009) menjelaskan bahwa kejadian
tsunami di Indonesia 90,5% terjadi akibat gempabumi, 8,6% oleh erupsi gunungapi
dan 1% diakibatkan oleh adanya longsor tanah. National Geophysical Data Centre
(2005) menyatakan bahwa kejadian tsunami dari 2000 tahun sebelum masehi sampai
Tahun 2005 di Indonesia adalah sebanyak 253 kejadian. Jumlah kejadian tsunami ini
adalah terbanyak ketiga di dunia setelah Jepang (443 kejadian) dan Amerika Serikat
(287 kejadian), namun demikian jumlah korban jiwa akibat tsunami di Indonesia
adalah yang paling besar di seluruh dunia.
Pantai selatan Jawa yang berhadapan dengan zona subduksi akibat tumbukan
Lempeng Samudra Hindia-Australia yang bergerak relatif ke arah utara menyusup ke
bawah Lempeng Benua Eurasia yang relatif diam. Hal tersebut menyebabkan wilayah
pantai selatan Jawa rawan menjadi salah satu wilayah di Indonesia yang banyak
mengalami tsunami. National Geophysical Data Centre (2005) menyatakan bahwa
dalam kurun waktu dari 2000 tahun sebelum masehi sampai Tahun 2005 terjadi 32
kejadian tsunami di Pantai Selatan Jawa. Surat Kabar harian Kompas edisi Tanggal 1
Januari 2005 menyebutkan bahwa dalam kurun waktu antara Tahun 1629 sampai
dengan Tahun 2004 telah terjadi 8 kali kejadian tsunami di Pantai Selatan jawa, yakni
pada tahun; 1818, 1840, 1859, 1904, 1921, 1925, 1957, dan 1994.
Berdasarkan data tentang kejadian tsunami yang telah disebutkan di atas,
maka berarti bahwa Teluk Sadeng, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta yang
terletak di Pantai Selatan Jawa tentunya merupakan wilayah yang rawan terhadap
bencana tsunami. Teluk Sadeng adalah bekas muara Sungai Bengawan Solo Purba
yang berbentuk lembah yang panjang dan relatif datar. Lembah ini sekarang
digunakan sebagai permukiman nelayan, tempat pelelangan ikan dan pelabuhan ikan.
Hal ini berarti bahwa elemen risiko bencana tsunami cukup banyak. Oleh karena itu,
maka diperlukan suatu penelitian tentang risiko bencana tsunami menjadi sangat
penting dilakukan di Teluk Sadeng berkaitan dengan upaya mitigasi dan reduksi
risiko bencana tsunami yang mungkin terjadi. Salah satu upaya mitigasi dan reduksi
bencana yang dapat dilakukan adalah dengan membuat peta bahaya, kerentanan dan
peta risiko bencana. Beradasarkan beberapa hal tersebut, maka kemudian disusun
suatu penelitian dengan judul “Pemetaan Rsisiko Bencana Tsunami dengan
Menggunakan Sistem Informasi Geografis: Studi Kasus di Teluk Sadeng,
Kabupaten Gunungkidul, D.I. Yogyakarta.”

B. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk:
1. Mengetahui sebaran secara spasial bahaya (hazard) bencana tsunami yang
terdapat di Teluk Sadeng.
2. Mengetahui sebaran secara spasial kerentanan (vulnerability) bencana tsunami
yang terdapat di Teluk Sadeng.
3. Mengetahui sebaran secara spasial risiko (risk) bencana tsunami yang terdapat
di Teluk Sadeng.
C. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini diantaranya adalah untuk:
1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi suatu referensi terkait
kajian pemetaan bahaya (hazard), kerentanan (vulnerability), dan risiko (risk)
bencana tsunami dengan menggunakan system informasi geografi.
2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan masukan bagi
pemerintah, masyarakat dan stakeholder lain yang terkait, sehubungan dengan
upaya mitigasi dan reduksi risiko bencana tsunami di Teluk Sadeng,
Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta.

D. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimanakah sebaran secara spasial bahaya (hazard) bencana tsunami yang
terdapat di Teluk Sadeng?
2. Bagaimanakah sebaran secara spasial kerentanan (vulnerability) bencana
tsunami yang terdapat di Teluk Sadeng?
3. Bagaimanakah sebaran secara spasial risiko (risk) bencana tsunami yang
terdapat di Teluk Sadeng?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Kebencanaan
Terdapat beberapa konsep dalam kegiatan penanggulangan bencana, antara lain
konsep mengenai bencana, risiko bencana, bahaya, serta kerentanan bencana.
Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia No 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana, bencana didefinisikan sebagai peristiwa atau rangkaian
peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat
yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor
manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan
lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Kejadian bencana secara
umum dapat dikategorikan dalam 3 jenis, yaitu:
1. Bencana Alam
Bencana alam adalah bencana yang dihasilkuan oleh proses alam, misal
gempa bumi, banjir, sunami, gunung meletus, kekeringan, angin topan, dan
tanah longsor.
2. Bencana Nonalam
Bencana nonalam merupakan bencana yang diakibatkan oleh peristiwa
ataupun rangkaian peristiwa nonalam, misal berupa gagal teknologi,
epidemi, dan wabah penyakit.
3. Bencana Sosial
Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa ataupun
rangkaian peristiwa yang berasal dari aktivitas manusia, misal konflik antar
kelompok atau antar komunitas, serta kejadian terorisme.

Risiko bencana didefinisikan sebagai potensi kerugian baik berupa kematian,


luka, jiwa terancam, kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan
ekonomi/kemasyarakatan yang ditimbulkan akibat bencana (Cardona, 2003). Risiko
bencana merupakan produk dari tiga komponen bencana yang meliputi elemen risiko
(element at risk), kerentanan (vulnerability), dan bahaya (hazard). Elemen risiko
merupakan elemen-elemen yang terkena dampak dari becana, misal berupa penduduk
ataupun infrastruktur bangunan. Bahaya didefinisikan sebagai suatu fenomena alam
atau buatan yang mempunyai potensi mengancam kehidupan manusia, kerugian harta
benda, dan kerusakan lingkungan. Sebagai contoh berupa letusan gunung api, gempa
bumi, tsunami, longsor, dan angin topan. Kerentanan didefinsikan sebagai suatu
kondisi masyarakat, komunitas, dan atau individu yang menyebabkan
ketidakmampuan dalam menghadapi bencana (UN/ISDR, 2004). Kerentanan
merupakan tingkat dari kerusakan yang diperkirakan dari satu bahaya khusus (Coburn
et al, 1994). Misalnya apabila dibandingkan rumah yang terbuat dari bambu dan
jerami kering yang mudah roboh tertiup angin dengan rumah yang terbuat dari batu
bata, maka rumah yang terbuat dari bambu dan jerami akan memiliki tingkat
kerentanan yang lebih tinggi karena diperkirakan akan memiliki tingkat kerusakan
yang lebih tinggi dibandingkan rumah yang terbuat dari tembok. ADPC (2004)
menyebutkan bahwa kerentanan dapat dibagi menjadi 4, yaitu:
1. Kerentanan Fisik
Kerentanan fisik merupakan kerentanan yang berkaitan oleh karakteristik
bangunan dan infrastruktur pada suatu daerah, misal umur bangunan,
material bangunan, dan konstruksi bangunan.
2. Kerentanan Sosial
Kerentanan sosial merupakan kerentanan yang berkaitan dengan kondisi
sosial dari masyarakat, misal umur, jenis kelamin, dan tingkat pendidikan.
3. Kerentanan Ekonomi
Kerentanan ekonomi berkaitan dengan kondisi perekonomian masing-
masing rumah tangga yang menempati suatu daerah tertentu, misal berupa
pekerjaan, pendapatan, dan tabungan.
4. Kerentanan Lingkungan
Kerentanan lingkungan berkaitan dengan mudah tidaknya kerusakan terjadi
pada sumberdaya air, lahan, udara, flora, fauna, dan komponen lingkungan
lainnya.

