Anda di halaman 1dari 9

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dalam melakukan pembelajaran menerapkan pendekatan

pembelajaran tuntas (mastery learning). Sedangkan dalam penilaian menerapkan sistem penilian
berkelanjutan yang mencakup 3 aspek yaitu aspek kognitif, psikomotorik dan afektif
Pada umumnya hasil belajar dapat dikelompokkan menjadi tiga ranah yaitu; ranah kognitif,
psikomotor dan afektif Secara eksplisit ketiga ranah ini tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Setiap mata ajar selalu mengandung ketiga ranah tersebut, namun penekanannya selalu
berbeda. Mata ajar praktek lebih menekankan pada ranah psikomotor, sedangkan mata ajar
pemahaman konsep lebih menekankan pada ranah kognitif. Namun kedua ranah tersebut
mengandung ranah afektif
Menurut Bloom (1979) ranah psikomotor berhubungan dengan hasil belajar yangpencapaiannya
melalui keterampilan manipulasi yang melibatkan otot dan kekuatan fisik Ranah psikomotor
adalah ranah yang berhubungan akti vitas fisik, misalnya; menulis, memukul, melompat dan lain
sebagainya.
Ranah kognitifberhubungan erat dengan kemampuan berfikir, termasuk di dalamnya
kemampuan menghafal, rnemahami, mengaplikasi, menganalisis, mensintesis dan kemampuan
mengevaluasi. Sedangkan ranah afektif mencakup watakperilaku seperti sikap, minat, konsep
diri, nilai dan moral.
Penilaian Aspek Kognitif
Pada umumnya hasil belajar dapat dikelompokkan menjadi tiga aspek yaitu ranah kognitif,
psikomotor dan afektif. Secara eksplisist ketiga aspek tersebut tidak dipisahkan satu sama lain.
Apapun jenis mata ajarnya selalu mengandung tiga aspek tersebut namun memiliki penekanan
yang berbeda. Untuk aspek kognitif lebih menekankan pada teori, aspek psikomotor
menekankan pada praktek dan kedua aspek tersebut selalu mengandung aspek afektif
Aspek kognitifberhubungan dengan kemampuan berfikir termasuk di dalamnya kemampuan
memahami, menghapal, mengaplikasi, menganalisis, mensistesis dan kemampuan mengevaluasi.
Menurut Taksonomi Bloom (Sax 1980), kemampuan kognitif adalah kemampuan berfikir secara
hirarkis yang terdiri dari pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis dan evaluasi
Pada tingkat pengetahuan, peserta didik menjawab pertanyaan berdasarkan hapalan saja. Pada
tingkat pemahaman peserta didik dituntut juntuk menyatakanmasalah dengan kata-katanya
sendiri, memberi contohsiiatu konsep atau prinsip. Pada tingkat aplikasi, peserta didik dituntut
untuk menerapkan prinsip dan konsep dalam situasi yang baru. Pada tingkat analisis, peserta
didik diminta untuk untuk menguraikan informasi ke dalam beberapa bagian, menemukan
asumsi, memebedakan fakta dan pendapat serta menemukan hubungan sebab—akibat. Pada
tingkat sintesis, peserta didik dituntut untuk menghasilkan suatu cerita, komposisi, hipotesis atau
teorinya sendiri dan mensintesiskan pengetahuannya. Pada tingkat evaluasi, peserta didik
mengevaluasi informasi seperti bukti, sejarah, editorial, teori-teori yang termasuk di dalamnya
judgement terhadap hasil analisis untuk membuat kebijakan.
Tujuan aspek kognitif berorientasi pada kemampuan berfikir yang mencakup kemampuan
intelektual yang lebih sederhana, yaitu mengingat, sampai pada kemampuan memecahkan
masalah yang menuntut siswa untuk menghubungakan dan menggabungkan beberapa ide,
gagasan, metode atau prosedur yang dipelajari untuk memecahkan masalah tersebut. Dengan
demikian aspek kognitif adalah subtaksonomi yangmengungkapkan tentang kegiatan mental
yang sering berawal dari tingkat pengetahuan sampai ke tingkat yang paling tinggi yaitu evaluasi.
