Anda di halaman 1dari 32

JAWABAN UJIAN MID SEMESTER

DASAR-DASAR TEKNOLOGI PENDIDIKAN


SEMESTER GANJIL (SATU) TAHUN 2010/2011
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PENDIDIKAN

Oleh :
Nama : Attia Nurani
NIM : 20102513074

Dosen Pengampu :
Prof. Dr. Yusufhadi Miarso, M.Sc
Prof. Dr.H.Fuad Abd Rachman, MPd
Dr. H. Djamaah Sopah, MSc. Ed

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PENDIDIKAN


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2010
1. Coba Anda jelaskan keterkaitan/hubugnan dan perbedaan antara
a. pendidikan dan teknologi pendidikan
Keterkaitan: Landasan pendidikan dalam teknologi pendidikan bersifat
memecahkan masalah belajar pembelajaran yang bersifat inovatif dan/atau
reformatif sepeti pengelolaan, pendekatan, strategi dan penilaian. Dalam
artian teknologi sebagai proses, maka pendidikan dapat dikatakan sebagai
salah satu teknologi, karena pendidikan itu merupakan proses untuk
menjadikan manusia terdidik, atau proses untuk memperoleh nilai tambah
(added value), sehingga dapat dikatakan ”education as technology”.
(Miarso, 2004:158)
Perbedaan: Pendidikan merupakan pendidikan sepanjang hayat yang
dilaskanakan didalam rungh tangga, sekolah, dan masyarakat. Pendidikan
bagi orang dewasa menjadi tanggung ajwab sendiri. Manusia sebgai
makhluk berpikir mempuyai motivasi belaajr. Dan untuk aktualisasi diri.
Sedangkan teknologi pendidikan menjadi suatu kajian disiplin keilmuan
bertujuan untuk memecahkan masalah pembelajaran Pada hakikatnya
teknologi pembelajaran adalah suatu disiplin yang berkepentingan dengan
pemecahan masalah belajar… (Miarso, 2009: 193).
b. teknologi pendidikan dan teknologi pembelajaran
Keterkaitan : Teknologi Pendidikan adalah gabungan manusia, peralatan,
teknik dan peristiwa yang bertujuan untuk memberi kesan baik kepada
pendidikan (Crowell (1971) : Enclycopedia of Education. Teknologi
Pendidikan merupakan perkembangan, penggunan dan penilaian sistem,
teknik dan bantuan dalam bidang pembelajaran manusia. (Department of
Education and Science – UK). Teknologi Pembelajaran merupakan disiplin
keilmuan yang sangat berperan penting dalam proses belajar. Sebagai suatu
disiplin . teknologi pembelajaran berpegang pada falsafah berkembangnya
potensi optimal pembelajar (learners) secara efektif dan efisien…(Miarso,
2009: 196). Percival & Ellington (1984) berpendapat bahwa teknologi
pembelajaran merupakan teknologi of education.
Perbedaan Teknologi Pendidikan adalah proses yang kompleks dan terpadu
yang melibatkan orang, prosedur, ide, peralatan dan organisasi untuk
menganalis masalah, mencari solusi dari suatu masalah melaksanakan dan
mengevaluasi, serta mengelola pemecahan masalah yang menyangkut semua
aspek belajar manusia.
Teknologi Pembelajaran: Definisi dari teknologi pembelajaran menurut AECT
adalah: suatu teory dan praktek dari desain, development, utilization,
management, dan evaluation dari proses dan sumber untuk belajar. Teknologi
pembelajaran adalah suatu cara atau jalan untuk membuat belajar lebih efisien.
Sedangkan dari definisi terbaru tekologi pendidikan tahun 2008 yaitu :
Teknologi pendidikan adalah studi dan praktek etis dalam upaya memfasilitasi
pembelajaran dan meningkatkan kinerja dengan cara menciptakan,
menggunakan/memanfaatkan, dan mengelola proses dan sumber-sumber
teknologi yang tepat. Jelas, tujuan utamanya masih tetap untuk memfasilitasi
pembelajaran (agar efektif, efisien dan menarik) dan meningkatkan kinerja.

c. Teknologi pendidikan dan teknologi dalam pembelajaran


Keterkaitan : Teknologi bidang Pendidikan adalah suatu bidang studi di
dalam ppembelajaran. Istilah teknologi Bidang pembelajaran adalah sering
dihubungkan dengan teknologi intervi atau teknologi pelajaran, tetapi teknologi
bidang pendidikan adalah suatu istilah lebih luas, atau bidang studi mencakup
yang lain dua orang. Pertimbangkan[lah perbedaan antar " Intervi" dan "
Bidang pendidikan." Teknologi bidang Pendidikann dapat meliputi sistem
selain dari itu berhubungan dengan instruksi ( e.g. sistem perpustakaan atau
pendaftaran). teknologi pendidikan adalah bidang studi dalam pendidikan.
Teknologi Pendidikan Istilah sering dikaitkan dengan teknologi instruksional
atau teknologi pembelajaran, namun teknologi pendidikan adalah istilah yang
lebih luas, atau bidang studi meliputi dua lainnya. Pertimbangkan perbedaan
antara "Instruksional" dan "Pendidikan." Pendidikan teknologi dapat mencakup
sistem selain yang berkaitan dengan instruksi (misalnya pendaftaran atau
sistem perpustakaan).
Perbedaan: Teknologi dalam Pembelajaran adalah Penggunaan kemahiran dan
teknik modern dalam keperluan kepelatihan yang meliputi kemudahan belajar
dengan menggunakan lingkungan sekitar supaya menimbulkan proses
pembelajaran. Sedangkan teknologi pendidikan merupakan Kesimpulan satu
sistem yang meliputi alat dan bahan media, organisasi yang digunakan secara
terancang bagi menghasilkan kecekapan dalam pengajaran dan keberkesanan
dalam pembelajaran.

