Anda di halaman 1dari 12

ss

PENATAAN WILAYAH PERMUKIMAN KUMUH BERBASIS


KERAKYATAN (SEBUAH SOLUSI ATASI KEKUMUHAN WILAYAH)

I. PENDAHULUAN

Perkembangan permukiman di daerah perkotaan tidak terlepas dari pesatnya laju pertumbuhan
penduduk perkotaan baik karena fakor pertumbuhan penduduk kota itu sendiri maupun karena
faktor urbanisasi. Dampak negatif urbanisasi yang telah berlangsung selama ini lebih disebabkan
oleh tidak seimbangnya peluang untuk mencari nafkah di daerah perdesaan dan perkotaan.
Beberapa pengamat meyakini bahwa salah satu penyebab mengalirnya penduduk pedesaan ke
kota-kota akibat kekeliruan adopsi paradigma pembangunan yang menekankan pada
pembangunan industrialisasi besar-besaran yang ditempatkan di kota-kota besar yang kemudian
dikenal dengan istilah AIDS (Accelerated Industrialization Development Strategy), sehingga
memunculkan adanya daya tarik yang sangat kuat untuk mengadu nasibnya di kota yang
dianggap mampu memberikan masa depan yang lebih baik dengan penghasilan yang lebih tinggi,
sementara pendidikan dan ketrampilan yang mereka miliki kurang memadai untuk masuk
disektor formal (Yunus, 2005).

Seiring dengan pertumbuhan penduduk di daerah perkotaan, maka kebutuhan penyediaan akan
prasarana dan sarana permukiman akan meningkat pula, baik melalui peningkatan maupun
pembangunan baru. Selanjutnya pemenuhan akan kebutuhan prasarana dan sarana permukiman
baik dari segi perumahan maupun lingkungan permukiman yang terjangkau dan layak huni
belum sepenuhnya dapat disediakan baik oleh masyarakat sendiri maupun pemerintah, sehingga
kapasitas daya dukung prasarana dan sarana lingkungan permukiman yang ada mulai menurun
yang pada gilirannya memberikan konstribusi terjadinya lingkungan permukiman kumuh. Akibat
makin banyaknya permukiman kumuh dan liar yang pada gilirannya akan menjadi berat bagi
pemerintah kota untuk menanganinya (Yunus, 2005).

Lingkungan permukiman kumuh di perkotaan di Indonesia merupakan permasalahan yang sangat


kompleks, diantaranya adalah permasalahan yang berkaitan dengan kemiskinan, tingkat
pendidikan masyarakat yang rendah, kesenjangan serta ketidakdisiplinan masyarakat terhadap
lingkungannya maupun yang menyangkut kemampuan lembaga-lembaga pemerintahan
kota/kabupaten dalam pengaturan, pengorganisasian tata ruang dan sumberdaya yang dimiliki
kota dalam melaksanakan fungsinya sebagai pelayan masyarakat kota (Esmara,1975).
Lingkungan permukiman kumuh merupakan masalah yang terjadi atau sering dihadapi di kota
besar, tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga berlangsung di kota-kota besar di dunia (Sri. P,
1988), begitupula di negara-negara berkembang di Asia dan Afrika, menurut publikasi World
Bank (1999) lingkungan permukiman kumuh digambarkan sebagai bagian yang terabaikan dari
lingkungan perkotaan dimana kondisi kehidupan dan penghidupan masyarakatnya sangat
memprihatinkan, yang diantaranya ditunjukkan dengan kondisi lingkungan hunian yang tidak
layak huni, tingkat kepadatan penduduk yang tinggi, sarana dan prasarana lingkungan yang tidak
memenuhi syarat, tidak tersedianya fasilitas pendidikan, kesehatan maupun sarana dan prasarana
sosial budaya kemasyarakatan yang memadai, kekumuhan lingkungan permukiman cenderung
bersifat paradoks, bagi masyarakat yang tinggal di lingkungan tersebut, kekumuhan adalah
kenyataan sehari-hari yang tidak mereka masalahkan, sedangkan di pihak lain yang berkeinginan
ss

untuk menanganinya, masalah kumuh adalah suatu permasalahan yang perlu segera
ditanggulangi penanganannya.

Dari fenomena tersebut dapat dipetik pelajaran bahwa penanganan lingkungan permukiman
kumuh tidak dapat diselesaikan secara sepihak, tetapi harus secara sinergis melibatkan potensi
dan eksistensi dari seluruh pihak yang berkepentingan (stakeholders), baik Pemerintah Pusat,
Provinsi, Kabupaten/Kota maupun masyarakat sendiri selaku penerima mamfaat, Pelaku dunia
usaha, LSM/NGO, cerdik pandai dan pemerhati yang peduli. Apabila hal ini tidak disiapkan
penanggulanganya sejak dini, maka masalah permukiman kumuh akan menjadi masalah
ketidakmampuan kota dalam menjalankan perannya sebagai pusat pembangunan sosial, ekonomi
dan politik (Sri.P, 1988).

