Anda di halaman 1dari 30

Rabu, 16 Juni 2010

MEMBANGUN KULTUR SEKOLAH DAN MASYARAKAT

BAB I
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara yang besar dan secara geografis Indonesia merupakan
negara yang terdiri dari pulau – pulau. Indonesia yang merupakan negara kepulauan,
menyebabkan adanya batas laut antara satu pulau dengan pulau yang lain. Jarak yang timbul
akibat batasan ini menimbulkan keberagaman. Keberagaman itu mulai dari bahasa, pakaian,
adat, aturan, kultur, dan lain – lainnya.
Adat, bahasa, pakain dan lain sebagainya terangkum dalam sebuah kultur yang tiap
daerah di Indonesia berbeda. Kultur yang beragam merupakan kekayaan yang dimiliki oleh
Indonesia. Perkembangan zaman yang semakin modern menyebabkan adanya percampuran
kultur dari luar negeri. Kultur negeri sendiri semakin lama semakin luntur. Kultur yang sangat
berharga mulai diremehkan dan dianggap norak. Masyarakat asli Indonesia lebih mengaggumi
kultur negara lain. Padahal mempelajari dan memahami kultur sendiri jauh lebih penting.
Setidaknya untuk menjaga eksistensi negri ini dibutuhkan sesuatu yang dapat dijadikan keunikan
dan kekhasan, yaitu keberagaman kultur.
Berkaitan dengan kultur, masyarakat Indonesia yang kulturnya masih tradisional,
sehingga dalam menjalani kehidupan sebagian besar masih berfikir tradisional. Masyarakat
Indonesia masih banyak yang tidak memprioritaskan pendidikan sebagai hal yang penting.
Kepedulian atau partisipasi masyarakat terhadap pendidikan sangat kurang, entah karena tidak
ada biaya atau kurangnya kesempatan untuk mendapatkan pendidikn di sekolah.
Memajukan negara ini dimulai dengan meningkatkan kualitas pendidikan di mulai dari
generasi muda. Membudayakan masyarakat untuk mementingkn sekolah merupakan langkah
awal memajukan negara ini. Masyarakat sekolah harus dikembangkan di negara ini, sehingga
pendidikan dapat benar- benar dirasakan di masyarakat kita ini
BAB II
PEMBAHASAN

A.

PENGERTIAN MEMBANGUN KULTUR DAN MASYARAKAT SEKOLAH

Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang
merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan
dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal
dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah
tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa
Indonesia, memiliki makna yang sama dengan kebudayaan. Kebudayaan yaitu segala daya upaya
serta tindakan manusia untuk mengolah tanah dan mengubah alam. Jadi, Membangun kultur
adalah segala daya atau usaha untuk membangun budi dan akal manusia untuk menghasilkan
suatu karya.
Sekolah bisa diartikan beberapa pengertian:

Pendidikan

Gedung Sekolah - tempat belajar secara formal.

Sekolah (institusi) - tempat pendidikan diberikan.

Sekolah (Dungeons & Dragons), dewa dalam permainan tersebut.

Masyarakat (sebagai terjemahan istilah society) adalah sekelompok orang yang membentuk
sebuah sistem semi tertutup (atau semi terbuka), dimana sebagian besar interaksi adalah antara
individu-individu yang berada dalam kelompok tersebut. Kata "masyarakat" sendiri berakar dari
kata dalam bahasa Arab, musyarak. Lebih abstraknya, sebuah masyarakat adalah suatu jaringan
hubungan-hubungan antar entitas-entitas. Masyarakat adalah sebuah komunitas yang
interdependen (saling tergantung satu sama lain). Umumnya, istilah masyarakat digunakan untuk
mengacu sekelompok orang yang hidup bersama dalam satu komunitas yang teratur.

Masyarakat sekolah yaitu Unsur-unsur yang melaksanakan proses persekolahan, tanpa


adanya unsur ini maka dipastikan kegiatan persekolahan akan terganggu. Yang kemudian
berkembang dengan sebutan stakeholder yang berisi antara lain : guru, kepala sekolah,
siswa, orang tua siswa dan pemerintah.

B.

Membangun Kultur

Pada dasarnya kualitas sebuah lembaga pendidikan bisa dilihat dari sejauh mana
keberhasilannya dalam meningkatkan kualitas mulai dari kultur organisasi atau institusi. Khusus
dalam lembaga pendidikan formal seperti sekolah kultur yang dibangun adalah nilai-nilai atau
norma-norma yang dianut dari generasi ke generasi.
Peran kultur di sekolah akan sangat mempengaruhi perubahan sikap maupun perilaku
dari warga sekolah. Kultur sekolah yang positif akan menciptakan suasana kondusif bagi
tercapainya visi dan misi sekolah, demikian sebaliknya kultur yang negatif akan membuat
pencapaian visi dan misi sekolah mengalami banyak kendala. Kultur sekolah yang baik misalnya
kemauan menghargai hasil karya orang lain, kesungguhan dalam melaksanakan tugas dan
kewajiban, motivasi untuk terus berprestasi, komitmen serta dedikasi kepada tanggungjawab.
Sedangkan kultur yang negatif misalnya kurang menghargai hasil karya orang lain, kurang
menghargai perbedaan, minimnya komitmen, dan tiadanya motivasi berprestasi pada warga
sekolah.
Berkaitan dengan peningkatan sumber daya manusia, juga perlu diciptakan kultur yang
baik. Pada semua tenaga pendidik dan tenaga kependidikan harus ada komunikasi dan kolaborasi
yang apik sehingga mendukung sebuah lembaga untuk terus berinovasi, untuk terus melakukan
perubahan yang positif, atau Tajdid dalam bahasa persyarikatan kita. Tenaga pendidik dan
kependidikan yang memiliki kultur yang baik akan meciptakan suasana pembelajaran kepada
peserta didik yang juga menyenangkan, dilakukan dengan kesungguhan dan sepenuh hati.
Untuk siswa perlu ditingkatkan motivasi belajar dan pentingnya kedisiplinan, kejujuran
dan motivasi berprestasi sehingga kompetisi antar siswa akan tercipta. Contoh kultur negatif
yang masih sering dilakukan siswa antara lain masih kurang diperhatikannya persoalan
kedisiplinan, ini terbukti dari angka keterlambatan yang cukup tinggi.
Budaya inovasi juga perlu ditingkatkan dalam semua elemen dan warga sekolah.
Misalnya saja guru harus membudayakan untuk terus berinovasi dalam pembuatan media
pembelajaran. Metode pembelajaran yang konvensional harus diganti dengan metode baru yang
kontemporer dan profesional tanpa meninggalkan penekanan kepada makna dan kearifan lokal.
Setiap perubahan budaya menuju perbaikan jelas akan menemui tantangan, terutama oleh
mereka yang merasa sudah mapan, status quo yang yang sudah terlanjur nyaman dengan
kemapanan. Kelompok pembaharu umumnya akan ditentang, memang karena perubahan itu
akan terkesan menakutkan bagi sebagian orang. Dalam manajemen organisasi ini sesuatu yang
wajar namun tetap perlu dikendalikan.
Solusinya, harus ada kemauan untuk membangun budaya yang kondusif bagi
pembelajaran itu dari semua pihak. Lembaga sekolah harus melakukan berbagai pendekatan agar
terjadi komunikasi yang baik antara sekolah dengan warga sekolah. Pendekatan yang dilakukan
bisa massal maupun personal. Namun agaknya kecenderungan yang lebih efektif adalah
pendekatan personal. Dalam pendekatan itu sekolah wajib menyadarkan warga sekolah akan
kebutuhan terhadap perubahan itu sendiri, dilakukan sosialisasi, pelatihan dan sebagainya.
Disamping juga peraturan yang sudah dibuat melalui konsensus itu mesti ditegakkan.
Bagi guru, agar mudah menerima perubahan maka mesti memperluas wawasan, sharing
perkembangan yang sudah terjadi di luar sana sehingga bisa berpikir lebih akomodatif terhadap
perubahan positif kebudayaan. Dan yang tidak kalah penting, kepada siswa perlu dilakukan
sosialisasi mengenai tantangan dunia ke depan sehingga mereka termotivasi untuk menyiapkan
diri menghadapi tantangan zaman.
Terhadap kultur yang dibawa oleh kecanggihan teknologi memang tidak semuanya baik.
Kita perlu menyaring, memilih dan memilah mana yang baik dan mana yang tidak baik. Tidak
semuanya konsekuensi teknologi itu kita biarkan, diperlukan adaptasi, bukan adopsi. Namun
adanya sisi negatif itu bukan berarti kita harus menutup diri dari teknologi, kalau kita antipati
maka kita pasti semakin tertinggal.
C.