Aspek kognitif terdiri atas enam tingkatan dengan aspek belajar yang
berbeda-beda. Keenam tingkat tersebut yaitu: . ,.
1. Tingkat pengetahuan (knowledge), pada tahap ini menuntut siswa untuk
mampu mengingat (recall) berbagai informasi yang telah diterima
sebelumnya, misalnya fakta, rumus, terminologi strategi problem
solving dan lain sebagianya.
2. Tingkat pemahaman (comprehension), pada tahap ini kategori pemahaman dihubungkan
dengan kemampuan untuk menjelaskan
pengetahuan, informasi yang telah diketahui dengan kata-kata sendiri.
Pada tahap ini peserta didik diharapkan menerjemahkan atau
menyebutkan kembali yang telah didengar dengan kata-kata sendiri.
3.Tingkat penerapan (application), penerapan merupakan kemampuan
untuk menggunakan atau menerapkan informasi yang telah dipelajari ke
dalam situasi yang baru, serta memecahlcan berbagai masalah yang timbul
dalam kehidupan sehari-hari.
4. Tingkat analisis (analysis), analisis merupakan kemampuan
mengidentifikasi, memisahkan dan membedakan komponen-komponen
atau elemen suatu fakta, konsep, pendapat, asumsi, hipotesa atau
kesimpulan, dan memeriksa setiap komponen tersebut untuk melihat ada
atau tidaknya kontradiksi. Dalam tingkat ini peserta didik diharapkan
menunjukkan hubungan di antara berbagai gagasan dengan cara
membandingkan gagasan tersebut dengan standar, prinsip atau prosedur
yang telah dipelajari.
5. Tingkat sintesis (synthesis’), sintesis merupakan kemampuan seseorang
dalam mengaitkan dan menyatukan berbagai elemen dan unsur
pengetahuan yang ada sehingga terbentuk pola baru yang lebih
menyeluruh.
6. Tingkat evaluasi (evaluation), evaluasi merupakan level tertinggi yang
mengharapkan peserta didik mampu membuat penilaian dan keputusan
tentang nilai suatu gagasan, metode, produk atau benda dengan
menggunakan kriteria tertentu.
Apabila melihat kenyataan yang ada dalam sistem pendidikan yang diselenggarakan, pada
umumnya baru menerapkan beberapa aspek kognitif tingkat rendah, seperti pengetahuan,
pemahaman dan sedikit penerapan. Sedangkan tingkat analisis, sintesis dan evaluasi jarang sekali
diterapkan. Apabila semua tingkat kognitif diterapkan secara merata dan terus-menerus maka
hasil pendidikan akan lebih baik.
Maka apabila bahan ajar telah diajarkan secara lengkap sesuai dengan program yang telah
ditetapkan maka membuat alat penilaian (soal) dengan formulasi perbandingan sebagai berikut:
1.soal yang menguji tingkat pengetahuan peserta didik : 40%
2. soal yang menguji tingkat pemahaman peserta didik : 20%
3.soal yang menguji tingkat kemampuan dalam penerapan pengetahuan : 20%
4. soal yang menguji tingkat kemampuan dalam analisis peserta didik .: 10%
5.soal yang menguji tingkat kemampuan sintesis peserta didik : 5%
6.soal yang menguji kemampuan petatar dalam mengevaluasi : 5%
Total formulas! soal untuk satu kali ujian yaitu: 100%
Dengan menggunakan formulasi perbandingan soal di atas mempermudahseorang guru untuk
memperjelas cara berfikirnya dan untuk memilih pertanyaan-pertanyaan (soal-soal) yang akan
diujikan, selain itu juga dapat membantu seorang guru agar terhindar dari kekeliruan dalam
membuat soal.
Seorang guru dituntut mendesain program/rencana pembelajaran termasuk di dalamnya rencana
penilaian (tes) diantaranya membuat soal-soal berdasarkan kisi-kisi soal dan komposisi yang
telah ditetapkan.