2. Coba anda anda jelaskan tentang


a. sejarah perkembangan teknologi pendidikan
Pada tahun 1960-an teknologi pendidikan menjadi salah satu kajian yang
banyak mendapat perhatian di lingkungan ahli pendidikan. Pada awalnya,
teknologi pendidikan merupakan kelanjutan perkembangan dari kajian-kajian
tentang penggunaan Audiovisual, dan program belajar dalam penyelenggaraan
pendidikan. Kajian tersebut pada hakekatnya merupakan usaha dalam
memecahkan masalah belajar manusia (human learning). Solusi yang diambil
melalui kajian teknologi pendidikan bahwa pemecahan masalah belajar perlu
menggunakan pendekatan-pendekatan yang tepat dengan banyak
memfungsikan pemanfaatan sumber belajar (learning resources).
Perkembangan kajian teknologi pendidikan menghasilkan berbagai konsep dan
praktek pendidikan yang banyak memanfaatkan media sebagai sumber belajar.
Oleh karena itu, terdapat persepsi bahwa teknologi pendidikan sama dengan
media, padahal kedudukan media berfungsi sebagai sarana untuk
mempermudah dalam penyampaian informasi atau bahan belajar. Dari segi
sistem pendidikan, kedudukan teknologi pendidikan berfungsi untuk
memperkuat pengembangan kurikulum terutama dalam disain dan
pengembangan, serta implementasinya, bahkan terdapat asumsi bahwa
kurikulum berkaitan dengan “what”, sedangkan teknologi pendidikan mengkaji
tentang “how”. Dalam kaitannya dengan pembelajaran, teknologi pendidikan
memperkuat dalam merekayasa berbagai cara dan teknik dari mulai tahap
disain, pengembangan, pemanfaatan berbagai sumber belajar, implementasi,
dan penilaian program dan hasil belajar.
Berdasarkan sejarah perkembangannya, istilah teknologi pendidikan
mulai digunakan sejak tahun 1963, dan secara resmi diikrarkan oleh
Association of Educational and Communication Technology (AECT) sejak
tahun 1977, walaupun adakalanya terjadi overlapping penggunaan istilah
tersebut dengan teknologi pembelajaran. Namun, kedua istilah tersebut masih
terus digunakan sesuai dengan pertimbangan penggunanya. Finn (1965)
mengungkapkan bahwa di Inggris dan Kanada lebih lazim digunakan istilah
teknologi pendidikan, sedangkan di Amerika Serikat banyak digunakan istilah
teknologi pembelajaran. Tapi adakalanya kedua istilah tersebut digunakan
secara serempak dalam kegiatan yang sama. Dan akhir-akhir ini berkembang
konsep bahwa teknologi pembelajaran lebih layak digunakan untuk konteks
penyelenggaraan pengajaran.
Konsep dan prinsip teknologi pembelajaran kemudian diperkaya oleh
ahli-ahli bidang Psikologi, seperti Bruner (1966), dan Gagne (1974), ahli
Cybernetic seperti Landa (1976), dan Pask (1976), serta praktisi seperti Gilbert
(1969), dan Horn (1969), serta lembaga-lembaga pendidikan yang memiliki
ketertarikan atas pengembangan program pembelajaran. Walaupun teknologi
pembelajaran termasuk masih prematur, akan tetapi usaha pengembangannya
terus dilakukan secara kreatif dan teliti sehingga mampu memecahkan
permasalahan yang muncul dalam pembelajaran, sampai kepada hal-hal mikro
dalam tahapan tingkahlaku belajar peserta didik.
Pembelajaran pada hakekatnya mempersiapkan peserta didik untuk dapat
menampilkan tingkahlaku hasil belajar dalam kondisi yang nyata, atau untuk
memecahkan masalah yang dihadapi dalam kehidupannya. Untuk itu,
pengembang program pembelajaran selalu menggunakan teknik analisis
kebutuhan belajar untuk memperoleh informasi mengenai kemampuan yang
diperlukan peserta didik. Bahkan setelah peserta didik menyelesaikan kegiatan
belajar selalu dilakukan analisis umpan balik untuk melihat kesesuaian hasil
belajar dengan kebutuhan belajar. Harless (1960) menyebutnya dengan “front-
end analysis”, sedangkan Mager dan Pape (1970) menyebutnya “performance
problem analysis”. Dan Romizwoski (1986) mengistilahkan kegitan tersebut
sebagai “performance technology”.
Teori komunikasi yang dikembangan Harold Lasswell merupakan awal
pijakan dalam mempelajari konsep komunikasi dalam pendidikan. Hal ini
diperkuat Dale yang menekankan perlunya komunikasi dalam memulai
mengajar dan menulis. Konsep komunikasi yang terpilih pada masa itu
bergeser dari komunikasi satu arah ke komunikasi dua arah atau interaktif.
Konsep komunikasi yang diungkapkan Shannon dan Weaver’s sebagai hasil
kajiannya terhadap komunikasi telpon dan teknologi radio menjadi model yang
khas yang disebut Mathematical Theory of Communication, dengan
komponen-komponennya yang terdiri dari: Information Source, Massage,
Transmitter, Signal, Noise Source, Signal Receiver, Reciever, Massage, dan
Destination, konsep teori komunikasinya tergolong pada komunikasi linier.
Kemudian David Berlo (1960) yang banyak diilhami model Shannon dan
Weaver menghasilkan temuannya Model Komunikasi Sender, Massage,
Channel, Receiver (SMCR). Konsepnya banyak memberikan perhatian
terhadap adanya Massage (pesan) dan Channel (saluran). Model ini menjadi
dasar pengembangan dalam komunikasi audiovisual pada pendidikan.
Perkembangan ke arah komunikasi interaktif memiliki dampak terhadap
perkembangan konsep teknologi pendidikan yang banyak memperhatikan
perubahan posisi decoder dan encoder dalam menerima, mengolah, dan
menyampaikan feed back pesan sehingga terjadinya saling memberi informasi.
Kajian ahli-ahli psikologi dan sosial psikologi dalam pendidikan
berlangsung selama masa dan pasca perang dunia ke II, terutama menjadi fokus
kajian di lingkungan pengajaran militer (Lange, 1969). Hasil kajiannya
membawa pengaruh terhadap penyelenggaraan pembelajaran, terutama dalam
menetapkan tujuan pengajaran, memahami peserta didik, pemilihan metode
mengajar, pemilihan sumber belajar, dan penilaian. Kemudian berkembang
beberapa kajian yang berkaitan dengan hubungan antara media audiovisual
dengan pembelajaran yang difokuskan pada persepsi peserta didik, penyajian
pesan, dan pengembangan model pembelajaran. Studi masa itu kebanyakan
diwarnai oleh aliran psikologi behavior, sebagai contoh operant behavioral
conditioning yang ditemukan BF Skinner (1953). Teori belajar dan psikologi
behavior ini mempengaruhi teknologi pendidikan pada masa itu dalam tiga hal,
yaitu: 1. pengembangan dan penggunaan teaching machine dan program
pembelajaran; 2. spesifikasi tujuan pendidikan ke arah behavioral objectives;
dan 3. pencocokan konsep operant conditioning dengan konsep model
komunikasi (Ely, 1963).
Keterkaitan teori belajar ini terus dikaji oleh para ahli teknologi
pendidikan, sehingga tidak hanya psikologi behavior saja yang memiliki
kontribusi terhadap teknologi pendidikan akan tetapi bergeser ke arah psikologi
kognitif sebagaimana dikembangkan oleh Robert M Gagne (The Conditions of
Learning and theory of instruction, 1916).
Kontribusi ketiga terhadap definisi teknologi pendidikan versi tahun 1972
adalah pendekatan sistem. Hal ini didasarkan atas pemahaman bahwa program
pembelajaran adalah sebagai sistem yang memiliki komponen-komponen
pembelajaran yang saling keterkaitan satu sama lainnya untuk mencapai tujuan
pengajaran.
Sedangkan penafsiran dari pendekatan sistem itu sendiri didasarkan atas
pendapat Ludwig von Bertalanffy (1975) dalam General System Theory yang
menekankan pada studi terhadap keseluruhan entitas dalam memahami
hubungan yang mendasar keberadaan dari keseluruhan komponen dalam
sistem. Melalui pendekatan sistem maka teknologi pendidikan tidak
menetapkan langkah-langkah secara partial akan tetapi didasarkan atas
keseluruhan komponen-komponen yang terlibat dalam pendidikan itu sendiri,
baik dalam kaitannya dengan pembelajaran secara mikro maupun
penyelenggaraan pendidikan secara makro.
Perubahan dari AV communications ke teknologi pendidikan yang
berlangsung pada tahun 1972 melahirkan definisi teknologi pendidikan versi
1972 yang mengarah pada suatu bidang kajian dalam pendidikan. Konsep yang
terkandung dalam memaknai teknologi pendidikan ini terus dikritisi para ahli
pendidikan dan dihasilkan pemahaman bahwa teknologi pendidikan itu
merupakan suatu proses bukan hanya untuk bidang kajian saja, bahkan
termasuk teori dan profesi teknologi pendidikan.
Kontribusi terhadap perumusan kembali definisi teknologi pendidikan
versi 1972 menjadi versi 1977 sejalan dengan perubahan klasifikasi learning
resources, yang pada awalnya hanya meliputi empat kategori yaitu: bahan,
peralatan, orang, dan lingkungan, menjadi enam (6) kategori atau kelompok,
yaitu: pesan, orang, bahan, peralatan, teknik, dan lingkungan.
Terdapat tiga alasan dari konsep yang terkandung dalam learning resources
versi 1977, yaitu: 1) keluasan sumber belajar; 2) media; dan 3) pengadaan
sumber melalui rancangan dan pemanfaatan. Keluasan sumber belajar menjadi
dasar kemungkinan adanya variasi penggunaan model teknologi pendidikan
dalam memecahkan masalah belajar. Melalui sumber belajar yang bervariasi
maka model pembelajaran dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhan
belajar peserta didik, sistem penyampaian, dan pemberian pengalaman belajar
kepada peserta didik.
Dalam definisi versi 1977 ditetapkan bahwa managemen memiliki dua
tahap, yaitu adanya managemen organisasi dan managemen personal. Margaret
Chisholm dan Donald Ely (1976) mengungkapkan bahwa tugas kedua
managemen tersebut diperlukan adanya keseimbangan. Menurutnya didalam
program pembelajaran melalui media terdapat enam (6) hal yang harus menjadi
tanggung jawab managemen organisasi, yaitu: penetapan tujuan, perencanaan
program, pendanaan, perencanaan dan pengelolaan fasilitas, akses organisasi
dan sistem penyampaian, dan penilaian. Dan managemen personal memiliki
enam tugas pula, yaitu: penetapan tujuan, rekrutmen, pemanfaatan, pembagian
personal, peningkatan kemampuan staf, penetapan rancangan tugas, penilaian
kinerja, dan pelaksanaan pengawasan.
Penggunaan istilah managemen dalam definisi teknologi pendidikan ini
menjadi diskusi yang hangat diantara para ahli, akan tetapi dari segi fungsinya
mereka sepakat bahwa fungsi managemen ini menjadi hal yang penting untuk
mengelola berbagai macam hal yang berkaitan dengan perancangan,
pelaksanaan, pengawasan, dan penilaian pendidikan yang menggunakan
pendekatan teknologi pendidikan.
Kontribusi ketiga terhadap perumusan definisi tahun 1977 adalah
pengembangan pendidikan. Istilah pengembangan pendidikan disebut pula
dengan istilah teknologi pendidikan yang secara sistematik menyangkut desain,
produksi, penilaian, dan pemanfaatan sistem pendidikan, hal ini dapat
diidentifikasi sebagai fungsi pengembangan pendidikan. Pengembangan
pendidikan menggunakan pendekatan sistem dan pengembangan sistem
instruksional yang diwujudkan dalam tahapan-tahapan riset dan pengembangan
dari mulai identifikasi masalah belajar, disain, pengembangan, produksi model
pembelajaran, uji coba model, pemanfaatan model pembelajaran, dan
penyebarannya. Konsep pengembangan ini sejalan dengan konsep inovasi dan
difusi yang dikembangkan Everet M Rogers (1962).
Terdapat tiga alasan pengembangan model instruksional yang dilakukan
dalam teknologi pendidikan, yaitu: pertama, sebagai alat untuk
dikomunikasikan kepada calon peserta didik dan pihak lainnya; kedua, sebagai
rancangan yang digunakan dalam pengelolaan pembelajaran; dan ketiga, model
yang sederhana memudahkan untuk dikomunikasikan kepada calon peserta
didik, serta model yang rinci akan memudahkan dalam pengelolaan dan
pembuatan keputusan penggunaannya. Model instruksional yang generik
memudahkan setiap pihak yang mengadopsinya untuk mengimplementasikan
dalam berbagai macam setting. Apabila diklasifikasi model-model yang
berkembang dapat digolongkan ke dalam dua bentuk, yaitu model mikro yang
diantaranya dikembangkan oleh Banathy (1968), dan model makro yang
dikembangkan the National Special Media Instritute (1971) yang disebut
dengan the Instructional Development Institute (IDI).
Pengakuan bahwa teknologi pembelajaran menjadi bagian dari teknologi
pendidikan sebagaimana diungkapkan dalam definisi 1977 menjadi kajian yang
serius di lingkungan ahli-ahli pendidikan, sehingga melahirkan dua kelompok
yang memiliki argumentasi masing-masing. Kelompok yang menggunakan
istilah teknologi pembelajaran mendasarkan atas dua alasan, yaitu: pertama,
kata pembelajaran lebih sesuai dengan fungsi teknologi; kedua, kata
pendidikan lebih sesuai untuk hal-hal yang berhubungan dengan sekolah atau
lingkungan pendidikan. Kelompok ini beranggapan bahwa kata pendidikan
digunakan untuk setting sekolah, sedangkan pembelajaran memiliki cakupan
yang luas, termasuk situasi pelatihan. Para ahli yang lebih setuju dengan istilah
teknologi pendidikan tetap bersikukuh bahwa kata pembelajaran (instruction)
diakui sebagai bagian dari pendidikan, sehingga sebaiknya digunakan
peristilahan yang lebih luas (AECT, 1977). Kedua kelompok kelihatannya
bersikukuh dengan pendapatnya, namun ada juga kelompok yang
menggunakan kedua istilah tersebut digunakan secara bergantian, hal ini
didasarkan atas alasan-alasan: (a) dewasa ini istilah teknologi pembelajaran
lazim digunakan di Amerika Serikat, sedangan teknologi pendidikan digunakan
di Inggris dan Kanada; (b) mencakup banyaknya pemanfaatan teknologi dalam
pendidikan dan pengajaran; (c) perlu menggambarkan fungsi teknologi dalam
pendidikan secara lebih tepat; dan (d) dalam satu batasan dapat merujuk baik
pada pendidikan maupun pembelajaran. Didasarkan atas penggunaan kedua
istilah tersebut, maka istilah “teknologi pembelajaran” digunakan dalam
definisi 1994 (Seels and Richey, 1994:5).
Barbara B. Seels dari University of Pittsburg dan Rita C Richey dari
Wayna State University keduanya dari komisi termonologi AECT
mengembangkan definisi teknologi pembelajaran beserta kawasannya.
Menurutnya bahwa teknologi pembelajaran adalah teori dan praktek dalam
disain, pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan dan penilaian proses dan
sumber untuk belajar. Definisi tersebut memiliki komponen-komponen: 1) teori
dan praktek; 2) desain, pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan dan
penilaian; 3) proses dan sumber; dan 4) untuk kepentingan belajar.
Konsep definisi teknologi pendidikan mendapatkan kajian secara terus
menerus dan selalu dikritisi para ahli terutama yang tergabung dalam AECT,
hal ini sesuai dengan perkembangan pendidikan termasuk pembelajaran dan
yang lebih khusus kondisi dan karakteristik peserta didik serta komponen
pembelajaran lainnya. AECT merumuskan definisi teknologi pendidikan versi
bulan juni 2004 yang termasuk masih prematur dan dilemparkan kepada
seluruh masyarakat yang terkait dengan pendidikan melalui media internet.
Pernyataan yang disampaikan bahwa definisi ini merupakan pre-publication
dari bab awal buku yang akan dipublikasikan AECT. Isi informasinya hanya
untuk mahasiswa, studi dan reviu, dan tidak diperkenankan untuk diproduksi
terlebih dahulu.
Konsep definisi versi 2004 adalah sebagai berikut: Teknologi pendidikan
adalah studi dan praktek yang etis dalam memberi kemudahan belajar dan
perbaikan kinerja melalui kreasi, penggunaan, dan pengelolaan proses dan
sumber teknologi yang tepat. Kalau dianalisis, di dalam definisi tersebut
terkandung beberapa elemen berikut: 1) studi; 2) praktek yang etis; 3)
kemudahan belajar; 4) perbaikan kinerja; 5) perbaikan kinerja; 6) kreasi,
penggunaan, dan pengelolaan; 7) teknologi yang tepat; dan proses dan sumber.
Istilah studi yang digunakan dalam definisi tersebut merujuk pada pemaknaan
studi sebagai usaha untuk mengumpulkan informasi dan menganalisisnya
melebihi pelaksanaan riset yang tradisional, mencakup kajian-kajian kualitatif
dan kuantitatif untuk mendalami teori, kajian filsafat, pengkajian historik,
pengembangan projek, kesalahan analisis, analisa sistem, dan penilaian. Studi
dalam teknologi pendidikan telah berkembang terutama dalam kaitannya
dengan pengembangan model pembelajaran, efektifitas kedudukan media dan
teknologi dalam pelaksanaan pembelajaran, dam penerapan teknologi dalam
perbaikan belajar. Kajian mutakhir banyak difokuskan pada penempatan posisi
teori belajar, managemen informasi, dan perkembangan pemanfaatan teknologi
untuk memecahkan masalah belajar yang dihadapi peserta didik. Istilah studi
dalam definisi tersebut pada hakekatnya ditujukan untuk memberi kemudahan
belajar dan perbaikan kinerja belajar peserta didik melalui kegiatan belajar
yang memanfaatkan