MEMBANGUN MASYARAKAT SEKOLAH

Lembaga pendidikan yang akan kita bangun, amat tergantung pada banyak faktor, mulai
kondisi SDM-nya seperti kepala sekolah sampai dengan tenaga pendidik dan tenaga
administrasinya sampai dengan peserta didiknya. Masyarakat sekolah juga amat dipengaruhi
oleh sistem manajemen dan organisasinya, serta fasilitas sekolah yang mendudungnya. Suatu
lembaga pendidikan berasrama milik militer atau kepolisian akan terlihat mulai dari adanya
sistem penjagaan yang ketat. Begitu masuk pintu gerbang lembaga itu suasana itu sudah mulai
terasa.  Dua penjaga bersenjata lengkap berdiri di depan pos jaga yang siap akan menanyakan
kepada semua tamu yang datang. Penjaga itu bisa saja siswa piket atau petugas outsourcing yang
ditugasi untuk itu. Itulah budaya kasat mata yang dapat segera kita lihat.
Sekolah dapat berpengaruh terhadap semua aspek kehidupan di dalam sekolah, termasuk
kepada pendidik dan peserta dididk. Budaya sekolah berpengaruh terhadap bagaimana pendidik
berhubungan dan bekerja sama dengan semua warga sekolah, dengan sesama pendidik, peserta
didik, orangtua peserta didik, pegawai tata usaha sekolah, dan juga kepada masyarakat. Nilai-
nilai sosial budaya sangat berpengaruh terhadap bagaimana sekolah menghadapi masalah
sekolah, dan sekaligus memecahkan masalahnya, termasuk masalah hasil belajar peserta didik.
Nilai-nilai sosial budaya sekolah tentu saja dapat dibangun, diubah sesuai dengan budaya
baru yang tumbuh dalam masyarakat. Ketika masyarakat masih memiliki paradigma lama
dengan menyerahkan sepenuhnya urusan pendidikan anaknya kepada sekolah, maka lahirlah satu
bentuk hubungan sekolah dengan orangtua siswa dan masyarakat yang sangat birokratis.
Orangtua dan masyarakat berada di bawah perintah kepala sekolah.

D.

Cara Membangun Masyarakat Sekolah

Banyak sekali nilai-nilai sosial budaya yang harus dibangun di sekolah. Sekolah adalah
ibarat taman yang subur tempat menanam benih-benih nilai-nilai sosial budaya tersebut. Ingin
menanam benih-benih kejujuran dalam masyarakat? Tanamlah di sekolah. Demikian seterusnya
dengan benih-benih nilai-nilai sosial budaya lainnya. Contoh nilai-nilai sosial budaya yang harus
ditanam pada masyarakat sekolah sekolah:

Pertama, kebiasaan menggosok gigi. Kebiasaan ini sangat Islami. Nabi Muhammad
SAW selalu melakukan “siwak” dalam kehidupan sehari-harinya. Ada nilai religius dan
medis yang dapat dipetik dari kebiasaan ini. Ucapan yang baik akan berasal dari mulut
yang bersih. Secara medis, gigi dan mulut yang bersih akan berdampak terhadap
kesehatan otak kita. Hasilnya sama dengan tinjauan dari sudut pandang religius.

Kedua, etika. Etika atau akhlakul karimah adalah tata aturan untuk bisa hidup bersama
dengan orang lain. Kita hidup tidak sendirian, dilahirkan oleh dan dari orang lain yang
bernama ibu dan ayah kita, dan kemudian hidup bersama dengan orang lain. Oleh karena
itu, kita harus hidup beretika, menghormati diri sendiri dan orang lain.

Ketiga, kejujuran. Semua warga sekolah harus dilatih berbuat jujur, mulai jujur kepada
dirinya sendiri, jujur kepada Tuhan, jujur kepada orang lain. Kejujuran itu harus
dibangun di sekolah. Bukan sebaliknya. Dari tinjauan inilah barangkali KPK telah
membuat program kantin kejujuran di ribuan sekolah di negeri ini. Konon, materi materi
matapelajaran matematika modern seharusnya menghasilkan manusia yang jujur di
negeri ini. Apalagi dengan materi pelajaran Pendidikan Agama. Tetapi nyatanya tidak
demikian. Malah telah menghasilkan banyak koruptor. Materi tentang penjumlahan,
pengurangan, dan perkalian ternyata jauh lebih sulit dibandingkan dengan materi tentang
pembagian. Hasilnya, membagi kasih sayang, membagi pemerataan, dan membagi
kebahagiaan ternyata jarang dilakukan ketimbang mengumpulkan hasil korupsi,
mengalikan bunga bank untuk kekayaan pribadi. Oleh karena itu, maka budaya kejujuran
harus dapat dibangun di sekolah.

Keempat, kasih sayang. Penulis pernah mengutip pandangan guru besar IKIP Surabaya,
yang menyatakan bahwa ada tiga landasan pendidikan yang harus dibangun, yaitu (1)
kasih sayang, (2) kepercayaan, dan (3) kewibawaan. Menurut beliau, kasing sayang telah
melahirkan kepercayaan. Kepercayaan menghasilkan kepercayaan, dan kepercayaan akan
menghasilkan kewibawaan.

Kelima, mencintai belajar. Mana yang lebih penting? Apakah menguasai pelajaran atau
mencintai belajar? Learning how to learn, ternyata akan jauh lebih penting ketimbang
bersusah payah menghafalkan bahan ajar yang selalu akan terus bertambah itu. Dari sini
lahirlah pendapat bahwa belajar konsep jauh lebih penting daripada menghafalkan fakta
dan data.

Keenam, bertanggung jawab. Sering kali kita menuntut hak ketimbang tanggung jawab.
Mahatma Gandhi mengingatkan bahwa semua hak itu berasal dari kewajiban yang telah
dilaksanakan dengan baik. Itulah sebabnya maka kita harus memupuk rasa tanggung
jawab ini sejak dini ini di lembaga pendidikan sekolah, bahkan dari keluarga.

Ketujuh, menghormati hukum dan peraturan. Sering kita menghormati hukum dan
peraturan karena takut kepada para penegak hukum. Kita mematuhi hukum dan
perundang-undangan karena takut terhadap ancaman hukuman. Seharusnya, kita
mengormati hukum dan peraturan atas dasar kesadaran bahwa hukup dan peraturan itu
adalah kita buat untuk kebaikan hidup kita.

Kedepalapan, menghormati hak orang lain. Kita masih sering membeda-bedakan orang
lain karena berbagai kepentingan. Kita tidak menghargai bahwa sebagian dari apa yang
kita peroleh adalah hak orang lain. Kita masih lebih sering mementingkan diri sendiri
ketimbang memberikan penghargaan kepada orang lain. Penghargaan kepada orang lain
tidak boleh melihat perbedaan status sosial, ekonomi, agama, dan budaya.


Kesembilan, mencintai pekerjaan. Ingin berbahagia selamanya, maka bekerjalah dengan
senang hati. Ini adalah kata-kata mutiara yang selalu melekat di hati. Pekerjaan adalah
bagian penting dari kehidupan ini. Siapa yang tidak bekerja adalah tidak hidup. Oleh
karena itu, peserta didik harus diberikan kesadaran tentang pentingnya menghargai
pekerjaan.

Kesepuluh, suka menabung. Memang kita sering memperoleh hasil pas-pasan dari hasil
pekerjaan kita. Tetapi, yang lebih sering, kita mengikuti pola hidup ”lebih besar tiang
daripada pasak”. Tidak mempunyai penghasilan cukup tetapi tetap melakukan pola hidup
konsumtif. Penghasilan pas-pasan, tetapi tetap menghabiskan uangnya untuk tujuan yang
mubazir, seperti merokok. Kita masih jarang memiliki semangat menabung untuk masa
depan.

Kesebelas, suka bekerja keras. Ngobrol dan duduk-duduk santai adalah kebiasaan lama
di pedesaan kita. Pagi-pagi masih berkerudung sarung. Padahal, setelah shalat Subuh, kita
diharuskan bertebaran di muka bumi untuk bekerja. Untuk ini, suka bekerja harus
menjadi bagian dari pendidikan anak-anak kita di sekolah dan di rumah.

Kesepuluh, tepat waktu. Waktu adalah pedang, adalah warisan petuah para sahabat Nabi.
Time is money adalah warisan para penjelajah ”rules of the waves” bangsa pemberani
orang Inggris. Sebaliknya, jam karet adalah istilah sehari-hari bangsa sendiri yang sampai
saat ini kita warisi. Mengapa warisan ini tidak dapat segera kita ganti? Maka tanamlah
benih-benih menghargai waktu di ladang sekolah kita. Sudah barang tentu masih banyak
lagi nilai-nilai sosial budaya yang harus kita tanam melalui ladang lembaga pendidikan
sekolah. Nilai-nilai sosial budaya tersebut harus dapat kita tanam dan terus kita pupuk
melalui proses pendidikan dan pembudayaan di rumah, sekolah, dan dalam kehidupan
masyarakat kita. Amin..
BAB III
PENUTUP
Kultur yang ada disekolah sangat berpengaruh terhadap keberhasilan siswa. Sekolah yang
memiliki kulttur sekolah yang baik tentunya lebih ungul dibanding sekolah- sekolah yang lain.
Sekolah yang unggul diantaranya memilki visi dan misi yang jelas. Akhirnya , kultur sekolah
yang baik dimana hal ini akan menciptakan susasana belajar yang kondusif akan terwujud jika
semua komponen di ligkungan sekolah dan elemen- elemen lain diluar sekolah yang amsih
terkait menyadari, bahwa menjaga dan ikut memelihara serta menciptakan susasana baik
dilingkungan sekolah dan lingkungan- lingkungan yang terkait merupakan tanggung jawab
semua pihak
DAFTAR PUSTAKA
Koentjaraningrat, 2005. Pengantar Antropologi. 2005. Jakarta: PT Rineka Putra.
http://id.wikipedia.org/wiki/Sekolah
http://kelascmpd.blog.com/manajemen/masyarakat-sekolah/
file://localhost/D:/My%20Documents/semester%202/xxx/index.php.htm
Rabu, 16 Juni 2010
PENDIDIKAN MULTIKULTURAL

BAB I

PENDAHULUAN

Konsep pendidikan multikultural di negara-negara yang menganut konsep demokratis


seperti Amerika Serikat dan Kanada, bukan hal baru lagi. Mereka telah melaksanakannya
khususnya dalam upaya menghilangkan diskriminasi antara orang kulit putih dan kulit hitam,
yang bertujuan menunjukkan dan memelihara integritas nasional. Berbagai model pendidikan
multikultural diterapkan di Negara-negara tersebut.

