Anda di halaman 1dari 11

BUKAN HAL BARU, MENGAPA MEREKA SULIT PAHAM?

Oleh: Ahmad Suyuthy,S.Pd (Guru SDN Deliksumber- Benjeng Kab.Gresik)

Menjadi guru matematika adalah impian yang sangat saya dambakan sejak lulus SMA.
Menurutku, selain guru olah raga, menjadi guru matematika adalah guru yang paling
santai. Setelah menerangkan materi pelajaran, kemudian siswa diberi tugas, maka
selanjutnya kita tinggal menunggu mereka bekerja. Ternyata dugaanku salah. Jadi
guru matematika ternyata lebih sulit, karena pelajaran matematika sangat tidak
disukai oleh kebanyakan siswa.

Pagi hari ini adalah hari pertama aku mengajar untuk tahun ajaran baru ini. Materi
yang harus aku berikan kepada anak-anak adalah MELAKUKAN OPERASI HITUNG
BILANGAN BULAT di kelas VI Semester I. Indikatornya: Menentukan Operasi hitung
bilangan bulat. Setelah proses belajar mengajar selesai saya mengharapkan siswa
dapat menjumlah dan mengurangi bilangan bulat, serta dapat menerapkan dalam
kehidupan sehari-hari.

Setelah memberi salam saya meminta ketua kelas untuk memimpin berdoa, dengan
harapan semoga proses pembelajaran berjalan sesuai dengan yang di harapkan, dan
bermanfaat. Setelah proses berdoa selesai saya mengecek kehadiran anak-anak.

Saya memulai pembelajaran dengan menanyakan seputar materi yang pernah di dapat
di Kelas sebelumnya (di Kelas V). Saya bertanya:” Apa yang dimaksud bilangan bulat?
Siapa yang dapat menuliskan Himpunan Bilangan Bulat?” Dari jawaban beberapa
siswa, saya kaget karena mereka masih belum paham apa itu bilangan bulat.

Setelah saya mengingatkan tentang bilangan bulat yang sudah diberikan di Kelas V dan
bagaimana cara mengoperasikan bilangan bulat maka saya mulai masuk pada materi
pokok menjumlah dan mengurangi bilangan bulat. Saya buat beberapa contoh soal
menjumlah dan mengurangi bilangan bulat di papan tulis, yaitu, 6 + 7=..., (-5)+6=...,
4 +(-7)=..., 5 – 3=..., 5 – 8=..., 5 – (-5)=.... Saya memberi dua macam contoh cara
pengerjaan yang berbeda pada anak, agar mereka dapat memilih cara yang sesuai
dengan keinginan dan kemampuan mereka.

Contoh pengerjaan pertama adalah 6+7=.... Pada soal ini saya meminta salah satu
anak untuk ke depan mengerjakannya. Ternyata siswa tidak mengalami kesulitan.
Berikutnya (-5) +6 =.... Saya bertanya kepada Rudi:” Berapa hasil dari (-5)+6?” Rudi
menjawab:”Min satu” Saya bertanya kepadanya:” Darimana diperoleh negatif satu?”
Ia terdiam. Saya tanyakan ke siswa lainnya. Tak ada satupun yang menjawab.

Selanjutnya saya menjelaskan pada mereka dengan menggunakan garis bilangan,


seperti cara yang sudah mereka dapatkan di SD. Untuk menghitung (-5) + 6, pijakan
hitungan mulai dari angka 0. Karena bilangannya (-5) maka melangkah kekiri 5 satuan,
kemudian karena 6 positif maka dari (-5) melangkah kekanan 6 satuan dan berhenti.
Ternyata berhenti di angka 1. Oleh karena itu (-5) +6 = 1.
Berikutnya saya menjelaskan cara yang kedua, yaitu dengan mengumpamakan
bilangan positif tabungan untuk mengembalikan hutang, dan bilangan negatif itu
besarnya hutang. Dengan demikian bila hutangnya lima (-5) kemudian tabungannya 6,
maka setelah membayar hutang akan tersisa tabungan 1. Oleh karena itu (-5) +6 = 1.

Selanjutnya saya minta satu persatu anak mengerjakan soal: (-5)+6 =..., 4 +(-7) =..., 5
– 3 =..., dan 5 – 8 =... di papan tulis. Satu persatu anak maju. Ketika seorang siswa
mengerjakan 5 – (-5)=..., waktu cukup banyak tersita. Anak tersebut hanya diam saja
di depan kelas. Tampak ia memilih cara dengan garis bilangan. Langkah pertama
digambarkannya melangkah 5 ke kanan, kemudian dia kelihatan binggung melihat –(-
5). Kemudian ia melangkah kekiri sebanyak 5. Saya membantunya dengan
menjelaskan bahwa operasi pengurangan merupakan lawan dari operasi penjumlahan
atau mengurangi sama dengan menjumlah dengan lawannya, sehingga harus balik.
Dengan banyak bantuan akhirnya anak tersebut dapat melakukan pengurangan dengan
bilangan negatif. Dari proses mengerjakan ke papan tulis tadi saya berkesimpulan
bahwa anak-anak belum lancar mengerjakan operasi bilangan bulat dengan garis
bilangan. Saya melihat anak-anak bingung bila sudah menyangkut pengurangan.

