Anda di halaman 1dari 3

eksistensi Manusia

Posted by muhammad al Idsa at Monday, October 27, 2008 . 10.27.2008


Labels: home, Muhammad Al Idsa
eksistensi Manusia Tidak Dapat Dibuktikan Melalui Berpikir:
eksistensi Manusia Tidak Dapat Dibuktikan Melalui Berpikir:
Kritik Terhadap Descartes
Rene Descartes
Rene Descartes atau Cartesius (1596-1650) adalah bapak “filsafat modern”.
Descartes digolongkan sebagai seorang tokoh pemikir aliran filsafat rasionalisme.
Aliran Rasionalisme mempercayai sumber ilmu pengetahuan yang dapat dipercaya
dan mencukupi adalah akal. Pengetahuan yang didapat melalui akal sajalah yang
memenuhi sarat aturan umum dan sarat pengetahuan ilmiah. Bagi seorang rasionalis
akal tidak memerlukan pengalaman karena pengalaman berfungsi untuk meneguhkan
pengetahuan yang didapat melaui akal. Metode berpikir yang dipakai adalah metode
yang dipakai dalam ilmu pasti metode deduktif.
Aliran rasionalis filsafat modern membangun teori berpikir dengan berfokus
pada manusia sebagai subject pemikiran. Mengambil jarak dengan tradisi dan
membangun aturan-aturan dalam berpikir atau sistematika dalam mengambil
keputusan. Filsafat yang dibangun oleh kaum rasionalis mempunyai sistem bangunan
yang pasti. Descartes membangun sistematika filsafatnya berdasarkan pada metode
keraguan (dubium methodicum). Metode berpikir Descartes berangkat dari satu hal
yang jelas dan terpilah (clear and distinctly).
Intuisi bagi Descartes adalah kegiatan intelektual atau penampakan yang jelas
dan tidak meninggalkan keraguan didalam pikiran. Intuisi memberikan kebenaran
yang mendasar, sederhana dan tidak dapat deperkecil lagi “ saya berpikir maka saya
ada” (cogito ergo sum). Intuisi memberikan hubungan antara kebenaran yang satu
dengan yang lainnya. Deduksi adalah sejenis intuisi yang berbeda dengan silogisme,
deduksi harus berangkat dari kebenaran yang tidak teragukan.
Descartes membangun teori berpikirnya didasari oleh :
1. Tidak menerima sesuatu sebagai kebenaran sesuatu yang tidak diketahui dengan
jelas sebagai kebenaran.
2. Membagi masalah yang rumit menjadi beberapa bagian yang mungkin.
3. Memulai berpikir dari sesuatu yang gampang dan sederhana kemudian meningkat
tahap demi setahap kearah yang lebih rumit.
Descartes kemudan menyusun beberapa skema berpikir dubium methodicum,
tahap awal adalah meragukan segala sesuatu, argumentasi mimpi, cogito ergo sum,
argumentasi penyesatan, Tuhan, argumen tentang Tuhan dan sifat asasi benda.
Filsafat Descartes
Filsafat Descartes berangkat dari kebutuhan bahwa setiap orang untuk
mendapatkan kebenaran yang telah dipercaya. Dalam hal ini Descartes mengusulkan
pengunaan matematika untuk membuktikan kebenaran yang sudah didapat. Kemudian
dia membangun teori yang sagat radikal yaitu metode keraguan (the method of doubt).
Metoda ini megharuskan adanya keraguan untuk seluruh kepercayaan yang telah ada
sampai dapat dibuktikan kebenarannya.
Dia juga menyadari kemungkinan untuk salah dalam menangkap pencerapan
panca indera (contohnya ketika benda dimasukkan kedalam air). Sehingga perlu juga
dikaji seluruh pengetahuan yang didapat melalu indera. Kemudian dia juga
menyangsikan kebenaran saat berada pada sebuah situasi apakah itu didalam mimpi
atau dalam keadaan sadar. Bisa juga kita selalu dalam keadaan bermimpi atau juga