Bentuk tes kognitif diantaranya; (1) tes atau pertanyaan lisan di kelas, (2) pilihan ganda, (3)
uraian obyektif, (4) uraian non obyektif atau uraian bebas, (5) jawaban atau isian singkat, (6)
menjodohkan, (7) portopolio dan (8) performans.
UJIAN NASIONAL : UPAYA PERBAIKAN KUALITAS PENDIDIKAN
INDONESIA?

Pendahuluan
Perdebatan mengenai Ujian Nasional (UN) sebenarnya sudah terjadi saat kebijakan tersebut
mulai digulirkan pada tahun ajaran 2002/2003. UN atau pada awalnya bernama Ujian Akhir
Nasional (UAN) menjadi pengganti kebijakan Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (Ebtanas).
Hanya, sementara Ebtanas berlaku pada semua level sekolah, UN hanya pada sekolah lanjutan
tingkat pertama (SLTP), madrasah tsanawiyah (MTs), sekolah menengah umum (SMU),
madrasah aliyah (MA), dan sekolah menengah kejuruan (SMK). Untuk sekolah dasar (SD),
sekolah dasar luar biasa (SDLB), sekolah luar biasa setingkat SD (SLB), dan madrasah
ibtidaiyah (MI), Ebtanas diganti dengan ujian akhir sekolah (tahun 2008 nanti, pada jenjang
Sekolah Dasar juga akan diselenggarakan Ujian Nasional).
Perdebatan muncul tidak hanya karena kebijakan UN yang digulirkan Departemen Pendidikan
Nasional minim sosialisasi dan tertutup, tapi lebih pada hal yang bersifat fundamental secara
yuridis dan pedagogis. Dari hasil kajian Koalisi Pendidikan (Koran Tempo, 4 Februari 2005),
setidaknya ada empat penyimpangan dengan digulirkannya UN. Pertama, aspek pedagogis.
Dalam ilmu kependidikan, kemampuan peserta didik mencakup tiga aspek, yakni pengetahuan
(kognitif), keterampilan (psikomotorik), dan sikap (afektif). Tapi yang dinilai dalam UN hanya
satu aspek kemampuan, yaitu kognitif, sedangkan kedua aspek lain tidak diujikan sebagai
penentu kelulusan.
Kedua, aspek yuridis. Beberapa pasal dalam UU Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun
2003 telah dilanggar, misalnya pasal 35 ayat 1 yang menyatakan bahwa standar nasional
pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan
prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan, yang harus ditingkatkan secara
berencana dan berkala. UN hanya mengukur kemampuan pengetahuan dan penentuan standar
pendidikan yang ditentukan secara sepihak oleh pemerintah. Pasal 58 ayat 1 menyatakan,
evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan,
dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan. Kenyataannya, selain
merampas hak guru melakukan penilaian, UN mengabaikan unsur penilaian yang berupa proses.
Selain itu, pada pasal 59 ayat 1 dinyatakan, pemerintah dan pemerintah daerah melakukan
evaluasi terhadap pengelola, satuan jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. Tapi dalam UN
pemerintah hanya melakukan evaluasi terhadap hasil belajar siswa yang sebenarnya merupakan
tugas pendidik.
Ketiga, aspek sosial dan psikologis. Dalam mekanisme UN yang diselenggarakannya,
pemerintah telah mematok standar nilai kelulusan 3,01 pada tahun 2002/2003 menjadi 4,01 pada
tahun 2003/2004 dan 4,25 pada tahun 2004/2005. Ini menimbulkan kecemasan psikologis bagi
peserta didik dan orang tua siswa. Siswa dipaksa menghafalkan pelajaran-pelajaran yang akan
di-UN-kan di sekolah ataupun di rumah.