Selesai pengerjaan di papan tulis, saya lakukan pembahasan soal yang telah
dikerjakan. selanjutnya saya memberi kesempatan kepada mereka untuk bertanya
bila masih ada materi yang belum dimengerti. Rupanya tak ada yang bertanya.
Berikutnya saya memberi tugas atau latihan yang dikerjakan bersama kelompoknya
masing-masing. Setiap kelompok terdiri dari 4 orang. Soal latihannya adalah: 1 – 5=...,
(-5) – 4=..., 3 – (-2)=..., (-6) – (-4)=..., dan 6 – (-4)=....

Pada saat anak-anak bekerja dalam kelompok, saya berkeliling ke seluruh kelompok
untuk melihat hasil kerja tiap-tiap kelompok, sambil memberikan bimbingan yang
diperlukan secara terus menerus. Dan saya temukan pada tiap kelompok ada siswa
yang tidak aktif, dia cenderung diam tidak mau ikut memikirkan bagaimana cara
mendapatkan hasil dari proses penjumlahan atau pengurangan pada tugas tersebut.
Untuk mengetahui hasil kerja kelompok maka perwakilan dari masing-masing
kelompok menuliskan hasilnya di papan tulis. Wakil-wakil kelompok kelihatan lancar
menuliskan hasil kerjanya. Saya tidak heran karena yang maju semuanya adalah anak
yang paling mampu di kelompoknya.

Setelah selesai penulisan hasil kerja kelompok masing-masing, saya bertanya kepada
semua anak apakah sudah paham dengan cara menyelesaiakan soal-soal tadi.
Ternyata mereka umumnya diam saja. Ini menandakan bahwa masih belum paham
betul mengenai penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat. Saya berpikir bahwa
jangan-jangan untuk yang bilangan bulat positif dijumlahkan atau dikurangkan dengan
bilangan bulat positif saja mereka belum terampil. Namun saya juga melihat bahwa
beberapa anak sudah lancar menjumlah dan mengurangkan bilangan bulat, baik yang
positif maupun yang negatif. Saya sadari bahwa setiap anak punya daya pikir ataupun
pemahaman yang berbeda-beda. Ada anak yang dijelaskan berulang kali namun masih
belum paham juga, sementara bagi anak lain yang daya pikirnya cepat hal ini
sangatlah mudah.
Selanjutnya anak-anak saya ajak untuk membahas hasil dari presentasi tiap-tiap kelompok
tadi. Saya minta mereka untuk membetulkan pekerjaan mereka yang masih salah. Dan
akhirnya saya bersyukur bahwa pembelajaran saya yang pertama pada tahun ajaran ini dapat
saya lampaui dengan baik, dan berjalan lancar dan situasi yang tidak tegang. Walaupun
demikian saya masih bertanya-tanya dalam hati kenapa anak-anak masih belum paham
mengenai operasai pada bilangan bulat, padahal pelajaran ini sudah mereka dapatkan di
sekolah sebelumnya. Apakah ingatannya yang kurang ataukah penjelasannya yang memang
kurang jelas, inilah yang terus saya pikirkan sampai saat ini. Dan saya membayangkan apakah
mereka bisa mengerjakan soal-soal yang saya berikan untuk dikerjakan di rumah.

2. Case study dalam pembelajaran


1. Hakikat Case study
Case study atau studi kasus adalah rangkuman pengalaman pembelajaran (pengalaman mengajar) yang
ditulis oleh seorang guru/dosen dalam praktik pembelajaran mereka di kelas. Pengalaman tersebut
memberikan contoh nyata tentang masalah-masalah yang dihadapi oleh guru pada saat mereka
melaksanakan pembelajaran. Gunanya adalah melalui pengkajian case study dalam pembelajaran
dengan segala komponennya, para guru dapat melakukan evaluasi diri (self evalution), dapat
memperbaiki dan sekaligus dapat meningkatkan praktik pembelajaran mereka di kelas. Bagi para calon
guru, kajian terhadap case study akan dapat membuka wawasan mereka terhadap pembelajaran dan
menanamkan konsep bagaimana seharusnya pembelajaran itu berlangsung.
Di sisi lain, case study tentang pembelajaran dapat digunakan untuk membantu, baik guru maupun
mahasiswa calon guru dalam memahami hakikat pembelajaran. Studi kasus seperti ini menjadi catatan
penting dalam pelaksanaan pembelajaran secara nyata. Case study ditulis dalam bentuk narasi dan
berisi pengalaman pembelajaran yang paling berkesan yang Anda ingat karena kesuksesannya, kesulitan,
atau pengalaman yang penuh problematika. Case study ditulis dengan memperhatikan hal-hal berikut
ini.
1) Case study ditulis dalam bentuk cerita naratif yang sangat rinci dan sangat erat kaitannya dengan
pengalaman yang Anda alami.
2) Case study tersebut sedapat-dapatnya harus ringkas. Maksismum dua halaman ketikan. Namun, jika
pengalaman yang akan diungkap dalam case study tergolong cukup esensial sebagai pengalaman bagi
orang lain, case study dapat juga ditulis melebihi dua halaman ketikan.
3) Case study harus memuat unsur kemanusiaan: kemauan yang Anda miliki, tindakan dan kesalahan
Anda yang mengecewakan dan rasa kesenangan atau kekecewaan pada saat selesainya pembahasan.
4) Case study harus memiliki judul yang dapat mewakili keseluruhan isi pengalaman pembelajaran yang
dituliskan.
5) Pengalaman yang dituangkan dalam case study adalah ungkapan kejujuran. Artinya, cerita dalam case
study adalah cerita kejujuran.