B. Konsep Sistem Informasi Geografis


Kemp (2008) mendefinisikan Sistem Informasi Geografis (SIG) sebagai suatu
sistem yang meliputi tiga komponen utama yang terdiri dari:
1. GIS Software, merupakan suatu perangkat lunak yang digunakan untuk
melakukan sekumpulan fungsi analisis spasial.
2. GIS Community, merupakan kelompok atau individu yang menggunakan
perangkat lunak untuk berbagai tujuan.
3. Geographic Information Science, merupakan aktivitas pemanfaatan SIG
untuk menyelesaikan permasalahan ataupun kemajuan ilmu pengetahuan.

SIG merupakan suatu sistem yang memungkinkan penggunanya


menginventarisasi fenomena-fenomena geografis yang ada di permukaan bumi baik
berupa hal yang bersifat fisik kebendaan ataupun berupa aktivitas manusia, serta
menunjukan kapan hal tersebut terjadi. SIG juga dapat digunakan dalam menganalisis
fenomena-fenomena yang terjadi dalam berbagai skala keruangan mulai dari tingkat
lokal hingga global. Seluruh informasi yang tersimpan dalam SIG direpresentasikan
dalam bentuk digital, yang merupakan penyederhanaan dari kondisi sebenarnya dari
fenomena yang terjadi di permukaan bumi yang bersifat sangat kompleks. Secara
ringkas, SIG memungkinkan penggunanya untuk menyimpan dan mengorganisasikan
informasi mengenai fenomena-fenomena geografis yang terjadi pada permukaan
bumi, mengakses dan menampilkan kembali informasi tersebut, serta memanipulasi
dan mensintesakan data spasial, serta membangun model untuk meningkatkan
pemahaman mengenai proses yang terjadi di dalamnya.

C. Konsep Pemetaan Bencana


Peta dapat didefinisikan sebagai representasi grafis dari dunia nyata (real world)
dari suatu ruang (space). Dalam konteks pemetaan, ruang (space) adalah permukaan
bumi yang terdiri dari komponen wilayah dan obyek-obyek yang berada di atas, pada
atau di bawah permukaan bumi. Definisi peta menurut ICA (International
Cartographic Asociation) adalah suatu representasi/gambaran unsur-unsur atau
kenampakan-kenampakan abstrak, yang dipilih dari permukaan bumi, atau yang ada
kaitannya dengan permukaan bumi atau benda-benda angkasa, dan umumnya
digambarkan pada suatu bidang datar dan diperkecil/diskalakan (ICA, 1973 dalam
Sukwardjono dan Sukoco, 1997).
Suatu peta tidak hanya dapat menyajikan fenomena geografis yang diperkecil
saja, tetapi dapat berfungsi lebih dari itu. Apabila suatu peta dibuat dan didesain
dengan baik maka peta dapat menjadi alat yang baik untuk kepentingan melaporkan,
memperagakan, menganalisis dan secara umum untuk pemahaman hubungan obyek
secara keruangan (spatial relationship). Oleh karena itu peta memiliki peranan
penting dalam berbagai bidang seperti dalam hal perencanaan, pendidikan,
pemerintahan dan lain sebagainya.
Peta digambarkan mengunakan simbol-simbol dua dimensi untuk
mencerminkan fenomena geografis atau dengan suatu cara yang sistematis. Peta
merupakan suatu media komunikasi grafis yang memiliki jaringan komunikasi seperti
halnya alat komunikasi lainnya. Sistem komunikasi memiliki jaringan sederhana yang
terdiri dari sumber informasi, penyalur informasi dan penerima informasi. Dalam
sistem komunikasi peta yang berperan sebagai sumber adalah dunia nyata atau
fenomena geografis, penyalur informasi adalah peta itu sendiri dan penerima
informasi adalah pembaca peta.
Pemetaan adalah sebuah proses kegiatan yang menghasilkan peta sebagai
output. Tahap-tahap pemetaan terdiri dari tahap akuisisi (pengumpulan data), tahap
manipulasi dan pengolahan data serta tahap representasi data dan informasi.
Pengumpulan data dapat dilakukan dengan survey lapangan. Pada dasarnya metode
pemetaan terdiri dari tiga metode yaitu metode terestris, fotogrametris dan
penginderaan jauh. Setiap metode pada prinsipnya akan memerlukan titik kontrol
(horizontal dan vertikal) dan koordinat titik-titik obyek relative terhadap titik kontrol.
Peta berdasarkan isinya dapat dibagi menjadi dua yaitu peta umum dan peta
tematik. Peta umum adalah peta yang menggambarkan permukaan bumi secara
umum. Peta umum ini memuat semua penampakan yang terdapat di suatu daerah,
baik kenampakan fisis (alam) maupun kenampakan sosial budaya. Peta tematik adalah
suatu peta yang menggambarkan informasi kualitatif ataupun kuantitatif tentang
kenampakan-kenampakan atau konsep yang spesifik yang ada hubungannya dengan
detail topografi tertentu (E. S. Boss, 1977 dalam Sukwardjono, 1997).
Peta risiko bencana merupakan salah satu contoh peta tematik. Peta risiko
bencana menggambarkan tingkat risiko bencana di suatu daerah. Risiko (risk)
bencana di suatu daerah ditentukan oleh bahaya (hazard) dan kerentanan
(vulnerability). Pemetaan risiko bencana sangat diperlukan sebagai upaya mitigasi
bencana yang bertujuan untuk meminimalisir dampak yang terjadi akibat terjadinya
suatu bencana.
BAB III
METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini meliputi tiga tahapan, yaitu
penyusunan peta genangan tsunami pada beberapa skenario (peta bahaya tsunami),
penyusunan peta kerentanan tsunami, dan peta risiko bencana tsunami. Berikut ini langkah
detail dari masing-masing tahapan penyusunan peta-peta tersebut:

