Anda di halaman 1dari 7

KRISIS MONETER, PENGANGGURAN DAN KEMISKINAN

Oleh Mundiharno, 1998

Beberapa Kasus

Krisis moneter yang berlangsung selama ini telah memunculkan berbagai peristiwa baik
pada tingkat individu, rumah tangga maupun masyarakat. Beberapa kasus berikut ini
merupakan bagian kecil dari serentetan peristiwa lain yang berkaitan dengan dampak
krisis moneter. Tiga kasus berikut ini barangkali relevan disajikan, tentu saja tanpa
berpretensi bahwa ketiga kasus tersebut mewakili berbagai kasus lain yang amat
beragam.

Kasus 1
Pikiran saya sedang kalut, apalagi setelah saya dipanggil bos baru-baru ini yang
membuat penghasilan saya tambah minus lagi, tinggal separuh gaji. ... Sejak suami saya
di-PHK dari bank yang terkena likuidasi beberapa bulan silam, rumah menjadi neraka
kecil bagi kami semua. Dua pembantu terpaksa kami “rumahkan” karena tak kuat
membayar gaji. Beban ekonomi jatuh ke pundak saya. Cuma tinggal gaji saya yang
tinggal separuh itulah yang menghidupi kami. ... Sumai sudah mencari pekerjaan lain,
tetapi karena sektor perbankan sedang kacau saat ini, tak ada yang mau menerimanya.
Sekarang suami saya cuma murung sepanjang hari. Mungkin ia malu terkena
PHK. Saya berusaha sabar menghadapi hidup initapi kadang-kasang saya merasa tak
tahan lagi. Saya tak mendapat dukungan dari suami. Pulang bekerja saya bekerja lagi,
mencuci, masak, mengurus anak-anak dan seterusnya dan seterusnya (Kompas, 19 April
1998, p.11)

Kasus 2
Ny Erni yang suaminya bekerja di sebuah perusahaan swasta dengan penghasilan rata-
rata Rp 700.000 per bulan, tidak lagi meminum susu bubuk Bendera karena harganya
melambung diluar jangkauan. Begitu juga lauk makan yang biasanya bisa dengan
masakan ayam dua kali seminggu, kini jadwalnya diubah menjadi dua minggu sekali. Ibu
satu anak itu sekarang memprioritaskan membeli susu untuk anaknya yang berusia dua
tahun.

Apa boleh buat. Penghasilan yang tetap dalam nilai nominal bahkan bisa turun
bila perusahaan tempat bekerja melakukan penghematan, memang menurunkan kualitas
hidup ketika harga semua kebutuhan sehari-hari melambung tak terkendali (Kompas, 19
April 1998, p.1 dan p.7)

Kasus 3
Desa Bulakan di Jawa Tengah merupakan salah satu desa pemasok migran sirkuler ke
Jakarta. Sekitar seperempat dari seluruh penduduk desa tersebut melakukan sirkulasi ke
Jakarta. Umumnya adalah laki-laki yang berusia produktif. Bagi mereka yang telah
berumah tangga, keluarga mereka sengaja ditinggalkan di desa agar biaya hidupnya
tidak mahal. Sebagian besar dari mereka bekerja sebagai buruh bangunan. Krisis
moneter yang memukul sektor bangunan membuat ratusan dari mereka tidak lagi
mendapatkan pekerjaan di Jakarta. Mereka untuk sementara menganggur. Tapi masa
menganggur pun tidak bisa lama. Sebagian dari mereka terpaksa bekerja apa adanya
menjadi buruh apa saja asalkan memperoleh penghasilan. Repotnya, menjadi “buruh
apa saja” pun bukan hal yang mudah didapat (Pengamatan Penulis).

Akibat Krisis Moneter Pengangguran Meningkat?

Krisis moneter yang terjadi akhir-akhir ini memang banyak diyakini telah
meningkatkan angka pengangguran. Jumlah penganggur bertambah tidak saja disebabkan
oleh makin banyaknya new entrants yang tidak memperoleh lapangan pekerjaan
(employment opportunity) tetapi juga karena terjadinya pemutusan hubungan kerja
(PHK) oleh banyak perusahaan. Depnaker RI sendiri mengumumkan bahwa jumlah
penganggur yang ada di Indonesia pada akhir Maret 1998 berjumlah 13,4 juta yang
terdiri dari 2,6 juta penganggur akibat PHK, 6 juta penganggur yang merupakan new
entrans dan 4,8 juta penganggur tahun lalu (Jakarta Post, 13 April 1998). Akurasi jumlah
penganggur itu sendiri dapat dipertanyakan, apakah Depnaker melakukan survei
menyeluruh terhadap jumlah penganggur atau hanya merupakan angka estimasi. Diduga
angka-angka tersebut hanya merupakan angka estimasi (prakiraan). Karena merupakan
estimasi maka angka tersebut tidak sepenuhnya tepat dan tampaknya angka itu hanya
digunakan sebagai “ancar-ancar” dalam mensikapi persoalan ketenaga-kerjaan
(pengangguran) yang selama ini dihadapi.