b. landasan falsafah adalah landasan untuk memperoleh pembenaran


sebagai suaru disiplin pengetahuan terapan yang berdiri sendiri.
1. Secara Ontologi:
 Adanya berbagai macam sumber untuk belajar termasuk orang
(penulis, buku, prosedur media, dan lain-lain, pesan (yang
tertulis dalam buku atau tersaji lewat media), media (buku,
program televisi, radio, dan lain-lain), alat (jaringan, radio dan
lain-lain), cara-cara tertentu dalam mengolah/menyajikan
pesan, serta lingkugnan dimana proses pendidikan itu
berlangsung
 Perlunya sumber-sumber tersebut dikembangkan, baik secara
konseptual maupun secara faktual
 Perlu dikelolanya kegiatan pengebangan, maupun sumber-
sumber untuk belajar itu agar dapat digunakan seoptimal
mungkin guna keperluan belajar.
2. Secara Epistemologi
 Keseluruhan masalah belajar dan upayan pemecanhannya
ditelaah secara simultan. Semua situasi yang ada diperhatikan
dan dikaji saling kaitannya, dan bukannya dikaji secara
terpisah-pisah
 Unsur-unsur yang berkepentingan diintegrasikan dalam suatu
proses kompleks secara ssitematik, yaitu dirancang,
dikembangkan, dinilai, dan dikelola seabgau suatu kesatuan,
dan ditujuka untuk memecahkan masalah.
 Penggabungan ke dalam proses yang kompleks dan perhatian
atas gejala secara menyeluruh, harus mengandung daya lipat
atau sinergisme berbeda dengan hal diamna masing-masing
fungsi berjalan sendiri-sendiri.
3. Secara Aksiologi
Teknologi pendidikan perlu dipikirkan dan dibahas terus
menerus karena adanya kebutuha ril yang mendukung
pertumbuhan dan perkembangnanya yaitu
 Tekad mengadakan perluasan dan pemerataan kesempatan
belajar
 Keharusan meningkatkan mutu pendidikan berupa, antara lain,
penyempurnaan kurikulum, penyediaan berbagai sarana
pendidikan, dan peningkatan kemampuan tenaga pengajar
lewat berbagai bentuk pendidikan serta latihan
 Penyempurnaan sistem pendidikan dengan penelitian dan
pengembangan sesuai dengan tantangan zaman dan kebutuhan
pembangunan
 Peningkatan partisipas masyarkat dengan pengembangan dan
pemafaatan berbagai wadah dan sumber pendidikan
 Penyempurnaan pelaksanaan interaksi atanra pendidikan dan
pembangunan di mana masusia pusat perhatian pendidikan.

c. kawasan dan bidang garapan teknologi pendidikan


Kawasan atau domain teknologi pendidikan dan teknologi pembelajaran
adalah design, development, utilization, management, and evaluation seperti
gambar yang ditunjukkan dibawah ini (Seels & Richey, 1994, p. 21).

