Anda di halaman 1dari 51

MODUL PENDIDIKAN DAN PELATIHAN

PROFESI GURU
(PLPG)

MATA PELAJARAN PKn


1. Konstitusi Yang Pernah digunakan Di Indonesia
2. Dampak Globalisasi Dalam Kehidupan Bermasyarakat,
Berbangsa, dan Bernegara.
3. Ideologi Nasional

Oleh :
Drs. SUGIARYO SH, M.Pd
BAB I
PENDAHULUAN

UU RI No. 20 tahun 2003, UU RI No. 14 tahun 2005 dan Peraturan


pemerintah No. 19 tahun 2005 mengamanatkan bahwa, guru wajib memiliki
kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran. Persyaratan
kualifikasi akademik bagi seorang guru, dibuktikan dengan ijasah minimal S-1 / D4.
Kompetansi sebagai agen pembelajaran mencakup kompetensi pokok, yaitu
kompetensi paedagogik, personal, sosial, dan profesional. Selain itu, seorang guru
juga harus memiliki sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani serta memiliki
kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Berdasarkan prosedur sertifikasi yang telah ditetapkan dalam pedoman
sertifikasi guru dalam jabatan, peserta sertifikasi yang belum mencapai skor minimal
kelulusan, wajib mengikuti pendidikan dan pelatihan profesi guru (PLPG) yang
diakhiri dengan ujian, baik ujian tulis maupun ujian kinerja. Adapun materi PLPG
meliputi materi umum dan materi pokok. Materi umum meliputi pengembangan
profesionalitas guru, sedangkan materi pokok antara lain meliputi pendalaman materi
mata pelajaran yang belum dikuasai oleh sebagian guru.
Berdasarkan hasil pemantauan di lapangan, serta hasil wawancara dengan
beberapa guru, materi pembelajaran khususnya PKn bagi guru SMP/MTs,
SMA/SMK/MA yang masih perlu ditingkatkan penguasaannya antara lain adalah
materi pokok tentang konstitusi yang pernah digunakan di Indonesia, pelaksanaan
demokrasi dalam berbagai aspek kehidupan, pelaksanaan otonomi daerah, ideologi
nasional serta dampak globalisasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
Dalam rangka membantu penguasaan materi tersebut di atas, panitia telah
menyusun modul secara singkat sesuai dengan materi pokok tersebut di atas. Melalui
materi pokok modul konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia diharapkan guru
mampu menganalisis penyimpangan-penyimpangan terhadap konstitusi yang berlaku
di Indonesia, menunjukkan hasil-hasil amandemen UUD 1945 serta menunjukkan
sikap positif terhadap pelaksanaan UUD 1945 hasil amandemen. melalui modul
ideologi nasional, diharapkan guru mampu menddeskripsikan Pancasila sebagai
ideologi terbuka, menganalisis pancasila sebagai sumber nilai dan paradigma
pembangunan serta menampilkan sikap positif terhadap pancasila sebagai ideologi
terbuka. Melalui materi pokok modul pelaksanaan demokrasi dalam berbagai aspek
kehidupan, diharapkan guru mampu menunjukkan pentingnya kehidupan demokratis
dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta sikap positif dalam pelaksanaan
demokrasi di berbagai aspek kehidupan. Melalui materi pokok modul pelaksanaan
otonomi daerah, diharapkan guru mampu mendeskripsikan hakekat otonomi daerah
serta pentingnya partisipasi masyarakat dalam merumuskan kebijakan publik di
daerah. Melalui materi pokok modul dampak globalisasi dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, diharapkan guru mampu mendeskripsikan
dampak positif dan negatif globalisasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara serta mampu menunjukkan sikap positif terhadap dampak globalisasi.
Agar materi pokok dalam modul ini dapat dikuasai dengan baik, maka
strategi yang dapat dilakukan oleh guru adalah memperbanyak membaca referensi
yang relevan, maupun melakukan diskusi dengan teman sejawat.
BAB II
MATERI PELATIHAN

A. KONSTITUSI YANG PERNAH DIGUNAKAN DI INDONDESIA


Dalam sejarahnya, Indonesia pernah mengalami beberapa kali
perubahan konstitusi. Perubahan ini dilakukan karena beberapa alasan : (1).
Secara historis, memang pendiri negara mendesain konstitusi bersifat
sementara dan ditetapkan dalam suasana tergesa-gesa, (2). Secara yuridis,
konstitusi Indonesia (UUD 1945) menganut prinsip dan mekanisme
perubahan konstitusi (pasal 37), (3). Secara filosofis, ide dasar dan substansi
konstitusi (UUD 1945) telah mencampuradukkan paham kedaulatan rakyat
dengan paham integralistik, (4). Secara praktis politis, karena konstitusi itu
tidak dijalankan secara murni dan konsekuen (Muhtar Pabottinggi, 1998).
Dengan kata lain, ruh dan pelaksanaan konstitusinya, jauh dari paham
konstitusi itu sendiri (Dahlan Thaib, 2004). Oleh karena itu, meskipun
dilakukan perubahan, tidak akan berarti apa-apa jika aparat dan
masyarakatnya tidak ada niat untuk melaksanakannya. Adnan Buyung
Nasution (1995) dalam desertasinya menyatakan bahwa, pemerintahan yang
konstitusional bukanlah pemerintahan yang sekedar sesuai dengan bunyi
pasal-pasal konstitusi, melainkan pemerintahan yang sesuai dengan bunyi
konstitusi yang memang menurut esensi-esensi kontitusionalisme.
Pertanyaannya adalah ; Konstitusi-konstitusi apa saja yang pernah digunakan
di Indonesia ? Apa saja yang melatarbelakangi perubahan konstitusi tersebut ?
Di manaka perubahan tersebut ? serta bagaimana sikap masyarakat terhadap
perubahan tersebut ?
1. Konstitusi yang pernah digunakan di Indonesia
Sebelum dipaparkan berbagai konstitusi yang pernah digunakan di
Indonesia, ada baiknya dibahas lebih dulu pengertian, bentuk, tujuan, fungsi,
nilai dan materi yang dimuat dalam konstitusi.
a. Pengertian Konstitusi.
Pada jaman Yunani penggunaan istilah (konstitusi) berkaitan dengan
semboyan ”Prinsep Legibus Solutus est, Salus Publica Supreme Lex” yang
artinya rajalah yang berhak menentukan organisasi daripada negara, karena
raja adalah satu-satunya pembuat undang-undang (Moh. Kusnadi dan Harmaily
Ibrahim, 1983: 62). Dengan demikian dapat dikatakan antara negara dan
konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan (Sri Soematri,
1984: 1).
E.C.S Wade mengartikan konsitusi sebagai satu dokumen yang
merupakan kerangka dasar yang menampilkan sanksi hukum khusus dan
prinsip dari fungsi-fungsi lembaga-lembaga pemerintahan negara dan
menyatakan pula prinsip-prinsip yang mengatur cara kerja lembaga lain (E.C.S
Wade& G. Godfray Philips, 1987: 1). Hans Kelsen menyatakan bahwa
konstitusi negara biasanya juga disebut sebagai hukum fundamental negara,
yaitu dasar dari tata hukum nasional. Konstitusi secara yuridis, dapat pula
bermakna sebagai norma yang mengatur proses pembentukan undang-undang,
disamping mengatur pembentukan dan kompetensi dari organ-organ eksekutif
dan yudikatif (Hans Kelsen, 1995: 258).
Michael J. Perry mengungkapkan dengan jelas bahwa konstitusi
merupakan tindakan politik yang tidak semata-mata menetapkan konfigurasi
khusus dari kata-kata, tatapi juga berbicara mengenai norma khusus (Michael
J. Perry, 1998: 100). Herman Heller menjelaskan bahwa konstitusi memiliki
arti yang lebih luas daripada UUD. Konstitusi mengandung pengertian dalam
arti politis-sosiologis, yuridis dan sebagai suatu undang-undang tertinggi yang
berlaku dalam suatu negara (Muh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1988).
C.F. Strong (1966) menyatakan bahwa konstitusi merupakan kumpulan asas-
asas yang menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan, hak-hak dari yang
diperintah serta hubungan antara pemerintah dengan yang diperintah. Ahli
lain, K.C. Wheare (1975) mengartikan konstitusi sebagai keseluruhan
ketatanegaraan dari suatu negara yang berupa kumpulan peraturan-peraturan
yang membentuk, mengatur, atau memerintah dalam pemerintahan suatu
negara.
Berdasarkan pendapat dari para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa
konstitusi adalah : (1). Merupakan kumpulan kaidah yang memberikan
batasan kepada para penguasa, (2). Dokumen tentang pembagian tugas dari
lembaga-lembaga negara, (3). Deskripsi tentang hak-hak asasi manusia.

