Jika memang ada cara tertentu untuk mempelajari Fisika secara Islami,
pertanyaan selanjutnya, “Apa perlunya mempelajari ilmu Fisika secara
Islami? Hal ini dapat dijawab dari dua sisi. Pertama, bahwa dalam Islam,
tujuan utama dari setiap pendidikan dan ilmu adalah tercapainya
ma’rifatullah (mengenal Allah, Sang Pencipta), serta lahirnya manusia
beradab, yakni manusia yang mampu mengenal segala sesuatu sesuai dengan
harkat dan martabat yang ditentukan Allah.
Tak terkecuali saat seorang Muslim mempelajari Ilmu Fisika. Ia tak hanya
bertujuan semata-mata untuk menghasilkan terobosan-terobosan sains atau
temuan-temuan ilmiah baru; bukan pula menghasilkan tumpukan jurnal-
jurnal ilmiah semata-mata atau gelimang harta kekayaan saja. Tapi, lebih
dari itu, seorang Muslim melihat alam semesta sebagai ayat-ayat Alllah.
“Ayat” adalah tanda.Tanda untuk menuntun kepada yang ditandai, yakni
wujudnya al-Khaliq. Allah menurunkan ayat-ayat-Nya kepada manusia
dalam dua bentuk, yaitu ayat tanziliyah (wahyu yang verbal, seperti al-
Quran) dan ayat-ayat kauniyah, yakni alam semesta. Bahkan, dalam tubuh
manusia itu sendiri, terdapat ayat-ayat Allah.
*****
Mempelajari Ilmu Fisika secara Islami dimulai dari Islami atau tidaknya
fikiran seorang fisikawan. Bagaimana cara pandang seorang fisikawan
terhadap alam, bagaimana konsep ia tentang ilmu, dan bagaimana konsepnya
tentang Tuhan. Cara pandang inilah yang menentukan apakah ia
mempelajari sains secara islami atau tidak, dan cara pandang inilah yang
dikenal sebagai pandangan-alam (worldview). Fikiran seorang fisikawan
akan memahami benar bahwa ada keterkaitan yang erat antara ilmu (‘ilm),
alam (‘alam), dan Pencipta (al-Khaliq).
Kata ‘ilm sendiri berasal dari kata dasar yang terdiri, ‘a-l-m, atau ‘alam.
Makna yang dikandungnya adalah ‘alaamah, yang berarti “petunjuk arah”.
Menurut al-Raghib al-Isfahani al-‘alam adalah “al-atsar alladzi yu’lam bihi
syai’” (jejak yang dengannya diketahui sesuatu). Dalam karyanya
Knowledge Triumphant The Concept of Knowledge in Medieval Islam,
Rosenthal memberikan pandangan tentang adanya keterkaitan erat secara
bahasa antara ilmu pengetahuan dengan petunjuk jalan yaitu bahwa, the
meaning of “to know” is an extension, peculiar to Arabic, of an original
concrete term, namely, “way sign.”…the connection between “way sign”
and “knowledge” is particularly close and takes on especial significance in
the Arabian environment.
Jadi alam tidak dipelajari semata-mata karena alam itu sendiri, namun alam
diteliti karena ia menunjukkan pada sesuatu yang dituju yaitu mengenal
Pencipta alam tersebut. Sebab alam adalah “ayat” (tanda). Fisikawan yang
mempelajari alam lalu berhenti pada fakta-fakta dan data-data ilmiah, tak
ubahnya seperti pengendara yang memperhatikan petunjuk jalan, lalu ia
hanya memperhatikan detail-detail tulisan dan warna rambu-rambu itu. Ia
lupa bahwa rambu-rambu itu sedang menunjukkannya pada sesuatu.
Hal ini sejalan dengan makna ilmu dalam Islam seperti ditunjukkan oleh
Jurjani dalam at-Ta’rifaat bahwa ilmu adalah “hushuul shurat asy-Syai’ fi
al-‘Aql” (sampainya makna sesuatu pada akal) namun juga “wushul an-nafs
ilaa ma’na asy-syai’” (tibanya jiwa pada makna sesuatu). Sejalan dengan hal
ini, pakar Filsafat Sains, Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas
menjelaskan:
“Pada hakikatnya sesuatu itu, seperti juga kata, adalah sebuah petunjuk
(tanda) atau simbol, dan petunjuk atau simbol adalah sesuatu yang dzhair
dan tak terpisahkan dari sesuatu yang lain yang tak dzahir. Sehingga tatkala
yang pertama itu sudah dapat ditangkap, dan yang bersifat dengan sifat yang
sama dengan yang pertama itu tadi dapat diketahui. Oleh sebab itu kami
telah mendefisnisikan ilmu secara epistemologis sebagai sampainya arti
sesuatu itu ke dalam jiwa, atau sampainya jiwa pada arti sesuatu itu. “Arti
sesuatu itu” berarti artinya benar, dan apa yang kami anggap sebagai arti
yang ”benar” itu, pada pandangan kami ditentukan oleh pandangan Islam
(Islamic vision) tentang hakikat dan kebenaran sebagaimana yang
diproyeksikan oleh sistem konseptual al-Qur’an.