Pertanyaannya, apakah benar krisis moneter meningkatkan jumlah pengangur?


Atau malah sebaliknya, adanya krisis ini justru mendorong banyak orang terpaksa
bekerja (dengan pekerjaan apa saja)?

Ada dua pendapat berkaitan dengan dampak krisis moneter terhadap jumlah
penganggur. Pertama, pendapat umum yang menyatakan bahwa krisis moneter
berdampak pada meningkatnya jumlah penganggur. Pendapat ini merupakan pendapat
klasik yang didasarkan pada kerangka pemikiran yang telah lama ada. Pendapat ini
didasarkan pada asumsi bahwa masalah pengangguran (sebagai akibat dari berkurangnya
demand for labour) pada dasarnya merupakan masalah “turunan” dari rendahnya
permintaan terhadap barang/jasa (demand for output). Pengangguran terjadi karena
permintaan terhadap barang dan jasa berkurang. Karena permintaan terhadap barang dan
jasa berkurang maka volume produksi barang dan jasa juga berkurang. Karena volume
produksi barang dan jasa berkurang maka input produksi (salah satunya tenaga kerja)
juga berkurang. Oleh karena itu terjadilah PHK yang menambah jumlah pengangur.

Disisi lain situasi krisis juga berdampak pada menurunnya jumlah investasi.
Karena investasi menurun maka kesempatan kerja (dalam arti lowongan pekerjaan) baru
juga berkurang. Karena itu tidak semua tenaga kerja yang berada di pasar kerja dapat
memperoleh pekerjaan. Akibat lebih lanjut, penganggur juga meningkat. Pendapat ini
mengacu pada teori demand elasticity for labour (elastisitas permintaan terhadap tenaga
kerja), yang menyatakan bahwa perubahan permintaan tenaga kerja pada dasarnya
merupakan reaksi terhadap pertumbuhan ekonomi yang ada. Makin tinggi pertumbuhan
ekonomi akan makin tinggi pula permintaan terhadap tenaga kerja dan karenanya akan
makin kecil pula tingkat pengangguran.

Pendapat kedua, justru menyatakan sebaliknya bahwa krisis moneter tidak


berpengaruh terhadap jumlah penganggur. Jumlah penganggur tidak meningkat meskipun
terjadi krisis moneter. Angka pengangguran tetap akan rendah berkisar antara 3-4 persen.
Tidak akan mencapai 15 persen sebagaimana diberitakan selama ini. Pendapat kedua ini
merupakan koreksi terhadap pendapat pertama khususnya jika diterapkan di negara
berkembang seperti Indonesia. Mengapa? Sebab di negara berkembang seperti Indonesia
tidak ada jaminan sosial (social security) bagi mereka yang menganggur sebagaimana
diberlakukan di negara maju (yang menganut pandangan welfare state). Di negara maju
orang yang semiskin apapun tetap dapat hidup meskipun merepa tidak bekerja. Sebab
mereka memperoleh santunan sosial untuk hidup sebagai akibat mereka tidak bekerja.
Santunan sosial di negara yang menganut pandangan welfare state merupakan bagian dari
hak warga negara. Mereka berhak atas hal itu sebagaimana mereka juga berkewajiban
membayar pajak ketika sedang memperoleh penghasilan/pendapatan.

Tetapi bagaimana dengan di negara berkembang seperti Indonesia? Santunan


sosial seperti itu tidak ada. Kalaupun ada hanya “superficial”, tidak mendasar dan tidak
dilegalkan dalam peraturan. Langkah seperti memberi makan gratis di Warteg (Warung
Tegal) sekali dua kali hanyalah santunan sesaat yang tidak mungkin mampu mengatasi
kesulitan hidup pekerja yang di PHK. Dalam kondisi tidak ada jaminan sosial seperti itu
maka “menganggur” pada dasarnya merupakan “barang mewah” yang tidak setiap orang
mampu menikmatinya. Bagi kebanyakan orang menganggur berarti tidak makan. Bagi
mereka pilihannya sama-sama sangat sulit; ‘tidak makan karena menganggur’ atau
‘terpaksa bekerja untuk dapat makan sekedarnya’. Dengan alur pikir seperti ini maka
tidaklah mungkin angka pengangguran Indonesia meningkat (tinggi) meskipun terjadi
krisis moneter. Yang terjadi akibat krisis ini justru makin banyaknya orang yang terpaksa
bekerja. Kondisi yang dihadapi bukan “bisa tidak bekerja” melainkan “tidak bisa untuk
tidak bisa bekerja”. Dalam alur pikir ini, orang yang di PHK akan tetap bekerja apapun
jenis pekerjaannya.

