Oleh
SARASWATI 1
Abstrak
Secara garis besar, teori perencanaan berkembang dari alur besar instrumental
rasionalitas menuju komunikatif rasionalitas, yaitu mengalir dari alur authoritative knowledge ke
alur pelibatan berbagai fihak dalam perencanaan. Komunikatif rasionalitas dikemas dan
dikategorikan dalam teori perencanaan komunikatif (Communicative Planning Theory) dalam
bentuk konsep yang beragam, seperti advocacy planning, transactive planning, participatory
planning, radical planning, collaborative planning, dan lain-lain.
Namun demikian, dalam alur komuniatif rasionalitas tersebut, konsep dasar mengenai
komunikasi dan kolaborasi antara budaya lokal atau kearifan lokal dengan perencanaan masih
belum secara eksplisit dibicarakan, karena selama ini komunikatif rasionalitas lebih banyak
membicarakan hubungan antar individu, kelompok masyarakat, pemerintah, pelaku bisnis, dan
stakeholder perencanaan lainnya. Budaya atau kearifan budaya lokal sebagai bagian dari
“practical reasoning” sesungguhnya ada dan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat,
terutama di negara-negara sedang berkembang bukan barat (non western culture) seperti
Indonesia, di samping perencanaan normatif sebagai hasil penalaran “knowledge of science”
dalam perencanaan.
Tulisan ini menjelaskan konsep kolaborasi antara kearifan budaya lokal dengan
perencanaan dalam persfektif teori perencanaan.
1
Penulis adalah dosen tetap pada Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota / Teknikn Planologi,
Fakultas Teknik, Universitas Islam Bandung.
2
Campbell dan Fainstein, 1996. h. 5. yang
selanjutnya menjelaskan mengenai 3
karakteristik dasar sejarah perencanaan
yaitu: (1) penetapan kurun waktu para
pelopor perencananya; (2) periode
kelembagaan, profesionalisasi, dan
pengakuan perencanaan regional dan
perencanaan federal; dan (3) era pasca
Gambar 1
perang, masa krisis, dan diversifikasi
perencanaan. (Krueckeberg, 1983, dalam Sumber: Allmendinger, 2002. Towards a post positivist typology., hal. 80
Campbell dan Fainstein, 1996).
perencanaan. Sama halnya dengan alam yang luas, dan (4) banyak
profesi perencana, tumbuh berkembang pendekatan yang dapat dipakai dalam
dan hadir dalam latar belakang yang perencanaan dengan meminjam alat
berbeda dan memiliki keluasan wawasan analisis, metoda, dan teori dari bidang
dari pengalaman masing-masing. ilmu pengetahuan lainnya.
Lindblon, 1963; Lindblon 1965, h. 51- terhadap teori empiris merupakan teori
69). positif dari perencanaan, nampaknya
sebuah tanda “muturity” dari suatu area
Tapi Banfield menggambarkan pencarian umumnya dan faktor-faktor
kesimpulan yang berbeda dari penemuan pendukungnya untuk teori yang
tersebut, bahwa organisasi tidak berhubungan dengan fakta empiris
dipergunakan dalam perencanaan terhadap perencanaan dan teori positif
rasional. Baginya sisa-sisa apa yang dilihat seperti tanda muturity dari suatu
tepat berlaku secara rasional namun wilayah pencarian secara intelektual,
suatu normative yang ideal belum pasti pengembangan lebih banyak material
harus berupa bentuk pengembangan termasuk bekas-bekas pada tngkatan
terhadap ideal yang memungkinkan teori normatif oleh karena maksud
ketepatannya dalam analisis keadaan, pengenalan untuk mengurangi
seperti perkembangan mungkin terjadi pengalaman teori perencanaan, namun di
karena tindakan pendekatan terhadap mana Banfild dan gambaran pertamanan
studi perencanaan akan membantu. pada studi empiris mengenai
perencanaan semua itu merupakan
Hubungan dekat terhadap proses perencanaan rasional seperti yang
idaman, idaman ini merupakan kehendak dikehendaki. Untuk lebih jelasnya studi
yang berlawanan dengan pengertian empiris dalam teori perencanaan ini
rasional dan perencanaan sedikit demi lebih jauh dijelaskan sebagai essay dari
sedikit pada konsep secara enpiris Altsuler (dalam Faludi, 1983, h. 193-
seperti, Madge (1968) menyarankan 209).