hilang kesadaran? Atau juga pengalaman yang didapat adalah salah?
Didalam bukunya Meditaton, dia mengajak kita untuk duduk didepan api dan
dengan baju panjang, kemudian menayakan apa bedanya hal itu dengan orang yang
rusak ingatan yang sedang membayangkan dirinya jadi seorang raja. Didalam mimpi
Descartes mendapati juga situasi yang sama ketika dia merasa sedang belajar tetapi
pada kenyataannya dia berada di atas tempat tidur. Tetapi untuk kasus seperti
hitungan matematika tidak akan berbeda pada saat tidur dan terjaga (satu ditambah
satu adalah dua baik tidur atau terjaga).
Untuk mengatasi argumentasi mimpi Descartes membangun argumentasi
Tuhan yang maha agung dan maha pemurah tidak akan menyesatkan ciptaanNya.
Setelah argumentasi Tuhan muncul kemudian argumentasi penyesatan oleh setan (evil
genius). Setan adalah substansi yang mempunyai kekuatan untuk menyesatkan.
Situasi ini memaksa Descartes untuk selalu mencurigai segala sesuatu, sampai hal itu
dipastikan kebenarannya melaui proses berpikir.Berpikir adalah salah satu proses
untuk menghindari kesesatan yang disebabkan oleh setan. Terakhir, Descartes sampai
pada kesimpulan “Saya berpikir maka saya ada” (cogito ergo sum).
Kritik Terhadap Descartes
Descartes mendukung doktrin pemisahan antara jiwa dan badan (mind and
body) atau terkenal sebagai Cartesian Dualism. Kritik terhadap Descartes muncul
ketika doktrin dualisme berhadapan dengan tesis “saya berpikir maka saya ada”
(cogito ergo sum). Saya berpikir adalah kerja dari otak yang terkait erat dengan jiwa
(mind) yang merupakan satu premis yang jelas dan terpilahkan. Saya hasil dari
berpikir adalah eksistensi yang merupakan satu perluasan dari jiwa kedalam tubuh.
Tubuh adalah premis yang self evident dan sesuatu yang innate dan tidak perlu
pembuktian. Kesulitan muncul ketika akan menyatukan antara saya berpikir (jiwa)
dan saya (tubuh) yang merupakan hasil dari berpikir. Penyatuan antara “saya berpikir”
dengan “saya” dalam tesis “saya berpikir maka saya ada” akan menggangu
konsistensi doktrin dualisme yang dianut Descartes.
Kerancuan diatas terlihat dari silogisme berikut:
Jiwa tidak sama dengan tubuh
Tubuh tidak sama dengan jiwa
Jadi Jiwa dan tubuh adalah berbeda (Bagaimana dua hal yang berbeda menjadi satu
dan satu bagian mengukuhkan bagian yang lain?. )
Kritik lain yang sejalan dengan judul makalah ini adalah Eksistensi manusia
tidak mungkin dibuktikan dengan berpikir. Eksistensi manusia adalah sesuatu yang
swabukti dan ketika bergabung dengan jiwa menjadi sebuah pengetahuan.
Pengetahuan tentang eksistensi adalah pengetahuan yang praktikal. Berpikir yang
merupakan kerja dari otak adalah sebuah pengetahuan yang reflektif. Eksisensi
manusia dan proses berpikir adalah dua jenis pengetahuan yang berbeda. “Saya
berpikir maka saya ada”, adalah sebuah kerancuan memahami pengetahuan praktikal
dan pengetahuan reflektif yang merupakan dua hal berbeda. Penyatuan antara
pengetahuan praktikal dan pengetahuan reflektif adalah tidak mungkin. Sama juga
ketika mencoba membuktikan penyatuan antara subyekifitas dan obyektifitas juga
antara konsepsi dan eksistensi.

Daftar Pustaka
Hadiwijono, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat 2.Yogyakarta: Kanisius, 1980
Muslih, Muhammad. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Belukar, 2006

Anda mungkin juga menyukai