Keempat, aspek ekonomi. Secara ekonomis, pelaksanaan UN memboroskan biaya. Tahun 2005,
dana yang dikeluarkan dari APBN mencapai Rp 260 miliar, belum ditambah dana dari APBD
dan masyarakat. Pada 2005 memang disebutkan pendanaan UN berasal dari pemerintah, tapi
tidak jelas sumbernya, sehingga sangat memungkinkan masyarakat kembali akan dibebani biaya.
Selain itu, belum dibuat sistem yang jelas untuk menangkal penyimpangan finansial dana UN.
Sistem pengelolaan selama ini masih sangat tertutup dan tidak jelas pertanggungjawabannya.
Kondisi ini memungkinkan terjadinya penyimpangan (korupsi) dana UN.

Alasan Pelaksanaan Ujian Nasional


Alasan pemerintah menyelenggarakan UN, pertama, mengukur dan menilai kompetensi peserta
didik dalam bidang pengetahuan dan teknologi. Hasil ujian ini juga akan dipergunakan untuk
ukuran tingkat pencapaian pendidikan nasional.
Kedua, hasil ujian dipakai sebagai instrumen penentu kelulusan dan pemberian ijazah bagi
peserta didik. Dalam konteks yang sama, hasil ujian ini dipergunakan sebagai alat untuk
memetakan mutu sekolah dan mutu pendidikan secara nasional serta bahan pertimbangan
akreditasi bagi sekolah.
Jika merujuk UU No. 20 Tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasional kewenangan
menyelenggarakan evaluasi belajar peserta didik menjadi tanggung jawab guru dan sekolah.
Dengan kata lain, menyelenggarakan UN berarti keinginan memperbarui kondisi pendidikan
nasional semakin menjauh dari harapan. Ditinjau dari sudut undang-undang, pertimbangan
pedagogis, dan alasan efektivitas dan efisiensi UN tidak banyak bermanfaat. Dicemaskan, UN
hanya menyerap energi yang tidak kecil dari kalangan pendidik. Bahkan besar kemungkinan
menjadi ajang proyek hanya menguntungkan segelintir orang. Yang menjadi persoalan kini ialah,
belum tersedianya standardisasi pendidikan nasional. Selama belum dibentuk Badan Independen
yang bertugas memetakan kualitas pendidikan nasional, penyelenggaraan UN tidak maksimal
karena peta pendidikan di Tanah Air masih bias dan samar-samar.
Pada saat ini, banyak sekolah belum memenuhi standar minimal sekalipun, sehingga tidak
menutup kemungkinan, jika dipaksakan UN dan kemudian hasilnya diketahui buruk, kebijakan
konversi diterapkan kembali. Jika UN hendak dipakai sebagai standar pendidikan, harus
dilakukan dengan kepenuhan standar pelayanan minimal seperti kecukupan tenaga pendidik,
sarana prasarana maupun penunjang lain.
Hingga kini sebagian besar SD, SMP dan SLTA menunjukkan kurangnya tenaga pendidik baik
dari segi kualitas dan kuantitas, buku dan alat laboratorium. Pada saat sekolah tidak dalam
keadaan standar yang sama kemudian diukur dengan tolok ukur yang sama justru tidak adil dan
tidak fair.
Keragaman soal yang disesuaikan dengan mutu pendidikan, justru berpotensi memicu
kesenjangan dan keresahan sosial di kalangan pendidik dan peserta didik. Dengan cara itu akan
ada sekolah bermutu, kurang bermutu, sekaligus sekolah gombal, supergombal yang jelas-jelas
merendahkan martabat peserta didik, sekolah, pendidik dan orang tua. Bagaimanapun, jika
sebuah sekolah memperoleh soal ujian spektrum dua dan tiga akan menjadi promosi yang buruk
bagi calon peserta didik. Bahkan sangat mungkin pada tahun ajaran berikutnya, sekolah yang
dikategorikan dengan spektrum 2 dan 3 tidak mendapat murid baru.

Alat Ukur Sama


Sebagai alat pengukur mutu pendidikan nasional, jangan alat ukurnya yang dibeda-bedakan.