2. Manfaat Case Study


Manfaat yang dapat dipetik dari case study bagi guru dan bagi mahasiswa calon guru dapat
dikemukakan sebagai berikut.
1) Sebagai evaluasi diri (self evalution) bagi guru untuk dapat memperbaiki dan sekaligus dapat
meningkatkan praktik pembelajaran mereka di kelas.
2) Sebagai pembuka wawasan mahasiswa calon guru terhadap pembelajaran dan penanaman konsep
bagaimana seharusnya pembelajaran itu berlangsung.
3) Guru dan mahasiswa calon guru dapat belajar dari kegagalan orang lain (guru penulis case study).
4) Menemukan kekurangan dan kelebihan proses pembelajaran berdasarkan pengalaman penulis case
study.
5) Mahasiswa calon guru dapat memperoleh gambaran yang nyata tentang dunia anak—khususnya di
sekolah, termasuk di dalamnya memahami psikologi anak.
6) Guru dan mahasiswa calon guru dapat menggunakan metode dan strategi pembelajaran yang tepat
sehingga tidak mengulangi kekeliruan yang dialami oleh penulis case study.
7) Keberhasilan yang dialami oleh penulis case study dapat menjadi acuan bagi orang lain (guru dan
calon guru).
8) Bagi guru pamong, case study bermanfaat dalam pembimbingan mahasiswa PPL melaksanakan
pembelajaran agar menjadi lebih baik.
9) Dengan mengkaji case study, guru ataupun calon guru menjadi lebih terbuka, lebih jujur, dan lebih
berani mengungkapkan kegagalan yang dialaminya dalam pembelajaran.
10) Guru dan calon guru dapat belajar menulis pengalaman pembelajarannya dalam bentuk narasi
pembelajaran.

3. Metode untuk Mengembangkan Case Study


1) Seorang guru menceritakan/menulis pengalaman yang sukses atau suatu permasalahan yang menarik
yang muncul saat pembelajaran dengan pokok bahasan atau topik tertentu. Pengalaman yang
diceritakan/dituliskan itu menggambarkan pemikiran guru tersebut tentang mengapa permasalahan
atau pengalaman tersebut menarik.
2) Harus ditulis sesegera mungkin supaya tidak mudah terlupakan
3) Sebagai masukan dalam penulisan, penulis narasi dapat mempedomani komentar-komentar guru lain
(guru mitra) yang ikut mengamati proses pembelajaran
4) Persiapan guru
5) RPP
6) Pelaksanaan pembelajaran
• Kegiatan awal, inti, dan akhir
• Metode dan strategi pembelajaran
• Materi pembelajaran
• Evaluasi
• Ketercapaian tujuan pembelajaran
7) Perilaku siswa
8) Perasaan guru (keberhasilan, kegagalan, dan persepsinya terhadap siswa)

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sebuah case study dalam bentuk narasi pembelajaran,
prosesnya adalah sebagai berikut.
(1) Ada tim kolaborasi (beberapa orang guru)
(2) Ada persiapan-persiapan prapembelajaran
(3) Praktik pembelajaran di kelas (ada yang berpraktik mengajar dan ada yang mengamati)
(4) Pengamat menuliskan komentarnya
(5) Komentar yang ditulis oleh pengamat tidak berupa “potret pembelajaran”, tetapi mengarah pada
proses pembelajaran dengan segala komponennya
(6) Komentar pengamat ditulis pada saat proses pembelajaran berlangsung
(7) Pada akhir pembelajaran, komentar pengamat diserahkan kepada guru yang berpraktik mengajar
(8) Guru yang berpraktik mengajar menuliskan pengalaman pembelajarannya dalam bentuk narasi
pembelajaran
(9) Narasi yang sudah ditulis, diberi judul yang sesuai
(10) Setelah menulis narasi, guru juga menulis refleksi dengan cara membaca kembali narasi yang
ditulisnya, kemudian baru menuliskan refleksi.
(11) Narasi yang sudah ditulis dibaca oleh pengamat dan pengamat menuliskan komentarnya
berdasarkan narasi dan hasil pengamatan pembelajaran
(12) Case study dilengkapi dengan RPP dan hasil kerja siswa
(13) Narasi memuat semua hal yang dialami dan dirasakan guru dalam pembelajaran, termasuk di
dalamnya perilaku siswa

Penulisan Refleksi
1) Penulis disarankan membaca ulang narasi yang sudah ditulisnya itu beberapa kali, kemudian
menuliskan refleksi terhadap narasi itu.
2) Guru-guru lainnya diminta memberikan tanggapan/komentar dengan menuliskan ide-ide mereka
sehubungan dengan kasus yang mereka baca tersebut.