Desain Adalah menunjukkan suatu proses dari spesifikasi kondisi untuk


belajar. Desain didefinisikan sebagai “penetapan kondisi untuk belajar” (Seel
dan Richey, pembelajaran, dan karakteristik pembelajar. Teori desain
sepenuhnya dikembangkan dibandingkan bidang yang lainnya yang
mempunyai keyakinan besar sejak praktek 1994). Desain adalah fungsi
perencanaan ketika strategi ditentukan. Perencanaan mempengaruhi seluruh
proses desain instrucsional., bentuk fisik pesan, strategi tradisional dibentuk
berdasarkan pengetahuannya sendiri. Tujuan desain adalah untuk menciptakan
strategi dan produk pada tingkat makro, seperti program dan kurikulum, dan
pada tingkat mikro seperti pelajaran dan modul. Definisi ini adalah dalam
persetujuan dengan definisi sekarang tentang desain dimana menunjukkan pada
penciptaan kehususan (Ellington and Harris, 1986; Reigeluth, 1983; Richey,
1986).
Develovment Adalah suatu proses pengembangan sesuatu hal yang
berhubungan dengan dunia pendidikan serta mengembangkan metode-metode
pembelajaran yang telah ada agar lebih efektif.dan efisien dan proses
pembelajaran itu berjalan lebih baik. Development juga menunjukkan proses
pengartian spesifikasai desain kedalam bentuk fisik. Develovment meliputi :
 Teknologi Cetak
 Teknologi Audio-Visual
 CBI
 Teknologi yang terintegrasi
Pada dasarnya, domain perkembangan dapat dijelaskan dengan:
 the message which is content driven;
 the instructional strategy which is theory driven; and
 the physical manifestation of the technology—the hardware, software and
instructional materials.

Utilization/Pemanfaatan menunjukkan untuk penggunaan dari suatu


proses dan sumber untuk belajar, yang meliputi penggunaan media, difusi dari
inovasi, implementasi dan institusional, kemudian ketentuan dan peraturan.
Beradasarkan pengertian diatas dapat diartikan bahwa pemanfaatan adalah
tindakan menggunakan proses dan sumber untuk belajar. Fungsi pemanfaatan
penting karena fungsi ini memperjelas hubungan pembelajar . dengan bahan
dan sistem pembelajaran. Keempat kategori dalam kawasan ini adalah
mengitegrasinkan dalam struktur dan kehidupan oraganisasi adalah sebagai
berikut;
 Pemanfaatan media
 Difusi Inovasi
 Implementasi dan Kelembagaan
 Kebijakan dan Regulasi
Management/Pengelolaan menunjukkan pada proses untuk pengontrolan
dari teknologi pembelajaran. Yang meliputi manajemen proyek, manajemen
sumber, delivery sistem manajemen dan manajemen informasi.
Manajemen melibatkan mengendalikan Instructional Technology melalui
perencanaan, pengorganisasian, koordinasi dan pengawasan. Manajemen
umumnya produk sistem nilai operasional. Kompleksitas pengelolaan sumber
daya beberapa penuaan, personalia, dan desain dan upaya pembangunan
dikalikan sebagai ukuran intervensi tumbuh dari kecil, satu-sekolah-
departemen atau perusahaan, untuk negara-lebar intervensi instruksional dan
global perubahan perusahaan multi-nasional. Berikut sub domain dari Kawasan
manajemen:
 Pengelolaan Proyek
 Pengelolaan Sumber
 Pengelolaan Sistem Penyampaian
 Pengelolaan Informasi
Evaluation terdiri dari analisis masalah, referensi criteria, fomativ, dan
sumatif yang merupakan kawasan evaluasi. Hasil dari evaluasi dibawa untuk
pemahaman yang lebih baik masalah, penguasaan informasi, serta individu
menginformasikan pada potensi pembelian. Kawasan dan evaluasi
berkembang sebagai penelitian pendidikan dan bidang metodelogy yang
berkembang, biasanya bersamaan atau paralel dengan bidang. (Seels &
Richey, 1994, pp. 24-43). Penjelasan dari sub domain adalah sebagai berikut:
 Analisis masalah : Termasuk penentuann sifat dan parameter masalah
dengan menggunakan pengumpulan-informasi dan pengambilan keputusan
strategi.
 Criterion-Referenced Measurement. Kriteria pengukuran penilaian
melibatkan teknik untuk menentukan penguasaan materi pelajar yang telah
ditentukan sebelumnya.
 Evaluasi Formative and Summative. Evaluasi Formatif melibatkan
pengumpulan informasi tentang kecukupan dan menggunakan informasi
ini sebagai dasar untuk pengembangan lebih lanjut.
3. Coba anda tuliskan tiga judul penelitian yang berkaitan dengan teknologi
pendidikan
1. Adoption of educational technology ten years after setting strategic
goal: A Canadian University Case atau Adopsi Teknologi Pendidikan
setelah sepuluh tahun pengaturan atrtegi tujuan: dalam kasus
Universitas di Canada: Penulis : Gorge Zhou (University of Windsor,
Canada) Judy Xu (University of Alberta, Canada
Penelitian diadakan di Universitas Alberta, suatuuniversitas besar dan
bergengsi Canada barat dan mempunyai lebih dari 35.000 mahasiswa.
Sepuluh tahun yang lalu Universitas Alberta mengadopsi suatu
perencanaan strategis yang menekankan peran penting e-learning
mewujudkan misi dan visinya. E-learning berbagai
kemungkinanmenawarkan untuk aktir mengajar dan belajar proses
disamping kelas besar, meningkat akses untuk menjara dan informasi
penelitian, dan kerja sama/kolaborasi kemudahan dengan peneliti dan
instruktur remote local. Perencanaa strategis dengn tegas menyatakan
pentingnya pendukung untuk pengajar menggunakan teknologi.

2. Judul : Educational Technology at a Crossroads: Examining the


Development of the Academic Field in Canada/ Teknologi Pendidikan
di Crossroads: Meneliti Pengembangan Akademik Lapangan di Kanada.
Penulis: Rocci Luppicini (Communication Department, University of Ottawa, 554
King Edward RM. 310, Ottawa, ON K1N6N5, Canada)
Abstrak: Tujuan penelitian ini adalah penelitian kualitatif untuk
mengukur keadaan saat ini perkembangan akademik di Teknologi
Pendidikan dalam rangka untuk mengidentifikasi isu-isu penting dan
menawarkan saran untuk perencanaan masa depan di Kanada. Artikel ini
mengeksplorasi literatur profesional dan pandangan dari 25 anggota staf
pengajar senior dari dua belas Kanada universitas yang menawarkan atau
program pasca sarjana yang ditawarkan gelar Teknologi Pendidikan (dan
Pendidikan Jarak Jauh). Temuan dari penelitian menunjukkan satu
kategori utama (tantangan) yang terhubung ke akademik bidang Teknologi
Pendidikan di Kanada dengan tujuh kunci sub-kategori, yaitu, identitas,
standarisasi dan profesionalisasi, universitas politik, pengaruh eksternal,
kompetisi, pendanaan, dan mengajar dan belajar. Sebuah sintesis sumber
informasi disediakan untuk menggambarkan pola utama dan menghasilkan
teori baru untuk membantu mengarahkan perencanaan program strategis
dan evaluasi. Rekomendasi menunjukkan bahwa lebih besar
perhatian harus diinvestasikan dalam kegiatan kemitraan dan identitas
merek dalam bidang untuk membantu leverage keberhasilan program.
3. Using activity theory and its principle of contradictions to guide
research in educational technology/ Menggunakan teori aktivitas dan
asas kontradiksi untuk memandu penelitian dalam teknologi
pendidikan: Penulis: Elizabeth Murphy and Maria A. Rodriguez-
Manzanares Memorial University of Newfoundland: Australasian
Journal of Educational Technology 2008, 24(4), 442-457
Abstrak: Tulisan ini menjelsakan bagaimana kegiatan teori AT dan
prinsip yang mungkin kontradiksi diandalkan untuk memandu penelitian
dalam teknologi pendidikan. Makalah ini dimulai dengan tinjauan teoritis
AT dan prinsip yang kontradiksi kontradiksi. Ini mengikuti dengan sintesis
studi yang telah menggunakan AT sebagai lensa untuk belajar informasi
dan teknologi komunikasi (TIK) dalam konteks pendidikan. Kami
menganalisis pendidikan teknologi studi yang telah difokuskan pada
kontradiksi dalam hal yang mendasarinya asumsi, pertanyaan penelitian,
pendekatan untuk analisis, temuan, dan implikasi. Lensa AT dan
kontradiksi menyediakan alat serbaguna untuk menyelidiki berbagai aspek
penggunaan teknologi pendidikan, memperhatikan individu dan institusi
perspektif serta evolusi dari waktu ke waktu. AT dan prinsipnya
kontradiksi memberikan wawasan mengenai bagaimana transformasi dapat
terjadi dengan penggunaan TIK dalam pendidikan konteks.
4. Coba anda cara diinternet satu artikel/tulisan yang membahas tentang:
a. landasan kebijkan pendidikan diambil dari alamat URL :
http://www.4shared.com/document/QCzbwHF/Landasan_Kebijakan_Pendidik
an.html. Berikut isi dari artikel tersebut.