Sebagai pengukur, soal-soal UN mestinya sama untuk semua jenis sekolah baik bermutu dan
tidak bermutu. Yang menjadi masalah pada masa kini ialah, tidak semua sekolah mendapat
kesempatan meningkatkan mutu pendidikan dengan guru yang memadai sekaligus berkualitas,
sarana yang lengkap berikut buku-bukunya. Tidak meratanya distribusi penunjang pendidikan
inilah yang menjadi sebab mengapa alat ukur yang bersifat nasional tidak pernah memuaskan
semua pihak. Idealnya, benahi dulu infrastruktur pendidikan seperti gedung, guru, buku,
laboratorium baru diadakan pengukuran kualitas pendidikan nasional. Lagi pula, pada era
otonomi daerah dimana upaya pemberdayaan daerah tengah digalakkan, penyelenggaraan ujian
berskala nasional dan sentralistis mestinya dihapuskan.
Karakter masing-masing daerah mempunyai keragaman yang berbeda-beda. Lagipula, yang
disebut dengan pendidikan adalah proses dan bukan hasil semata. Penyelenggaraan UN hanyalah
salah satu alat ukur saja dari segi hasil, sementara proses tidak pernah terukur dengan mekanisme
ujian yang selama ini sudah berjalan. Lain halnya, jika evaluasi pendidikan diserahkan kepada
guru di masing-masing sekolah proses belajar anak didik akan diketahui.
UN pada saat yang sama justru menjadi ajang pemborosan anggaran. Untuk jenjang SLTA, nilai-
nilai UN tidak banyak bermanfaat bahkan boleh dikatakan mubazir. Selama ini, hampir semua
perguruan tinggi menyelenggarakan sendiri Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dan
tidak mempergunakan nilai murni UN. Bahkan beberapa SLTA juga menyelenggarakan sendiri
tes penerimaan siswa baru dan nilai murni ujian hanya dipakai sebagai pertimbangan saja.
Kalau demikian halnya, UN hanya akan menjadi beban orang tua yang harus menambah biaya
pendidikan bagi anaknya, sekolah dan guru yang harus ngedril latihan-latihan soal untuk
menghadapi ujian. Bahkan sering terjadi, materi yang mestinya diberikan sampai selesai justru
tidak diberikan karena pertimbangan mempersiapkan anak-anak menghadapi ujian.

Cermin Kualitas
Strategi ngedril untuk mempersiapkan ujian sesungguhnya tidak menyebabkan para siswa kian
memahami substansi pelajaran secara keseluruhan. Yang terjadi hanyalah melatih para siswa
menyiasati soal-soal ujian. Hal ini terpaksa ditempuh untuk menyiasati ambang batas kelulusan.
Dengan lain kata, jika penyelenggaraan UN dihadapi dengan cara demikian sesungguhnya tidak
mencerminkan kualitas pendidikan nasional secara keseluruhan.
Sebelum ada pemetaan pendidikan yang dilakukan oleh badan independen, kiranya pemaksaan
penyelenggaraan UN hanya akan memicu polemik dan kontroversi berkepanjangan di kalangan
masyarakat. Jika kebijakan ini menjadi polemik, yang menjadi korban adalah pendidik, anak
didik dan orang tua karena menghadapi ketidakpastian dalam pendidikan. Pemerintah tidak perlu
memaksakan diri mengadakan UN. Pemerintah, pada era otonomi ini cukup memberikan rambu-
rambunya atau kisi-kisi saja sementara pembuatan soal sepenuhnya diserahkan kepada sekolah.
Evaluasi pendidikan diserahkan sepenuhnya kepada guru sesuai dengan undang-undang.
Di tengah beragam wacana perlu tidaknya diadakan UN dan relevansinya bagi anak didik,
mestinya pemerintah menempatkan kebijakan otonomi pendidikan sebagai pertimbangan utama.
Bukankah dengan konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang digulirkan pemerintah
setahun silam, sekolah diberi keleluasaan penuh mengatur rumah tangganya sendiri termasuk
dalam hal ujian.