Indonesia adalah salah satu negara multikultural terbesar di dunia. Kenyataan ini dapat
dilihat dari kondisi sosio-kultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas. Keragaman
ini diakui atau tidak akan dapat menimbulkan berbagai persoalan, seperti korupsi, kolusi,
nepotisme, kemiskinan, kekerasan, perusakan lingkungan, separatisme, dan hilangnya rasa
kemanusiaan untuk menghormati hak-hak orang lain, merupakan bentuk nyata sebagai bagian
dari multikulturalisme tersebut.
Berdasarkan permasalahan di atas, maka diperlukan strategi khusus untuk memecahkan
persoalan tersebut melalui berbagai bidang; sosial, ekonomi, budaya, dan pendidikan. Berkaitan
dengan hal ini, maka pendidikan multikultural menawarkan satu alternatif melalui penerapan
strategi dan konsep pendidikan yang berbasis pada pemanfaatan keragaman yang ada di
masyarakat, khususnya yang ada pada siswa seperti keragaman etnis, budaya, bahasa, dan lain
sebagainya, yang akan penulis paparkan pada pembahasan selanjutnya.

BAB II
PEMBAHASAN
Pendidikan Multikultural
1.

Pengertian

Pendidikan multikultural adalah proses penanaman cara hidup menghormati, tulus, dan
toleran terhadap keanekaragaman budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat plural.
Dengan pendidikan multikultural, diharapkan adanya kekenyalan dan kelenturan mental bangsa
menghadapi benturan konflik sosial, sehingga persatuan bangsa tidak mudah patah dan retak.
Dalam konteks Indonesia, yang dikenal dengan muatan yang sarat kemajemukan, maka
pendidikan multikultural menjadi sangat strategis untuk dapat mengelola kemajemukan secara
kreatif, sehingga konflik yang muncul sebagai dampak dari transformasi dan reformasi sosial
dapat dikelola secara cerdas dan menjadi bagian dari pencerahan kehidupan bangsa ke depan.
Definisi tersebut di atas demikian terkait dengan kebudayaan dan kultur lingkungan. Ini
berarti bahwa pembahasan tentang pendidikan multikultural tidak dapat dipisahkan dari budaya
dan lingkungan sekitar masyarakat. Menurut Tilaar (2002: 495-7), pendidikan multikultural
berawal dari berkembangnya gagasan dan kesadaran tentang “interkulturalisme” seusai Perang
Dunia II. Kemunculan gagasan dan kesadaran “interkulturalisme” ini selain terkait dengan
perkembangan politik internasional menyangkut HAM, kemerdekaan dari kolonialisme, dan
diskriminasi rasial dan lain-lain juga karena meningkatnya pluralitas di Negara-negara Barat
sendiri sebagai akibat dari peningkatan migrasi dari Negara-negara yang baru merdeka ke
Amerika dan Eropa.
Secara keseluruhan, pendidikan multikultural memang sebuah konsep yang dibuat
dengan tujuan untuk menciptakan persamaan peluang pendidikan bagi semua siswa yang
berbeda-beda ras, etnis, kelas sosial dan kelompok budaya. Salah satu tujuan penting dari konsep
pendidikan multikultural adalah untuk membantu semua siswa agar memperoleh pengetahuan,
sikap dan ketrampilan yang diperlukan dalam menjalankan peran-peran seefektif mungkin pada
masyarakat demokrasi-pluralistik serta diperlukan untuk berinteraksi, negosiasi, dan komunikasi
dengan warga dari kelompok beragam agar tercipta sebuah tatanan masyarakat bermoral yang
berjalan untuk kebaikan bersama.
Secara sederhana multikultural dapat dipahami sebagai keragaman budaya dalam satu
komunitas. Di dalamnya terdapat interaksi, toleransi, dan bahkan integrasi-desintegrasi. Singkat
kata, multibudaya merupakan suatu fakta yang harus diterima dan diolah secara positif demi
perkembangan kebudayaan. Konsep masyarakat multi budaya diperkenalkan untuk membedakan
dengan pengertian masyarakat mono kultur (mono budaya).
Pengertian masyarakat multi budaya dan multi kulturalisme diperkenalkan pertama kali
tahun 1964 di Winnipeg/Manitoba Kanada oleh sosiolog Charles Hobart pada Konferensi Dewan
Kanada tentang Kristen dan Yesus. Kedua pengertian itu merujuk pada suatu fenomena migrasi
multietnis dan masyarakat dengan lingkup ruang yang besar. Meskipun konsep masyarakat multi
budaya masih problematik, secara umum masyarakat multi budaya dinyatakan sebagai sebuah
kumpulan beraneka ragam masyarakat yang memiliki kebudayaan yang eksis satu sama lain di
atas suatu wilayah. Misalnya Hoffman-Nowotny menekankan dalam suatu masyarakat multi
budaya terdapat dua atau lebih kelompok masyarakat yang terpisah dari kelompok mayoritas.
Sekalipun demikian, diantara mereka lahir kesadaran akan perasaan kebersamaan dan identitas
menyeluruh kehidupan bersama untuk membentuk perasaan bersama akan ketentraman dan
keamanan.

2.

Perspektif Tentang Pendidikan Multikultural

Dalam sejarahnya, pendidikan multikultural sebagai sebuah konsep atau pemikiran tidak
muncul dalam ruangan kosong, namun ada interes politik, sosial, ekonomi dan intelektual yang
mendorong kemunculannya. Wacana pendidikan multikultural pada awalnya sangat bias
Amerika karena punya akar sejarah dengan gerakan Hak Asasi Manusia (HAM) dari berbagai
kelompok yang tertindas di negeri tersebut. Banyak lacakan sejarah atau asal-usul pendidikan
multikultural yang merujuk pada gerakan sosial orang Amerika keturunan Afrika dan kelompok
kulit berwarna lain yang mengalami praktik diskriminasi di lembaga-lembaga publik pada masa
perjuangan hak asasi pada tahun 1960-an. Di antara lembaga yang secara khusus disorot karena
bermusuhan dengan ide persamaan ras pada saat itu adalah lembaga pendidikan.

Pada akhir 1960-an dan awal 1970-an, suara-suara yang menuntut lembaga-lembaga
pendidikan agar konsisten dalam menerima dan menghargai perbedaan semakin kencang, yang
dikumandangkan oleh para aktivis, para tokoh dan orang tua. Mereka menuntut adanya
persamaan kesempatan di bidang pekerjaan dan pendidikan. Pada pertengahan dan akhir 1980-
an, muncul kelompok sarjana, di antaranya Carl Grant, Christine Sleeter, Geneva Gay dan Sonia
Nieto yang memberikan wawasan lebih luas soal pendidikan multikultural, memperdalam
kerangka kerja yang membumikan ide persamaan pendidikan dan menghubungkannya dengan
transformasi dan perubahan sosial.

Ide pendidikan multikulturalisme akhirnya menjadi komitmen global sebagaimana


direkomendasi UNESCO pada bulan Oktober 1994 di Jenewa. Rekomendasi itu di antaranya
memuat empat pesan. Pertama, pendidikan hendaknya mengembangkan kemampuan untuk
mengakui dan menerima nilai-nilai yang ada dalam kebhinnekaan pribadi, jenis kelamin,
masyarakat dan budaya serta mengembangkan kemampuan untuk berkomunikasi,
berbagi dan bekerja sama dengan yang lain. Kedua, pendidikan hendaknya meneguhkan
jati diri dan mendorong konvergensi gagasan dan penyelesaian-penyelesaian yang
memperkokoh perdamaian, persaudaraan dan solidaritas antara pribadi dan masyarakat.
Ketiga, pendidikan hendaknya meningkatkan kemampuan menyelesaikan konflik secara
damai dan tanpa kekerasan. Karena itu, pendidikan hendaknya juga meningkatkan
pengembangan kedamaian dalam diri diri pikiran peserta didik sehingga dengan demikian
mereka mampu membangun secara lebih kokoh kualitas toleransi, kesabaran, kemauan
untuk berbagi dan memelihara.

Konsep pendidikan multikultural dalam perjalanannya menyebar luas ke kawasan di luar


AS, khususnya di negara-negara yang memiliki keragaman etnis, ras, agama dan budaya seperti
Indonesia. Sekarang ini, pendidikan multikultural secara umum mencakup ide pluralisme
budaya. Tema umum yang dibahas meliputi pemahaman budaya, penghargaan budaya dari
kelompok yang beragam dan persiapan untuk hidup dalam masyarakat pluralistik.

Pada konteks Indonesia, perbincangan tentang konsep pendidikan multikultural semakin


memperoleh momentum pasca runtuhnya rezim otoriter-militeristik Orde Baru karena hempasan
badai reformasi. Era reformasi ternyata tidak hanya membawa berkah bagi bangsa kita namun
juga memberi peluang meningkatnya kecenderungan primordialisme. Untuk itu, dirasakan kita
perlu menerapkan paradigma pendidikan multikultur untuk menangkal semangat primordialisme
tersebut.
Wacana multikulturalisme untuk konteks di Indonesia menemukan momentumnya ketika
sistem nasional yang otoriter-militeristik tumbang seiring dengan jatuhnya rezim Soeharto. Saat
itu, keadaan negara menjadi kacau balau dengan berbagai konflik antarsuku bangsa dan antar
golongan, yang menimbulkan keterkejutan dan kengerian para anggota masyarakat. Kondisi
yang demikian membuat berbagai pihak semakin mempertanyakan kembali sistem nasional
seperti apa yang cocok bagi Indonesia yang sedang berubah, serta sistem apa yang bisa membuat
masyarakat Indonesia bisa hidup damai dengan meminimalisir potensi konflik.