keseluruhan dan teori sedikit demi
sedikit merupakan kutub-kutub antara Teori Perencanaan telah banyak
ideologi yang aktual perubahan berkembang pada pendidikan
perencanaan sosial. Sama halnya, Khan perencanaan setelah berakhirnya
(1969) dalam bukunya yang terangkum ketenaran sekolah Chicago (Perlofi,
dalam “Studies in Sosial Policy and 1957). Benyamin A Handler mengenai
Planning Observers” di Amerika Serikat, “Apakah Perencanaan Itu?” (1957,
memaparkan perbedaan antara dalam Faludi, 1983) adalah contoh lain
keterkaitan dan pengertian merupakan dari perhatian akademik untuk
kuantitas bukan kualitas. Faludi merasa mengembangkan teori ini. Beberapa
telah pindah ke arah ini dalam beberapa tahun kemudian Hendri C Hightower
tulisannya, dan merasa menemukan (1970) mengulas lagi mengenai teori
dimensi-dimensi dari tindakan perencanaan yang lebih baik lagi yang
perencanaan, dan salah satunya kemudian dijadikan contoh dalam
memberikan pernyataan bahwa perumusan masalah dan beberapa
rasionalisasi dalam proses perencanaan pendekatan.
harus dibuat sedikit demi sedikit dan
berkesinambungan (Faludi, 1983). Ada beberapa teori mengenai
apakah teori perencanaan itu atau dalam
Umumnya lingkungan dan yang journal of the American institute of
mendukung untuk teori perencanaan Planners yang menerangkan sifat-sifat
tentu harus didukung oleh suatu kelompok dan kesatuan sosial yang ada
komunitas yang mempunyai nilai-nilai dalam masyarakat tersebut, dan dalam
persamaan dan saling menghormati. masyarakat itu sendiri
Buku ini harus diakui memberikan solusi kecenderungannya adalah membentuk
penting dalam menjawab isu-isu dan kelas–kelas atau kelompok–kelompok
pendekatan dalam perencanaan spatial sosial. Oleh Marxis, kelas-kelas tersebut
kontemporer. dipandang sebagai kelompok individu
atau kelompok kesatuan sosial yang
Pertimbangan Aspek Budaya pada dasarnya bukan ditentukan semata–
mata oleh tempatnya dalam proses
Lokal dalam Perencanaan
produksi maupun dalam bidang
ekonomi, akan tetapi kelas sosial
Prinsip utama dalam perencanaan
tersebut dapat ditentukan oleh tempatnya
haruslah dirancang untuk manusia
dalam kesatuan praktek praktek sosial
(Human beings) (O’Harrow,1949 dalam
dalam arti menurut tempatnya dalam
Berger,1981), Perencanaan tidak sekedar
kesatuan pembagian kerja yang
normatif (ought to be) atau bagaimana
mencakup hubungan–hubungan politik
produk perencanannya (how planning
dan ideologi. ( N Poulantzas, dalam
is), tapi harus intrepretatif, aplikatif,
Gidden, A., 1987 : 46 ).
adaptif dan pembelajaran
(Friedman,1987)
Oleh E Alexander, masyarakat
dipandang sebagai bentuk organisasi
Setiap manusia dalam menjalani
yang satu dengan organisasi lainnya,
kehidupan di dunia ini, baik secara
dimana suatu organisasi dihubungkan
individu maupun kelompok selalu
oleh lokasi geografis (E. Alexander,
mempunyai cita-cita dan rencana karena
dalam Catanese, J.A., 1984 : 169).
adanya dorongan oleh pranata kehidupan
Individu menjadi anggota suatu
yang ada di sekitarnya. Pranata
masyarakat karena mereka bertetangga,
kehidupan itu sendiri merupakan hasil
dan hubungan–hubungan ini diperkuat
akumulasi dari masyarakat sebagai orang
dengan adanya berbagai organisasi dan
dan kelompok yang mempunyai identitas
politik setempat sehingga membentuk
diri, yang dapat dibedakan antara
suatu konteks upaya perencanaan pada
kelompok orang yang satu dengan yang
tingkat masyarakat.
lainnya, serta hidup dalam suatu wilayah
dan budaya tertentu yang terbentuk dari
Dalam kaitannya dengan peran
kelompok individu. ( Widjaya, A. W,
dan fungsi perencanaan, oleh Alexander
1986 : 9 ).