LANDASAN KEBIJAKAN PENDIDIKAN

A. Latar Belakang Masalah


Landasan pendidikan merupakan suatu pilar utama terhadap
pengembangan manusia dan masyarakat suatu bangsa.. Pendidikan
merupakan bagian dari kegiatan kehidupan bermasyarakat dan
berbangsa. Pendidikan juga adalah perwujudan dari cita-cita bangsa.
Landasan pendidikan dapat diambil dari berbagai bidang yaitu fisiologi,
sosiologis, dan kultural, yuridis yang memegang peranan penting dalam
menentukan tujuan pendidikan hingga kebijakan pendidikan.
Kegiatan pendidikan secara nasional perlu diorganisasikan dan
dikelola sedemikian rupa agar tercipta kebijakan pendidikan yang mampu
mewujudkan cita-cita nasional. Salah satu kegiatan tujuan nasional
pendidikan yang diambil dalam aspek yuridis tertuang dalam Undang-
Undang RI No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1
ayat 1, diungkapkan yang dimaksud dengan pendidikan adalah: “Usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara” (UU RI No 20 Tahun
2003).
Bagian isi pasal diatas menyebutkan adakah usaha sadar dan
terencana, yang intinya adalah membuat rencana agar peserta didik
menjadi belajar dan berhasil dalam aspek kognitif, afektif dan psikomotor
untuk bekal peserta didik hidup berkualitas menjalani kehidupan
berbangsa dan bernegara. Berdasarkan keadaan yang terjadi untuk
menilai keberhasilan peserta didik hanya dipandang melalui aspek kognitif
dengan diadakannya Ujian Nasional yang diberi standar keberhasilan.
Kebijakan tersebut dipandang kurang sesuai dengan undang-undang
yang dalam Sistem Pendidikan Nasional pada pasal 1 ayat 1. Selain itu
terjadi perbedaan persepsi dan pendapat tentang perubahan kurikulum
setiap tahun.
Kebijakan pendidikan harus didasari landasan yang kuat agar
bagaimanapun bentuk perubahan para pendidik dapat menjalankan tanpa
masalah dan dapat memecahkan tantangan yang terjadi dengan cepat
dan efisien. Berdasarkan pemaparan diatas perlu dikaji dan dijadikan
pemahaman tentang landasan kebijakan pendidikan sehingga dapat
diaplikasikan dalam praktek kependidikan.

B. Rumusan Masalah.

Berdasarkan pemaparan latar belakang diatas maka masalah yang


akan dibahas dalam penulisan makalah ini adalah :

1. Apakah yang menjadi landasan kebijakan pendidikan?


2. Bagaimanakah landasan kebijkan pendidikan Indonesia?

C.Tujuan Penulisan Makalah.


1. Untuk mengetahui dan memahami teori yang landasan kebijakan
pendidikan.
2. Untuk mengetahui bagaimanakan pelaksanaan landasan kebijakan
pendidikan Indonesia.
Landasan Kebijakan Pendidikan

Dasar tujuan pendidikan adalah rumusan tentang apa yang harus


dicapai oleh peserta didik. Tujuan pendidikan menjadi pedoman dalam
rangka menetapkan isi pendidikan, cara mendidik atau metode
pendidikan, alat pendidikan, dan menjadi tolok ukur dalam rangka
melakukan evaluasi terhadap hasil pendidikan. Untuk pelaksanaan tujuan
pendidikan disetiap institusi harus menghadap kiblat tujuan pendidikan
nasional yaitu tujuan pendidikan nasional. Tujuan pendidikan nasional
yaitu tujuan dari keseluruhan satuan, jenis, dan kegiatan pendidikan, baik
pada jalur pendidikan formal dan informal dalam konteks pembangunan
nasional. (Syaripudin, 2008:59). Tujuan pendidikan nasional juga
merupakan salah satu hasil pemikiran dari landasan kebijakan pendidikan.
Landasan merupakan dasar atau kerangka suatu konsep,
sedangkan Kebijakan adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi
pedoman dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu konsep, pekerjaan
kepemimpinan, dan cara bertindak. Istilah kebijakan dapat diterapkan
pada pemerintahan, organisasi dan kelompok sektor swasta, serta
individu. Kebijakan dibuat untuk menjadi pedoman tindakan yang paling
mungkin memperoleh hasil yang diinginkan. Pendidikan juga merupakan
suatu sistem terdiri dari sejumlah komponen. Komponen tersebut antara
lain: raw input (sistem baru), output(tamatan), instrumental input (guru,
kurikulum), environmental input(budaya, kependudukan, politik dan
keamanan). Menurut Jhon Dewey (1899) tentang pendidikan adalah ”the
school is primarily a social institution.”. Berdasarkan hal tersebut perlu
dirancang suatu landasan untuk pedoman atau rencana dasar untuk
pendidikan.
Landasan Pendidikan merupakan salah satu kajian yang
dikembangkan dalam berkaitannya dengan dunia pendidikan. Landasan
yang digunakan dalam kebijakan pendidikan biasanya adalah landasan
hukum, landasan filsafat, landasan sejarah, landasan sosiologis, landasan
fislofosif, dan landasan budaya
Landasan filosofis merupakan landasan yang berkaitan dengan
makna atau hakikat pendidikan yang berusaha menelaah masalah-
masalah pokok seperti: Apakah pendidikan, tujuannya, mengapa,
bagaimana dan sebagainya. Tujuan filosofis tentang sesuatu, termasuk
pendidikan, berarti berpikir bebas serta merentang pikiran sampai sejauh-
jauhnya tentang sesuatu itu.
Landasan sosiologis dalam pendidikan diambil dari pemikiran
bahwa kegiatan pendidikan merupakan suatu proses interaksi antara
antara dua individu yang memungkinkan generasi muda
memperkembangkan diri. Sosiologi pendidikan merupakan analisis ilmiah
tentang proses sosial dan pla-pola interaksi sosial di dalam pendidikan.
Menurut Ki Hadjar Dewantara (Tilaar, 1999: 68) Bahwa
kebudayaan tidak dapat dipisahakan dari pendidikan. Integrasi nilai
budaya dalam pendidikan akan memberi karakter yang kuat suatu bangsa
tentang pendidikan yang diberikan bercorak khusus. Pendidikan
merupakan bagian dari kegiatan kehidupan bermasyarakat dan berbangsa
sehingga indentitas suatu bangsa dapat terlihat dari landasan kebudayaan
dalam pendidikan. Kebudayaan juga sebagai gagasan dan karya manusia
beserta hasil budi dan karya akan selalu terkait pendidikan. (Tirtarahardja
dan La sula, 1995: 100)
Landasan-landasan pendidikan tersebut akan dijadikan
pertimbangan sebagai landasan kebijakan pendidikan untuk
melaksanakan kegiatan pendidikan baik kegiatan formal, non formal serta
informal. Semua landasan pendidikan akan dituangkan kedalam suatu
bentuk peraturan yang bersifat sebagai pedoman pelaksanaan. Bentuk
kebijakan dalam undang-undang, serta peraturan pemerintah
Landasan kebijakan pendidikan juga akan berhubungan pihak yang
berwenang melaksanakan undang-undang yaitu pihak yang merancang
kebijakan tersebut. Pihak tersebut adalah pemerintah, pemerintah beserta
pihak yang terkait harus mengkondisikan agar kebijakan berjalan
mengarah pada tujuan utama pendidikan suatu negara dan berbasis
landasan pendidikan.
Landasan Kebijakan Pendidikan di Indonesia
Indonesia merupakan negara yang banyak mempuyai
keberagaman kebudayaan, suku, tradisi, bangsa serta bahasa. Beratua-
ratus pulau yang membentang dari Sabang hingga Merauke. Pemilik
wewengang penyelenggara kebijakan pendidikan sangat terlihat
memiliki tugas yang cukup berat untuk mengembangkan sumber daya
manusia melalui pendidikan. Landasan kebijakan pendidikan di
Indonesia harus direncanakan mempertimbangkan aspek keberagaman
tersebut agar sesuai apa yang masyarakat Indonesia butuhkan dalam
bidang pendidikan.
Inovasi yang baik dan berkualitas untuk landasan kebijakan
pendidikan di Indonesia Pembaharuan atau inovasi pendidikan
merupakan suatu perubahan yang baru, yang kualitatif dan berbeda dari
sebelumnya, serta sengaja diusahakan untuk meningkatkan
kemampuan dalam pendidikan (Wijaya, Djajuri, dan Rusyan, 1988:7).
Berikut landasan kebijakan pendidikan yang diselenggarakan di
Indonesia:

1. Dalam pembukaan (UUD 1945, antara lain : “ Atas berkat


Ramat Tuhan yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh
keinginan luhur, supaya berkehidupan berkebangsaan yang
bebas, maka rakyat Indonesia dengan ini menyatakan
kemerdekaannya. Kemudian daripada itu untuk membentuk
statu pemerintahan negara republik Indonesia yang melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi, dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan
kebangsaan Indonesia itu dalam statu undang-undang dasar
negara Indonesia, yang terbentuk dalam statu susunan negara
Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar
kepada : Ketuhanan yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil
dab beradap, persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan /
perwakilan, serta dengan mewujudkan statu keadilan social bagi
seluruh rakyat Indonesia.”
2. Pasal 31 UUD 1945 menyatakan bahwa (1) Setiap warga
negara berhak mendapatkan pendidikan; (2) Setiap warga
negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib
membiayainya; (3) Pemerintah mengusahakan dan
menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang
meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa; (4) Negara
memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua
puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara
serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk
memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional;
serta (5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan
teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan
persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta
kesejahteraan umat manusia.
3. Pasal 2 UU-RI no 2 Tahun 1989 menetapkan bahwa Pendidikan
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 :
bahwa pembangungn nasional termasuk di bidang pendidikan,
adalah pengamala Pancasila, dan untuk itu pendidikan nasional
mengusahakan antara lain: „Pembentukan manusia pancasila
sebagai manusia pembangunagan yang tinggi kualitasnya dan
mampu mandiri.
4. TAP MPRS No. XXVII/1966 Bab II Pasal 3 Dasar pendidikan
adalah falsafah negara Pancasila, tujuan pendidikan adalah
membentuk manusia Pancasila sejati berdasarkan ketentuan-
ketentuan seperti yang dikehendaki oleh Pembukaan dan isi
UUD 1945.

5. TAP MPR NO. V/MPR/1973 :Pendidikan pada hakikatnya


adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan
kemampuan di dalam dan di luar sekolah
6. UU RI No. 2 Tahun 2003 tentang: Pendidikan adalah usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
7. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Nasional pendidikan menyatakan bahwa pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.
8. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun
2005 tentang Standar Nasional. Pendidikan Pasal 1 yang berisi
bahwa Standar nasional pendidikan adalah criteria minimal
tentang sistem pendidikan diseluruh wilayah huum Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam rangka mewujudkan fungsi dan tujuan UU No 20 Tahun
2003, Pemerintah dan Pemerintah Daerah berhak mengarahkan,
membimbing, membantu, dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sesuai
dengan prinsip-prinsip dalam penyelenggaraan pendidikan nasional
yaitu:
1. Demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan
menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai
kultural, dan kemajemukan bangsa;
2. Satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan
multimakna, diselenggarakan sebagai suatu proses
pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang
berlangsung sepanjang hayat;
3. Memberi keteladanan, membangun kemauan, dan
mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses
pembelajaran;
4. Mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung
bagi segenap warga masyarakat; dan
5. Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua
komponen masyarakat melalui peran serta dalam
penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.

Untuk dapat menjalankan amanat terhadap pembangunan


pendidikan nasional, maka diperlukan kejelasan arah. Untuk itu
Depdiknas sudah menuangkan ke dalam visi, misi, dan tata nilai yang
harus dijalankan. Pembangunan Indonesia di masa depan bersandar
pada visi Indonesia jangka panjang, yaitu terwujudnya negara-bangsa
(Indonesia modern yang aman dan damai, adil dan demokratis, serta
sejahtera dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan,
kemerdekaan, dan persatuan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Dalam kerangka visi jangka panjang yang termuat dalam dokumen
”Membangun Indonesia yang Aman, Adil, dan Sejahtera” (Susilo
Bambang Yudhoyono dan M. Jusuf Kalla, (2004), pembangunan
Indonesia pada tahun 2005-2009 mengarah pada (a) terwujudnya
kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara yang aman, bersatu, rukun,
dan damai; (b) terwujudnya masyarakat, bangsa, dan negara yang
menjunjung tinggi hukum, kesetaraan, dan hak asasi manusia; dan ( c)
terwujudnya perekonomian yang mampu menyediakan kesempatan
kerja dan penghidupan yang layak serta memberikan fondasi yang
kokoh bagi pembangunan berkelanjutan, yang dilandasi keimanan,
ketakwaan, dan akhlak mulia. Pembangunan pendidikan nasional ke
depan didasarkan pada paradigma membangun manusia Indonesia
seutuhnya, yang berfungsi sebagai subyek yang memiliki kapasitas
untuk mengaktualisasikan potensi dan dimensi kemanusiaan secara
optimal. Dimensi kemanusiaan nation-state
Sesuai Ketentuan Umum Penjelasan Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Departemen
Pendidikan Nasional berkewajiban untuk mencapai Visi Pendidikan
Nasional sebagai berikut: Terwujudnya sistem pendidikan sebagai
pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua
warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas
sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu
berubah. Sejalan dengan Visi Pendidikan Nasional tersebut, Depdiknas
berhasrat untuk pada tahun 2025 menghasilkan: INSAN INDONESIA
CERDAS DAN KOMPETITIF (Insan Kamil / Insan Paripurna) Yang
dimaksud dengan insan Indonesia cerdas adalah insan yang cerdas
secara komprehensif, yang meliputi cerdas spiritual, cerdas emosional,
cerdas sosial, cerdas intelektual, dan cerdas kinestetis. Kebijakan
pembangunan pendidikan di Indonesia diarahkan untuk mencapai hal-
hal sebagai berikut:
1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan
memperoleh pendidikan yang bermutu tinggi bagi seluruh rakyat
Indonesia menuju terciptanya manusia Indonesia berkualitas
tinggi dengan peningkatan anggaran pendidikan secara berarti;
2. Meningkatkan kemampuan akademik dan profesional serta
meningkatkan jaminan kesejahteraan tenaga kependidikan
sehingga tenaga pendidik mampu berfungsi secara optimal
terutama dalam peningkatan pendidikan watak dan budi pekerti
agar dapat mengembalikan wibawa lembaga dantenaga
kependidikan;
3. Melakukan pembaharuan sistem pendidikan
termasukpembaharuan kurikulum, berupa diversifikasi kurikulum
untuk melayani keberagaman peserta didik, penyusunan
kurikulum yang berlaku nasional dan lokal sesuai dengan
kepentingan setempat, serta diversifikasi jenis pendidikan
secara professional;
4. Memberdayakan lembaga pendidikan baik sekolah maupun luar
sekolah sebagai pusat pembudayaan nilai, sikap,dan
kemampuan, serta meningkatkan partisipasi keluarga dan
masyarakatyang didukung oleh sarana dan prasarana
memadai;
5. Melakukan pembaharuan dan pemantapan sistem pendidikan
nasional berdasarkan prinsip desentralisasi, otonomi keilmuan
dan manajemen;
6. Meningkatkan kualitas lembaga pendidikan yang
diselenggarakan baik oleh masyarakat maupun pemerintah
untuk memantapkan sistem pendidikan yang efektif dan efisien
dalam menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi,
dan seni;
7. Mengembangkan kualitas sumberdaya manusia sedini mungkin
secara terarah, terpadu dan menyeluruhmelalui berbagai upaya
proaktif dan reaktif oleh seluruh komponen bangsa agar
generasi muda dapat berkembang secara optimal disertai
dengan hak dukungan dan lindungan sesuai dengan
potensinya;
8. Meningkatkan penguasaan, pengembangan dan pemanfaatan
ilmu pengetahuan dan teknologi, termasuk teknologi bangsa
sendiri dalam dunia usaha, terutama usaha kecil, menengah,
dan koperasi guna meningkatkan daya saing produk yang
berbasis sumber daya local