II. DAMPAK WILAYAH PERMUKIMAN KUMUH

Lingkungan permukiman kumuh memberi dampak yang bersifat multi dimensi diantaranya
dalam dimensi penyelenggaraan pemerintahan, tatanan sosial budaya, lingkungan fisik serta
dimensi politis. Di bidang penyelenggaraan pemerintahan, keberadaan lingkungan permukiman
kumuh memberikan dampak citra ketidakberdayaan, ketidakmampuan dan bahkan
ketidakpedulian pemerintah terhadap pengaturan pelayanan kebutuhan-kebutuhan hidup dan
penghidupan warga kota maupun pendatang dan pelayanan untuk mendukung kegiatan sosial
budaya, ekonomi, teknologi, ilmu pengetahuan, dan sebagainya.
Dampak terhadap tatanan sosial budaya kemasyarakatan adalah bahwa komunitas yang
bermukim di lingkungan permukiman kumuh yang secara ekonomi pada umumnya termasuk
golongan masyarakat miskin dan berpenghasilan rendah, seringkali dianggap sebagai penyebab
terjadinya degradasi kedisiplinan dan ketidaktertiban dalam berbagai tatanan sosial
kemasyarakatan (Sri. P, 1988).

Di bidang lingkungan/hunian komunitas penghuni lingkungan permukiman kumuh sebagian


besar pekerjaan mereka adalah tergolong sebagai pekerjaan sektor informal yang tidak
memerlukan keahlian tertentu, misalnya sebagai buruh kasar/kuli bangunan, sehingga pada
umumnya tingkat penghasilan mereka sangat terbatas dan tidak mampu menyisihkan
penghasilannya untuk memenuhi kebutuhan perumahan dan permukiman sehingga mendorong
terjadinya degradasi kualitas lingkungan yang pada gilirannya munculnya permukiman kumuh.
Keberadaan komunitas yang bermukim di lingkungan permukiman kumuh ini akan cenderung
menjadi lahan subur bagi kepentingan politis tertentu yang dapat dijadikan sebagai alat negosiasi
berbagai kepentingan. Fenomena ini apabila tidak diantisipasi secara lebih dini akan
meningkatkan eskalasi permasalahan dan kinerja pelayanan kota.

Upaya penanganan permukiman kumuh telah diatur dalam Undang-undang No. 4 Tahun 1992
tentang perumahan dan permukiman, yang menyatakan bahwa untuk mendukung terwujudnya
lingkungan permukiman yang memenuhi persyarakatan keamanan, kesehatan, kenyamanan dan
keandalan bangunan, suatu lingkungan permukiman yang tidak sesuai tata ruang, kepadatan
bangunan sanggat tinggi, kualitas bangunan sangat rendah, prasaranan lingkungan tidak
memenuhi syarat dan rawan, yang dapat membahayakan kehidupan dan penghidupan masyarakat
penghuni, dapat ditetapkan oleh Pemerintah Kota Yogyakarta yang bersangkutan sebagai
ss

lingkungan permukiman kumuh yang tidak layak huni dan perlu diremajakan.
Penanganan peremajaan lingkungan permukiman kumuh yang diatur dalam Inpres No. 5 tahun
1990, tentang pedoman pelaksanaan peremajaan permukiman kumuh diatas tanah negara
dinyatakan bahwa pertimbangan peremajaan permukiman kumuh adalah dalam rangka
mempercepat peningkatan mutu kehidupan masyarakat terutama bagi golongan masyarakat
berpenghasilan rendah yang bertempat tinggal di kawasan permukiman kumuh yang berada di
atas tanah negara. Hal ini disebabkan eksistensi permukiman kumuh tidak dapat dilepaskan dari
ekosistim kota, dan justru merupakan potensi ketenagakerjaan yang menunjang tata
perekonomian kota (Sri.P, 1988) Peremajaan permukiman kumuh dalam Inpres 5/90 tersebut
adalah meliputi pembongkaran sebagian atau seluruh permukiman kumuh yang sebagian besar
atau seluruhnya berada di atas tanah negara dan kemudian di tempat yang sama dibangun
prasarana dan fasilitas rumah susun serta bangunan-bangunan lain sesuai dengan rencana tata
ruang kota yang bersangkutan (Koestoer.R, 1997). Untuk mempercepat pelaksanaan peremajaan
permukiman kumuh tersebut, perlu didorong keikutsertaan Badan Usaha Milik Negara, Badan
Usaha Milik Daerah, Yayasan dan Perusahaan Swasta serta masyarakat luas yang
pelaksanaannya perlu dilakukan secara terkoordinasi dengan instansi-instansi terkait.
Selanjutnya kebijakan penanganan permukiman kumuh sesuai Surat Edaran Menpera No.
04/SE/M/I/93 tahun 1993, dinyatakan bahwa perumahan dan permukiman kumuh adalah
lingkungan hunian dan usaha yang tidak layak huni yang keadaannya tidak memenuhi
persyaratan teknis, sosial, kesehatan, keselamatan dan kenyamanan serta tidak memenuhi
persyaratan ekologis dan legal administratif yang penanganannya dilaksanakan melalui pola
perbaikan/pemugaran, peremajaan maupun relokasi sesuai dengan tingkat/ kondisi permasalahan
yang ada.