b. Bentuk Konstitusi.
Bentuk konstitusi ada beberapa macam, K.C. Wheare (1975)
mengungkapkan ada beberapa bentuk konstitusi, yakni : (1). Konstiusi tertulis
dan tidak tertulis, (2). Konstitusi feksibel dan konstitusi rigid, (3). Konstitusi
derajat tinggi dan konstitusi tidak derajat tinggi, (4). Konstitusi serikat dan
konstitusi kesatuan, dan (5). Konstitusi sistem pemerintahan presidensial dan
konstitusi sistem pemerintahan parlementer.

c. Tujuan Konstitusi.
Tujuan konstitusi dari suatu negara pada prinsipnya adalah untuk
membatasi kewenangan tindakan pemerintah untuk menjamin hak-hak yang
diperintah dan merumuskan pelaksanaan kekuasaan yang berdaulat
(Kurniatmanta Soetopawiro, 1987). Pendapat yang hampir sama juga
dikemukakan oleh Karl Loewensten di dalam bukunya “Polical Power and
The Govermental Process”, bahwa konstitusi itu adalah suatu sarana dasar
untuk mengawasi proses-proses kekuasaan (Dahlan Thaib, 2004).
d. Fungsi Konstitusi.
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, konstitusi memiliki fungsi
yang sangat penting, baik sebelum pendirian negara maupun sesudah
pendirian negara, yakni (1). Sebagai suatu perjanjian atau kesepakatan untuk
mendirikan negara, (2). Dokumen resmi tentang pendirian negara, (3).
Sebagai pokok kaidah negara yang mendasar, dasar negara, asas dan tujuan
negara dan bentuk negara serta asas politik negara, dan (4). Sebagai rujukan
bagi peraturan perundang-undangan di bawahnya. Ini berarti, segala peraturan
hukum dan perundang-undangan negara harus berdasarkan pada konstitusi
dan tidak boleh bertentangan.
Fungsi dan kedudukan konstitusi menurut komisi konstitusi MPR RI,
adalah sebagai berikut: (1) sebagai dokumen nasional yang mengandung
perjanjian luhur dan aspek fundamental yang menjadi tujuan negara, (2)
sebagai piagam kelahiran baru, (3) sebagai sumber hukum tertinggi, (4)
sebagai identitas nasional dan lambang persatuan, (5) sebagai alat untuk
membatasi kekuasaan, (6) sebagi pelindung HAM dan kebebasan warga
negara, (7) sebagai pengatur hubungan kekuasaan antar organ negara, (8)
sebagai pemberi atau sumber legitimasi terhadap kekuasaan negara, (9) sebagai
penyalur dan pengalih kewenangan dan sumber kekuasaan yang asli kepada
organ negara , (10) sebagai rujukan identitas dan keagungan kebangsaan, dan
(11) sebagai pusat upacara (MPR RI, 2004: 12).
Shepherd L. Witman dan John J. Wuest berpendapat bahwa fungsi
terpenting dari konstitusi adalah menetapkan prinsip-prinsip dasar bagi
organisasi dan sikap tindakan pemerintah (Stepherd L. Eitman dan John J.
Wuest, 1963: 5).

e. Nilai Konstitusi.
Karl Loewensten, membagi tiga jenis penilaian terhadap suatu
konstitusi, yaitu nilai normatif, nilai nominal dan nilai semantic. Dikatakan
mengandung nilai normatif apabila konstitusi itu secara resmi diterima oleh
suatu bangsa dan berlaku bukan saja dalam arti hukum, tetapi dilaksanakan
secara murni dan konsekuen. Dikatakan mengandung nilai nominal, apabila
konstitusi menurut hukum memang berlaku, tetapi dalam kenyataannya tidak
sempurna. Dikatakan mengandung nilai semantic apabila konstitusi itu secara
hukum tetap berlaku, akan tetapi dalam kenyataannya hanya sekedar untuk
memberi bentuk dari tempat yang telah ada atau hanya sebagai kedok untuk
melaksnakan kekuasaan politik.

f. Materi Yang dimuat dalam Konstitusi


Konstitusi (Undang-Undang Dasar) berisi tiga hal pokok yaitu: (1)
adanya jaminan terhadap HAM dan warga negara, (2) ditetapkannya susunan
ketatanegaraan yang bersifat fundamental, dan (3) adanya pembagian dan
pembatasan tugas ketatanegaraan yang juga bersifat fundamental (Sri
Soemantri, 11984: 45). Pendapat yang hampir sama juga dikemukakan oleh
C.F Strong, bahwa Undang-Undang Dasar berisi tiga hal, yaitu: First, how the
various agencies are organized; Secondly, what power is entrusted to those
agencies; and thirty, in what manner such power is to be exercised (C.F
Strong, 1966: 10). Bagir Manan dan Kuntana Magnar berpendapat bahwa
Undang-Undang Dasar berisi: (1) dasar-dasar mengenai jaminan terhadap
HAM dan warga negara, (2) dasar-dasar susunan dan organisasi negara, (3)
dasar-dasar pembagian dan pembatasan kekuasaan lembaga-lembaga negara,
dan (4) hal-hal yang menyangkut identitas negara seperti bendera dan bahasa
nasional (Bagir Manan dan Kuntana Magnar, 1995: 45). Selain itu konstitusi
juga dapat berisi pengaturan tentang sistem ketatanegaraan (I Gede Pantja
Astawa, 2000: 3).
Struycken, mengemukakan bahwa konstitusi tertulis atau UUD
merupakan dokumen formal yang berisi : (1). Hasil perjuangan bangsa di
waktu lampau, (2). Keputusan politik tertinggi ketatanegaraan suatu bangsa,
(3). Pandangan tokoh-tokoh bangsa yang hendak diwujudkan, (4). Suatu
keinginan kehidupan ketatanegaraan bangsa yang hendak diwujudkan, dan
(5). Sebagai alat yang berisi sistem politik dan sistem hukum yang hendak
diwujudkan (Sri Sumantri, 1996). Menurut Mr. J.G. Steenbeek, menjelaskan
bahwa pada umumnya konstitusi itu berisi tiga hal pokok, yaitu : pertama,
adanya jaminan hak asasi manusia dan warga negaranya, kedua
ditetapkannya susunan kenegaraan yang bersifat fundamental, dan ketiga
adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang juga bersifat
fundamental. Ahli lain, Meriam Budiharjo (1991), menyebutkan bahwa setiap
UUD memuat ketentuan-ketentuan mengenai : (1). Organisasi negara, (2).
Hak asasi manusia, (3). Prosedur mengubah UUD dan adakalanya memuat
larangan untuk mengubah sifat tertentu dari UUD.
Secara de facto, negara Indonesia berdiri sejak 17 Agustus 1945 akan
tetapi secara de jure baru berdiri tanggal 18 Agustus 1945, karena pada
tanggal inilah PPKI sebagai lembaga tertinggi negara menetapkan Undang-
undang Dasar negara Republik Indonesia yang dikenal dengan UUD 1945.
Dalam sejarah perkembangannya, konstitusi ketatanegaraan yang pernah
berlaku di Indonesia antara lain :
1. UUD 1945 (periode pertama berlaku 18 Agustus
1945 sampai 27 Desember 1949).
2. UUD RIS atau konstitusi RIS, berlaku sejak 27
Desember 1949 sampai 17 Agustus 1950.
3. UUDS 1950, berlaku sejak 17 Agustus 1950 sampai
5 Juli 1959.
4. UUD 1945 (periode II) mulai 5 Juli 1959 sampai
tahun 2000 dan UUD 1945 Amandemen mulai
tahun 2000 sampai sekarang.