Menurut Sosiolog UI Parsudi Suparlan, Multikulturalisme adalah konsep yang mampu


menjawab tantangan perubahan zaman dengan alasan multikulturalisme merupakan sebuah
idiologi yang mengagungkan perbedaaan budaya, atau sebuah keyakinan yang mengakui dan
mendorong terwujudnya pluralisme budaya sebagai corak kehidupan masyarakat.
Multikulturalisme akan menjadi pengikat dan jembatan yang mengakomodasi perbedaan-
perbedaan termasuk perbedaan kesukubangsaan dan suku bangsa dalam masyarakat yang
multikultural. Perbedaan itu dapat terwadahi di tempat-tempat umum, tempat kerja dan pasar,
dan sistem nasional dalam hal kesetaraan derajat secara politik, hukum, ekonomi, dan sosial.

3.

Implementasi Pendidikan multikultural Dalam Dunia Pendidikan

Uraian sebelumnya telah mempertebal keyakinan kita betapa paradigma pendidikan


multikulturalisme sangat bermanfaat untuk membangun kohesifitas, soliditas dan intimitas di
antara keragamannya etnik, ras, agama, budaya dan kebutuhan di antara kita. Paparan di
atas juga memberi dorongan dan spirit bagi lembaga pendidikan nasional untuk mau
menanamkan sikap kepada peserta didik untuk menghargai orang, budaya, agama, dan keyakinan
lain. Harapannya, dengan implementasi pendidikan yang berwawasan multikultural, akan
membantu siswa mengerti, menerima dan menghargai orang lain yang berbeda suku, budaya dan
nilai kepribadian.
Disadari bahwa untuk membangun bangsa dengan beragam adat dan budaya yang
tersebar di wilayah yang sangat luas dan terpencar, diperlukan suatu strategi dan upaya yang
sistematis untuk melakukannya. Untuk itu, Pemerintah telah menetapkan tujuan
pembangunan pendidikan nasional jangka menengah, yang diantaranya adalah
meningkatkan pemerataan kesempatan belajar pada semua jalur, jenis, dan jenjang
pendidikan bagi semua warga negara secara adil, tidak diskriminatif, dan demokratis
tanpa membedakan tempat tinggal, status sosial-ekonomi, jenis kelamin, agama, kelompok
etnis, dan kelainan fisik, emosi, mental serta intelektual.
Lewat penanaman semangat multikulturalisme di sekolah-sekolah, akan menjadi
medium pelatihan dan penyadaran bagi generasi muda untuk menerima perbedaan budaya,
agama, ras, etnis dan kebutuhan di antara sesama dan mau hidup bersama secara damai. Agar
proses ini berjalan sesuai harapan, maka seyogyanya kita mau menerima jika pendidikan
multikultural disosialisasikan dan didiseminasikan melalui lembaga pendidikan, serta, jika
mungkin, ditetapkan sebagai bagian dari kurikulum pendidikan di berbagai jenjang baik di
lembaga pendidikan pemerintah maupun swasta. Apalagi, paradigma multikultural secara
implisit juga menjadi salah satu concern dari Pasal 4 UU N0. 20 Tahun 2003 Sistem Pendidikan
Nasional. Dalam pasal itu dijelaskan, bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis,
tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan, nilai kultural dan
kemajemukan bangsa.
Dalam implementasinya, paradigma pendidikan multikultural dituntut untuk berpegang
pada prinsip-prinsip berikut ini:

1.

Pendidikan multikultural harus menawarkan beragam kurikulum yang


merepresentasikan pandangan dan perspektif banyak orang.

2.

Pendidikan multikultural harus didasarkan pada asumsi bahwa tidak ada penafsiran
tunggal terhadap kebenaran sejarah.

3.
Kurikulum dicapai sesuai dengan penekanan analisis komparatif dengan sudut
pandang kebudayaan yang berbeda-beda.

4.

Pendidikan multikultural harus mendukung prinsip-prinisip pokok dalam


memberantas pandangan klise tentang ras, budaya dan agama.

5.

Pendidikan multikultural mencerminkan keseimbangan antara pemahaman


persamaan dan perbedaan budaya mendorong individu untuk mempertahankan
dan memperluas wawasan budaya dan kebudayaan mereka sendiri.

Model pendidikan yang ada di Indonesia maupun di Negara-negara lain menunjukkan


keragaman tujuan dan menerapkan strategi dan sarana yang dipakai untuk mencapainya.
Sejumlah kritikus melihat bahwa revisi kurikulum sekolah yang dilakukan dalam program
pendidikan multikultural di Inggris dan beberapa tempat di Australia dan Kanada, terbatas pada
keragaman budaya yang ada, jadi terbatas pada dimensi kognitif. Penambahan informasi tentang
keragaman budaya merupakan model pendidikan yang mencakup revisi isi atau materi
pembelajaran termasuk revisi buku-buku teks.
Model kedua yang mencakup model pertama adalah pendidikan multikultural yang
tidak sekedar merevisi materi pembelajaran tetapi melakukan reformasi dalam sistem
pembelajaran itu sendiri. Afirmative action dalam seleksi siswa sampai rekrutmen pengajar
di Amerika adalah salah satu strategi untuk membuat perbaikan ketimpangan struktural
terhadap kelompok minoritas. Contoh yang lain adalah model “sekolah pembauran”
Iskandar Muda di Medan yang memfasilitasi interkasi siswa dari berbagai latar belakang
budaya, dan menyusun program anak asuh lintas kelompok.
Model kedua menunjukkan bagaimana sekolah dianggap sebagai medium yang penting
untuk perubahan perspektif siawa dengan harapan akan perubahan masyarakat di masa datang.
Tergantung tujuan dan model penerapan di atas melihat pendidikan multikultural sebagai
“filsafat, metodologi untuk melakukan reformasi pendidikan” atau sekedar “satu set substansi
pelajaran dengan program pembelajarannya”.
Pendidikan multikultural sebagai wacana baru di Indonesia dapat diimplementasikan
tidak hanya melalui pendidikan formal namun juga dapat diimplementasikan dalam kehidupan
masyarakat maupun dalam keluarga. Dalam pendidikan formal pendidikan multikultural ini
dapat diintegrasikan dalam sistem pendidikan melalui kurikulum mulai Pendidikan Usia
Dini, SD, SLTP, SMU maupun Perguruan Tinggi.
Sebagai wacana baru, Pendidikan Multikultural ini tidak harus dirancang khusus sebagai
muatan substansi tersendiri, namun dapat diintegrasikan dalam kurikulum yang sudah ada
tentu saja melalui bahan ajar atau model pembelajaran yang paling memungkinkan
diterapkannya pendidikan multikultural ini. Di Perguruan Tinggi misalnya, dari segi substansi,
pendidikan multikultural ini dapat dinitegrasikan dalam kurikulum yang berperspektif
multikultural, misalnya melalui mata kuliah umum seperti Kewarganegaraan, ISBD, Agama dan
Bahasa.
Demikian juga pada tingkat sekolah Usia Dini dapat diintegrasikan dalam kurikulum
pendidikan misalnya dalam Out Bond Program, dan pada tingkat SD, SLTP maupun Sekolah
menengah pendidikan multikultural ini dapat diintegrasikan dalam bahan ajar seperti PPKn,
Agama, Sosiologi dan Antropologi, dan dapat melalui model pembelajaran yang lain seperti
melalui kelompok diskusi, kegiatan ekstrakurikuler dan sebagainya.
Dalam Pendidikan non formal wacana ini dapat disosialisasikan melalui pelatihan-
penghormatan terhadap perbedaan baik ras suku, maupun agama antar anggota
masyarakat. Tak kalah penting wacana pendidikan multikultural ini dapat diimplementasikan
dalam lingkup keluarga, di mana keluarga sebagai institusi sosial terkecil dalam masyarakat,
merupakan media pembelajaran yang paling efektif dalam proses internalisasi dan
transformasi nilai, serta sosialisasi terhadap anggota keluarga. Peran orangtua dalam
menanamkan nilai-nilai yang lebih responsive multikultural dengan mengedepankan
penghormatan dan pengakuan terhadap perbedaan yang ada di sekitar lingkungannya (agama,
ras, golongan) terhadap anak atau anggota keluarga yang lain merupakan cara yang palingefektif
dan elegan untuk mendukung terciptanya sistem sosial yang lebih berkeadilan.
Bila kita mencermati berbagai kasus terjadinya konflik keagamaan akhir-akhir ini, salah satu
faktor penyebabnya adalah adanya paradigma keberagamaan masyarakat yang bersifat
eksklusif. Karena itu, diperlukan langkah-langkah preventif untuk mencegah
berkembangnya paradigma tersebut, yaitu dengan membangun pemahaman keberagamaan
yang lebih inklusif-pluralis, multikultural, humanis, dialogis-persuasif, kontekstual melalui
pendidikan, media massa, dan interaksi sosial.
Bagaimana membangun pemahaman keberagamaan siswa yang inklusif di sekolah? Dalam hal
ini, guru mempunyai posisi penting dalam mengimplementasikan nilai-nilai keberagamaan
inklusif di sekolah. Adapun peran guru di sini, meliputi; pertama, seorang guru/dosen harus
mampu bersikap demokratis, baik dalam sikap maupun perkataannya tidak diskriminatif.
Kedua, guru/dosen seharusnya mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap kejadian-
kejadian tertentu yang ada hubungannya dengan agama. Misalnya, ketika terjadi bom Bali
(2003), maka seorang guru yang berwawasan multikultural harus mampu menjelaskan
keprihatinannya terhadap peristiwa tersebut. Ketiga, guru/dosen seharusnya menjelaskan
bahwa inti dari ajaran agama adalah menciptakan kedamaian dan kesejahteraan bagi
seluruh ummat manusia, maka pemboman, invasi militer, dan segala bentuk kekerasan
adalah sesuatu yang dilarang oleh agama. Keempat, guru/dosen mampu memberikan
pemahaman tentang pentingnya dialog dan musyawarah dalam menyelesaikan berbagai
permasalahan yang berkaitan dengan keragaman budaya, etnis, dan agama.