III.TUJUAN KEGIATAN

Tujuan penataan ini adalah dalam rangka meningkatkan mutu kehidupan dan penghidupan,
harkat, derajat, dan martabat masyarakat penghuni permukiman kumuh terutama golongan
masyarakat miskin dan berpenghasilan rendah melalui fasilitasi penyediaan perumahan layak dan
terjangkau dalam lingkungan permukiman yang sehat dan teratur; serta mewujudkan kawasan
permukiman yang ditata secara lebih baik sesuai dengan peruntukan dan fungsi sebagaimana
ditetapkan dalam rencana tata ruang kota. Oleh karena kawasan seperti ini pada umumnya terdiri
dari rumah yang berukuran kecil, berkepadatan sangat tinggi bahkan sudah sampai ke taraf death
point maka upaya untuk membangun permukiman yang mampu mengakomodasikan semua
keluarga dengan lingkungan yang nyaman, dengan ruang terbuka yang memadai baik untuk olah
raga maupun untuk taman lingkungan maka jalan satu-satunya adalah membangun rumah susun
(Yunus, 2005). Disamping itu melalui kegiatan ini diharapkan mampu mondorong penggunaan
dan pemanfaatan lahan yang efisien melalui penerapan tata lingkungan permukiman sehingga
memudahkan upaya penyediaan prasarana dan sarana lingkungan permukiman yang diperlukan
serta dalam rangka mengurangi kesenjangan sosial antar kawasan permukiman di daerah
perkotaan.

Pengembangan perumahan dan permukiman diprogramkan sebagai tanggung jawab masyarakat


sendiri yang diselenggarakan secara multi sektoral dengan menempatkan peran pemerintah
sebagai pendorong, pemberdaya dan fasilitator dalam upaya memampukan masyarakat dan
ss

mendorong peran aktif dunia usaha melalui penciptaan iklim yang kondusif dalam
penyelenggaraan perumahan dan permukiman. Dengan latar belakang tersebut, maka misi yang
dilaksanakan dalam penanganan lingkungan permukiman kumuh adalah melakukan
pemberdayaan masyarakat dan kehidupan yang sehat dan sejahtera, menciptakan, memfasilitasi
terciptanya iklim yang kondusif dan membuka akses sumber daya dan informasi serta
meningkatkan sarana interaksi sosial untuk mengembangkan norma dan nilai budaya yang sehat
dan mengoptimalkan pendayagunaan sumberdaya pendukung penyelenggaraan perumahan dan
permukiman (Kan. ar, 1997).

Implementasi dari konsep pemberdayaan masyarakat disini adalah penyelenggaraan


pembangunan yang bertumpu kepada masyarakat yaitu suatu proses peningkatan peluang
kesempatan mandiri dan bermitra dengan pelaku pembangunan yang lain. Proses pembangunan
yang bertumpu kepada masyarakat/ keterlibatan masyarakat (Community Participation)
merupakan suatu proses yang spesifik sesuai dengan karakter masyarakatnya, yang meliputi
tahapan identifikasi karakter komunitas, identifikasi permasalahan, perencanaan, pemrograman
mandiri, serta pembukaan akses kepada sumber daya dan informasi, hal ini penting agar supaya
kaidah pembangunan perumahan yang telah ditetapkan dapat diindahkan oleh masyarakat umum
dan pola partisipasi masyarakat perlu dikembangkan sesuai dengan budaya yang berlaku di
wilayah setempat (Sri.P, 1988).

Pendekatan penyelenggaraan pembangunan yang berorientasi untuk masyarakat perlu diubah


menjadi membangun bersama masyarakat. Persoalannya adalah terletak kepada bagaimana
menyiapkan dan menciptakan kondisi masyarakat sebagai pelaku utama pembangunan. Dalam
rangka menggali potensi komunitas masyarakat, maka peran pendampingan oleh tenaga
pendamping/fasilitator adalah sangat strategis. Pendampingan masyarakat merupakan suatu
hubungan setara antara masyarakat dengan individu atau kelompok yang memiliki kemampuan
profesional, kepedulian dan menerapkan kaidah kesadaran, keswadayaan, kewajaran didalam
proses pendampingan yang dibutuhkan masyarakat dalam memberdayakan pengetahuan
mengenai kemasyarakatan, metodologi pendekatan kepada masyarakat dan kemampuan subtantif
spesifik yang dibutuhkan dalam sasaran pemberdayaan yang menjadi pilihan masyarakat,
misalnya penguasaan terhadap substansi pengembangan usaha ekonomi mikro, serta kemampuan
untuk membuka akses terhadap sumberdaya dan informasi. Selanjutnya yang dimaksud dengan
kepedulian adalah keberpihakan kepada masyarakat yang didasari oleh kebenaran, penyediaan
waktu dan kesiapan diri untuk memahami bahasa komunikasi dan budaya kerja dari masyarakat
yang didampingi.