Kasus 3 menggambarkan profil kelompok orang yang “tidak bisa tidak bekerja”
meski dalam jangka yang amat pendek sekalipun. Mereka adalah buruh tenaga kerja yang
hampir-hampir tidak memiliki tabungan (saving) yang dapat digunakan untuk
menyambung hidup ketika menganggur. Bagi mereka “menganggur” adalah barang yang
teramat mewah yang berarti “tidak makan dan amat sulit hidup”. Itulah sebabnya mereka
akan mencari pekerjaan apa saja asal dapat untuk makan. Ketika sektor bangunan
terpukul berat akibat krisis dan karenanya tidak ada lagi pekerjaan buat mereka, mereka
dengan segera berusaha beralih ke jenis pekerjaan lain seperti buruh tani, buruh pasar,
calo angkutan, kuli penggilingan padi dan sebagainya. Dan diduga orang-orang seperti
inilah yang pertama kali dan banyak terkena PHK akibat krisis moneter. Jika dugaan ini
benar maka pengangguran tidak akan banyak meningkat meskipun krisis moneter terjadi.

Namun krisis moneter ini terjadi begitu hebat. Tidak saja buruh bangunan yang
terkena dampaknya, tetapi hampir di semua lapisan merasakan dampak krisi moneter ini.
PHK tidak saja terjadi di pekerja lapisan bawah tetapi juga sampai di tingkat manajer
menengah dan puncak. Bagaimana dengan “kelas menengah” (para menajer menengah
dan puncak) dalam menghadapi PHK? Apakah mereka juga bertindak sebagai buruh
bangunan yang “tidak bisa tidak bekerja”? Kasus 1 merupakan salah satu gambaran dari
contoh kelompok menengah yang terkena PHK. Mereka sementara memang masih
bertahan hidup meskipun mereka tidak bekerja. Dengan tabungan yang dimiliki mereka
dapat bertahan hidup dengan menganggur. Mereka memiliki dana untuk membiayai masa
menganggur. Besarnya dana tentu bervariasi. Dan lama masa bertahan menganggur pun
bervariasi tergantung dana yang dimiliki dan tingkat konsumsi yang dilakukan. Namun
setelah dana untuk membiayai masa menganggur habis, mereka pun diduga akan masuk
kategori “terpaksa bekerja” apapun jenis pekerjaanya.
Dari dua kasus yang dikemukakan dimuka (Kasus 1 dan Kasus 2) tidaklah
mungkin dapat disimpulkan mana pendapat yang lebih benar; pendapat pertama yang
menyatakan angka pengangguran meningkat akibat krisis atau pendapat kedua yang
menyatakan bahwa angka pengangguran tidak akan meningkat tinggi meski ada krisis
moneter sebab menganggur merupakan “barang mewah” bagi sebagian besar orang.
Namun dari kedua kasus diatas tampak terlihat bahwa kedua pendapat tersebut tampak
memiliki dasar empiris yang mendukung. Dalam jangka pendek (satu bulan sampai tak
terhingga tergantung tabungan yang dimiliki dan tingkat konsumsi) orang yang terkena
PHK (akibat krisis moneter) mungkin masih mampu bertahan untuk menganggur. Dana
untuk membiayai masa menganggur diambil dari tabungan atau dengan melikuidasi
asset-nya. Namun ketika dana (tabungan) yang dimiliki habis maka mereka akan terpaksa
bekerja apapun pekerjaannya asalkan mampu membiayai kehidupannya. Oleh karena itu
dalam jangka panjang orang tidak mungkin tetap mampu beratahan untuk menganggur.
Pendapat terakhir benar dengan asumsi bahwa orang dapat masuk ke pasar kerja asalkan
tidak “menawar” jenis pekerjaan yang ada sesuai dengan keinginannya.

Kemiskinan: Isu Lebih Penting

Pertanyaan yang sebenarnya lebih penting adalah apakah krisis moneter ini membuat
banyak orang menjadi miskin (secara absolut) atau tidak? Pertanyaan apakah orang
menganggur atau tidak, meskipun oleh beberapa kalangan penting karena dianggap
sebagai indikator kesejahteraan, sebenarnya tidaklah begitu penting. Sebab
“pengangguran” tidak selalu berarti kemiskinan. Mengikuti pendapat kedua, menganggur
justru merupkan barang mewah karena itu tidak mungkin dilakukan oleh orang yang
miskin yang kehidupannya berada pada taraf subsisten. Dalam kerangka pikir ini
menganggur sebenarnya bukan persoalan dasar. Ada persoalan yang lebih mendasar yang
harus ditangani yaitu kemiskinan (absolut). Itulah sebabnya statistik ketenagakerjaan
seperti angka pengangguran, tingkat kesempatan kerja (employment rate) dan sebagainya
tidaklah begitu penting sebab kurang mencerminkan tingkat kesejahteraan penduduk
yang sebenarnya. Ada ukuran yang lebih penting untuk dicermati yaitu “tingkat
pendapatan”; seberapa banyak orang yang pendapatannya telah mampu mencukupi
kebutuhan hidupnya.