2. Alasan-alasan Dasar dilakukan Perubahan (amandemen) Konstitusi


Amandemen Undang-Undang Dasar mempunyai banyak arti,
amandemen tidak saja berarti “menjadi lain isi serta bunyi” tetapi juga
mengandung sesuatu yang merupakan tambahan pada ketentuan-ketantuan
Undang-Undang Dasar (Sri Soemantri, 1984: 122).
Dalam Undang-Undang Dasar 1945 tidak dikenal istilah amandemen,
yang ada istilah perubahan. Sri Soemantri, menjelaskan bahwa mengubah
Undang-Undang Dasar 1945 tidak hanya mengandung arti menambah,
mengurangi, atau mengubah kata-kata dan istilah ataupun kalimat dalan
Undang-Undang Dasar, mengubah konstitusi berarti membuat isi konstitusi
dari semula melalui penafsiran (Sri Soemantri, 1984: 1996).
Taufiqurahman, menyatakan bahwa istilah perubahan, dapat
diklasifikasikan ke dalam 7 istilah, yaitu: Amandemen (perubahan), Revisi
(perbaikan), Alteration (pembenahan), Reform (perbaikan), Change
(pengartian), Modified (modifikasi), dan Revier (tinjauan) (Taufiqurahman,
2003: 102).
Perubahan suatu Undang-Undang Dasar atau konstitusi pada
dasaranya dapat dilihat dari dua sisi, yakni perubahan secara material dan
perubahan formal (Donal A. Rumokoy, 1998: 336). Perubahan secara material
dapat berlangsung menurut beberapa bentuk antara lain: penafsiran,
perkembangan tingkat, konvensi ketatanegaraan. Sedangkan perubahan secara
formil, lazimnya ditentukan di dalam konstitusi yang bersangkutan.
Terdapat dua sistem perubahan Undang-Undang Dasar, yakni: (1)
perubahan yang dilakukan langsung terhadap Undang-Undang Dasar lama.
Jika ada pasal-pasal Undang-Undang Dasar lama yang perlu dirubah,
perubahan akan langsung dilengkapi terhadap pasal itu, (2) perubahan tidak
dilakukan langsung terhadap Undang-Undang Dasar lama. Dengan demikian,
meskipun telah diadakan perubahan, tetapi Undang-Undang Dasar lama tetap
berlaku. Perubahan melalui istilah ini dilakukan melalui amandemen terhadap
Undang-Undang Dasar lama. Kemudian amandemen ini dicantumkan di bagian
belakang atau akhir dan menjadi bagian yang tidak tepisahkan dari Undang-
Undang Dasar. Model ini yang dilakukan tehadap Undang-Undang Dasar
1945.
Perihal cara perubahan terhadap Undang-Undang Dasar, C.F. Strong,
mengemukakan bahwa ada empat cara perubahan terhadap Undang-Undang
Dasar, yaitu: (1) dilakukan oleh lembaga legislatif yang ada dengan
pembatasan (by the ordinary legislature but under certain retrition), (2)
dilakukan oleh rakyat melalui referendun (by the people through a
referendum), (3) dilakukan oleh sebagian besar dari negara federal (by a
majority of all unit of a federal state), (4) dilakukan oleh suatu badan khusus
(by a special consention) (C.F. Strong, 1964: 148).
K.C Wheare, juga mengemukakan empat cara tentang Undang-
Undang dapat dilakukan perubahan,, yaitu: (1) melalui beberapa kekuatan
penting (some primary forces), (2) melalui formal amandemen (formal
amandement), (3) melalui penafsiran judisial (judisial interpretation), dan (4)
melalui kebiasaan dan adat istiadat (usage and customs) (K.C Wheare, 2000:
103-108).
Secara lebih sederhana, dikemukakan oleh Jellinek dalam bukunya
Verfassung Sanderung Und verfassung Swandlung, sebagaimana dikutip oleh
Ismail Suny, disebutkan ada dua cara suatu Undang-Undang Dasar dilakukan
perubahan, yaitu: (1) perubahan Undang-Undang dilakukan dengan sengaja,
dengan cara yang disebut dalam Undang-Undang Dasar itu sendiri, dan (2)
perubahan Undang-Undang Dasar dengan cara yang tidak terdapat dalam
Undang-Undang Dasar, tetapi melalui cara-cara istimewa, seperti revolusi,
Coup d’etat dan sebagainya (Ismail Suny , 1981: 41). Sedangkan Ismail Suny
sendiri, mengemukakan bahwa proses perubahan Undang-Undang Dasar dapat
terjadi dengan beberapa cara yaitu,: (1) perubahan resmi, (2) penafsiran hakim,
dan kebiasaan ketatanegaraan/konvensi (Moh. Kusnardi, dan Harmaly Ibrahim,
1983: 85).
Pendapat yang senada juga dikemukakan oleh Miriam Budiardjo.
Menjelaskan bahwa terdapat bermacam-macam prosedur unntuk mengubah
Undang-Undang Dasar antara lain: (1) melalui sidang badan legislatif, dengan
persyaratan tertentu, (2) melalui referendum atau plebisit, (3) melalui negara,
negara bagian dalam negara federal, dan (4) melalui musyawarah khusus
(Miriam Budiardjo , 2002: 15).
Berbagai cara perubahan terhadap Undang-Undang Dasar
sebagaimana yang dikemukakan oleh beberapa ahli tersebut adalah dalam
rangka untuk melindungi Undang-Undang Dasar, agar Undang-Undang Dasar
tidak begitu saja dapat diubah. Mochtar Kusumaatmadja mengemukakan
bahwa perubahan Undang-Undang Dasar tidak boleh dilakukan sekehendak
hati melainkan harus menemukan kriteria tertentu, yakni: (1) adanya keperluan
yang mendesak, (2) kelayakan, dan (3) perubahan yang pokok (Mochtar
Kusumaatmadja, 1986: 12).
Ellidar Chaidir, mengemukakan bahwa alasan-alasan dasar
(paradigma) yang dapat dijadikan pertimbangan dilakukan perubahan terhadap
Undang-Undang Dasar termasuk juga Undang-Undang Dasar 1945 adalah
sebagai berikut: (1) paradigma kedaulatan rakyat dengan prinsip demokrasi
yang tidak semata-mata representatif, tetapi juga partisipatif, (2) paradigma
negara hukum, dengan supremasi hukum yang adil dan responsif, (3)
paradigma pembatasan kekuasaan sebagai cermin konstitusionalisme dengan
prinsip chek and balances, (4) paradigma konstitusi yang berbasis HAM
sebagai perwujudan kehendak sosial, dan (5) paradigma pruralisme dengan
semangat toleransi dan anti diskriminasi (Ellidar Chaidir, 2007: 72).
Sejak disahkannya Undang-Undang Dasar 1945 pada tanggal 18
Agustus 1945, hingga sampai saat ini telah mengalami beberapa kali perubahan
baik perubahan dalam bentuk praktek maupun perubahan teks yang tertulis
dalam Undang-Undang Dasar 1945 itu sendiri.
Perubahan dalam bentuk praktek ketatanegaraan telah terjadi pada
tanggal 16 Oktober 1945. Dalam hal ini Wakil Presiden atas usul KNP, pada
hari yang sama telah mengumumkan Maklumat No X yang menyatakan bahwa
KNP, sebelum terbentuknya MPR dan DPR diserahi kekuasaan legislatif dan
ikut menetapkan garis besar daripada haluan negara. Maklumat itu juga
menetapkan bahwa KNP berhubung dengan gentingnya keadaan
mendelegasikan kekuasaanaya, kepada sebuah badan pekerja yang dipilih
diantara mereka dan yang bertanggung jawab kepada KNP (Ismail Suny, 1981:
28).
Dengan keluarnya maklumat Wakil Presiden No X tersebut,
kekuasaan presiden, yang menurut A.K Pringgodigdo, saat itu dikatakan
diktatorial, maka dengan keluarnya Maklumat Wakil Presiden No X,
mengalami kemunduran, karena harus membagi kekuasaannya dengan KNP
atau badan pekerjanya (A.K Pringgodigdo, 1956: 1).
Perubahan dalam bentuk praktek juga terjadi pada tanggal 11
Nopember 1945, yakni pada saat ketua badan pekerja mengusulkan kepada
presiden adanya sistem pertanggung jawaban Menteri kepada parlemen (KNP).
Usulan tersebut diterima dengan baik oleh presiden, sehingga dengan
diterimanya usulan tersebut maka dimulai pertanggung jawaban para menteri
kepada KNP dalam susunan pemerintahan negara Republik Indonesia.
Sebagai akibat dari perubahan tersebut maka, dikeluarkanlah
maklumat pemerintah pada tanggal 14 Nopember 1945, yakni kabinet
Presidentiil dibawah Presiden Soekarno. Diganti kabinet baru, dengan Sultan
Syahrir sebagai Perdana Menteri.
Harun Alrasid mengemukakan bahwa pada tahun 1973 dan tahun
1983, Undang-Undang Dasar 1945 juga pernah mengalami perubahan praktek
yaitu: (1) perubahan kriteria telah berusia 40 tahun bagi Presiden maupun
Wakil Presiden dalam Ketetapan MPR No II/MPR/1973. ini berarti merubah
pasal 6 Undang-Undang Dasar 1945, (2) pengutamaan tata cara pengambilan
keputusan dengan musyawarah untuk mufakat dalam ketetapan MPR No
I/MPR/1983, berarti merubah pasal 2 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 yang
menegaskan bahwa segala putusan MPR ditetapkan dengan suara terbanyak,
(3) penetapan wewenang MPR untuk memberhentikan Presiden dalam
Ketetapan MPR No I /MPR/1983. berarti mengubah Pasal 8 Undang-Undang
Dasar 1945 (Harun Alrasyid, suara Pembaharuan, 24 Juni 1999). Demikian
pula Ismail Suny mengemukakan bahwa pembatasan masa jabatan Presiden
dan Wakil Presiden Republik Indonesia dalam Ketetapan MPR Republik
Indonesia No XIII/MPR/1998 adalah merupakan perubahan dari Pasal 7
Undang-Undang Dasar 1945 (Ismail Suny, Kompas 25 september 1999).
Perubahan sebagaimana yang dikemukakan oleh beberapa pakar
tersebut, oleh MPR tidak pernah dinyatakan sebagai suatu perubahan-
perubahan terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Karena baru dinyatakan
secara tegas pada tanggal 19 Oktober 1999 yakni ketika mengeluarkan
perubahan pertama Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Karena tidak ada bentuk hukum yang sederajad dengan Undang-Undang
Dasar, maka perubahan tehadap Undang-Undang Dasar 1945 diberi bentuk
perubahan atau amandemen. Dengan demikian akan tedapat perubahan
pertama, perubahan kedua, perubahan ketiga, dan perubaan keempat.
Dalam ilmu hukum terdapat satu asas, yaitu bahwa suatu peraturan
perundag-undangan hanya dapt diubah atau dicabut oleh peraturan perundang-
undangan yang sederajad atau lebih tinggi derajadnya (Ellidar Chaidir, 2007:
96). Dilihat dari asas ini adalah logis apabila perubahan undang-undang dasar
diatur serta dituangkan dalam Undang-Undang Dasar. Oleh karena itu ada
kemungkinan MPR menggunakan bentuk Undang-Undang Dasar untuk
mengubah Undang-Undang Dasar 1945. Jika demikian, maka akan ada lebih
dari satu Undang-Undang Dasar. Yang pertama adalah Undang-Undang Dasar
1945, yang kemudian dilengkapi dengan Undang-Undang Dasar yang berisi
perubahan Undang-Undang Dasar yang pertama (Sri Soemantri, 1987).
Adapun dasar pemikiran yang melatarbelakangi dilakukannya perubahan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahunn 1945 anatara lain:
(1) karena adanya struktur ketatanegaraan yang bertumpu pada MPR sebagai
pemegang kekuasaan tertinggi dan pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat,
maka berakibat tidak adanya saling mengawasi dan saling mengimbangi (cheks
and balances) institusi-insitusi kenegaraan, (2) kekuasaan presiden sangat
dominan (eksekutif heavy), yakni sebagai pemegang kekuasaan eksekutif,
legislatif sekaligus memiliki kekuasaan dibidang yudikatif, (3) karena sifat
luwes dari Undang-Undang Dasar 1945, berakibat timbulnya multi tafsir, (4)
karena presiden juga memegang jabatan legislatif, maka pengajuan RUU selalu
berasal dari Presiden, dan (5) dalam Undang-Undang Dasar 1945, belum cukup
memuat aturan dasar tentang kehidupan demokratis, supremasi hukum,
pemberdayaan rakyat, penghormatan HAM dan otonomi daerah (MPR RI,
2007: 6-7).
Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 bertujuan untuk: (1)
menyempurnakan aturan dasar mengenai tatanan negara dalam mencapai
tujuan nasional, (2) menyempurnakan aturan mengenai jaminan dan
perlindungan HAM, (3) menyempurnakan aturan dasar mengenai
penyelenggaraan negara secara demoktaris dan modern, (4) menyempurnakan
aturan dasar mengenai jaminan konstitusi dan kewajiban negara mewujudkan
kesejahteraan sosial, mencerdaskan kehidupan bangsa, menegakkan etika,
moral dan solidaritas, (5) melengkapi aturan dasar bagi eksistensi negara dan
perjuangan negara dalam mewujudkan demokrasi, dan (6) menyempurnakan
aturan dasar mengenai kehidupan bernegara dan berbangsa, sesuai dengan
aspirasi kebutuhan serta kepentingan bangsa dan negara.
Dasar yuridis perubahan Undang-Undang Dasar 1945 adalah ketentuan
Pasal 37 Undang-Undang Dasar 1945 yang mengatur dan prosedur perubahan
Undang-Undang Dasar 1945. Adapun kesepakatan perubahan dasar dalam
perubahan Undang-Undang Dasar 1945 adalah: (1) tidak mengubah
pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945,
(2) tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia, (3)
mempertegas sistem pemerintahan presidentiil, (4) penjelasan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang memuat hal-hal
normatif akan dimasukkan dalam pasal-pasal (batang tubuh), dan (5)
melakukan perubahan dengan cara adendum (MPR RI, 2007: 7-8).