Contoh-contoh Case Study

Saya Ingin Lebih Bersahabat dengan Mereka


Oleh
Teuku Alamsyah

Mereka dalam konteks judul di atas adalah siswa Sekolah Dasar. Saya akan mengajar bahasa Indonesia
di Sekolah Dasar. Sesuai dengan tuntutan isi silabus, materi pokok pembelajarannya adalah cerita. Saya
akan melaksanakan pembelajaran bercerita di Sekolah Dasar.
Saya memang seorang guru. Namun, profesi ini selama belasan tahun saya jalani bersama mahasiswa.
Artinya, saya adalah seorang guru di perguruan tinggi. Melaksanakan pembelajaran bersama mahasiswa
tentu bukanlah hal yang baru dan saya sangat menikmati pekerjaan ini. Mengajar di Sekolah
Dasar/Madrasah Ibtidaiyah adalah sesuatu yang lain. Saya merasa sangat tidak siap untuk itu. Saya
membayangkan akan berhadapan dengan anak-anak yang masih sangat lugu, masih banyak
membutuhkan bimbingan dan arahan. Pengetahuan yang akan kita berikan kepada mereka adalah
sesuatu yang sangat dasar yang akan menjadi bekal bagi mereka dalam mengikuti jenjang pendidikan
berikutnya. Saya juga yakin bahwa kekeliruan yang dilakukan oleh seorang guru dalam pembelajaran di
tingkat dasar ini akan memberikan dampak yang kurang baik bagi anak untuk jangka waktu yang sangat
lama. Inilah dasar pemikiran saya bahwa pembelajaran di Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah bukanlah
sesuatu yang dapat dianggap mudah.
Kamis, 24 Januari 2008, pukul 8.00 saya melaksanakan pembelajaran di kelas V SD Negeri 35 Kota Banda
Aceh. Sesuai dengan isi silabus semester 2, saya mengajar Keterampilan Menyimak terintegrasi dengan
Standar Kompetensi: Memahami cerita tentang suatu peristiwa dan cerita pendek anak yang
disampaikan secara lisan, dan Kompetensi Dasar: Mengidentifikasi unsur cerita (tokoh, tema, latar, dan
amanat). Dua hari sebelum pembelajaran berlangasung, saya menyiapkan RPP dengan memilih teks
cerita “Mahjubah si Pemalas”.
Awal saya berdiri di depan kelas, saya melihat wajah anak-anak yang polos menantikan sepatah kata
pembuka dari saya. Terus terang waktu itu saya agak bingung bagaimana saya harus memulai.
Bagaimana saya harus menyapa mereka. Hampir saja saya menyapa, “Saudara-saudara!” Namun, tentu
saja itu tak jadi. Saya memilih sapaan, “Anak-anak kita bertemu kembali dalam pelajaran Bahasa
Indonesia.” “Hari ini kita melanjutkan topik yang sudah pernah kita singgung pada pertemuan
sebelumnya.” Ketika itu pula saya sadar telah melakukan ‘kebohongan’ karena kita memang belum
pernah bertemu sebelumnya dalam konteks belajar-mengajar di kelas. Saya merasa mulai gugup.
Namun, wajah polos anak-anak mengatasi kegugupan itu. Saya melanjutkan, “Anak-anak hari ini kita
akan mendengarkan sebuah cerita yang berjudul “Mahjubah si Pemalas”. “Siapa di antara kamu yang
tidak pernah mendengarkan cerita?” Tidak satu pun anak-anak menjawab. Saya melanjutkan, “Bapak
yakin kamu semua pasti pernah mendengarkan cerita dan senang mendengarkan cerita.” (semua anak
duduk dalam kelompok yang tampaknya kelompok di kelas itu sudah permanen, satu kelompok 5
orang).
Pembelajaran berlanjut. Setiap kelompok saya minta mengidentifikasi tokoh, tema, latar, dan amanat
berdasarkan cerita yang mereka simak dan sekaligus mereka baca. Sebelum anak-anak bekerja dalam
kelompok mengidentifikasi tokoh, tema, latar, dan amanat cerita, saya mengajukan pertanyaan, “Siapa
yang pernah menonton film?” (beberapa anak mengangkat tangan). “Bagus!” Tampaknya di kelas ini
semua anak pernah menonton film! “Film apa saja yang pernah kamu tonton? (kelas hening, tidak ada
yang menjawab). Memang kalau kita banyak menonton film, banyak film yang kita lupa judulnya bukan?
Tidak apa! Yang penting semua anak pernah menonton film! Sekarang coba kita ingat film India. Pernah
nonton film India? Dengan bersemangat semua anak menjawab, “Pernah, Pak!” “Iya, bagus!” Dalam film
ada banyak pemain. Pemain film ini disebut juga tokoh. Dalam cerita yang kita baca juga begitu. Ada
pelaku cerita yang lebih dikenal sebagai tokoh cerita. Jadi, dalam cerita ada tokoh utama dan tokoh
pembantu. (Saya menjelaskan perbedaan tokoh utama dan tokoh pembantu). Selain itu, dalam teks
cerita seperti halnya film, juga ada tempat dan waktu berlangsungnya kejadian. Inilah yang dikenal
sebagai latar. Demikian seterusnya saya menjelaskan bagian demi bagian.
Nah! Anak-anak silakan bekerja dalam kelompok mengidentifikasi tokoh, tema, latar, dan amanat dalam
teks cerita “Mahjubah si Pemalas”. Semua anak tampak bersemangat bekerja. Namun, pada saat
presentasi tugas kelompok, saya mengalami kesulitan, yaitu tidak satu pun kelompok bersedia tampil
memaparkan tugas yang sudah mereka selesaikan. Saya merasa mereka malu. Dengan gaya bahasa
tertentu, saya membujuk mereka. Setelah dibujuk-bujuk, kelompok I tampil menempelkan hasil kerja
kelompoknya di papan tulis dan memaparkannya atau lebih tepat membacanya. Saya berharap akan ada
tanggapan dari kelompok lain (sebagaimana skenario pembelajaran yang sudah saya rancang dua hari
sebelumnya). Harapan saya adalah harapan hampa. Tidak satu pun anak dari kelompok lain bersedia
berkomentar dan ini tidak bisa dibujuk. Akhirnya, sharing dalam bentuk diskusi tidak bisa berlangsung
hari itu.
Saya melanjutkan pembelajaran dengan meminta semua kelompok menempelkan tugas kelompoknya di
papan tulis dan membacakannya. Setiap satu kelompok selesai membacakan hasil kerja kelompoknya,
penghargaan yang diberikan adalah tepuk tangan dan saya merasa semua anak antusias bertepuk
tangan. Selain itu, saya juga merasa bahwa tidak semua anak dalam kelompok berpartisipasi penuh
terhadap pembelajaran. Beberapa anak terlihat wajahnya tanpa ekspresi dan saya merasa ada
‘ketidaknyamanan’ dalam batin saya. Saya menginginkan semua anak terlibat penuh dalam konteks
pembelajaran.
Meskipun saya merasa tujuan pembelajaran atau target pembelajaran pagi itu 90% tercapai, masih ada
ganjalan di benak saya ketika pembelajaran berakhir. Ganjalan itu antara lain adalah (1) bagaimanakah
seharusnya kita mengajar? (2) Apakah semua anak menikmati pembelajaran ini? (3) Apakah bahasa
sapaan saya dalam bentuk “kamu”, “kalian” terhadap anak-anak akan membekas dalam jiwa mereka
sebagai bentuk sapaan yang kurang bersahabat? (4) Apakah pembelajaran saya tentang cerita
“Mahjubah si Pemalas” memberikan makna tersendiri bagi anak-anak? Namun, saya mengakhiri
pembelajaran hari itu dengan sebuah senyum, sebuah senyum bahagia mendapat kesempatan bertemu
anak-anak sekolah dasar karena saya pun pernah menjadi anak-anak.
Di penghujung pembelajaran, sebagai refleksi saya ajukan sebuah pertanyaan, “Bagaimana anak-anak
pembelajaran hari ini dengan Bapak Guru yang baru?” Jawaban yang diberikan oleh seorang anak
kiranya sangatlah patut untuk kita renungkan bersama, yaitu “Kami senang Pak, karena Bapak tidak
marah-marah”. Sebuah jawaban yang cukup jujur tentunya.