IV.ARAH KEBIJAKAN PENATAAN WILAYAH

Pemerintah harus menjadi motor dalam menentukan kebijakan untuk menangani permukiman
kumuh tersebut. Walaupun masyarakat tetap harus dilibatkan dalam setiap kegiatan penanganan
permukiman, tetapi keterlibatan masyarakat hanya pada tataran aplikasi di lapangan. Oleh karena
itu masyarakat perlu diberikan pelatihan sehingga mampu memberikan konstribusi yang besar
dalam proses pelaksanaan di lapangan.
Untuk mendukung proses pemulihan permukiman kumuh tersebut, maka diperlukan akses
bantuan kepada masyarakat sehingga kegiatan yang dilaksanakan dapat berjalan dengan baik
ss

karena didukung dana yang cukup. Prasarana yang bisa menjadi pendukung agar permukiman
kumuh bisa sedikit berbenah dengan adanya fasilitas-fasilitas seperti tempat pembuangan
sampah, pasar perumahan dan fasilitas lainnya. Upaya pengerahan aktif dari pemerintah dan
pihak yang berkompeten harus selalu dilaksanakan dalam mendampingi upaya penduduk
memperbaiki lingkungannya, hal ini harus dilaksanakan secara terus- menerus, terstruktur dan
sistematik (Yunus, 2005).

Kesadaran akan kebersihan perlu ditanamkan dengan baik melalui pemberian penyuluhan
tentang hukum yang berkaitan dengan perusakan lingkungan sehingga secara tidak langsung
akan menjadi Shock Theraphy bagi masyarakat yang berada di permukiman kumuh dan yang
berpotensi menjadi permukiman kumuh untuk tidak merusak lingkungan hidup. Pengembangan
permukiman juga perlu dikaitkan dengan berbagai kegiatan produktif unuk memberikan
kehidupan yang sehat dan sejahtera, tetapi juga menumjang aktifitas ekonomi dan pertumbuhan
ekonomi (Kan. ar, 1997)

Secara singkat kebijakan-kebijakan tersebut adalah sebagai berikut :


a.Mewujudkan proses transformasi kapasitas kepada masyarakat melalui pembelajaran dan
pelatihan secara langsung di lapangan.
b.Mendorong akses bantuan kepada masyarakat yang tinggal di lingkungan permukiman kumuh.
c.Meningkatkan kemampuan kelembagaan Pemerintah/Pemerintah Daerah dan kelompok
masyarakat di bidang perumahan dan permukiman.
d.Meningkatkan kesadaran hukum bagi para aparat Pemerintah
e.Memberdayakan pasar perumahan untuk melayani lebih banyak masyarakat.
f.Meningkatkan pembangunan dan pemeliharaan prasarana dan sarana umum dan ekonomi
lingkungan permukiman

V.PENATAAN WILAYAH PERMUKIMAN KUMUH

Kegiatan penataan lingkungan kumuh ini menerapkan konsep dasar Tridaya yang meliputi aspek
penyiapan masyarakat melalui pemberdayaan sosial kemasyarakatan, pendayagunaan prasarana
dan sarana lingkungan permukiman serta pemberdayaan kegiatan usaha ekonomi
lokal/masyarakat.
Dalam penerapannya, kegiatan ini menggunakan pemberdayaan masyarakat sebagai inti
gerakannya, dengan menempatkan komunitas permukiman sebagai pelaku utama pada setiap
tahapan, langkah, dan proses kegiatan, yang berarti komunitas pemukim adalah pemilik kegiatan.
Pelaku pembangunan di luar komunitas pemukim merupakan mitra kerja sekaligus sebagai
pelaku pendukung yang berpartisipasi pada kegiatan komunitas pemukim.
Dengan demikian, strategi program ini menitikberatkan pada transformasi kapasitas manajemen
dan teknis kepada komunitas melalui pembelajaran langsung (learning by doing) melalui proses
fasilitasi berfungsinya manajemen komunitas. Penerapan strategi ini memungkinkan komunitas
pemukim untuk mampu membuat rencana yang rasional, membuat keputusan, melaksanakan
rencana dan keputusan yang diambil, mengelola dan mempertanggungjawabkan hasil-hasil
kegiatannya, serta mampu mengembangkan produk yang telah dihasilkan. Melalui penerapan
strategi ini diharapkan terjadi peningkatan secara bertahap kapasitas sumberdaya manusia dan
pranata sosial komunitas pemukim, kualitas lingkungan permukiman, dan kapasitas
ekonomi/usaha komunitas.
ss