3. Hasil-hasil Amandemen UUD 1945


Proses pelaksanaan amandemen UUD 1945 dilakukan oleh MPR
dalam empat tahap. Tahap pertama; tertanggal 14 – 21 Oktober 1999.
perubahan tersebut dikuatkan dengan keputusan MPR tanggal 19 Oktober
1999. Perubahan ini meliputi beberapa pasal, antara lain pasal 5 ayat (1),
7,9,13 ayat (2), 14, 15, 17 ayat (2) dan (3), 20 dan 21 UUD 1945. Tahap
kedua; dilakukan pada sidang tahunan MPR tahun 2000 yang dikuatkan
dengan keputusan MPR tanggal 18 Agustus tahun 2000. Perubahan ini
meliputi pasal 6A ayat (1), 18, 18A, 18B, 19, 20 ayat (5), 20A, 22A, 22B,
25A, 26 ayat (3), 27 ayat (3), 28A-28J, 30, 36A, dan 36B. Tahap ketiga; tahap
ini merupakan kelanjutan dari amandemen kedua yang dilakukan oleh badan
pekerja MPR dan selanjutnya diputuskan dalam sidang tahunan MPR tahun
2001. Perubahan ini meliputi pasal 1 ayat (2) dan (3), 3, 6, 6A, 7A, 7B, 8 ayat
(1) dan (2), 11, 17 ayat (4), 22C, 22D, 22E, 23, 23A, 23C, 23E, 23F, 23G, 24
ayat (1) dan (2), 24A, 24B dan 24C. Tahap keempat; tahap ini merupakan
kelanjutan perubaham dari tahap ke tiga yang ditetapkan tanggal 10 Agustus
2002 dalam sidang tahunan MPR tahun 2002. Perubahan ini meliputi pasal 6A
ayat (4), 8 ayat (3), 11 ayat (1), 16, 23B, 23D, 24 ayat (3), 31, 32 ayat (1) dan
(2), 33 ayat (4) dan (5), 34, 37, aturan peralihan pasal I, II, dan III dan aturan
tambahan pasal 1 dan 2.