Ketercerabutan “makna” dan peran alam sebagai “ayat”, sesungguhnya
merupakan dampak dari sekularisme sebagaimana disebutkan Prof. Syed
Muhammad Naquib Al-Attas dalam karya besarnya, Islam and Secularism.
Sekularisme telah menyebabkan dicabutnya kesakralan alam dan hilangnya
pesona dari alam tabii (disenchantment of nature). Akibatnya alam tak lebih
dari sekedar objek, tak punya makna dan tak ada nilai spiritual (lebih lanjut
lihat tulisan Wendi Zarman “Fisika dan Metafisika Islam Perlu Disatukan
Lagi”)
*****
Konsep Adab terhadap alam juga kemudian lahir dari pandangan-alam Islam
(Islamic worldview) ini. Dengannya, seorang saintis akan memperlakukan
dan memanfaatkan alam dengan adab yang benar. Lalu lahirlah konsep sikap
ramah lingkungan yang Islami, yang didasarkan bukan semata-mata karena
alasan keterbatasan sumber daya alam, namun kesadaran bahwa alam ini
bukanlah milik manusia, namun ia adalah amanah dan sekaligus juga ayat-
ayat Allah. Hanya dengan pandangan-alam seperti inilah, akan lahir manusia
beradab dan berakhlak, seperti yang dicita-citakan dalam tujuan pendidikan
kita saat ini.
Prof. Naquib al-Attas mengingatkan, bahwa hilangnya adab terhadap alam –
sebagai ayat-ayat Allah – inilah yang telah menyebabkan kerusakan besar di
alam semesta. Belum pernah terjadi dalam sejarah manusia, alam mengalami
kerusakan seperti saat ini, di mana ilmu pengetahuan sekuler merajai dunia
ilmu pengetahuan. Akar kerusakan ini adalah ilmu pengetahuan
(knowledge) yang disebarkan Barat, yang telah kehilangan tujuan yang
benar.
Ilmu yang salah itulah yang menimbulkan kekacauan (chaos) dalam
kehidupan manusia, ketimbang membawa perdamaian dan keadilan; ilmu
yang seolah-olah benar, padahal memproduksi kekacauan dan skeptisisme
(confusion and scepticism). Bahkan ilmu pengetahuan sekuler ini untuk
pertama kali dalam sejarah telah membawa kepada kekacauan dalam ‘the
Three Kingdom of Nature’ yaitu dunia binatang, tumbuhan, dan mineral.
Menurut al-Attas, dalam peradaban Barat, kebenaran fundamental dari
agama dipandang sekedar teoritis. Kebenaran absolut dinegasikan dan nilai-
nilai relatif diterima. Tidak ada satu kepastian. Konsekuensinya, adalah
penegasian Tuhan dan Akhirat dan menempatkan manusia sebagai satu-
satunya yang berhak mengatur dunia. Manusia akhirnya dituhankan dan
Tuhan pun dimanusiakan. (Man is deified and Deity humanised). (Lihat,
Jennifer M. Webb (ed.), Powerful Ideas: Perspectives on the Good Society,
(Victoria, The Cranlana Program, 2002), 2:231-240).
Sebagai salah satu bidang ilmu pengetahuan yang mengalami perkembangan
sangat pesat, Ilmu Fisika terbukti telah membawa banyak manfaat bagi umat
manusia. Wajib sebagian kaum Muslim menguasai ilmu ini. Tetapi, cara
pandang dan cara belajar seorang Muslim akan berbeda dengan yang lain.
Sebab, bagi Muslim, alam semesta adalah ayat-ayat Allah, yang dipelajari –
bukan sekedar untuk mengungkap temuan-temuan baru – tetapi juga untuk
mengenal Sang Pancipta. (***)
www. INSISTS,
com