A. Penyusunan Peta Genangan Tsunami Sebagai Peta Bahaya Tsunami


Penyusunan peta genangan tsunami disusun dengan menggunakan metode
…… metode …. Adalah….. Data yang dianalisis adalah data digital elevation model
(DEM) yang berasal dari ekstraksi data ketinggian dari Peta Rupa Bumi Indonesia
(RBI) skala 1:25.000 lembar Paranggupito dan data titik ketinggian hasil observasi
lapangan. Pemodelan beberapa skenarioketinggian genangan dilakukan dengan
menggunakan software Ilwis 3.6.
Skenario ketinggian genangan yang digunakan dalam model ini adalah
skenario ketinggian tsunami yang pernah digunakan oleh Dewi dan Dulbahri (2006)
dalam penelitiannya untuk pembuatan peta bahaya tsunami di Pantai Parangtritis
berdasarkan data tsunami tahun 2006. Skor diberikan kepada masing-masing
skenario, kemudian dijadikan sebagai nilai yang menentukan tingkat bahaya suatu
wilayah. Wilayah yang tergenang pada skenario 1 meter memiliki tingkat bahaya
tsunami yang lebih besar dari wilayah yang baru akan tergenang pada skenario 6
meter. Berikut ini adalah beberapa skenario yang digunakan sekaligus skor untuk
masing-masing skenario:

Skenario
Skor
Ketinggia Tingkat Bahaya
Bahaya
n
1m 5 Bahaya Sangat Tinggi
2m 4 Bahaya Tinggi
3m 3 Bahaya Sedang
6m 2 Bahaya Rendah
>6m 1 Bahaya Sangat Rendah