Berikut ini adalah perbandingan hasil-hasil amandemen UUD 1945.


No Muatan Materi Perbedaan yang Mendasar
Sebelum Amandemen Sesudah Amandemen
1 Pembukaan UUD 1945 Tetap (Tidak diamandemen) Tetap (Tidak diamandemen)
2 Bab I Bentuk dan Kedaulatan di tangan rakyat Kedaulatan rakyat
kedaulatan pasal 1 dan dilakukan sepenuhnya dilaksanakan menurut UUD
oleh MPR
Penegasan Indonesia negara
hukum
3 Bab II MPR Pasal 2 MPR terdiri atas anggota MPR terdiri atas anggota DPR
dan 3 DPR, utusan daerah dan dan DPD
utusan golongan
MPR menetapkan UUD dan MPR mengubah dan
GBHN menetapkan UUD
MPR Melantik Presiden dan
wakil presiden
4 Bab III Kekuasaan Presiden dan wakil presiden Presiden dan wakil presiden
pemerintahan Negara dipilih oleh MPR dengan dipilih dalam satu pasangan
suara terbanyak secara langsung oleh rakyat
Presiden dan wakil presiden
memegang jabatan selama
masa lima tahun dan
sesudahnya dapat dipilih
kembali dalam jabatan yang
sama untuk satu kali masa
jabatan
Tidak diatur tata cara Diatur tata cara pemberhentian
pemberhentian presiden dan presiden dan wakil presiden
wakil presiden dalam masa jabatan bila
melanggar hukum
Presiden mengangkat dan Dalam pengangkatan dan
menerima duta dan konsul, penerimaan duta dan konsul,
memberi grasi, amnesti, pemberian amnesti dan
abolisi, dan rehabilitasi abolisi, presiden harus
tanpa harus memperhatikan memperhatikan pertimbangan
pertimbangan DPR maupun DPR, pemberian amnesti dan
MA rehabilitasi harus
memperhatikan pertimbangan
MA
5 Bab IV DPA Mengatur masalah DPA Bab dan materi ini dihapus
(dewan pertimbangan
agung) beserta kewajibannya
6 Bab V Kementrian Menteri-menteri itu Setiap menteri membidang
Negara mempimpin departemen urusan tertentu dalam
pemerintah pemerintahan
7 Bab VI Pemerintah Hanya mengatur secara garis Dijabarkan tentang pemerintah
Daerah besar tentang pembagian daerah, DPRD, otonomi
daerah daerah dan hubungan antara
pemerintah pusat dan daerah
8 Bab VII DPR Setiap UU menghendaki DPR memegang kekuasaan
persetujuan DPR membentuk UU
Setiap rancangan UU dibahas
No Muatan Materi Perbedaan yang Mendasar
Sebelum Amandemen Sesudah Amandemen
1 Pembukaan UUD 1945 Tetap (Tidak diamandemen) Tetap (Tidak diamandemen)
DPR dan Presiden untuk
mendapat persetujuan bersama
Diatur fungsi DPR yaitu
fungsi legislasi, pengawasan
dan anggaran, serta hak-hak
DPR
9 Bab VIIB Pemilihan Tidak ada Mengatur masalah Pemilu,
Umum tujuan, asas dan KPU/Komisi
Pemilihan Umum
Tidak ada Mengatur masalah DPD
(Dewan Perwakilan Daerah)
10 Bab VIII Hak Tidak ada Diatur tentang bank sentral
Keuangan
11 Bab VIIIA BPK Materi digabung Bab VIII Mengatur masalah BPK
(badan pemeriksa keuangan)
12 Bab IX Kekuasaan Kekuasaan kehakiman Kekuasaan kehakiman
Kehakiman dilakukan oleh Mahkamah dilakukan oleh Mahkamah
Agung Agung dan Mahkamah
konstitusi
Tidak diatur Diatur kewenangan
Mahkamah Agung dan
Kewenangan Mahkamah
Konstitusi
Tidak diatur Hakim Agung diusulkan oleh
Komisi Yudisial
13 Bab X Warga Negara Hanya mengatur masalah Mengatur masalah warga
dan Penduduk warga negara negara dan penduduk
Dimasukkan dalam pasal 30 Diatur hak dan kewajiban ikut
ayat (1) serta dalam
14 Bab XA HAM Tidak ada Mengatur secara terperinci
tentang hak asasi manusia
(dari pasa 28, 28A sampai
28J). Upaya bela negara (pasal
27 ayat (3))
15 Bab XI Agama Negara berdasar atas Sama/tidak ada perubahan
Ketuhanan Yang Maha Esa
Kemerdekaan beragama dan
beribadah
16 Bab XII Pertahanan Mengatur usaha bela negara Mengatur pertahanan dan
dan Keamanan Negara kemanan (Sistem Hankam),
Tentara Nasional Indonesia
dan Polri
17 Bab XIII Pendidikan Mengatur hal pokok hak Kewajiban mengikuti
dan Kebudayaan dalam bidang pendidikan pendidikan dasar, hak di
dan kebudayaan bidang pendidikan,
kebudayaan nasional, dan
jaminan pemerintah untuk
menghormati bahasa daerah
No Muatan Materi Perbedaan yang Mendasar
Sebelum Amandemen Sesudah Amandemen
1 Pembukaan UUD 1945 Tetap (Tidak diamandemen) Tetap (Tidak diamandemen)
18 Bab XIV Pokok-pokok tentang asas Ada penambahan ayat yang
Perekonomian dan ekonomi, cabang produksi mengatur masalah prinsip-
kesejahteraan Sosial yang penting dikuasai negara prinsip demokrasi ekonomi.
serta mengatur masalah
bumi, air dan kekayaan alam
Fakir miskin dan anak Adanya jaminan sosial,
terlantar dipelihara oleh penyedia fasilitas kesehatan
negara dan pelayanan umum
19 Bab XV Bendera, Hanya mengatur masalah Mengatur masalah bendera,
bahasa dan lambang bendera dan bahasa bahasa, lambang negara, dan
negara serta lagu lagu kebangsaan.
kebangsaan
20 Bab XVI Perubahan Putusan terhadap UUD Putusan perubahan UUD
UUD dilakukan dengan dilakukan dengan persetujuan
persetujuan minimal 2/3 dari minimal lima puluh persen
jumlah anggota yang hadir ditambah satu dari semua
jumlah anggota MPR
Khusus untuk bentuk negara
kesatuan tidak dapat dilakukan
perubahan
21 Aturan peralihan Ada 4 pasal Ada 3 pasal, isinya berbeda
22 Aturan tambahan Ada dua ayat Ada dua ayat isinya berbeda
23 Penjelasan UUD Memuat penjelasan umum Tidak ada penjelasan
dan penjelasan pasal demi
pasal