4.

Pendekatan dalam Pendidikan Multikultural

Ada beberapa pendekatan dalam proses pendidikan multikultural, yaitu:


Pertama, tidak lagi terbatas pada menyamakan pandangan pendidikan (education)
dengan persekolahan (schooling) atau pendidikan multikultural dengan program-program
sekolah formal. Pandangan yang lebih luas mengenai pendidikan sebagai transmisi kebudayaan
membebaskan pendidikan dari asumsi mereka bahwa tanggung jawab primer mengembangkan
kompetensi kebudayaan di kalangan anak didik semata-mata berada di tangan mereka dan justru
lebih luas daripada itu, semakin banyak pihak yang bertanggung jawab karena program-program
sekolah seharusnya terkait dengan pembelajaran informal dan luar sekolah.
Kedua, kita tidak lagi terbatas pada pandangan yang menyamakan kebudayaan
dengan kelompok etnik adalah sama. Berarti, kita tidak perlu mengasosiasikan kebudayaan
semata-mata dengan kelompok-kelompok etnik sebagaimana selama ini barangkali kita terbiasa
melakukannya.
Ketiga, karena pengembangan kompetensi dalam suatu “kebudayaan baru” biasanya
membutuhkan interaksi inisiatif dengan orang-orang yang sudah memiliki kompetensi,
bahkan dapat dilihat lebih jelas bahwa upaya-upaya untuk mendukung sekolah-sekolah yang
terpisah secara etnik adalah antitesis terhadap tujuan pendidikan multikultural. Mempertahankan
dan memperluas solidaritas kelompok adalah menghambat sosialisasi ke dalam multikultural
tidak dapat disamakan secara logis.
Keempat, pendidikan multikultural meningkatkan kompetensi dalam beberapa
kebudayaan. Kebudayaan yang akan diadopsi ditentukan oleh situasi. Akhirnya, kemungkinan
bahwa pendidikan (baik dalam maupun luar sekolah) meningkatkan kesadaran tentang
kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kesadaran seperti ini kemudian akan menjauhkan kita
dari konsep dwi budaya atau dikotomi antara pribumi dan non-pribumi.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari berbagai penjelasan di atas, dapat penulis simpulkan beberapa hal sebagai berikut:

1.

Pendidikan multikultural adalah proses penanaman cara hidup menghormati, tulus, dan
toleran terhadap keanekaragaman budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat plural
demi terciptanya persatuan dalam masyarakat.

2.

Sebagai wacana baru, Pendidikan Multikultural ini tidak harus dirancang khusus sebagai
muatan substansi tersendiri, namun dapat diintegrasikan dalam kurikulum yang sudah ada
tentu saja melalui bahan ajar atau model pembelajaran yang paling memungkinkan
diterapkannya pendidikan multikultural ini.

3.

Pendidikan multikultural tidak hanya diterapkan dalam pendidikan formal tetapi bisa juga
dalam lingkungan keluarga dan masyarakat.

4.
Hal terpenting dalam pendidikan multikultural adalah seorang guru atau dosen tidak
hanya dituntut untuk menguasai dan mampu secara profesional mengajarkan mata
pelajaran atau mata kuliah yang diajarkan. Lebih dari itu, seorang pendidik juga harus
mampu menanamkan nilai-nilai inti dari pendidikan multikultural seperti demokrasi,
humanisme, dan pluralisme atau menanamkan nilai-nilai keberagamaan yang inklusif
pada siswa.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2010. Kontribusi Teknologi Pendidikan dalam Membangun Pendidikan Multikultural.


Diakses dari www.ilmupendidikan.net/kontribusi-teknologipendidikan-dalam-membangun-
pendidikan-multikultural pada tanggal 8 Maret 2010.

Sudrajat, Ahmad. 2010. Pendidikan Multikultural di Indonsia. Diakses dari


http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/04/wacana-pendidikan-multikultural diIndonesia
pada tanggal 8 Maret 2010.

Tilaar, H.A.R. 2002. Multikulturalisme: Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalam


Transformasi Pendidikan. Jakarta: Grasindo.
Rabu, 16 Juni 2010
TRADISI DAN KEARIFAN LOKAL DI PULAU BALI

Hari Raya Nyepi.


Hari Raya Nyepi dirayakan setiap tahun Baru Caka (pergantian tahun Caka). Yaitu pada hari
Tilem Kesanga (IX) yang merupakan hari pesucian Dewa-Dewa yang berada di pusat samudera
yang membawa inti sarining air hidup (Tirtha Amertha Kamandalu). Untuk itu umat Hindu
melakukan pemujaan suci terhadap Dewa-Dewa tersebut.  Tujuan utama Hari Raya Nyepi adalah
memohon kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, untuk menyucikan Bhuwana Alit (alam manusia)
dan Bhuwana Agung (alam semesta). Rangkaian perayaan Hari Raya Nyepi adalah sebagai
berikut :
1.Tawur (Pecaruan), Pengrupukan, dan Melasti.  Sehari sebelum Nyepi, yaitu pada"panglong
ping 14 sasih kesanga" umat Hindu melaksanakan upacara Butha Yadnya di perempatan jalan
dan lingkungan rumah masing-masing, dengan mengambil salahg satu dari jenis-jenis "Caru"
menurut kemampuannya. Bhuta Yadnya itu masing-masing bernama; Panca Sata (kecil), Panca
Sanak (sedang), dan Tawur Agung (besar).  Tawur atau pecaruan sendiri merupakan
penyucian/pemarisudha Bhuta Kala, dan segala 'leteh' (kotor), semoga sirna semuanya. Caru
yang dilaksanakan di rumah masing-masing terdiri dari; nasi manca warna (lima warna)
berjumlah 9 tanding/paket, lauk pauknya ayam brumbun (berwarna-warni) disertai tetabuhan
arak/tuak. Bhuta Yadnya ini ditujukan kepada Sang Bhuta Raja, Bhuta Kala dan Bhatara Kala,
dengan memohon supaya mereka tidak mengganggu umat.  Setalah mecaru dilanjutkan dengan
upacara pengerupukan, yaitu : menyebar-nyebar nasi tawur, mengobori-obori rumah dan seluruh
pekarangan, menyemburi rumah dan pekarangan dengan mesui, serta memukul benda-benda apa
saja (biasanya kentongan) hingga bersuara ramai/gaduh. Tahapan ini dilakukan untuk mengusir
Bhuta Kala dari lingkungan rumah, pekarangan, dan lingkungan sekitar.
Khusus di Bali, pada pengrupukan ini biasanya dimeriahkan dengan pawai ogoh-ogoh yang
merupakan perwujudan Bhuta Kala yang diarak keliling lingkungan, dan kemudian dibakar.
Tujuannya sama yaitu mengusir Bhuta Kala dari lingkungan sekitar.  Selanjutnya dilakukan
Melasti yaitu menghanyutkan segala leteh (kotor) ke laut, serta menyucikan "pretima".
DIlakukan di laut, karena laut (segara) dianggap sebagai sumber Tirtha Amertha (Dewa Ruci,
dan Pemuteran Mandaragiri). Selambat-lambatnya pada Tilem sore, pelelastian sudah selesai.
2.Nyepi  Keesoka harinya, yaitu pada "panglong ping 15" (Tilem Kesanga), tibalah Hari Raya
Nyepi. Pada hari ini dilakukan puasa/peberatan Nyepi yang disebut Catur Beratha Penyepian dan
terdiri dari; amati geni (tiada berapi-api/tidak menggunakan dan atau menghidupkan api), amati
karya (tidak bekerja), amati lelungan (tidak bepergian), dan amati lelanguan (tidak
mendengarkan hiburan). Beratha ini dilakukan sejak sebelum matahari terbit.  Menurut umat
Hindu, segala hal yang bersifat peralihan, selalu didahului dengan perlambang gelap. Misalnya
seorang bayi yang akan beralih menjadi anak-anak (1 oton/6 bulan), lambang ini diwujudkan
dengan 'matekep guwungan' (ditutup sangkat ayam). Wanita yang beralih dari masa kanak-kanak
ke dewasa (Ngeraja Sewala), upacaranya didahului dengan ngekep (dipingit).  Demikianlah
untuk masa baru, ditempuh secara baru lahir, yaitu benar-benar dimulai dengan suatu halaman
baru yang putih bersih. Untuk memulai hidup dalam caka/tahun barupun, dasar ini dipergunakan,
sehingga ada masa amati geni.  Yang lebih penting dari dari pada perlambang-perlambang lahir
itu (amati geni), sesuai dengan Lontar Sundari Gama adalah memutihbersihkan hati sanubari,
dan itu merupakan keharusan bagi umat Hindu.  Tiap orang berilmu (sang wruhing tatwa dnjana)
melaksanakan; Bharata (pengekangan hawa nafsu), yoga ( menghubungkan jiwa dengan
paramatma (Tuhan), tapa (latihan ketahanan menderita), dan samadhi (menunggal kepada
Tuhan/Ida Sang Hyang Widhi), yang bertujuan kesucian lahir bathin).  Semua itu menjadi
keharusan bagi umat Hindu, sehingga akan mempunyai kesiapan bathin untuk menghadapi setiap
tantangan kehidupan di tahun yang baru. Kebiasaan merayakan Hari Raya dengan berfoya-foya,
berjudi, mabuk-mabukan adalah sesuatu kebiasaan yang keliru dan mesti dirubah.
3.Ngembak Geni (Ngembak Api) 
Terakhir dari perayaan Hari Raya Nyepi adalah hari Ngembak Geni yang jatuh pada tangal ping
pisan (1) sasih kedasa (X). Pada hari Inilah tahun baru Caka tersebut dimulai. Umat Hindu
bersilahturahmi dengan keluarga besar dan tetangga, saling maaf memaafkan (ksama), satu sama
lain. Dengan suasana baru, kehidupan baru akan dimulai dengan hati putih bersih. Jadi kalau
tahun masehi berakhir tiap tanggal 31 Desember dan tahun barunya dimulai 1 Januari, maka
tahun Caka berakhir pada panglong ping limolas (15) sasih kedasa (X), dan tahun barunya
dimulai tanggal 1 sasih kedasa (X).
Tradisi Ciuman Masal Di Bali(Omed-omedan)