A. Landasan Kebijakan Pendidikan di Indonesia dalam Bidang


Teknologi Pendidikan
Pemahaman sederhana tentang teknologi pendidikan adalah
bidang yang mencari cara untuk menyelesaikan masalah belajar peserta
didik dengan menggunakan teknologi, alat, media konsep dan strategi
lain sehingga peserta didik dapat menangkap materi dengan mudah dan
belajar lebih baik. Donal P. Ely seperti yang dikutip oleh Wijaya, Djajuri
dan Rusyan (1988:39) mengatakan bahwa teknologi pendidikan adalah
suatu bidang yang mencakup berbagai fasilitas belajar melalui
identifikasi yang sistematis, pengembangan, pengorganisasim dan
penggunaan sumber-sumber yang maksimal dan penghelolaabn
prosesnya.
Hampir sama dengan pemaparan sebelumnya Secara umum
kebijakan pemerintah tertuang dalam UUD 1945 yaitu pasal 28 huruf c,
e; dan pasal 31. Bunyi pasal 28 huruf c adalah sebagai berikut. Setiap
orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan
dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari
ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi m,eningkatkan
kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.
Penjelasan diatas merupakan sebagian landasan hukum tentang
landasan kebijakan pendidikan di Indonesia dalam bidang Teknologi
Pendidikan. Bidang garapan Teknologi Pendidikan juga dalam Program
Pembangunan Nasional (2004-2009).
Di dalam Program Pembangunan Nasional (Propenas)Tahun 2004-
2009 tidak jauh berbeda dengan Propenas sebelumnya, namun apabila
dilihat dalam Rencana Strategis (Renstra) 2005-2009 Departemen
Pendidikan Nasional terdapat Kebijakan Pembangunan Lima Tahun
2005-2010. Dalam kebijakan itu memuat Kegiatan Pokok Strategis di
antaranya adalah Bidang Mutu, Relevansi dan Daya saing. Salah satu
kegiatan pokok dalam bidang ini adalah Program Pemanfaatan
Teknologi Informasi dan Komunikasi. Tolok ukur keberhasilannya adalah
100% SMP/MTs yang memiliki akses listrik menerapkan TV Based
Learning yang dimulai tahun 2006 hingga 2009. Selain itu yanbg
menjadi tolok ukur adalah 50% SMA/MA/SMK yang memiliki akses listrik
menerapkan ICT Based Learning yang juga dimulai tahun 2006 hingga
2009.
Di samping jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah, program dan
kegiatan seperti di atas juga meliputi perguruan tinggi dengan tolok
ukurnya adalah 10 perguruan tinggi (PT) menerapkan pembelajaran dan
penelitian berbasis ICT.
Kegiatan Pokok Strategis untuk Pendidikan Luar Sekolah salah
satunya berupa perluasan layanan PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini)
melalui pemberdayaan masyarakat, Perluasan Paket A dan Paket B
untuk menunjang wajib belajar 9 tahun serta ekstensifikasi Paket C.
Selain itu juga guna peningkatan mutu, relevansi dan daya saing
ditingkatkan pemanfaatan ICT dalam pembelajaran.
Dari uraian-uraian di atas ternyata dalam Renstra Departemen
Pendidikabn Nasional 2005-2009 jelas terprogram upaya peningkatan
kegiatan pembelajaran pada setiap jenjang pendidikan bahkan sampai
ke Pendidikan Luar Sekolah. Ini membuktikan bahwa keseriusan
pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan dan jumlah warga
yang belajar atau memperoleh pendidikan.
Kebijakan-Kebijakan Khusus untuk Teknologi Pendidikan tertuang
dalam Undang-Undang (UU), Peraturan Pemerintah (PP), dan Peraturan
Menteri (Permen). UU yang berkaitan dengan pendidikan seperti

1. UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,


2. UU No.14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

Peraturan Pemerintah yang mendukung kebijakan umum seperti


PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Di
samping itu ada pula Peraturan Menteri (Permen) misalnya: Permen No.
14 Tahun 2007 tentang Standar isi Program Paket A, Paket B, Paket C,
Permen No. 49 Tahun 2007 tentang Standar Pengelolaan Pendidikan
oleh Satuan Pendidikan Nonformal. Permen No. 1 Tahun 2008 tentang
Standar Proses Pendidikan khusus. Permen No. 3 Tahun 2008 tentang
Standar Proses Program Paket A, Paket B, Paket C, Permen No. 35
Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Gerakan Nasional
Percepatan Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 tahun dan
Pembentukan Pendidikan Buta Aksara Permen No. 38 Tahun 2008
tentang Pengelolaan Tekonologi Komunikasi dan Informasi dalam
Lingkungan Departemen Pendidikan Nasional. Radio dan Televisi
Pendidikan yang Mendukung Pendidikan pada Umumnya dan
Pendidikan Jarak Jauh.

Peraturan dan perundang-undangan tersebut merupakan bentuk


kebijakan khusus pemerintah dalam pendidikan khususnya teknologi
pendidikan. Tentunya masih ada peraturan atau kebijakan lain yang
tidak dapat disajikan dalam tulisan ini, seperti Radio Pendidikan, Televisi
Pendidikan, SMP Terbuka, Universitas Terbuka dan sebagainya.
BAB III
PENUTUP

Landasan kebijakan pendidikan tidak terlepas dari landasan


pendidikan yang menerapkan landasan filosofis, landasan psikologis,
sosiologis dan landasan kebudayaan. Setelah mengintegrasi berbagai
landasan tersebut dirangkum hingga turun menjadi kebijakan yang
diambil dari Amanat Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, dan
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) (2004-
2009), Visi Pendidikan Nasional Misi Pendidikan Nasiona Tata Nilai
Departemen Pendidikan Nasional.
Kedudukan bidang teknologi pendidikan sudah lebih khusus untuk
menjalankan operasional kebijakan pendidikan di Indonesia. Pemerintah
pun telah menerapkan beberapa kebijakan sesuai landasan hukum yang
berlaku. Namun masih ada beberapa hal yang belum sesuai harapan.
DAFTAR PUSTAKA

Tritarahardja dan Sula, 1995, Pengantar Pendidikan, Bandung: Rineka


Cipta

Tilaar, 1999, Pendidikan Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia,


Bandung: PT Remadja Rosdakarya

Wijaya, Cece, Djaja Djajuri dan A. Tabrani Rusyan, 1988, Upaya


Pembaharuan dalam Pendidikan dan Pengajaran,
Bandung:Remadja Karya CV

b. Landasan ilmiah teknologi pendidikan; Scientific inquiry: Where is it in the


educational technology landscape?
http://www.ascilite.org.au/conferences/melbourne08/procs/elliott-poster.pdf
 Kristine Elliott, Kevin Sweeney Biomedical Multimedia Unit,
The University of Melbourne
 Victor Galea: School of Land, Crop and Food Sciences,
University of Queensland
 Helen Irving: Faculty of Pharmacy and Pharmaceutical Sciences,
Monash University
 Elizabeth Johnson: Faculty of Science, Technology and
Engineering, LaTrobe University

This paper describes some of the challenges facing science educators at tertiary
level. It subsequently introduces a project supported by the Australian Learning
and Teaching Council (formally Carrick), which aims to investigate the effective
use of educational technologies to promote understanding of scientific inquiry and
development of skills necessary to conduct successful investigations. The project
will use a qualitative research framework to examine current practice and to
determine best practice in teaching scientificinquiry skills to bioscience students.
Study findings are expected to provide guidance on developing skills in the next
generation of bioscientists.
Keywords: scientific inquiry, scientific method, scientific inquiry skills, problem
solving skills, educational technologies
Background
Concerns have been raised that students studying science subjects at tertiary level
in Australia have little understanding of the overarching process that guides the
progression of scientific inquiry. Moreover, many students appear not to have
sufficiently developed the skills necessary to conduct competent investigations
(Elliott, Sweeney, & Irving, 2008; Hollingworth & McLouglin, 2001). The
process by which scientific endeavour is achieved is known historically as the
scientific method and generally involves: Recognising and defining a problem,
Formulating hypotheses, Collecting data (through observation and/or
experimentation), Testing hypotheses, Drawing conclusions and Communicating
results (Bunge, 1967). Although debate is ongoing as to the exact nature of
scientific practice, including different models of scientific inquiry (Wong &
Hodson 2008), for the purpose of this paper we will use the definition of scientific
inquiry outlined above. Traditionally, the laboratory was the primary domain for
teaching methods of science and because of the opportunities the laboratory
afforded for students to engage in processes of investigation it was assumed that
they would develop scientific inquiry skills during laboratory teaching sessions
(Hofstein & Lunetta, 2003). More recently, it has become clear that exposure to
limited views of investigative science in the laboratory can lead to misconceptions
by students about the way investigations are conducted (Windschitl, Thompson &
Braaten, 2008). Furthermore, calls continue to be made for more authentic science
education experiences that share commonalities with the real world practices of
the scientific community (Wong & Hodson 2008). Given these challenges in
science education, there is an argument for investigating alternative pedagogical
approaches to promote understanding of the scientific method of inquiry and to
develop skills necessary to conduct successful investigations. The purpose of this
paper is twofold. We wish to inform the ascilite community about a project
Educational technologies: Enhancing the learning of scientific inquiry skills for
bioscience students in Australian universities, supported by the Australian
Learning and Teaching Council (formally Carrick), which will investigate issues
outlined above. Secondly, we would like to invite participation in the project from
interested bioscience educators in the community.