4. Penyelewengan-penyelewengan Terhadap Konstitusi.


Pada bagian terdahulu telah dikemukakan, secara sepintas UUD 1945
telah mengatur seruan paham konstitusi yaitu anatomi kekuasaan tunduk pada
hukum (supremasi hukum) adanya jaminan dan perlindungan HAM, adanya
prinsip peradilan yang bebas dan menganut asas kedaulatan rakyat. Namun
dalam kenyataannya, prinsip-prinsip tersebut belum dilaksanakan, belum
dielaborasikan secara proporsional dalam praktek ketatanegaraan di
Indonesia. Beberapa kali pergantian konstitusi telah membawa dampak
terhadap sistem politik dan pemerintahan negara. Berkali-kali pergantian
konstitusi, berkali-kali pula terjadi penyelewengan-penyelewengan terhadap
konstitusi yang telah disusun dan disepakati bersama.
a. Penyimpangan konstitusi pada masa berlakunya UUD 1945 (18 Agustus
1945 – 27 Desember 1949) dapat dikemukakan : (1). Dengan pasal IV
aturan peralihan adalah bertentangan dengan pasal I ayat 2. Dalam pasal
IV aturan peralihan, tugas MPR dijalankan oleh Presiden dibantu Komite
Nasional. Jadi presiden berfungsi sebagai eksekutif, legislatif dan
konsultatif. Hal ini tidak sesuai dengan prinsip konstitusi negara
Indonesia, (2). Lembaga-lembaga negara belum berfungsi sebagaimana
mestinya, (3). Keluarnya maklumat pemerintah no 5 BPKNP 14
Nopember 1945 tentang perubahan sistem pemerintahan dari presidensial
menjadi parlementer yang ditandai dengan terbentuknya Kabinet Syahrir I.
b. Penyimpangan konstitusi pada masa berlakunya UUD RIS 1949 (27
Desember 1949 – 17 Agustus 1950), antara lain : (1). Terbentuknya
bentuk negara serikat yang bertentangan dengan konsep pendirian negara
kesatuan RI, (2). Pergantian UUD yang dipakai (UUD 1945) menjadi
UUD RIS (Konstitusi RIS 1949), (3). Berlakunya pemerintahan
parlementer yang tidak sejalan dengan semangat UUD 1945
(presidensial). Dampak dari peristiwa-peristiwa tersebut adalah kondisi
pemerintahan menjadi tidak stabil, selain itu juga muncul gerakan
separatis atau pemberontakan di berbagai daerah.
c. Penyimpangan konstitusi pada masa berlakunya UUDS 1950 (17 Agustus
1950 – 05 Juli 1959) antara lain, (1). Diterapkannya demokrasi liberal,
yaitu sistem demokrasi yang mengagungkan kebebasan mutlak individu
atau kelompok, (2). Diterapkannya sistem pemerintahan parlementer yang
mengakibatkan kondisi politik tidak stabil, kabinet yang dibentuk sering
berganti-ganti (kabinet jatuh bangun), program-program tidak dapat
berjalan.
d. Penyimpangan konstitusi pada masa berlakunya UUD 1945 (5 Juli 1959 –
11 Maret 1966) antara lain (1). Penyelenggaraan negara menganut sistem
demokrasi terpimpin yang dalam prakteknya menonjolkan peran
pemimpinnya, bila suatu musyawarah tidak mencapai mufakat maka
keputusan diserahkan kepada presiden sebagai pemimpin. Dengan
demikian demokrasi terpimpin tidak sesuIai dengan makna demokrasi itu
sendiri, (2). Dikeluarkannya penetapan presiden yakni penpres No. 1
tahun 1959 tentang DPRS, penpres No. 2 tahun 1959 tentang MPRS,
penpres No. 3 tahun 1959 tentang DPAS, (3). Pengangkatan presiden
seumur hidup (TAP MPRS No III/MPRS/1963), (4). Presiden
membubarkan DPR hasil pemilu 1955 (5 Maret 1960) dengan penpres No.
3 tahun 1960, (5). Pembentukan DPRGR dengan penpres No. 4 tahun
1960, (6). Ditetapkannya asas NASAKOM (nasionalisme, agama, dan
komunisme). Hal ini bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
e. Penyimpangan-penyimpangan konstitusi (UUD 1945) pada masa
berlakunya ORBA (11 Maret 1966 – 21 Mei 1998) antara lain : (1).
Keluarnya TAP MPR No. 1/MPR/1978 pasal 115, TAP MPR No.
1/MPR/1983 pasal 104 – 109, TAP MPR IV/MPR/1983 dan UU No. 5
tahun 1985 tentang referendum. Dalam ketentuan ini MPR tidak akan
mengubah UUD 1945, namun akan melaksanakan secara murni dan
konsekuen, dan jika MPR akan mengubah UUD 1945 harus minta
persetujuan kepada seluruh rakyat melalui referendum. Aturan ini tidak
sesuai dengan pasal 37 UUD 1945, (2). Dalam setiap pelaksanaan Pemilu
ada anjuran agar PNS untuk loyal pada salah satu parpol (monoloyalitas),
pada hal PNS adalah abdi negara dan abdi masyarakat, (3). Pengangkatan
anggota DPR dari unsur TNI/Polri.
f. Penyimpangan-penyimpangan konstitusi pada masa reformasi dari kurun
waktu 21 Mei 1998 sampai dengan sekarang antara lain; Kerja kabinet
sering tidak kompak, karena memiliki latar belakang partai yang berbeda.
Kondisi ini sering membuat presiden mengambil kebijakan dengan
mengganti menteri. Akibatnya, hubungan partai politik yang ada di DPR
dengan pemerintah tidak harmonis. Hal ini ditunjukkan DPR tidak percaya
kepada presiden sehingga DPR memberikan memorandum dan
selanjutnya diakhiri sidang istimewa.
5. Makna Amandemen bagi Kehidupan Negara RI
Bagi kehidupan negara RI, amandemen UUD 1945 memiliki makna
yang sangat penting, antara lain : (1). Memberi landasan yang tegas dan jelas
dalam penyelenggaraan negara, (2). Mendorong terwujudnya
penyelenggaraan negara hukum yang demokratis, (3). Meningkatkan jaminan
perlindungan HAM, karena perubahan ini telah banyak mengatur jaminan hak
asasi manusia, (4). Meningkatnya partisipasi warga negara dalam
pemerintahan, (5). Mendorong terwujudnya civil society yang merupakan
masyarakat otonom dalam hal hubungan sosial antarpribadi,
kewarganegaraan, dan kemasyarakatan tanpa intervensi dari pemerintah,
sehingga memiliki tanggungjawab bersama untuk mewujudkan kesejahteraan
masyarakat sesuai bidang dan profesi masing-masing.
6. Sikap Positif terhadap Pelaksanaan UUD 1945 Hasil Amandemen
Pada hakekatnya amandemen UUD 1945 adalah sebuah tuntutan
masyarakat yang menginginkan adanya kehidupan berbangsa dan bernegara
yang lebih baik. Dengan amandemen tersebut diharapkan terselenggaranya
negara hukum yang demokratis, terhindar dari sistem pemerintahan absolut,
terjaminnya pemerintahan yang jujur, bersih dan berwibawa, terciptanya
pengawasan pemerintahan yang efektif, terjaminnya perlindungan HAM,
meningkatnya partisipasi aktif warga negara dalam pemerintahan serta
terwujudnya masyarakat madani yang tertib, damai harmonis dan sejahtera.
Setelah terjadinya amandemen UUD 1945, maka konstitusi yang
berlaku saat ini diharapkan sesuai dengan tuntutan masyarakat. Namun
demikian, amandemen ini tidak akan ada artinya jika tidak dibarengi adanya
sikap positif dan dukungan dari seluruh warga negara, mulai dalam kehidupan
berkeluarga, sekolah, masyarakat berbangsa dan bernegara.
Bentuk partisipasi yang dapat dilakukan oleh setiap warga negara
dalam melaksanakan UUD yang diamandemen, dapat berupa partisipasi
positif, partisipasi negatif, partisipasi aktif maupun partisipasi pasif. Positif
artinya, warga negara dapat meminta agar negara mengusahakan sesuatu yang
menjadi haknya. Negatif artinya, warga negara berhak untuk menolak campur
tangan negara terutama menyangkut hak pribadi. Aktif artinya warga negara
turut aktif menentukan kebijakan publik baik langsung maupun tidak
langsung. Pasif artinya, warga negara harus patuh terhadap peraturan
perundangan yang berlaku. Adapun partisipasi warga negara terhadap
pelaksanaan UUD 1945, dapat meliputi berbagai aspek kehidupan, baik dalam
bidang politik, hukum, ekonomi, sosial budaya maupun di bidang pertahanan
keamanan.
B. DAMPAK GLOBALISASI DALAM KEHIDUPAN BERMASYARAKAT,
BERBANGSA DAN BERNEGARA
1. Hakekat Globalisasi
Globalisasi adalah merupakan suatu proses yang menempatkan
masyarakat dunia dapat menjangkau satu dengan yang lain dan saling
terhubungkan dalam semua aspek kehidupan mereka, baik dalam budaya,
ekonomi, politik, maupun lingkungan (Budi Winarno, 2004: 39).
Martin Khor menyebutkan bahwa terdapat dua ciri utama
globalisasi, yaitu : Pertama, peningkatan konsentrasi dan monopoli berbagai
sumber daya dan kekuatan ekonomi oleh perusahan-perusahaan transnasional
maupun lembaga-lembaga internasional. Jika dulu perusahaan multinasional
hanya mendominasi sebuah produk, maka saat ini sebuah perusahaan
transnasional yang besar secara khusus memproduksi dan menjual berbagai
macam produk, pelayanan dan barang-barang semakin beragam, bahkan
diprediksikan bahwa beberapa produk-produk yang dihasilkan oleh
perusahan-perusahaan transnasional tergantung pada permintaan pasar. Kedua
,dalam kebijakan dan mekanisme pembuatan kebijakan yang meliputi
berbagai bidang (sosial, ekonomi, politik dan teknologi) yang sekarang berada
dalam yuridiksi suatu pemerintah dan masyarakat dalam suatu wilayah
negara, bergeser menjadi dibawah pengaruh-pengaruh badan-badan
internasional, serta pelaku ekonomi dan keuangan internasional (Martin Khor,
2002: 11-12).
Globalisasi, merupakan karakteristik hubungan antara penduduk bumi
yang melampaui batas-bata konvensional, seperti bangsa dan negara. Dalam
proses tersebut, dunia telah dimampatkan serta terjadi intensifikasi kesadaran
terhadap dunia sebagai suatu kesatuan yang utuh, yang secara tidak langsung
dunia seolah-olah seperti perkampungan besar. Globalisasi mengalami
akselerasi sejak beberapa dekade terakhir, tetapi proses yang sesungguhnya
sudah berlangsung sejah jauh dimasa silam (Roland Robert dalam Dimyati,
2000: 5). Seiring dengan perkembangan IPTEK Informasi dan Komunikasi,
proses globalisai semakin intensif, yang ditandai dengan semakin tingginya
persaingan perkembangan kapitalisme dan mengglobalnya peran pasar
sebagai kata kunci memasuki persaingan dalam dunia usaha yang melahirkan
energi besar pada arah perdagangan bebas. Robert Gilpin berpendapat bahwa
hakekat politik ekonomi dunia saling pengaruh-mempengaruhi secara timbal
balik dan bersifat dinamis (Robert Gilpin, 1972: 111-119). Tujuan yang
dicapai adalah kekayaan dan kekuasaan. Negara-negara besar dan kuat lebih
banyak memberikan pengaruh, bahkan kerap kali memaksakan sekalipun
dengan dalih yang bermacam-macam. Alasan yang sering dipergunakan
diantaranya dikaitkan dengan HAM. Sebaliknya negara-negara kecil atau
negara yang lemah secara politik maupun ekonomi bersifat tergantung di
tingkat global (Dalhak Latief, 2001; 103).