Puluhan muda-mudi saling mencium dalam acara omed-omedan sebagai bagian tradisi perayaan
Nyepi menyambut Tahun Baru Saka 1932 di Bali.
Tradisi unik ini dikemas dalam acara bertajuk Sesetan Heritage Omed-omedan Festival 2010
yang digelar di Banjar Kaja Sesetan Kecamatan Denpasar Selatan, sore ini.
Menurut Ketua Panitia I Putu Wiranata Jaya, kegiatan ini dimaksudkan untuk melestarikan nilai
seni dan budaya juga untuk memupuk kebersamaan. “Kegiatan ini memiliki nilai sakral karena
terkait susuhunan di Pura Banjar ujar dia,” Rabu (17/03/2010). Warga setempat secara turun
temurun menggelar tradisi ini yang jatuh sehari setelah nyepi atau ngambek geni. Dalam acara
ini para muda-mudi berbaris dan berputar putar. Mereka diminta memilih siapa yang disukai.
sesaat namun harus melepaskan kembali. Tak jarang karena larut dalm acara tersebut mereka
enggan melepaskan pelukan dan ciumannya. Karenanya harus ditarik para pemuda lainnnya
sehingga terjadi tarik tarikan. Inilah puncak dan daya tarik tradisi tersebut.
“Kami menolak tudingan negatif seolah olah omed omedan identik dengan ciuman,” tandas
Wiranata. Seorang peserta Putu Ayu Puspa (23) dan adiknya Kadek Wandayani, mengaku dua
kali ikut acara ini. “Saya awalnya takut tapi orang tua mendorong tampil, lagian tidak mesti
dapat cium kok,” katanya tersipu. Acara diawali tarian janger dan penampilan barong dari
kesenian warga setempat. Kegiatan ini mendapat sambutan luas ribuan warga Denpasar. Tampak
Wali Kota Rai Mantra dan anggota DPD Kadek Arimbawa hadir melihat acara tahunan tersebut.
Tradisi Sakral Upacara Ngaben di Bali

Berbagai upacara dan kegiatan dilakukan oleh warga dan keluarga menjelang berlangsungnya
prosesi puncak pelebon (ngaben) anggota keluarga kerajaan Ubud, Tjokorda Gde Agung Suyasa,
Tjokorda Gede Raka, dan Desak Raka (Gung Niang Raka) pada Selasa (15/7).
Upacara Ngaben merupakan salah satu tradisi budaya Bali yang sangat dikenal sampai ke manca
negara karena keunikannya. Sering pula disebut upacara pelebon kepada orang yang meninggal
dunia, dianggap sangat penting, ramai dan semarak, karena dengan pengabenan itu keluarga
dapat membebaskan arwah orang yang meninggal dari ikatan-ikatan duniawinya menuju sorga,
atau menjelma kembali ke dunia melalui reinkarnasi.
Status kelahiran kembali roh orang yang meninggal dunia berhubungan erat dengan karma dan
perbuatan serta tingkah laku selama hidup sebelumnya. Secara umum, orang Bali merasakan
bahwa roh yang lahir kembali ke dunia hanya bisa di dalam lingkaran keluarga yang ada
hubungan darah dengannya. Lingkaran hidup mati bagi orang Bali adalah karena hubungannya
dengan leluhurnya. Setiap orang tahu bahwa di satu saat nanti dia akan menjadi leluhur juga,
yang di dalam perjalannya di dunia lain harus dipercepat dan mendapatkan perhatian cukup bila
sewaktu-waktu nanti kembali menjelma ke Pulau yang dicintainya, yaitu Pulau Bali.
Upacara ini biasanya ditandai dengan pembuatan bade/wadah (tempat mayat) yang diusung
bersama sebuah lembu (sapi) yang terbuat dari rangkaian bambu, dimana lembu ini akan dibakar
bersama dengan jasad orang yang meninggal tersebut. Upacara Ngaben diawali dengan berbagai
ritual pembuka. Seperti, mebersih, ngringkes, ngajum kajang, mesudi bumi hingga prosesi
pembakaran dan nglarung abu ke laut selatan.
Seluruh prosesi ini dilakukan dengan kompak oleh masing-masing keluarga yang mengikuti
ngaben tersebut. Ngaben pertama kali ini dilakukan secara simbolis atau ngaben kering. Artinya,
umat tidak membongkar setra masing-masing anggota keluarga yang diaben. Ini untuk
menghormati anggota keluarga lainnya yang memeluk agama lain.
Karena upacara ini memerlukan tenaga, biaya dan waktu yang panjang dan besar, hal ini sering
dilakukan begitu lama setelah kematian. Untuk menanggung beban biaya, tenaga dan lain-
lainnya, kini masyarakat sering melakukan pengabenan secara massal / bersama. Jasad orang
yang meninggal sering dikebumikan terlebih dahulu sebelum biaya mencukupi, namun bagi
beberapa keluarga yang mampu upacara ngaben dapat dilakukan secepatnya dengan menyimpan
jasad orang yang telah meninggal di rumah, sambil menunggu waktu yang baik. Selama masa
penyimpanan di rumah itu, roh orang yang meninggal menjadi tidak tenang dan selalu ingin
kebebasan.
Hari baik biasanya diberikan oleh para pendeta setelah melalui konsultasi dan kalender yang ada.
Persiapan biasanya diambil jauh-jauh sebelum hari baik ditetapkan. Pada saat inilah keluarga
mempersiapkan "bade dan lembu" terbuat dari bambu, kayu, kertas yang beraneka warna-warni
sesuai dengan golongan atau kedudukan sosial ekonomi keluarga bersangkutan.