B. Penyusunan Peta Penggunaan Lahan Sebagai Peta Kerentanan Tsunami


Objek yang rentan terhadap kerusakan oleh tsunami, natara satu tempat
dengan tempat yang lain tidaklah sama. Peta kerentanan berfungsi untuk
menunjukkan objek yang mungkin terdampak oleh kejadian tsunami. Dewi dan
Dulbahri mengatakan bahwa penggunaan lahan dapat digunakan sebagai salah satu
variabel kerentanan (vulnerability) tsunami. Metode yang digunakan untuk menilai
tingkat kerentanan pada masing-masing objek penggunaan lahan adalah dengan
scoring. Skor diberikan kepada setiap penggunaan lahan berdasarkan nilai ekonomi
dari masing-masing penggunaan lahan, semakin besar nilai ekonomi dari suatu
penggunaan lahan, maka nilai skor-nya akan semakin besar. Berikut ini adalah skor
yang diberikan terhadap masing-masing penggunaan lahan:

No Sko
. Penggunaan Lahan r
1 Permukiman 3
2 Kantor Pemerintah 3
3 Fasilitas Umum 3
4 Sawah Tadah Hujan 2
5 Kebun Campuran 2
6 Tegalan 2
7 Sawah Irigasi 2
8 Semak Belukar 1
9 Gisik Pantai 1
Rumput/Tanah
10 Kosong 1
11 Sungai 1
12 Badan Air 1

C. Penyusunan Peta Risiko Bencana Tsunami


Perhitungan risiko (risk) tsunami dapat dilakukan dengan memperhitungkan nilai
bahaya (hazard) dan nilai kerentanan (vulnerability). Analisis dapat dilakukan dengan
metode tumpang susun atau overlay antara peta bahaya tsunami dan peta kerentanan
tsunami. Risiko (risk) tsunami dihitung dengan persamaan sebagai berikut:

Risiko (R) = Bahaya (H) x Kerentanan (V)


BAB IV
PEMBAHASAN
Penentuan tingkat bahaya tsunami didasarkan pada elevasi (ketinggian tempat).
Semakin tinggi suatu daerah maka akan memiliki tingkat bahaya tsunami yang semakin
rendah. Daerah dengan tingkat bahaya tinggi hingga sangat tinggi terpusat pada pelabuhan
Teluk Sadeng. Hal ini dikarenakan daerah tersebut memiliki elevasi yang paling rendah
dibandingkan dengan daerah sekitarnya. Apabila terjadi tsunami dengan ketinggian 1-2 meter
maka pelabuhan Teluk Sadeng akan tergenang. Daerah dengan tingkat bahaya sedang hingga
rendah terdapat pada lembah Sungai Bengawan Solo Purba bagian selatan yaitu di belakang
pelabuhan Teluk Sadeng. Daerah ini hanya akan tergenang apabila terjadi tsunami dengan
ketinggian 2-3 meter. Daerah dengan tingkat bahaya tsunami sangat rendah terdapat pada
lembah Sungai Bengawan Solo Purba bagian utara dan perbukitan karst di sekeliling Teluk
Sadeng. Perbukitan karst memiliki tingkat bahaya yang rendah karena memiliki elevasi yang
tinggi. Lembah Sungai Bengawan Solo Purba memiliki tingkat bahaya yang lebih tinggi
dibandingkan dengan perbukitan karst. Apabila terjadi tsunami maka Lembah Sungai
Bengawan Solo Purba akan tergenang lebih dahulu. Perbedaan elevasi yang besar antara
Lembah Sungai Bengawan Purba dan perbukitan karst mengakibatkan rentang tingkat bahaya
yang cukup besar.
Kerentanan merupakan kondisi masyarakat, komunitas atau individu yang
menyebabkan ketidakmampuan dalam menghadapi bencana. Parameter yang digunakan
untuk menentukan tingkat kerentanan adalah penggunaan lahan. Daerah dengan tingkat
kerentanan tinggi terdapat pada blok-blok permukiman, fasilitas umum seperti dermaga dan
tempat pelelangan ikan yang terdapat di dekat pelabuhan. Daerah ini memiliki kerentanan
tinggi karena berasosiasi dengan kegiatan manusia. Apabila terjadi tsunami maka daerah ini
akan mengalami kerugian paling besar. Sebagian besar nelayan di Teluk Sadeng merupakan
penduduk pendatang yang menetap di dekat pelabuhan. Sebagian dari mereka membangun
permukiman liar di sekitar pelabuhan. Ditinjau dari segi kondisi fisik rumah, permukiman ini
sangat rentan roboh apabila terjadi tsunami dikarenakan dinding rumah hanya terbuat dari
bambu ataupun kayu. Pemerintah menyediakan fasilitas berupa kredit perumahan bagi
nelayan, akan tetapi tidak semua nelayan mau tinggal di perumahan tersebut. Perumahan ini
terletak relatif lebih jauh dari laut dan memiliki kualitas yang lebih baik dibandingkan dengan
permukiman liar. Selain itu banyak terdapat warung-warung di kanan kiri jalan yang juga
digunakan sebagai permukiman. Daerah dengan kerentanan sedang terdapat di sebagian besar
Lembah Sungai Bengawan Solo Purba dan sebagian perbukitan karst yang dimanfaatkan
sebagai tegalan. Sebagian besar Lembah Sungai Bengawan Solo Purba dimanfaatkan sebagai
karena tersusun oleh material alluvium yang baik untuk pertanian. Penggunaan lahan sawah
tegalan juga terdapat pada lembah-lembah perbukitan karst yang tersusun oleh material
alluvium. Daerah budidaya pertanian ini akan mengalami kerugian ekonomi yang relatif lebih
kecil dibandingkan dengan daerah permukiman. Daerah dengan kerentanan rendah terdapat
pada perbukitan karst yang merupakan hutan dan lahan kosong. Hutan dan lahan kosong
memiliki nilai ekonomi yang rendah sehingga apabila terjadi tsunami tidak menimbulkan
kerugian yang besar.
Hasil analisis risiko tsunami Pantai Sadeng menunjukan bahwa daerah penelitian
dapat dibagi kedalam tiga zona risiko, meliputi:

a. Zona Risiko Tinggi Bencana Tsunami


Zona ini merupakan daerah yang meliputi Garis Pantai Sadeng dan masuk hingga 250
meter kearah daratan. Risiko pada daerah ini tergolong tinggi disebabkan oleh
tingginya tingkat bahaya serta kerentanan akibat tsunami. Daerah ini merupakan
lembah dan memiliki elevasi yang rendah dari permukaan laut (±2 meter) serta
memiliki relief yang relatif datar sehingga memiliki ancaman bahaya tsunami yang
tinggi. Ditinjau dari segi geologis, daerah ini pada awalnya merupakan bagian dasar
dari Sungai Bengawan Solo Purba yang kemudian mengalami pengangkatan.
Penggunaan Lahan pada daerah ini didominasi oleh lahan terbangun meliputi
permukiman nelayan, tempat pelelangan ikan, dan dermaga, sehingga rentan terhadap
tsunami. Karena letaknya pada elevasi yang rendah serta banyaknya lahan terbangun
pada daerah tersebut, maka dampak yang ditimbulkan apabila terjadi tsunami akan
sangat besar.

b. Zona Risiko Sedang Bencana Tsunami


Zona ini meliputi daerah yang meliputi 250 meter hingga 600 meter dari garis pantai.
Dengan demikian, daerah tersebut tersebut terletak pada bagian utara dari zona risiko
tinggi. Kondisi fisiografi daerah ini hampir sama dengan zona risiko tinggi yang
merupakan lembah dari Sungai Bengawan Solo Purba, namun dengan elevasi yang
lebih tinggi dari permukaan laut hingga mencapai ketinggian 6 meter, sehingga
dibandingkan zona risiko tinggi, daerah tersebut memiliki peluang yang lebih rendah
terkena tsunami. Penggunaan Lahan pada daerah ini didominasi oleh tegalan,
meskipun demikian masih terdapat lahan terbangun berupa permukiman penduduk.
Ditinjau dari dampak yang ditimbulkan apabila tsunami terjadi pada daerah tersebut,
maka dampak yang ditimbulkan relatif lebih kecil daripada daerah yang berdekatan
dengan garis pantai, sehingga memiliki tingkat risiko yang tidak terlalu besar.