2. Faktor Penyebab Globalisasi


Terdapat dua faktor yang menyebabkan munculnya globalisasi, yaitu
faktor ekstern dan faktor intern. Faktor ekstern antara lain meliputi : (1).
Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, (2). Ditemukannya sarana
komunikasi yang semakin canggih (internet, HP,), (3). Adanya tuntutan pasar
bebas, sehingga tiap negara terlibat dalam persaingan yang tidak hanya terbats
di dalam negerinya saja, (4). Adanya keberhasilan perjuangan pro demokrasi
di beberapa negara di dunia, (5). Meningkatnya peran dan fungsi lembaga-
lembaga internasional, serta meningkatnya tuntutan HAM di setiap negara.
Faktor intern antara lain meliputi : (1). Adanya ketergantungan sebuah negara
terhadap negara lain, (2). Meningkatnya peran media massa, (3).
Meningkatnya tuntutan transparansi dan kesadaran berdemokrasi, (4).
Berkembangnya lembaga swadaya masyarakat serta meningkatnya kualitas
pendidikan masyarakat.

3. Manfaat Globalisasi bagi Bangsa Indonesia


Bagi bangsa Indonesia, globalisasi memiliki manfaat yang sangat
besar baik dalam bidang politik (pemerintahan), sosial budaya, ekonomi,
hukum dan bidang pertahanan kemanan.
Dalam bidang politik (pemerintahan), dengan adanya globalisasi
pemerintah dapat dengan mudah melakukan komunikasi dan koordinasi
antardaerah. Dengan demikian, setiap kebijakan yang telah diambil dapat
dengan segera sampai pada masyarakat. Demikian pula aspirasi masyarakat
dapat dengan mudah diterima oleh pejabat pemerintahan. Pejabat negara yang
melakukan penyalahgunaan kekuasaan dapat segera diawasi, selanjutnya
dapat dimintai pertanggungjawabannya di hadapan publik. Globalisasi juga
dapat meningkatkan partisipasi rakyat terhadap pemerintahan terutama dalam
hal pemilihan anggota parlemen, penempatan pejabat publik, yang sekaligus
dapat mengontrol jalannya pemerintahan.
Dalam bidang hukum, globalisasi mendorong meningkatnya
penegakan hukum secara adil dan tidak memihak. Dan bila terjadi
ketidakadilan hukum, masyarakat akan ikut menekan perilaku para penegak
hukum yang tidak adil tersebut. Selain itu, mendorong upaya perlindungan
serta penegakan HAM, karena berbagai pelanggaran HAM yang menjadi
perhatian masyarakat baik dalam negeri maupun luar negeri dapat dengan
mudah diakses sehingga negara yang tidak mau menegakkan HAM akan
mendapatkan tekanan bahkan diisolir oleh masyarakat internasional.
Dalam bidang ekonomi, globalisasi memperlancar perdagangan luar
negeri, ekspor impor guna mencukupi kebutuhan masyarakat, meningkatnya
jaringan kerjasama di bidang ekonomi, tenaga kerja, dan penanaman modal ke
dalam negeri dalam rangka mempercepat pembangunan. Selain itu,
mempercepat terwujudnya pasar bebas, mendorong perkembangan industri
dalam negeri. Melalui sarana informasi yang canggih, berbagai perkembangan
industri dunia secara cepat dapat diakses oleh masyarakat dan dapat
dimanfaatkan.
Dalam bidang sosial budaya, globalisasi dapat mempermudah
kerjasama dalam upaya pengembangan pendidikan. Perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi dari berbagai belahan dunia dapat mudah diakses
dan diterapkan di Indonesia. Demikian pula, karya seni dan budaya dari
manca negara dapat dengan mudah diterima oleh masyarakat Indonesia.
Dengan demikian masyarakat tidak akan ketinggalanjaman.
Dalam bidang pertahanan dan keamanan, dengan adanya globalisasi
kondisi setiap daerah mudah di pantau. Berbagai hambatan, tantangan,
gangguan dan ancaman dapat diketahui lebih dini, sehingga pemerintah dan
masyarakat dapat dengan cepat melakukan langkah-langkah penanggulangan.
Selain itu, kerjasama di bidang pertahanan dan keamanan dengan negara lain
dapat dengan mudah dilakukan.
Melihat kenyataan tersebut di atas, tanpa globalisasi bangsa Indonesia
akan mengalami kesulitan melakukan komunikasi antardaerah maupun
antarnegara.