Krisis moneter tampaknya telah menurunkan daya beli sebagain besar penduduk.
Pengeluaran penduduk diduga juga menurun akibat krisis. Harga barang yang
melambung di satu sisi dan tetapnya (atau bahkan menurunnya) nominal pendapatan
yang mereka peroleh membuat daya beli mereka menurun. Pengeluaran untuk kebutuhan
sekunder dan tertier yang semula ada posnya secara perlahan-lahan dihapus dari
anggaran rumah tangga. Bahkan pengeluaran untuk kebutuhan primer seperti makanan
dan susu pun mulai dikurangi derajat dan frekuensinya. Kasus 2 menggambarkan betapa
dengan jumlah gaji yang secara nominal tetap pun, tingkat konsumsi terpaksa diturunkan
karena tingginya kenaikan harga barang kebutuhan sehari-hari.

Penurunan daya beli tidak saja terjadi terhadap kebutuhan pokok berupa makanan
tetapi juga ke berbagai kebutuhan lain seperti pendidikan, kesehatan dan sebagainya.
Dilaporkan cukup banyak mahasiswa yang terancam drop out karena orang tua mereka
tidak lagi mampu membiayai pendidikan mereka. Beberapa perguruan tinggi dilaporkan
memberikan pengumuman dispensisi untuk mengambil cuti bagi mahasiswa yang tidak
mampu membayar uang kuliah. Harga kertas dan foto copy yang membumbung tinggi
membuat beberapa mahasiswa terpaksa menulis skripsi dengan tulisan tangan dan kertas
buram.

Di sektor kesehatan dampak krisis juga amat terasa. Mahalnya harga obat
membuat sebagian penduduk tidak mampu lagi menjangkau pelayanan kesehatan
modern. Dilaporkan banyak penderita meninggal akibat tidak mampu lagi membayar
biaya cuci darah. Makin banyak pula kasus pasien kabur --terutama di RSU
pemerintah-- akibat tidak mampu membayar biaya perawatan. Sebagian lagi mencari
pengobatan alternatif ke praktek-praktek tradisional. Dampak lanjut dari rendahnya
kualitas kesehatan penduduk adalah meningkatnya angka mortalitas. Harga susu yang
makin mahal berdampak pada banyaknya bayi yang kekurangan gizi.

Makin tingginya harga alat kontrasepsi diduga juga berpengaruh terhadap


meningkatnya fertilitas. Alat kontrasepsi bisa jadi tidak lagi masuk pos anggaran
kebanyakan pasutri (pasangan suami istri). Dan karenanya resiko untuk melahirkan pun
diduga meningkat.

Krisis moneter diduga turut pula berpengaruh pada mobilitas penduduk. Biaya
yang disedikan untuk melakukan mobilitas diduga makin berkurang. Mobilitas hanya
dilakukan untuk tujuan yang benar-benar penting. Meningkatnya biaya fiscal bagi orang
yang akan bepergian keluar negeri merupakan salah satu hal yang diduga turut
menghambat mobilitas orang yang akan keluar negeri.
Catatan Penutup

Krisis moneter diduga akan terus berlanjut sampai beberapa tahun mendatang.
Tidak ada kepastian tentang berapa lama krisis ini benar-benar akan berakhir. Satu hal
yang pasti, jumlah orang yang menjerit akibat krisis ini akan makin bertambah. Harga
kebutuhan sehari-hari yang terus merambat naik (atau melambung) di satu sisi dan
tetapnya atau bahkan menurunnya nominal pendapatan sebagian besar penduduk
membuat daya beli mereka menurun drastis. Jumlah penduduk yang mengalami kesulitan
dalam memenuhi kebutuhan meski kebutuhan primer sekalipun terus bertambah. Jumlah
penduduk yang miskin (absolut) bertambah banyak. Dalam kondisi seperti ini upaya
pengentasan kemiskinan menjadi suatu tindakan yang amat sangat penting. Karena itu
upaya tersebut perlu dilakukan secara sungguh-sungguh dan perlu diusahakan agar dalam
pelaksanaanya terhindar dari hal-hal yang justru menyimpang dari tujuan sebenarnya.

Anda mungkin juga menyukai