Refleksi
Oleh: Penulis

Saya merasa teramat lega setelah mengungkapkan secara tertulis semua yang saya rasakan ketika saya
melaksanakan pembelajaran di kelas V SD. Ada sebuah tanya yang terus bergayut di dada, “Apakah
semua anak yang ikut pembelajaran saya memahami dengan baik semua yang seharusnya memang
mereka pahami hari itu?” Kalaulah masih ada kesempatan, saya ingin melanjutkan lagi pembelajaran
bahasa Indonesia di kelas V SD Negeri 35 Kota Banda Aceh untuk memastikan bahwa kehadiran saya di
kelas mereka hari itu memberikan urunan yang berarti dalam pembekalan pemahaman nilai-nilai positif
dalam cerita.
Masih segar dalam ingatan saya wajah tiga orang anak yang kurang ekspresif ketika pembelajaran
berlangsung. Betapa andai bisa kembali, saya ingin lebih ‘bersahabat’ dengan mereka. Mengapa ekspresi
anak-anak itu seperti kurang bergairah? Kita semua tentu berharap agar semua anak dapat mengikuti
pembelajaran tanpa beban di luar konteks pembelajaran. Mungkin dalam hal ini saya terlalu emosional.
Namun, inilah yang memang saya rasakan.
3. Sulitkah Mempertahankan Minat Belajar Mereka?