Seluruh rangkaian kegiatan dalam pemberdayaan masyarakat dalam program penataan


lingkungan kumuh ini memiliki pola dasar yang secara umum dapat dikelompokan menjadi tiga
kelompok besar kegiatan fasilitasi, yaitu pengorganisasian dan peningkatan kapasitas
masyarakat, pelaksanaan pembangunan serta pengembangan kelembagaan komunitas
Dalam rangka menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama pembangunan, masyarakat yang
terorganisasi memiliki peluang yang lebih besar dibandingkan secara individual. Selain itu
kemampuan masyarakat dalam mengidentifikasi kebutuhan dan potensinya, serta membuat
rencana yang rasional juga menjadi persyaratan keberhasilan kegiatan. Oleh karenanya, fasilitasi
kepada komunitas dalam pengorganisasian dan peningkatan kapasitas masyarakat ini merupakan
bagian dari konsep dasar khususnya dalam aspek penyiapan masyarakat dan aspek
pemberdayaan kegiatan usaha ekonomi dalam satu kesatuan.

Dalam mengaktualkan rencananya, komunitas perlu melakukan pengorganisasian peluang dan


sumberdaya kunci yang ada. Dalam kaitannya dengan fasilitasi ini, pemerintah memberikan
stimulan dana kepada komunitas untuk merealisasikan rencananya terutama dalam penataan
lingkungan permukiman kumuh, tanpa menutup kemungkinan adanya bantuan tidak mengikat
dari pihak lain. Selanjutnya fasilitasi terhadap komunitas dilakukan untuk pengelolaan hasil
pembangunan yang telah dilaksanakannya. Rangkaian fasilitasi ini merupakan bagian dari
konsep dasar Tridaya, khususnya dalam aspek pendayagunaan prasarana dan sarana lingkungan
dan aspek penyiapan masyarakat dalam satu kesatuan.
Pengembangan lembaga komunitas merupakan fasilitasi tahap akhir. Dalam
rangkaiankegiatannya, fasilitasi ini mengarah kepada pembuatan aturan main lembaga
komunitas, formalisasi lembaga komunitas, pelatihan dalam rangka peningkatan kapasitas
manajemen dan teknis kepada komunitas maupun lembaga.
komunitas, pembentukan jaringan kerja dengan komunitas lain, pemanfaatan akses sumber daya
kunci pembangunan dalam rangka kemitraan, dan pembukaan akses terhadap pengabil kebijakan.
Rangkaian fasilitas ini merupakan bentuk utuh dari penerapan konsep dasar Tridaya.

Secara Ringkas Penataan Wilayah untuk Pengananan Masalah Permukiman Kumuh tersebut
adalah :
a.Menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama dalam penataan lingkungan permukiman
kumuh .
b.Mendorong usaha produktif masyarakat melalui perkuatan jaringan kerja dengan mitra swasta
dan dunia usaha.
c.Mencari pemecahan terbaik dalam penentuan kelayakan penataan lingkungan permukiman
kumuh .
d.Melaksanakan penegakkan dan perlindungan hukum kepada masyarakat yang tinggal di
lingkungan permukiman kumuh .
e.Melakukan pemberdayaan kepada para pelaku untuk mencegah terjadinya permasalahan sosial.
f.Menerapkan budaya bersih dan tertib di lingkungan perumahan dan permukiman .
Akhirnya, apabila upaya penataan permukiman kumuh dapat dilaksanakan maka hasil yang dapat
diharapkan adalah meningkatnya pendapatan masyarakat, memperluas lapangan pekerjaan baru,
meningkakan kualitas rumah tinggal bahkan dapat memudahkan perolehan jasa-jasa dari
penduduk yang tersedia, meningkatkan kesehatan lingkungan, hal ini dapat berakibat
meningkatnya hasrat penduduk untuk berpartisipasi dalam pembangunan dan bahkan dapat
ss

meningkatkan nilai tanah yang ada.

VI. KESIMPULAN

Kesadaran masyarakat bermukim yang sehat, tertib dan teratur pada umumnya masih rendah,
maka dalam upaya meningkatkan kesadaran perlu terus diupayakan penggalangan potensi
masyarakat melalui proses pemberdayaan.Upayamelembagakan penataan lingkungan
permukiman kumuh dengan menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama perlu terus
ditumbuh kembangkan dengan mewujudkan perumahan yang layak dan terjangkau pada
lingkungan permukiman yang berkelanjutan, responsif yang mendukung pengembangan jatidiri,
produktivitas dan kemandirian masyarakat.Untuk mendukung pencapaian lingkungan
permukiman yang responsif tersebut maka perlu langkah konkrit untuk mendayagunakan potensi
masyarakat melalui kegiatan peningkatan kualitas permukiman, penerapan tata lingkungan
permukiman, pengembangan perumahan yang bertumpu kepada swadaya masyarakat,
pembukaan akses kepada sumber daya perumahan dan permukiman serta upaya-upaya
pemberdayaan ekonomi khususnya bagi golongan masyarakat miskin dan berpenghasilan rendah.