di bagi menjadi tiga pandangan
pemikiran guna menjelaskan bagaimana
Kita tidak dapat menyangkal
interaksi–interaksi tersebut dibentuk
bahwa manusia adalah mahluk sosial di
guna menghasilkan suatu keputusan.
dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam
Pandangan pertama adalah apa yang
setiap masyarakat, jumlah kelompok dan
disebut sebagai etilist, dimana
kesatuan sosial tersebut bukan hanya
pandangan ini melihat adanya
satu, melainkan setiap warga masyarakat
keputusan–keputusan masyarakat
dapat menjadi bagian dari berbagai
Jurnal PWK Unisba
KEARIFAN BUDAYA LOKAL
DALAM PERSFEKTIF TEORI PERENCANAAN
pengetahuan lokal dalam pembangunan kultural, dan sosial sebagai capital stock
sesungguhnya memiliki peran dan arti pembangunan.
penting yang sejajar dengan pengetahuan
ilmiah modern (Dietz, 1998:41). Dalam prakteknya, pengelolaan
pembangunan wilayah dan pengetahuan
Melalui insitusi lokal yang kuat, lokal (traditional knowledge)
penduduk setempat dapat mengambil mempunyai keterkaitan yang cukup
keputusan secara mandiri dan melakukan signifikan dengan konsep perencanaan
negosiasi-negosiasi secara bebas dengan wilayah. Banyak pengetahuan lokal yang
fihak lain yang memiliki kepentingan sekarang menghilang secara cepat
berbeda (Alam,1999:6). Institusi lokal seiring dengan berpulangnya para
inilah yang kemudian berkewajiban pencetusnya (possessors). Menjadi
untuk menetapkan aturan-aturan catatan penting, bahwa sejalan dengan
pertukaran timbal balik antar anggota lenyapnya pengalaman praktis yang
penduduk sehingga dapat mewujudkan sebenarnya tanpa biaya ini, bersamaan
kerjasama sukarela dan partisipas yang dengan berlalunya waktu, seharusnya
setara (Lubis, 1999:55). menjadi pertimbangan yang arif, karena
selain memberikan pengaruh pada
Sebagai sebuah sumberdaya, keuntungan sosial ekonomi, juga pada
nilai-nilai budaya dapat ditempatkan industri dan pembelajaran sosial, tapi
sebagai salah satu kekuatan penggerak juga merupakan esensi dari
(driving force) bagi kemajuan wilayah, pembangunan itu sendiri. (Johannes,
terutama dalam mengembangkan 1989. h 9, dalam Kay and Alder, 1999,
kapabilitas, kompetensi, dan reputasi h. 132).
wilayah. Penguasaan nilai-nilai budaya
lokal dapat dijadikan instrumen untuk Sangat banyak wilayah yang
menciptakan kepribadian dan mental memiliki kelompok budaya yang
penduduk yang senantiasa mau untuk berbeda antar satu kawasan dengan
terus belajar (learning nation). Proses kawasan lain di dunia. Wilayah-wilayah
pembelajaran ini penting agar dapat ini memiliki nilai-nilai kebudayaan yang
menciptakan daya saing suatu wilayah. kuat dan berpengaruh dalam
Oleh karena itu proses kemajuan pembangunan wilayahnya, khususnya
ekonomi lokal tidak dapat dipisahkan banyak dijumpai pada masyarakat non
dari peningkatan kemampuan barat (non western cultures), dengan
sumberdaya manusia (human capital). tingkat kepercayaan, keagamaan, dan
Kemajuan ekonomi seharusnya perilaku yang sangat bererti dalam
diintepretasikan sebagai refleksi dari menyelesaikan masalah mereka secara
kemajuan pengetahuan manusia. Hal ini efektif dan efisien. (Kay and Alder,
sesuai dengan pendapat Kuznets (1966, 1999. h. 133).
dalam Alam, 1999) yang menyatakan
bahwa kebijakan yang berorientasi pada Dalam pemikiran post positivist
pertumbuhan ekonomi perlu segera (Allmendingr, 2002) pengetahuan lokal
dipertimbangkan aspek institusional, juga dijadikan sebagai salah satu
kontributor dalam Indigenous Planning