Sebagai seorang guru, saya berkeinginan agar siswa merasa senang saat belajar dan tetap
mengikuti pembelajaran sampai jam pelajaran berakhir. Pada kesempatan ini pelajaran
yang akan saya sampaikan adalah materi klasifikasi zat.

Konsep yang tercantum dalam RPP adalah asam, basa dan garam dalam kisaran standar
kompetensi: Memahami klasifikasi zat, sedangkan kompetensi dasar: Melakukan percobaan
sederhana dengan bahan yang diperoleh dalam kehidupan sehari hari. Konsep asam, basa
dan garam diajarkan di kelas VII semester 1. Seperti kita ketahui bahwa pelajaran Kimia
baru mulai dipelajari siswa setelah masuk SMP. Sehingga siswa yang baru tamat SD tersebut
masih sangat merasa asing terhadap Laboratorium beserta alat dan bahannya sampai
petunjuk kegiatannya (LKS).

Sabtu, 23 Agustus 2008, pukul 09.50, dilaksanakanlah pembelajaran di kelas 7D SMPN 2


Tanjungsari. Kegiatan belajar saat itu menggunakan pendekatan kontekstual dan siswa
belajar dalam kelompok yang terdiri atas 4 orang dan dibagi menjadi 10 kelompok.
Pengaturan meja dan bangku disusun membentuk angka II. Pada awal pembelajaran saya
lupa meminta siswa untuk menghadap ke depan papan tulis, sehingga ada beberapa siswa
yang membelakangi guru. Saat itu saya begitu bersemangat untuk membawa siswa mengerti
akan konsep kimia ini.

Apersepsi disampaikan dalam waktu kurang dari 15 menit, dan ada beberapa siswa yang
belum siap untuk belajar. Mereka masih mengawasi sekeliling ruangan yang masih sangat
asing baginya. Saya mulai menjelaskan bermacam macam indicator dan ciri asam basa yang
biasa dikenal, seperti ciri pada cuka dan sabun. Kemudian penjelasan berlanjut pada alat
dan bahan eksperimen .

Saya memperhatikan ada beberapa siswa yang tidak mengikuti penjelasan itu. Penjelasan
yang disampaikan dianggap angin lalu dan mereka asyik melihat keliling ruangan Lab. Reki
adalah satu dari siswa tadi yang mengantuk dan meletakkan kepalanya di meja.

“Anak-anak, tahukah kalian mengapa untuk mengurangi sakit pada lambung orang sering
menggunakan obat seperti antasid? “Ucapan saya mulai sedikit menarik perhatian siswa saat
melakukan tahap kontak dalam kontekstual. Lalu kegiatan belajar mulai melangkah ke
tahap kuriositi.” Coba kalian perhatikan tabung reaksi yang berisi ekstrak kulit buah
manggis ini, apa warnanya? Sekarang Ibu akan mencampurkannya dengan larutan antasid,
sedikit kita aduk dan perhatikanlah…… dan ternyata campuran itu jadi berubah warna.
Mengapa begitu, apa ada yang tahu alasannya?” Semua siswa terdiam dan terkagum-kagum.
Demikianlah demontrasi tersebut dilakukan sehingga terciptalah rasa ingin tahu siswa.

Tiba saatnya siswa ditugaskan untuk bereksplorasi dengan media pembelajaran dengan di
pandu oleh LKS pada tahap elaborasi. Setiap siswa mendapatkan 2 lembar LKS. Ada siswa
yang sudah aktif membaca dan langsung ingin mencoba melakukan kegiatan seperti perintah
dalam LKS, tapi ada juga yang diam menonton.

Seperti pada awal pembelajaran Reki berada pada keadaan yang belum mau belajar dan
malas mengikuti kegiatan kelompok. Rafima, teman sekelompoknya mulai menegur. ”Ayo
Rek baca LKS-nya, bantu saya dong, jangan diam saja,” Gerutu Rafima. Dengan terpaksa
Reki mulai melirik demi LKS. Setelah ditemukan hal yang menarik dari kegiatan yang
dilakukan teman temannya, mulailah minat Reki muncul. Perlahan Ia mulai melakukan
kegiatan dan berdiskusi tentang gejala yang timbul setelah meneteskan cuka pada lakmus
merah dan lakmus biru. “Kok aneh ya mengapa lakmus biru berubah jadi merah sedangkan
yang merahnya tidak berubah. Tapi bila ditetesi air kapur, malah yang berubah lakmus
merah jadi biru, sedangkan lakmus biru tetap,” kata Reki aneh. Terbukalah suatu diskusi
kelompok untuk membahas gejala yang timbul dan mereka mencatatnya pada tabel
pengamatan. Tetapi penyebab terjadinya perubahan itu masih belum dapat mereka
temukan dan ada keinginan untuk bertanya kepada guru, tapi keinginan itu hilang.

Sambil berkeliling membimbing kegiatan yang dilakukan siswa kelompok demi kelompok,
saya memperhatikan aktivitas siswa. Saya merasa pembelajaran saat itu berhasil karena
saya dapat membaca siswa senang dan betah belajar dari kegiatan eksperimen indikator
asam basa ini.