Kiranya, pada saat ini tepat menghapuskan hegemoni negara dalam penyelenggaraan ujian
berskala nasional. Selama ini, alat itu terbukti tidak menjamin kualitas pendidikan kian menjadi
baik.
Pemerintah hendaknya meninjau kembali kebijakan dan praktik pendidikan dengan menjadikan
ujian nasional sebagai penentu tunggal kesuksesan siswa. Ada dua pertimbangan utama yang
mesti diperhatikan. Pertama, menyangkut kaitan antara pengujian kompetensi siswa dan
bangunan kurikulum yang diterapkan pada pendidikan nasional. Kedua, terkait dengan
pelaksanaan dari amanah konstitusi tentang kompetensi kelulusan yang diberlakukan secara
nasional.

Bangunan Kurikulum
Saya sependapat dengan prinsip pentingnya penguatan mekanisme pengujian kecakapan siswa
melalui ujian nasional. Namun, bagi saya, persoalannya bukan di situ. Ada masalah mendasar
yang menyelimuti mekanisme pengujian itu, yakni terkait dengan pemberlakuan kurikulum di
pendidikan nasional kita. Kita perlu meletakkan persoalan ujian nasional pada sistem pengenaan
kurikulum yang dikembangkan di pendidikan tanah air. Pendidikan Indonesia dikembangkan
dengan kurikulum berbasis kompetensi (KBK), yang kini lebih disempurnakan melalui desain
dan bangunan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP). Inti dari desain dan bangunan
kurikulum seperti ini adalah upaya untuk mengapresiasi kompetensi masing-masing siswa sesuai
dengan keragaman individual (individual differences) yang dimiliki oleh siswa itu sendiri.
Oleh karena itu, dengan menjunjung tinggi prinsip kompetensi ini, bangunan dasar kebijakan
ujian nasional sungguh menyisakan persoalan. Muatan kompetensi yang dikembangkan oleh
kurikulum telah direduksi sedemikian rupa melalui mekanisme pengujian tiga mata pelajaran
dalam ujian nasional, yakni matematika, Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Seorang siswa
yang prestasi akademiknya secara umum sangat bagus bisa saja akhirnya dinyatakan tidak lulus
karena nilai yang diperolehnya untuk salah satu bidang studi yang di-UN-kan lebih rendah
daripada standar minimal yang diberlakukan secara nasional.
Kebijakan tidak meluluskan siswa karena nilai satu di antara tiga mata pelajaran yang di-UN-kan
di bawah standar yang diterapkan sama saja artinya dengan membunuh kompetensi siswa yang
bersangkutan. Ini sungguh ironis dan bertentangan sama sekali dengan prinsip kurikulum
(apapun nama kemasan kurikulum itu) yang sangat menghargai kompetensi dan perbedaan
potensi individual siswa.
Bahasa Indonesia, Inggris dan matematika memang mencerminkan kompetensi dasar manusia,
yakni bahasa dan logika. Namun, bukan berarti kegagalan pada salah satu bisa memberangus
kompetensi atau potensi yang lain. Oleh karena itu, kalau standar pengukuran kelulusan siswa
harus ditentukan pada kelulusan ketiga mata pelajaran di atas, maka kurikulum nasional
pendidikan harus diubah dulu. Ibarat sebuah produksi, kurikulum merupakan mesin dan
sekaligus bahan produksi. Maka, proses quality control-nya harus mempertimbangkan bahan dan
mesin itu secara keseluruhan.
Kalau standar kelulusan tetap pada kelulusan tiga mata pelajaran di atas, sementara
kurikulumnya tetap mengapresisasi pola kompetensi dan potensi individual anak, maka ibaratnya
kita sedang menegakkan prinsip ”nila setitik rusak susu sebelanga”. Kegagalan satu mata
pelajaran bisa menghanguskan semua mata pelajaran yang pernah diajarkan di sekolah. Oleh
karena itu, kelulusan siswa tidak bisa hanya sekadar dilihat dari prinsip ”kompetisi dengan
konsekuensi degradasi”, sebagaimana dalam kompetisi liga sepak bola, melalui mekanisme UN
tanpa melihat sistem pembelajaran yang lebih luas.