Tradisi Subak

Subak (organisasi petani bali) merupakan salah satu organisasi tradisional Bali yang memelihara
dan mengatur system irigasi pertanian yang sudah ada sejak dulu, seperti yang disebutkan dalam
Museum Subak Mandala Mathika di desa Sungulan Tabanan.
Didalam kompleks terdapat ruang pameran, ruang audio visual, ruang belajar, fasilitas
penginapan, perpustakaan, kantor dan miniatur sistem irigasi. Museum ini diresmikan mantan
Gubernur Bali, Prof Dr Ida Bagus Mantra tanggal 13 Oktober 1981. Berdirinya museum ini
digagasi oleh I Gusti Ketut Kaler, pakar adat dan agama yang waktu itu menjabat Kanwil
Departemen Agama Propinsi Bali. Ia melihat perlu adanya lembaga adat Subak yang berupaya
melestarikan warisan luhur budaya bangsa sejak abad XI ini. Upaya itu akhirnya terwujud. Pada
mulanya disebut "Cagar Budaya Museum Subak".Museum ini merupakan museum khusus
tentang sistem pertanian di Bali berciri khas kemandirian atas landasan kekal "Tri Hita Krana",
tiga penyebab kebahagiaan (Tuhan, manusia dan alam). Dengan berkembangnya ilmu
pengetahuan dan teknologi, dikhawatirkan akan berpengaruh pula terhadap kehidupan Subak.
Untuk itu upaya melestarikan Subak beserta peralatan tradisional Bali termasuk di dalamnya
bangunan rumah petani tradisional yang mengikuti aturan pembangunan asta bumi dan asta
kosala-kosali, tata ruang, tata letak menurut tradisi masyarakat di Bali perlu digalakkan.
Disamping menyelamatkan, menggali, mengamankan dan memelihara berbagai benda yang
berkaitan dengan subak dan menyuguhkan berbagai informasi, pendidikan dan dokumentasi
tentang Subak, Subak ini ternyata menjadi objek wisata yang menarik.
Museum Subak terdiri dari dua bagian. Ada museum induk dan museum terbuka. Di museum
induk ada bangunan atau kompleks suci dengan Padmasana, Bedugul dan lain-lainnya.
Tata ruang dan tata letak bangunan disesuaikan dengan lingkungan sekitarnya dengan tetap
berpegang pada pembangunan tradisional : Tri Mandala, Tri Angga dan Asta Kosala Kosali.
Sedangkan museum terbuka berwujud "Subak Mini" yang dipakai sebagai peragaan kegiatan
subak, dari sistem irigasi hingga proses kegiatan petani di sawah.
Tradisi perkawinan di Bali
Menurut adat Hindu Bali, pernikahan dilakukan di rumah calon pengantin laki-laki pada hari
yang dianggap baik oleh pendeta Hindu Bali. Biasanya pengantin baru tinggal bersama keluarga
laki-laki dalam satu pekarangan rumah.
Ada dua macam pernikahan, yaitu ‘kawin lari’, dan ‘kawin ngidih’. Kawin lari (cara kuno di Bali
bagian Timur), di mana perempuan meninggalkan rumahnya untuk menikah tanpa pengetahuan
orangtuanya, sudah agak jarang dilakukan. Cara pernikahan yang umum dilaksanakan dewasa ini
adalah kawin ngidih, di mana pihak laki-laki meminta kepada orangtua pihak perempuan.
Kawin lari
Pada hari yang telah disetujui oleh pasangan calon pengantin, laki-laki atau orang lain yang
dimintai tolong, menjemput si perempuan dan membawanya ke rumah salah satu kerabat atau
temannya untuk disembunyikan paling sedikit selama tiga hari atau sampai orang tua pihak
perempuan mengakui bahwa anak gadisnya telah menikah.
Selanjutnya, empat orang mewakili pihak laki-laki untuk menyampaikan pesan kepada orangtua
bahwa anak gadisnya telah pergi untuk menikah. Kelian banjar dari pihak keluarga perempuan
ikut untuk menyampaikan pesan tersebut. Mereka membawa lampu sebagai simbul penerangan
dan surat pernyataan dari calon pasangan pengantin bahwa mereka menikah atas dasar cinta dan
tanpa paksaan pihak manapun.
Apabila orangtua si perempuan menerima bahwa anaknya telah dilarikan dan akan menikah
dengan laki-laki pilihannya, mereka menentukan kapan wakil dari pihak laki-laki bisa datang
kembali ke rumahnya untuk menyelesaikan masalah pernikahan ini. Kawin ngidih
Pada hari yang telah disepakati bersama, keluarga dan kerabat dekat pihak laki-laki datang ke
rumah pihak perempuan untuk menyampaikan keinginan mereka untuk menikahkan anak laki-
lakinya dengan anak gadis dari pihak perempuan. Kemudian mereka akan menetapkan satu hari
untuk mengumpulkan seluruh keluarga dari pihak perempuan dan meminta keluarga laki-laki
dan kerabat dekatnya untuk datang kembali untuk melamar dan membicarakan tatalaksana
upacara pernikahan. Setelah kesepakatan tercapai, calon pengantin perempuan dibawa ke rumah
calon pengantin laki-laki. Pawiwahan (upacara) tiga hari
Setelah tiga hari berada di rumah pihak laki-laki atau persembunyian, calon pengantin baru akan
diupacarai dengan sesajen yang dituntun oleh pemangku (pendeta dari keluarga Sudra) untuk
mengesahkan perkawinan tersebut secara agama Hindu Bali. Upacara ini hanya dihadiri oleh
keluarga dekat pasangan pengantin atau pihak laki-laki saja kalau memakai cara kawin lari.
Pawiwahan di sanggah (pura keluarga)
Pada hari yang telah disepakati dan ditunjuk oleh pendeta Brahmana, upacara yang lebih besar
dilaksanakan di sanggah pihak laki-laki. Makna upacara ini adalah untuk menyampaikan kepada
para leluhur yang bersemayam di sanggah itu, bahwa ada satu pendatang baru yang akan menjadi
anggota keluarga dan akan melanjutkan keturunannya.
Dalam kawin ngidih semua anggota banjar dari pihak laki-laki dan seluruh keluarga besar dari
pihak perempuan dan para undangan lainnya menyaksikan upacara ini. Sedangkan dalam kawin
lari, keluarga atau kerabat dekat dari pihak perempuan tidak terlibat. Undangannya bisa
mencapai ratusan orang.
Upacara ini biasanya dilanjutkan dengan pelaksanaan upacara mepamit (perpisahan) yang akan
dilakukan di sanggah pihak keluarga pengantin perempuan. Makna dari upacara ini adalah untuk
minta pamit kepada para leluhur karena sekarang telah menikah dan menjadi milik dan tanggung
jawab keluarga laki-laki.
Pada umumnya semua biaya upacara perkawinan ditanggung oleh keluarga pihak laki-laki
termasuk untuk upacara Mepamit yang dilakukan di rumah orangtua perempuan. Anggota banjar
menyediakan sebagian bahan makanan untuk pesta atau bahan upacara, dan para tamu udangan
membawa hadiah untuk pengantin baru.
Musik Seperangkat gamelan Bali