Setelah kegiatan kelompok berakhir saya mulai masuk pada tahap nexus yaitu tahap
perumusan rangkuman. Dengan sangat tergesa-gesa, saya langsung memberikan penjelasan,
tapi sayangnya penjelasan itu tidak menimbulkan adanya interaksi siswa dengan guru.
Informasi banyak bersumber dari guru sehingga guru-lah yang memonopoli pembicaraan.
Banyak teori asam basa saya sampaikan secara langsung dan tidak ada kegiatan menggali
pengetahuan siswa dari apa yang telah mereka lakukan. Dari raut wajah, banyak siswa yang
merasa sulit menghubungkan sejumlah informasi yang diucapkan guru dan kegiatan ini
membuat turunnya konsentrasi belajar siswa .

“Dari ketiga macam indicator alami yang kita gunakan hari ini, manakah indikotor yang
paling baik dan apa alasannya.” Saya mulai meminta perhatian siswa kembali. Banyak siswa
terdiam. Kemudian saya mencoba menunjuk salah satu dari mereka untuk menjawab. Tapi
apa jawab mereka? “Belum Bu, Kami tidak bisa menjawabnya!”

Akhirnya pertanyaan itu saya jawab dan pertegas sendiri setelah tidak saya temukan
jawaban tepat dari mereka. Penjelasan itu saya akhiri dengan kesimpulan ciri ciri larutan
yang bersifat asam, basa dan netral. Jumlah siswa yang tidak memperhatikan dan mengikuti
pembelajaran dengan baik jadi bertambah banyak. Meskipun beberapa pertanyaan dalam
LKS dapat dijawab dengan baik, tapi ada beberapa konsep yang belum dipahami, sehingga
siswa belum mampu menarik kesimpulan dari percobaan yang mereka lakukan, kemampuan
itu hanya terbatas pada beberapa siswa saja. Hal ini terbukti dari hasil test yang diberikan
guru.

Saya merasa kecewa. Awalnya saya mengira pembelajaran saat itu berhasil, ternyata tidak.
Saya tidak dapat mempertahankan semangat belajar siswa yang justru malah di akhir jam
pelajaran.

Meskipun sudah saya kuras energi ini untuk membuat siswa mengerti dengan berkeliling
membimbing siswa, memberi penjelasan, tapi sia-sia belaka karena justru motivasi yang
muncul sangat tinggi pada kegiatan elaborasi menjadi sangat cepat menyusut di akhir
pembelajaran. Kejadian ini sangat tidak saya harapkan karena mengapa saya tidak dapat
mempertahankan semangat belajar siswa. Apa yang harus saya ubah dari pembelajaran ini.

4. DOMINASI PERAN KELOMPOK ELITE


Hari itu penulis menjadi observer di suatu kelas Bahasa Inggris SMA di Kabupaten Blora. Ketika
meminta pertimbangan ke salah seorang Pengawas di Dinas Pendidikan Kabupaten, Saya
mendapat kejutan dengan pernyataan beliau bahwa sekolah yang akan Saya kunjungi berkualitas
setara dengan RSBI. Maka Saya  pun  meluncur ke sekolah yang dimaksud. Kebetulan Bapak
Kepala Sekolah  berkesempatan berpartisipasi juga sebagai observer. Jadi observasi kami
lakukan bertiga, Saya, Pengawas dan Kepala Sekolah.

Karena kegiatannya adalah presentasi  bahasa Inggris, maka tempat yang paling ideal adalah di
lab bahasa. Setelah siswa siap, maka kegiatan pembelajaran pun dimulai. Setelah kegiatan
prosedural, termasuk mempersiapkan presentasi dengan cara copy file ke komputer induk, maka
kegiatan inti pun berlangsung.

Keterampilan bahasa yang dilatihkan saat itu adalah speaking (keterampilan berbicara). Siswa
dibagi menjadi beberapa kelompok, setiap kelompok memiliki tugas yang berbeda-beda. Materi
presentasi per kelompok meliputi antara lain beberapa topik dari Biologi dan Fisika, Presentasi
setiap kelompok diwakili 3 orang  yang tampil di depan, sementara yang duduk di bangku tetap
bisa berpartisipasi dengan memberikan tanggapan atas pertanyaan kelompok lain. Kegiatan
berjalan dengan sangat lancar dan begitu menyenangkan, yang bisa dilihat dari ekspresi semua
siswa. Baik Guru maupun Siswa tidak terpengaruh dengan kehadiran kami bertiga.

Setelah presentasi kelompok kedua, maka masalah pun mulai tampak. Siswa yang bertanya atau
memberikan tanggapan hanya beberapa saja. Semakin lama, beberapa siswa tersebut intensitas
partisipasinya semakin tinggi, sementara siswa yang lain kebanyakan diam seribu bahasa.