Upaya pendukung yang cukup strategis adalah pemantapan kelembagaan yang mendorong
terbentuknya lembaga perumahan dan permukiman yang handal dan profesional baik di
lingkungan pemerintahan (Pusat, Propinsi, Kab/Kota), Badan Usaha (BUMN, BUMD dan
Swasta), dan Masyarakat; serta melembaganya penyusunan RP4D (Rencana Pembangunan dan
Pengembangan Perumahan dan Permukiman di Daerah) sebagai bagian dari perencanaan
pembangunan daerah, dimana didalamnya termasuk kegiatan penataan lingkungan permukiman
kumuh secara berkelanjutan.
Penataan wilayah permukiman kumuh perlu dikaitkan secara struktural dan fungsional dengan
potensi sumber daya yang ada di kota tersebut termasuk di lingkungan permukiman kumuh itu
sendiri yang implementasinya dilakukan bersama masyarakat untuk mencapai kondisi yang lebih
baik. Penataan lingkungan permukiman kumuh sangat strategis untuk dikembangkan sesuai
potensi dan sumberdaya yang sudah dimilikinya. Pendekatan pemberdayaan masyarakat harus
berorientasi kepada tercapainya kemandirian masyarakat yang bertahap dan berkelanjutan.
Penanganan masalah lingkungan permukiman kumuh tidak dapat dilakukan secara sepihak atau
parsial, melainkan harus merupakan upaya terpadu yang saling mendukung dan saling bersinergi
dalam mencapai sasaran manfaat yang optimal. Perlu ada kesamaan persepsi dalam penetapan
sasaran, langkah dan waktu yang tepat untuk mengimplementasinya, dalam hal ini pemerintah
perlu berperan sebagai fasilitator dan pemberdaya dari semua tindakan yang akan diambil. Masa
depan sangat tergantung dari keberhasilan mencapai kehidupan masyarakat yang berimbang,
kemajemukan masyarakat harus dilihat sebagai kekuatan untuk menghadapi masa depan kota
yang penuh persaingan dan permasalahan yang kompleks, sehingga diperlukan perintisan
pembentukan jaringan kemitraan yang saling mendukung.
Implementasi dari produk-produk pengaturan dalam penataan lingkungan permukiman kumuh
yang ada pada saat ini masih belum memberikan hasil yang optimal. Sehubungan dengan hal
tersebut maka selaras dengan era Otonomi Daerah dimana masalah perumahan dan permukiman
telah menjadi tugas dan tanggung jawab Pemerintah Kota Yogyakarta, maka upaya penanganan
lingkungan permukiman kumuh perlu terus dikembangkan konsep penangananya sesuai dengan
kondisi permasalahan dan potensi lokal yang ada, yang implementasinya dilaksanakan secara
multi sektoral, bertahap dan berkelanjutan.
ss

DAFTAR PUSTAKA

Esmara, Hendra. 1975. Kesenjangan Pendapatan Daerah, Padang: Universitas Andalas


Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup dan United Nations Devolopment Programme, 1997.
Ringkasan Agenda 21 Indonesia, Strategi Nasional Untuk Pembangunan Berkelanjutan.
Koestoer. RH, 1997. Perspektif Lingkungan Desa-Kota Teori dan Kasus, UI-Press.
Sri. P, 1988. Permukiman Kumuh; Pertimbangan Pengusiran Atau Perbaikan. Jakarta. : Kongres
Ikatan Peminat Dan Ahli Demografi Indonesia IV
Yunus, H.S. 2005. Manajemen Kota: Perspektif Spasial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
ss

Penyediaan prasarana dan sarana penyehatan lingkungan permukiman (PS PLP) yang mencakup
air limbah, persampahan, dan drainase merupakan salah satu prioritas dari Pemerintah Indonesia
dalam menciptakan lingkungan permukiman yang sehat dan layak huni. PS PLP sangat erat
kaitannya dengan upaya peningkatan kualitas kehidupan masyarakat dan lingkungan dalam
rangka mendorong pertumbuhan ekonomi regional. Namun di sisi lain, ada keterbatasan
pendanaan bagi pengembangan PS-PLP ini. Hal inilah menjadi salah satu penyebab, mengapa
akses masyarakat terhadap prasarana dan sarana sanitasi saat ini masih rendah. Demikian
diungkapkan oleh Kepala Badan Pendukung Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum
(BPP-SPAM) Rachmat Karnadi pada acara pembukaan Sosialisasi Peraturan Persiden (Perpres)
RI No.67/2005 tentang kerjasama pemerintah dengan badan usaha swasta (BUS) dalam
penyediaan infrastruktur PLP dan Diseminasi pedoman kerjasama pemerintah dengan badan
usaha swasta (KPS) dalam penyediaan dan pengelolaan infrastruktur PLP di Batam, kamis
(11/5).