Amanah Konstitusi
Pasal 35 UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang mensyaratkan adanya
’kompetensi kelulusan’ yang ditetapkan secara nasional mestinya tidak dimaknai dalam bentuk
menjadikan ujian nasional sebagai satu-satunya faktor kelulusan. Ini menjadi masalah mendasar
kedua di balik kebijakan ujian nasional yang dijadikan sebagai standar kelulusan.
Seharusnya ada mekanisme yang menyertakan peran sekolah dan guru dalam menentukan
kelulusan siswa didik. Kalau tidak, pemerintah sama artinya dengan ikut memperpuruk kondisi
sosial pendidikan nasional. Bentuknya adalah menjadikan kemampuan kognitif melalui
kecakapan pada tiga mata pelajaran sebagai satu-satunya tolok ukur kelulusan tanpa adanya
pertimbangan dan penilaian yang sama terhadap aspek afektif dan psikomotorik, yang catatan
persisnya hanya diketahui oleh pihak sekolah dan guru.
Padahal, dua aspek yang disebut terakhir memiliki peran yang sama dengan aspek kognitif dalam
menciptakan generasi bangsa yang berkualitas. Tingginya perilaku culas dan semakin
tenggelamnya prinsip kejujuran dalam praktik bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di negeri
ini, bahkan, sangat kerap diawali oleh lemahnya penguatan domain afektif dan psikomorotik
dalam proses pendidikan nasional. Dan, sekolah menjadi media pelestarian kecenderungan
praktik semacam ini.
Kalau kebijakan penyamaan kecakapan siswa dengan kelulusan tiga mata pelajaran yang di-UN-
kan terus diterapkan tanpa menyertakan pihak sekolah dan atau guru, konsekuensinya akan
panjang. Sebab, hal ini akan mendorong siswa, dan termasuk guru serta institusi pengelola
pendidikan, untuk semata-mata menumpahkan perhatian pada tiga mata pelajaran yang di-UN-
kan tersebut, sementara melupakan esensi pendidikan yang lebih besar. Termasuk menyangkut
proses pembentukan karakter dan penanaman nilai dan budaya bangsa.
Kalau hal ini terjadi, maka benar pula peringatan soerang filosof dan pendidikan Amerika, John
Caldwell Holt (lihat How Children Fail, 1964), yang menjadi embrio bagi merebaknya konsep
dan praktik sekolah rumah (homeshooling): ”The academic failure of schoolchildren was not in
spite of the efforst of the schools, but actually because of the schools.” Pengertiannya,
”kegagalan akademik anak sekolah bukanlah karena buruknya upaya pihak sekolah, tetapi
memang karena sistem persekolahan itu sendiri yang menjadi penyebabnya.”

Daftar Pustaka
Haryanti, Mien dan Paulus Mujiran. Kontroversi Ujian Nasional. Suara Merdeka : 15 Februari
2005.
Irawan, Ade. Kontroversi Ujian Nasional. Koran Tempo : 4 Februari 2005.
Maksum, Ali dan Luluk Yunan Ruhendi. 2004. Paradigma Pendidikan Universal di Era Modern
dan Postmodern. Yogyakarta : IRCiSoD.
Muzakki, Akhmad. Menakar Unas, Memperbaiki Persekolahan. Duta Masyarakat : 5 Juli 2007.
Ratnawati, Sinta (ed). 2002. Sekolah Alternatif untuk Anak. Jakarta : Kompas.
Sukmadinata, Nana Syaodih. 2005. Pengembangan Kurikulum, teori dan Praktek. Bandung :
Remaja Rosda Karya.
Susilo, Joko. 2007. Kurikuum Tingkat Satuan Pendidikan, Manajemen Pelaksanaan dan
Kesiapan Sekolah Menyongsongnya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Susilo, Joko. 2007. Pembodohan Siswa Tersistematis. Yogyakarta : Pinus book Publisher.

Anda mungkin juga menyukai