Musik tradisional Bali memiliki kesamaan dengan musik tradisional di banyak daerah lainnya di
Indonesia, misalnya dalam penggunaan gamelan dan berbagai alat musik tabuh lainnya.
Meskipun demikian, terdapat kekhasan dalam tehnik memainkan dan gubahannya, misalnya
dalam bentuk kecak, yaitu sebentuk nyanyian yang konon menirukan suara kera. Demikian pula
beragam gamelan yang dimainkan pun memiliki keunikan, misalnya Gamelan Jegog, Gamelan
Gong Gede, Gamelan Gambang, Gamelan Selunding, dan Gamelan Semar Pegulingan. Adapula
musik Angklung dimainkan untuk upacara ngaben, serta musik Bebonangan dimainkan dalam
berbagai upacara lainnya.
Terdapat bentuk modern dari musik tradisional Bali, misalnya Gamelan Gong Kebyar yang
merupakan musik tarian yang dikembangkan pada masa penjajahan Belanda, serta Joged
Bumbung yang mulai populer di Bali sejak era tahun 1950-an. Umumnya musik Bali merupakan
kombinasi dari berbagai alat musik perkusi metal (metalofon), gong, dan perkusi kayu (xilofon).
Karena hubungan sosial, politik dan budaya, musik tradisional Bali atau permainan gamelan
gaya Bali memberikan pengaruh atau saling mempengaruhi daerah budaya di sekitarnya,
misalnya pada musik tradisional masyarakat Banyuwangi serta musik tradisional masyarakat
Lombok.
* Gamelan
* Jegog
* Genggong
* Silat Bali
Tari
Seni tari Bali pada umumnya dapat dikatagorikan menjadi tiga kelompok; yaitu wali atau seni
tari pertunjukan sakral, bebali atau seni tari pertunjukan untuk upacara dan juga untuk
pengunjung, dan balih-balihan atau seni tari untuk hiburan pengunjung.
Pakar seni tari Bali I Made Bandem pada awal tahun 1980-an pernah menggolongkan tari-tarian
Bali tersebut; antara lain yang tergolong ke dalam wali misalnya Berutuk, Sang Hyang Dedari,
Rejang dan Baris Gede, bebali antara lain ialah Gambuh, Topeng Pajegan, dan Wayang Wong,
sedangkan balih-balihan antara lain ialah Legong, Parwa, Arja, Prembon dan Joged, serta
berbagai koreografi tari modern lainnya.
Salah satu tarian yang sangat populer bagi para wisatawan ialah Tari Kecak. Sekitar tahun 1930-
an, Wayan Limbak bekerja sama dengan pelukis Jerman Walter Spies menciptakan tari ini
berdasarkan tradisi Sanghyang dan bagian-bagian kisah Ramayana. Wayan Limbak
mempopulerkan tari ini saat berkeliling dunia bersama rombongan penari Bali-nya. Penari belia
sedang menarikan Tari Belibis, koreografi kontemporer karya Ni Luh Suasthi Bandem
Dalam bahasa Bali, kaja berarti ke (arah) gunung dan kelod berarti ke (arah) laut. Dengan
demikian untuk orang Bali Utara, kaja berarti selatan, sebaliknya untuk orang Bali Selatan, kaja
berarti utara. Begitu juga kelod bagi orang Bali Utara berarti utara dan untuk orang Bali Selatan
berarti selatan. Perbedaan ini tidak saja tampak dalam penunjukan arah dalam bahasa Bali, tetapi
juga dalam beberapa aspek kesenian dan juga sedikit bahasa. Orang Bali menyebut daerah di
bagian utara itu sebagai Den Bukit (kabupaten Buleleng sekarang) dan daerah-daerah di bagian
selatan sebagai Bali Tengah (kabupaten Tabanan, Badung, Gianyar, Klungkung). Adapun
mengenai arah timur (kangin) sifatnya disamakan dengan arah kaja dan barat (kauh) disamakan
dengan kelod. Arah-arah ini sama baik di Bali Utara maupun Selatan.
Dalam asta kosala-kosali disebutkan bahwa aturan-aturan pembuatan sebuah rumah harus
mengikuti aturan aturan anatomi tubuh sang empunya pemilik rumah dengan dibantu sang
undagi sebagai pedanda atau orang suci yang mempunyai kewenangan membantu membangun
rumah atau pura. Dan terdapat ukuran-ukuran atau dimensi yang didasarkan pada ukuran atau
dimensi yang didasarkan pada ukuran jari-jari si pemilik rumah yang akan menempati rumah
tersebut. Seperti Musti, yaitu ukuran atau dimensi untuk ukuran tangan mengepal dengan ibu jari
yang menghadap ke atas. Hasta untuk ukuran sejengkal jarak tangan manusia dewata dari
pergelangan tengah tangan sampai ujung jari tengah yang terbuka. Depa untuk ukuran yang
dipakai antara dua bentang tangan yang dilentangkan dari kiri ke kanan.
Rumah tinggal masyarakat Bali sangat unik karena rumah tinggal tidak merupakan satu kesatuan
dalam satu atap tetapi terbagi dalam beberapa ruang-ruang yang berdiri sendiri dalam pola ruang
yang diatur menurut konsep arah angin dan sumbu gunung Agung. Hal ini terjadi karena hirarki
yang ada menuntut adanya perbedaan strata dalam pengaturan ruang-ruang pada rumah tinggal
tersebut. Seperti halnya tempat tidur orang tua dan anak-anak harus terpisah, dan juga hubungan
antara dapur dan tempat pemujaan keluarga. Untuk memahami hirarki penataan ruang tempat
tinggal di Bali ini haruslah dipahami keberadaan sembilan mata angin yang identik dengan arah
utara, selatan, timur dan barat.
Bagi mereka arah timur dengan sumbu hadap ke gunung Agung adalah lokasi utama dalam
rumah tinggal, sehingga lokasi tersebut biasa dipakai untuk meletakkan tempat pemujaan atau di
Bali di sebut pamerajan. Untuk mengetahui pola ruang rumah tradisional Bali maka sebaiknya
kita mengenali bagian-bagian ruang pada rumah tinggal tradisional Bali:
1. Angkul-angkul yaitu entrance yang berfungsi seperti candi bentar pada pura yaitu sebagai
gapura jalan masuk. Angkul-angkul biasanya teletak di kauh kelod.
2. Aling-aling adalah bagian entrance yang berfungsi sebagai pengalih jalan masuk sehingga
jalan masuk tidak lurus kedalam tetapi menyamping. Hal ini dimaksudkan agar pandangan dari
luar tidak langsung lurus ke dalam. Aling-aling terletak di kaluh kelod.
3. Latar atau halaman tengah sebagai ruang luar.
4. Pamerajan ini adalah tempat upacara yang dipakai untuk keluarga. Dan pada perkampungan
tradisional biasanya setiap keluarga mempunyai pamerajan yang letaknya di kaja kangin pada
sembilan petak pola ruang.
5. Umah Meten yaitu ruang yang biasanya dipakai tidur kapala keluarga sehingga posisinya
harus cukup terhormat yaitu di kaja.
6. Bale tiang sanga biasanya digunakan sebagai ruang untuk menerima tamu yang diletakkan di
lokasi kauh.
7. Bale Sakepat, bale ini biasanya digunakan untuk tempat tidur anak-anak atau anggota keluarga
lain yang masih junior. Bale sakepat biasanya terletak di kelod.
8. Bale Dangin biasanya dipakai untuk duduk-duduk membuat benda-benda seni atau merajut
pakaian bagi anak dan suaminya. Bale Dangin terletak di lokasi kangin.
9. Paon yaitu tempat memasak bagi keluarga, posisinya berada pada kangin kelod.
10. Lumbung sebagai tempat untuk menyimpan hasil panen, berupa padi dan hasil kebun
lainnya.
Sistem konstruksi pada arsitektur tradisional Bali mempertimbangkan konsep yang dinamakan tri
angga, yaitu sebuah konsep hirarki dari mulai nista, madya dan utama.
“Nista” menggambarkan suatu hirarki paling bawah suatu tingkatan, yang biasanya diwujudkan
dengan pondasi bangunan atau bagian bawah sebuah bangunan sebagai penyangga bangunan
diatasnya. Atau bila dalam tiang kolom. Materialnya dapat terbuat dari batu bata atau batu
gunung. Batu bata tersebut tersusun dalam suatu bentuk yang cukup rapi sesuai dengan dimensi
ruang yang akan dibuat pada permukaan batu bata atau batu gunung dibuat semacam penghalus
sebagai elemen leveling yang rata. Atau merupakan plesteran akhir nista juga digambarkan
sebagai alam bawah atau alam setan atau nafsu.
“Madya” adalah bagian tengah bangunan yang diwujudkan dalam bangunan dinding, jendela dan
pintu. Madya mengambarkan strata manusia atau alam manusia.
“Utama” adalah simbol dari bangunan bagian atas yang diwujudkan dalam bentuk atap yang
diyakini juga sebagai tempat paling suci dalam rumah sehingga juga digambarkan tempat tinggal
dewa atau leluhur mereka yang sudah meninggal. Pada bagian atap ini bahan yang digunakan
pada arsitektur tradisional adalah atap ijuk dan alang-alang.
Untuk menampilkan kesan tradisional yang kental, gerbang dibuat dari batu candi yang
bertekstur kasar, khas gapura di candi-candi Hindu-Buddha Jawa. Sedangkan pintu gerbang di
Bali lebih banyak memakai bahan batu bata yang merupakan sisa-sisa peninggalan zaman
Majapahit. Keterbatasan bahan batu candi tidak menghalangi kreativitas membuat gerbang
berkesan sama dengan bahan tersebut. Bahan yang dipilih lebih disesuaikan dengan bangunan
gerbang, baik dari batu candi, batu kali, atau perkerasan beton ekspos koral atau motif lainnya.
Persilangan garis horisontal sumbu bumi dengan garis vertikal religi, menjadi pedoman
pembagian tata ruang dalam arsitektur tradisional Bali. Jika persilangan ini diikuti oleh
persilangan tiap sudutnya, maka terwujudlah kemudian apa yang disebut Sanga Mandala
(sembilan ruang) yang berpusat pada sumbu bumi.
Di sini kemudian terdapat apa yang disebut 1) Angkul-angkul (gapura), 2) Natah (halaman
tengah), 3) Sanggah (pura keluarga) letaknya di timur laut) 4) Umah Meten (paviliun untuk
kepala keluarga) letaknya di utara, 5) Bale Tiang Sanga (paviliun tamu) letaknya di barat, 6)
Bale Sakepat (paviliun untuk anak-anak) di Selatan, 7) Bale Sakenem (bangunan di mana sering
dilakukan ritual), 8) Paon (dapur) letaknya di barat daya, dan 9) Jineng (lumbung padi) letak-nya
di tenggara.
Hunian pada masyarakat Bali, ditata menurut konsep Tri Hita Karana. Orientasi yang digunakan
menggunakan pedoman-pedoman seperti tersebut diatas. Sudut utara-timur adalah tempat yang
suci, digunakan sebagai tempat pemujaan, Pamerajan (sebagai pura keluarga). Sebaliknya sudut
barat-selatan merupakan sudut yang terendah dalam tata-nilai rumah, merupakan arah masuk ke
hunian.
Ditengah-tengah hunian terdapat natah (court garden) yang merupakan pusat dari hunian. Umah
Meten untuk ruang tidur kepala keluarga, atau anak gadis. Umah meten merupakan bangunan
mempunyai empat buah dinding, sesuai dengan fungsinya yang memerlukan keamanan tinggi
dibandingkan ruang-ruang lain (tempat barang-barang penting & berharga). Pada bagian ini
terdapat bangunan Jineng (lumbung padi) dan paon (dapur). Berturut-turut terdapat bangunan-
bangunan bale tiang sangah, bale sikepat/semanggen dan Umah meten. Tiga bangunan (bale
tiang sanga, bale sikepat, bale sekenam) merupakan bangunan terbuka.
Pada pintu masuk (angkul-angkul) terdapat tembok yang dinamakan aling-aling, yang tidak saja
berfungsi sebagai penghalang pandangan ke arah dalam (untuk memberikan privasi), tetapi juga
digunakan sebagai penolak pengaruh-pengaruh jahat/jelek. Hadirnya aling-aling ini, menutup
bukaan yang disebabkan oleh adanya pintu masuk. Sehingga dilihat dari dalam hunian, tidak ada
perembesan dan penembusan ruang. Keberadaan aling-aling ini memperkuat sifat ruang positip
yang ditimbulkan oleh adanya dinding keliling yang disebut oleh orang Bali sebagai penyengker.
Ruang di dalam penyengker, adalah ruang dimana penghuni beraktifitas. Adanya aktifitas dan
kegiatan manusia dalam suatu ruang disebut sebagai ruang positip. Penyengker adalah batas
antara ruang positip dan ruang negatif.
Fungsi Manifes dan Fungsi Laten Pintu Tradisional Bali
Pintu gerbang dilengkapi dengan dua patung Dwarapala lengkap dengan gadanya sebagai
penjaga pintu gerbang untuk menambah kesan “angker” dan mempertegas bukan sembarang
orang dapat masuk ke dalam rumah. Tetapi, bisa juga dipilih patung dewi yang terasa lebih
manis, cantik, dan eksotik, sekaligus menghilangkan kesan angker gerbang.
Pada bangunan tradisional, sebelum memasuki halaman rumah, kita biasanya melewati pintu
gerbang. Dalam pemahaman sederhana, filosofi pintu gerbang dimasukkan sebagai ruang
perantara (pembersih diri) sebelum memasuki ruang suci, yakni rumah sebagai kediaman pribadi
yang sakral. Sakral, karena rumah hanya dapat dimasuki oleh orang-orang tertentu, tidak
sembarang orang dapat keluar masuk ke dalam rumah. Maka pintu gerbang pun dibuat dalam
skala manusia, hanya cukup untuk dilalui manusia secara bergantian (budaya antre).
Anak tangga pintu gerbang cenderung dari lebar menyempit naik ke arah pintu utama, kemudian
turun melebar kembali. Ini merupakan agar kita bisa lebih hati – hati menaiki tangga dan bisa
bergantian dan antri, apalagi yang diterapkan pada pintu masuk angkul – angkul bangunan suci
agar kita bias lebih tenang memasuki kawasan suci dan tidak saling mendahului sehingga kita
benar – benar bisa sembhayang dengan hening dan khidmat.
Dalam rumah tangga untuk mencapai pintu gerbang pun menandakan sebuah pencapaian hidup,
rumah sebagai status sosial, harus melalui tahapan-tahapan yang melelahkan dan membutuhkan
kesabaran. Secara filosofi, kesuksesan penghuni rumah tidak bisa diperoleh secara instan
(dadakan, jalan pintas, tiba-tiba) untuk mencapai kebahagiaan hidup.
Pada pintu masuk ruang kamar, hampir sama dengan pintu gerbang atau angkul – angkul, kadang
sengaja dibuat lebih pendek dan ada undakan kecil pada bagian kaki, ini menandakan bahwa
seseorang yang akan memasuki wilayah privat agar berhati – hati dan “menunduk” yang artinya
“hormat” pada penghuni rumah.

Anda mungkin juga menyukai