Project aims
The project will examine current pedagogical approaches used by science
educators, to determine best practice in promoting understanding of scientific
inquiry and development of related skills. Because of project members’
experience as practicing bioscientists, the investigation will be framed within
science disciplines dealing with biological aspects of living organisms (e.g.
agricultural sciences, botany, biochemistry, pharmacology, zoology). To ensure a
broad range of educational contexts are examined, the project brings together
members from four major Australian universities: The University of Melbourne,
Monash University, LaTrobe University and the University of Queensland. The
primary aim of the project is to identify the role that specific educational
technologies play in effectively enhancing the learning and teaching of scientific
inquiry skills, and to determine the educational context of their use. Furthermore,
an evaluation framework will be developed to assist educators in determining the
effectiveness of specific educational technologies. Educational technologies to
teach scientific inquiry skills For many years computers have been used to create
environments that engage students in scientific inquiry activities. There are many
examples of how computers are used for scientific inquiry activities including:
computer simulations that present natural phenomena or processes for
manipulation; support tools that help students gather, organise, visualise and
interpret data; collaborative tools that allow students to communicate and to share
data and ideas; and computer-based modelling tools that allow students to express
their theories as models. More recently, efforts have been made to develop
scaffolds or cognitive tools for computer environments, which support students
through the inquiry process. The design of many of these applications are
informed by principles of inquiry learning, for example, the Knowledge
Integration Environment (Linn, 2000) and Hiking across Estonia (Pedaste &
Sarapuu, 2006).
Inquiry learning focuses on the use of real world inquiry activities for students
and is described as the process of solving a problem through exploration of the
natural world: asking questions, making discoveries, rigorously testing these
discoveries in the search for new understanding (National Science Foundation,
2000). Supported inquiry learning has been shown to be an effective mode of
learning (van Joolingen, de Jong & Dimitrakopoulou, 2007). Another approach to
the design of educational technologies to teach scientific inquiry skills is to
integrate Problem Based Learning (PBL) procedures (Elliott, Sweeney & Irving,
2008). PBL also focuses on the use of real world inquiry activities for students,
and uses authentic problems as a context for small student groups to acquire
factual knowledge, learn problem solving skills, and develop self-directed or
lifelong learning strategies (Norman & Schmidt, 1992).

Within the context of higher education in Australia, the extent to which bioscience
educators explicitly teach scientific inquiry skills (and related generic skills) to
their students is currently unclear. While there are examples of educational
technologies being used to support the teaching of scientific inquiry skills and
problem solving processes (Elliott, Sweeney & Irving, 2008; Galea, Stewart &
Steel, 2007), more evidence needs to be collected on the effectiveness of tools and
how widespread their use is in bioscience disciplines. Skills for bioscience
research The focus of this project is on the acquisition of skills required to
conduct scientific investigations withinbioscience disciplines. While many
essential skills have been identified (Zachos, Hick, Doane & Sargent, 2000), of
major importance is proficiency in the scientific method of inquiry, as defined
within the scope of the project. This is a specific procedure for handling scientific
problems and generally involves the following components: (1) Problem analysis
(i.e. defining a research question), (2) Hypothesis formulation (i.e. a suggested
explanation of a phenomenon), (3) Prediction of logical consequences of
hypothesis (4) Inquiry planning (i.e. how to test for logical consequences), (5)
Hypothesis testing (i.e.performing experiments, collecting, analysing and
interpreting data), (6) Drawing conclusions and (7) Communicating results
(Bunge, 1967). Although this description suggests a linear progression, scientific
inquiry is cyclic in nature. In fact, an entire cycle can be thought of as the gradual
accumulation of scientific knowledge over time, often requiring repeated
experiments by multiple research groups across the globe. The global nature of
scientific inquiry underscores the importance of communication between
individual scientists and the wider scientific community.

Project methods
The project will employ a qualitative research framework and will begin by conducting semi-
structured interviews with tertiary educators in a range of bioscience disciplines. Rich information
sets will be collected that detail: pedagogical approaches used to encourage skill development (e.g.
case-based and problem-based learning, inquiry learning, discovery learning); specific educational
technologies used to encourage skill development; specific skills educators are expecting to
develop in students; activities and tasks used in pedagogical approaches; tools or resources used to
support teaching; how closely teaching supports are integrated into the curriculum; size and type
of student cohort, and; evidence of improved outcomes for students. Observational studies of
laboratory or classroom sessions will be conducted to identify tacit expert knowledge that
educators do not express in the interviews, but may be evident in their teaching.

In the second phase of the project, learning designs of effective pedagogical approaches will be
created from descriptions given by educators in interviews. Learning designs will describe critical
components of pedagogical approaches and will demonstrate if and how technology and pedagogy
are integrated. During this stage, identified technologies will be critically analysed to determine
beneficial features, such as, flexibility, accessibility, multi-mode representation of information.
The reason for this focus is to allow future users to judge the value of using a particular
technology in their own educational context. This point might be particularly relevant, if for
example, a large group educator is considering using a technology that has only previously been
used with small tutorial groups.

In the third phase, the project will build on existing learning evaluation models (e.g. Reeves &
Hedberg, 2003) to develop an evaluation framework to assist teachers in determining the
effectiveness of a chosen educational technology in their own educational context. The evaluation
framework will primarily focus on measuring changes in students’ knowledge and skills following
the use of an intervention in a classroom activity. It will have both a quantitative and qualitative
component and will be validated using technologies identified earlier in the project

An objective of the project is to disseminate the findings to the wider community of bioscience
educators in higher education. As such, potential users of project outcomes will be identified and
involved in the project at all phases. For example, during the interview phase, educators from
collaborating institutes will be made aware of the intended outcomes of the project and how they
might make effective use of them. Following this phase, a set of recommendations will be made
available to educators and round table discussions will be held to obtain their feedback and
reflections. Further strategies to promote the transfer of knowledge and tools developed in the
project include, conducting a series of workshops for educators, creating a project website from
which educators can access practical tools and resources, and writing a handbook of
recommendations and guidelines that is freely accessible from the project web site.

Conclusions
The project’s approach is to identify best practice in teaching scientific inquiry skills, particularly
the effective use of educational technologies to promote understanding of the scientific method of
inquiry and to develop skills necessary to conduct successful investigations. Through the
pedagogically sound use of proven educational technologies it is expected that bioscience
graduates will enter the workplace better equipped with the skills to conduct investigative
research.

Acknowledgments
Support for this project is being provided by the Australian Learning and Teaching Council, an
initiative of the Australian Government Department of Education, Employment and Workplace
Relations. The views expressed in the project do not necessarily reflect the views of the Australian
Learning and Teaching Council.

References

Bunge, M. (1967). Scientific Research I: The search for system Berlin – Heidelberg: Springer –
Verlag Elliott, K. A., Sweeney, K., & Irving, H. R. (2008). A learning design to teach scientific
inquiry. In L.
Lockyer, S. Bennet, S. Agostinho & B. Harper (Eds.), Handbook of Research on Learning Design
and Learning Objects: Issues, Applications and Technologies. (pp. 652-675). Hershey,
Pennsylvania: Idea Group Inc

Galea, V., Stewart, T., & Steel, C.H. (2007). Challenge FRAP: An e-learning tool used to scaffold
authentic problem-solving processes. In ICT: Providing choices for learners and learning
Proceedings ascilite Singapore 2007.
http://www.ascilite.org.au/conferences/singapore07/procs/galea.pdf
Hofstein, A., & Lunetta, V. N. (2003). The laboratory in science education: Foundations for the
twentyfirst
century. Science Education, 88 (1), 28-54.
Hollingworth, R. W., & McLoughlin, C. (2001). Developing sciences students’ metacognitive
problem
solving skills. Australian Journal of Educational Technology, 17(1), 50-63.
http://www.ascilite.org.au/ajet/ajet17/hollingworth.html
Linn, M. C. (2000). Designing the knowledge integration environment. International Journal of
Science
Education, 22, 781-796.
National Science Foundation. (2000). Foundations: A monograph for professionals in science,
mathematics, and technology education. Inquiry: Thoughts, views, and strategies for the K-5
classroom. National Science Foundation, Directorate for Education and Human Resources.
Norman, G., & Schmidt, H. G. (1992). The psychological basis of Problem-based Learning: A
review of
the evidence. Academic Medicine, 67(9), 557-565.
Pedaste, M., & Sarapuu, T. (2006). Developing an efficient support system for inquiry learning in
a Webbased
environment. Journal of Computer Assisted Learning, 22, 42-67.
Reeves, T. C., & Hedberg, J. G. (2003). Interactive Learning Systems Evaluation. Englewood
Cliff, NJ:
Educational Technology Publications.
van Joolingen, W. R., de Jong, T., & Dimitrakopoulou, A. (2007). Issues in computer supported
inquiry
learning in science. Journal of Computer Assisted Learning, 23, 111-119.
Windschitl, M., Thompson, J., & Braaten, M. (2008). Beyond the Scientific Method: Model based
inquiry
as a new paradigm of preference for school science investigations. Science Education. 92(5), 941-
967.
Wong, S. L., & Hodson, D. (2008). From the horse’s mouth: What scientists say about scientific
investigation and scientific knowledge. Science Education. . [Online] Early view retrieved October
13, 2008 from http://www3.interscience.wiley.com/journal/119427575/abstract
Zachos, P., Hick, T. L., Doane, W. E. J., & Sargent, C. (2000). Setting theoretical and empirical
foundations for assessing scientific inquiry and discovery in educational programs. Journal of
Research
in Science Teaching, 37(9), 938-962.
c. Landasan teori dan konsep sistem: diambil dari alamat URL:
http://dasan.sejong.ac.kr/~inlee/set/articles/ETI_Retrospective_P.pdf. dengan
isi jurnal sebagai berikut :

Anda mungkin juga menyukai