c. Zona Risiko Rendah Bencana Tsunami


Secara umum zona ini dapat dibagi dua meliputi Lembah Bengawan Solo Purba pada
bagian utara zona risiko sedang dan Perbukitan Karst sekitar Pantai Sadeng. Lembah
Bengawan Solo pada bagian utara zona risiko sedang memiliki elevasi lebih besar dari
6 meter, sehingga memiliki peluang yang kecil untuk terkena tsunami. Penggunaan
lahan pada daerah tersebut pada umumnya berupa tegalan dan sawah tadah hujan.
Perbukitan Karst sekitar Pantai Sadeng memiliki elevasi hingga 400 meter diatas
permukaan laut. Pada bagian yang berbatasan dengan laut, terbentuk tebing terjal
(cliff) sehingga tsunami tidak dapat masuk lebih jauh kearah daratan. Penggunaan
lahan pada lembah karst pada mumnya berupa kebun atau tegalan, sedangkan pada
perbukitan pada umumnya masih merupakan hutan. Dengan demikian apabila tsunami
terjadi pada daerah tersebut, maka diprediksi bahwa dampak yang ditimbulkan relatif
kecil, sehingga dikategorikan sebagai zona risiko rendah.

BAB V
PENUTUP

DAFTAR PUSTAKA
Kodoatie, Robert J. dan Sjarief, Roestam. 2006. Pengelolaan Bencana Terpadu. Jakarta:
Yarsif Watampone.

National Geophysical Data Centre. 2005. Tsunami Run-upsWhere All Records Returned.
Diakses Oleh Ahmad Cahyadi Tanggal 15 September 2006 Pukul 18.30 WIB dari
Paula.Dunbar@Noaa.Gov.NOAA-Satelite-and-Information-Service-Natural-Hazard

Dewi, Ratna Sari dan dulbahri. 2009. Bencana Tsunami Parangtritis. Dalam Sunarto;
Marfai, Muh Aris; dan Mardiatno, Djati. (eds), Penaksiran Multirisiko Bencana di Wilayah
Kepesisiran Parangtritis. Yogyakarta: Pusat Studi Bencana (PSBA) Universitas Gadjah
Mada, 65-88.
Sukwardjono dan Sukoco, Mas. 1997. Kartografi Dasar. Yogyakarta : Fakultas Geografi
Universitas Gadjah Mada.

ADPC. 2004. A Framework for Reducing Risk, in CBDRM Field Practitioners


Handbook. Bangkok, Thailand: ADPC

Anonim.2007. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan


Bencana. Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2007 nomor 66, Jakarta

Bartlett, Darius J. 2001. GIS for coastal zone management. Florida: CRC Press

Bryant, E. 2008. Tsunami: The Underrated Hazard, 2nd edition. Chichester, UK:
Praxis Publishing

Cardona, O.D. 2003. The Notion of Disaster Risk: Conceptual Framework for
Integrated Risk Management. Colombia: Universidad Nacionalde Colombia

Coburn, A.W., Spence, R.J.S., dan Pomunis, A. 1994. Mitigasi Bencana, Modul
Program Pelatihan Manajemen bencana. Edisi Kedua. United Nations
Development Programme (UNDP)

Kemp, K. 2008. Encyclopedia of geographic information science. United Kingdom:


SAGE Publication

Marfai, M. Aris. 2008. ILWIS Exercise Module: Coastal Flood Assessment by Means
of GIS Technology. Yogyakarta: Fakultas Geografi UGM

Nayak. 2007. GIS in Disaster Monitoring and Prediction. United States: Springer
Publishing

Pierce, F. J. 2007. GIS applications in agriculture. Florida: CRC Press

Shamsi, U.M. 2005. GIS applications for water, wastewater, and stormwater system.
Florida: CRC Press

UN/ISDR. 2004. Living with Risk: A Global Review of Disaster Reduction Initiatives.
Genewa: UN Publications

Anda mungkin juga menyukai