Terdapat perbedaan mendasar antara kerja kelompok biasa dengan kerja kelompok yang didesain
secara kooperatif. Sekelompok siswa yang bekerja bersama mengelilingi satu meja sangat
berbeda dengan sekelompok siswa yang secara sistematis dan terencana bekerjasama secara
kooperatif. Pada sekelompok siswa yang duduk bersama satu meja, berbincang banyak hal,
namun tidak terstruktur dalam kelompok kooperatif,  tidak akan terjadi proses interdependensi
(saling kebergantungan) secara positif. Barangkali kelompok seperti ini bisa dikatakan sebagai
belajar individualistik sambil berbincang-bincang. Untuk menjadi suatu situasi belajar kooperatif
dibutuhkan suatu tujuan bersama yang bisa diterima semua anggota kelompok di mana 
keseluruhan anggota kelompok diberikan reward atas upayanya. Jika suatu kelompok siswa
ditugaskan menyusun suatu laporan, namun hanya satu orang saja yang mengerjakan dan
anggota yang lain hanya bercanda saja, maka tidak bisa dikatakan kelompok kooperatif. Suatu
kelompok kooperatif memiliki rasa tanggung jawab individual yang berarti semua anggota
membutuhkan pengetahuan tentang materi pembelajaran agar kelompok secara keseluruhan bisa
disebut sukses (Roger T. dan David W. Johnson: 2009). Interdependensi tujuan positif
mensyaratkan penerimaan semua anggota kelompok dengan prinsip “tenggelam atau berenang
bersama.”

Hanya dalam situasi tertentu suatu upaya kooperatif bisa diharapkan lebih produktif
dibandingkan upaya individualistik dan kompetitif. Situasi dan kondisi yang harus diciptakan
dalam suatu pembelajaran kooperatif adalah:

1. Terjadinya proses interdependensi (saling bergantung) yang dapat diamati dengan jelas.
2. Terjadi interaksi promotif (face-to-face) yang sangat intensif.
3. Dapat diamatinya dengan jelas tanggung jawab setiap individu dan tanggung jawab
personal untuk mencapai tujuan kelompok.
4. Keterampilan interpersonal dalam kelompok kecil seringkali sangat dibutuhkan.

Untuk memperbaiki kefektivan kelompok pada kegiatan yang akan dilaksanakan diperlukan
berjalannya fungsi-fungsi dari potensi yang telah dimiliki secara teratur.

Syarat pertama dari proses pembelajaran kooperatif yang dibutuhkan adalah setiap siswa yang
menjadi anggota kelompok harus memegang prinsip “tenggelam atau berenang bersama.” Dalam
situasi pembelajaran kooperatif seperti ini, setiap anggota kelompok memiliki dua tanggung
jawab: 1) mempelajari materi yang ditugaskan, dan 2) meyakinkan bahwa semua anggota
kelompok mempelajari materi yang ditugaskan tersebut (saling mengingatkan). Istilah teknis
untuk tanggung jawab ganda inilah yang disebut interdependensi. Situasi interdependensi positif
dapat diciptakan ketika siswa memiliki persepsi bahwa ia terkait dengan mitra kelompoknya
sedemikian rupa sehingga ia tidak akan sukses kecuali seluruh mitra anggota kelompok lainnya
sukses (dan sebaliknya) dan/atau bahwa mereka harus mengkoordinasikan upayanya dengan
upaya dari anggota kelompok lainnya untuk memenuhi tugas yang diberikan. Interdependensi
positif menciptakan suatu situasi di mana siswa: 1) memandang bahwa kinerjanya
menguntungkan kelompok dan kinerja kelompok menguntungkannya, dan 2) bekerja dalam satu
kelompok kecil untuk memaksimalkan proses belajar dari seluruh anggota kelompok melalui
saling berbagi sumber belajar sehingga terjadi saling mendukung dan saling meningkatkan rasa
percaya diri dan merayakan sukses bersama. Ketika interdependensi positif terjadi maka tampak
jelas situasi:

 Setiap upaya dari anggota kelompok sangat dibutuhkan dan tidak bisa diabaikan demi
sukses kelompok (dengan kata lain tidak ada anggota kelompok yang tidak
berpartisipasi).
 Setiap anggota kelompok memiliki kontribusi yang unik dalam kerangka upaya bersama
kelompok karena sumber/potensi/perannya dan tugas yang menjadi tanggung jawabnya
memang unik.

Relasi kooperatif yang sehat memerlukan 5 syarat prinsipil di atas. Demikian halnya dengan
kepala sekolah dan para guru, peer tutoring, belajar berpasangan, kelompok-kelompok kerja
orang dewasa, suatu keluarga, semuanya memerlukan lima syarat pembelajaran kooperatif.

Pada berbagai kesempatan melakukan pengamatan kegiatan pembelajaran, beberapa indikator


kooperatif ini belum muncul, baik sebagian atau seluruhnya. Padahal ada paling tidak tiga
kemampuan yang amat urgen yang harus kita tanamkan kepada anak-anak kita menghadapi era
globalisasi teknologi informasi: kemampuan menggunakan Teknologi Informasi, Kemampuan
bekerjasama secara kooperatif, dan berpikir tingkat tinggi (UNESCO, Intel Teach-Indonesia,
DBE, JICA). Mari hal ini kita renungkan bersama dan segera kita implementasikan.

Anda mungkin juga menyukai