Lebih lanjut Rachmat Karnadi mengatakan, ada beberapa parameter yang menunjukkan kinerja
pelayanan penyehatan lingkungan permukiman saat ini masih rendah. Antara lain : (i) Tingginya
angka sakit dan kematian yang disebabkan waterborne diseases; (ii) Cakupan akses pelayanan
persampahan dan air limbah yang masih sangat kecil; (iii) Masih banyaknya keluhan masyarakat
mengenai kebersihan perkotaan karena lemahnya penanganan dan pengelolaan sampah; (iv)
Banjir yang masih terus terjadi sebagai akibat tidak adanya pelayanan drainase yang memadai
serta banyaknya sampah yang ada dalam saluran drainase; (v) Banyaknya rumah-rumah liar yang
mengganggu kualitas lingkungan perkotaan;  serta (vi) Lemahnya kualitas institusi/ lembaga
pengelola PS PLP.

Tantangan yang dihadapi dalam pengelolaan air limbah, persampahan dan drainase permukiman
adalah bagaimana melakukan penanganan secara lebih baik, sehingga  diperoleh: (1)
Peningkatan kualitas dan cakupan pelayanan air limbah, persampahan, dan drainase yang dapat
mengiringi peningkatan pertumbuhan penduduk yang pesat terutama di daerah perkotaan; (2)
Penurunan angka sakit dan kematian yang disebabkan oleh waterborne diseases terutama pada
bayi dan anak-anak; (3) Pemenuhan sasaran Millenium Development Goals (MDGs) oleh
pemerintah, yaitu : untuk dapat melayani separuh dari populasi penduduk yang belum
mendapatkan akses sanitasi (air limbah dan sampah) sampai tahun 2015 secara bertahap; (4)
Terciptanya lingkungan hidup yang bersih, sehat, nyaman, dan layak huni.

 
ss

Untuk menghadapi tantangan ini diperlukan Kebijakan Pemerintah sebagai terobosan, yaitu
dengan melibatkan peran serta masyarakat, lembaga masyarakat dan pihak swasta. Untuk
mendukung kebijakan, perlu adanya upaya untuk meningkatkan pemahaman dan pengetahuan
serta persamaan persepsi tentang mekanisme kerjasama pemerintah-swasta. Dengan demikian
semua stakeholder yang terkait dengan penanganan PS PLP, baik pihak pemerintah maupun
pihak swasta yang beminat dapat melihat adanya peluang kerjasama ini sebagai peluang
investasi, tambah Rahmat Karnadi.

Lebih lanjut, Rahmat Karnadi menegaskan bahwa ketentuan mengenai kerjasama pemerintah
dengan badan usaha swasta telah diatur dalam Perpres No.67 tahun 2005 tentang Kerjasama
Pemerintah dengan badan usaha swasta. Selain itu juga telah diatur dalam UU no 7 tahun 2004
tentang SDA dan PP No.16 tahun 2005 tentang Pengembangan SPAM). Dengan adanya Perpres
No.67 tahun 2005 ini diharapkan segala mekanisme dan hal-hal yang terkait dalam kerjasama
antara pemerintah (pemerintah pusat maupun pemerintah daerah) dengan pihak swasta dapat
terfasilitasi dengan baik.

Untuk meningkatkan peran aktif stakeholder dalam investasi PS PLP, maka secara kontinyu akan
dilaksanakan Sosialisasi Perpres No.67 tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan badan
usaha swasta (BUS) ini. Pelaksanaan Sosialisasi dan Diseminasi yang dilaksanakan di Batam ini
bertujuan untuk memberi penjelasan secara mendalam pada semua aparat pemerintah baik di
Pusat maupun Pemerintah Daerah, BUMN/BUMD dan Dinas-Dinas terkait dalam
mempersiapkan dan menjaring badan usaha swasta dalam penyediaan, penyelenggaraan dan atau
pengelolaan air minum dan sanitasi di daerah.

Peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan penataan ruang sangat penting dan strategis. Hal
ini dikarenakan ruang merupakan milik publik yang didalamnya menyangkut banyak
kepentingan. Undang-Undang No. 26/2007 tentang penataan ruang, pasal 65 menjelaskan
masyarakat dapat berpartisipasi dalam penyusunan rencana tata ruang, pemanfaatan ruang dan
pengendalian pemanfaatan ruang.
Selain peran serta masyarakat, undang-undang tersebut juga mengatur tentang hak dan
kewajiban. Hak yang dimiliki masyarakat dalam penataan ruang, antara lain seperti mengetahui
rencana tata ruang, menikmati pertambahan nilai ruang, memperoleh penggantian yang layak
atas kerugian yang timbul, dan mengajukan keberatan terhadap pejabat berwenang. Disamping
memiliki hak, masyarakat mempunyai kewajiban dalam kegiatan penataan ruang sebagaimana
tertuang dalam pasal 61. Yakni, menaati rencana tata ruang, memanfaatkan ruang sesuai dengan
izin pemanfaatan ruang, mematuhi ketentuan yang ditetapkan serta memberikan akses terhadap
kawasan yang dinyatakan sebagai milik umum.
Meski tidak terkait secara langsung antara hak dan kewajiban setiap orang dengan peran serta
masyarakat dalam penataan ruang, namun keduanya tidak dapat dipisahkan. Untuk dapat
ss

menjalankan perannya dengan optimal, setiap orang/anggota masyarakat harus memahami hak
dan kewajibannya terlebih dulu.

Untuk mewujudkan ruang yang aman, nyaman, produktif serta berkelanjutan berdasarkan
wawasan nusantara tidak hanya cukup melibatkan peran masyarakat. Namun, harus ada
dukungan dari penyelenggara penataan ruang, yaitu Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
Terpenting saat ini adalah mencari upaya agar penataan ruang dapat menjadi bagian sekaligus
budaya bagi masyarakat. Sebagai contoh Bali, tata ruang di wilayah tersebut sangat teratur
karena telah menjadi budaya dan bagian dari kehidupan masyarakat. Begitu halnya dengan tata
ruang di negara tetangga seperti Singapura.

Kabupaten Kebumen sebagai lokasi PLPBK (Penataan Lingkungan Permukiman Berbasis


Komunitas) terbanyak di tahun 2009, juga mencoba untuk melaksanakan amanat undang-undang
penataan ruang tersebut. Yaitu melibatkan masyarakat dan pemerintah kabupaten didalam proses
penataan ruang. Proses bottom up dan top down planning dimulai dari pengorganisasian
masyarakat ditingkat kabupaten dan kelurahan lokasi PLPBK, kemudian Pemetaan Swadayan
dan penggalian visi dan misi komunitas hingga perencanaan partisipatif yang didampingi oleh
tim teknis kabupaten.

Kegiatan pengorganisasian masyarakatnya dan proses perencanaan partisipatifnyapun bervariatif,


mulai dari melibatkan anak-anak dalam menggali visi dan misi desa/kelurahan melalui lomba
gambar anak, kemudian penggalian potensi kawasan melalui lomba membatik, melibatkan
manula, orang miskin, cacat dan renta didalam proses perencanaan, sampai dukungan dengan
mengumpulkan ratusan tanda-tangan dikain putih yang panjang. Hal tersebut menunjukan
komitmen yang luar biasa masyarakat kabupaten Kebumen dalam proses perencanaan
komunitasnya.

Hasil akhir dari perencanaan tersebut adalah masterplan perencanaan makro dan rencana mikro
kelurahan/desa sampai rencana tindaknya. Kalau kita melihat  perencanaan Singapura yang bisa
memprediksi negara tersebut 20 tahun mendatang dan divisualisasikan dalam maket tri matra, di
kelurahan/desa lokasi PLPBK pun sama. Hanya yang membedakan keterlibatan masyarakatnya
dan konsistensi kepada perencanaan yang telah dibuat.

Untuk mewujudkan impian tersebut, dimana semua pembangunan di Indonesia berbasis tata
ruang, maka diperlukan dukungan dan dorongan dari semua pihak. Sebagai upaya awal,
masyarakat harus memahami hak dan kewajiban sekaligus peran sertanya seperti yang tertuang
dalam UUPR, dan konsep PLPBK dapat dijadikan acuan sebagai konsep partisipatif masyarakat
didalam perencanaan tata ruang. (zs)
ss

KATA PENGANTAR

Asalammualaikum, Wr,Wb

Segala puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa Karena atas Berkat dan
Rahmat-Nya pemakalah dapat membuat dan menyelesaikan tugas makalah PENDIDIKAN
KEPENDUDUKAN DAN LINGKUNGAN HIDUP ini dengan baik.Namun pemekalah juga menyadari masih
banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini maka dari itu pemakalah mohon maaf atas segala
kekurangannya. Pemakalah berharap makalah ini dapat bermanfaat untuk kita semua,untuk menambah
pengetahuan kita tentang “UPAYA MASYARAKAT TERHADAP LINGKUNGAN PEMUKIMAN SAAT INI”.

Wassalamualaikum, Wr, Wb.

Anda mungkin juga menyukai