4. Dampak Negatif Globalisasi terhadap kehidupan Masyarakat, Bangsa


dan Negara
Dalam bidang politik, globalisasi berpengaruh terhadap persebaran
ideologi internasional seperti komunisme, kapitalisme dan sosialisme yang
mana ideologi tersebut bertentangan dengan kepribadian bangsa Indonesia.
Dalam bidang pemerintahan, globalisasi dapat mendorong gerakan
yang menentang pemerintah secara radikal yang cenderung menggunakan aksi
kekerasan di berbagai belahan dunia dengan mudah dapat diakses dan ditiru
oleh masyarakat Indonesia yang sebenarnya sistem pemerintahan, peraturan
hukum di Indonesia tidak sama dengan negara lain.
Dalam bidang HAM, walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa
globalisasi dapat meningkatkan penegakan HAM dalam negeri akan tetapi
juga dapat menjadi penekan terhadan negara Indonesia yang mengancam
kedaulatan bangsa dan negara RI.
Dalam bidang ekonomi, globalisasi cenderung ke arah kapitalisme.
Oleh karena itu, bila diikuti oleh masyarakat dalam negeri, dapat melemahkan
nilai-nilai ekonomi kekeluargaan. Selain itu, dengan berlakunya pasar bebas
akibat globalisasi membuat para pedagang kecil dalam negeri kalah bersaing
dengan produk luar negeri.
Dalam bidang sosial budaya, globalisasi berpengaruh terhadap gaya
hidup para generasi muda seperti mode, gaya hidup, perilaku seks bebas,
narkoba, dll, hal ini dapat merusak nilai-nilai kesopanan, adat istiadat dan
nilai agama. Selain itu juga dapat melunturkan kecintaan budaya daerah,
terutama pada masyarakat perkotaan yang cenderung memilih gaya hidup luar
negeri.
Dalam bidang pertanahan keamanan, globalisasi dapat meningkatkan
bahaya gangguan internasional, terutama teroris dunia yang sewaktu-waktu
dapat menghancurkan kehidupan masyarakat seperti kasus bom bunuh diri,
dan teror lainnya. Globalisasi juga dapat meningkatkan kejahatan
internasional berupa aksi penyelundupan narkoba, senjata api, minuman keras
dan sejenisnya.
5. Sikap yang perlu dikembangkan menghadapi Globalisasi
Dalam rangka mengantisipasi pengaruh globalisasi diperlukan sikap
dan perilaku yang positif baik dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Selain itu diperlukan adanya kualitas sumber daya
manusia yang memadai, baik dari segi mental spiritual maupaun aspek
intelektual. Hal ini sangat penting agar masyarakat mampu menerima,
mengadopsi, pengaruh globalisasi tersebut secara positif. Sebaliknya,
masyarakat juga harus siap mampu menangkal pengaruh yang negatif.
Sikap dan perilaku yang dapat dilakukan oleh masyarakat Indonesia
antara lain (1). Menumbuhkembangkan nilai-nilai moral dan adat istiadat serta
nilai agama yang baik bagi masyarakat, (2). Membentuk dan mengembangkan
lembaga swadaya guna memperkokoh kepribadian masyarakat, (3).
Memperluas lapangan kerja, sehingga dapat mengurangi pengangguran yang
pada gilirannya dapat mengeliminir aktivitas masyarakat yang tidak
bermanfaat, (4). Menumbuhkembangkan kesetiakawanan sosial, sehingga
setiap anggota masyarakat merasa memiliki peran dan fungsi di dalam
kelompok, (5). Meningkatkan kerjasama antar warga.

C. IDEOLOGI NASIONAL
1. Pengertian Ideologi
Istilah ideologi berasal dari kata-kata Yunani yaitu Idea dan Logos. Idea
yang berarti ide atau gagasan. Logos yang berarti perkataan atau ilmu, kemudian juga
diartikan sebagai filsafat hidup maupun pandangan dunia atau Weltanschauung
(Ensiklopedi Indonesia, Edisi Khusus 3, 1986: 1366 – 1367).
Terdapat dua pandangan tentang ideologi dengan isi yang berbeda bahkan
bertentangan. Yang satu dalam pengertian negatif dan yang lain dalam pengertian
positif. Ideologi mengandung arti yang negatif, karena dikonotasikan dengan sifat
yang totaliter yaitu memuat pandangan dan nlai yang menentukan seluruh segi
kehidupan manusia secara total, serta secara mutlak menuntut manusia hidup dan
bertindak sesuai dengan apa yang digariskan oleh ideologi itu, sehingga akhirnya
mengingkari kebebasan pribadi manusia serta membatasi ruang geraknya. Selain itu
istilah ideologis sering kali dipakai untuk mengungkapkan cemooh atau ejekan,
karena dibelakangnya sebetulnya tersembunyi kepentingan-kepentingan kekuasaan
tertentu (Soerjanto Poespowardojo, 1991: 44). Para tokoh yang menganut pandangan
ini, antara lain adalah Niccollo Machiavelli dan Karl Marx. Nocollo Machiavely
dalam bukunya ”Il Principle” atau sang Penguasa, dijelaskan bahwa ideologi pada
dasarnya berkenaan dengan siasat dalam berpolitik praktis. Siasat ini terutama tampak
dalam tiga hal. Pertama, kecenderungan orang untuk melakukan penilaian keadaan
kekuasaan berdasarkan kepentingannya. Kedua, konsepsi-konsepsi keagamaan
seringkali digunakan untuk menggalang kekuasaan dan melakukan dominasi. Ketiga,
kebutuhan untuk menggunakan tipu daya dalam memperoleh dan mempertahankan
kekuasaan. Dalam pandangan Machiavelli ideologi hakekatnya adalah pengetahuan
mengenai cara menyembunyikan kepentingan, mendapatkan serta mempertahankan
kekuasaan dengan memanfaatkan konsepsi-konsepi keagamaan dan tipu daya
sedangkan Karl Marx dalam bukunya yang berjudul ”Die Deutch Ideologie”
mengemukakan bahwa ideologi adalah kesadaran palsu. Dikatakan kesadaran palsu
karena ideologi merupakan hasil pemikiran tertentu yang diciptakan oleh para
pemikir yang bersangkutan. Padahal kesadaran para pemikir itu (diakui atau tidak),
pada dasarnya sangat ditentukan oleh kepentingannya. Dengan demikian ideologi
menurut Karl Marx pada dasarnya adalah pengandaian-pengandaian spekulatif.
Pengandaian-pengandaian spekulatif itu bisa berupa: agama, moralitas, atau
keyakinan politik. Dengan kata lain ideologi adalah kesadaran palsu yang digunakan
sebagai dasar pembenaran atas hak-hak istimewa kelas tertentu (Bambang Suteng,
2006: 4-5).
Ideologi dalam pandangan positif adalah menunjuk kepada keseluruhan
pandangan, cita-cita, nilai, dan keyakinan yang ingin mereka wujudkan dalam
kenyataan hidup yang konkret. Ideologi dianggap mampu mambangkitkan kesadaran
akan kemerdekaan, memberikan orientasi mengenai dunia beserta isinya dan
menambahkan motivasi dalam perjuangan masyarakat untuk bergerak melawan
penjajahan dan selanjutnya mewujudkannya dalam sistem dan penyelenggaraan
negara (Soerjanto Poespowardojo, 1991: 45). Padangan ini dianut oleh De Tracy.
Dalam bukunya yang berjudul ”Element de L Ideologie” menyebutkan bahwa ideolgi
adalah ilmu pengetahuan baru yang mempelajari berbagai gagasan (idea) manusia
serta kadar kebenarannya (Soejadi, 1999: 139).
Disamping pengertian ideologi seperti tersebut diatas, Reberu,
mengetengahkan adanya lima unsur utama ideologi yaitu: (1) ada pandangan
komprehensif tentang manusia dan dunia serta alam semesta dimana manusia itu
hidup, (2) adanya rencana penataan kehidupan sosial atau kehidupan politik, (3)
adanya kesadaran dan pencanangan bahwa realisasi rencana itu membawa perjungan
dan pengamalan yang menuntut perombakan dan perubahan, (4) adanya usaha
mengeneralisasikan masyarakat untuk menerima secara yakin perangkat paham dan
rencana kerja yang diturunkan dari perangkat paham tersebut, dan (5) ada usaha
menjangkau lapisan lapisan masyarakat seluas mungkin secara yakin serta menuntut
loyalitas dan keterlibatan dari penganutnya (Sastrapratedja, 1986: 45).

2. Fungsi Ideologi
Pada hakekatnya ideologi adalah tidak lain hasil refleksi manusia berkat
kemampuannya mengadakan distansi terhadap dunia kehidupannya (Soerjanto
Poespowardojo, 1986: 247). Antara keduannya, yaitu ideologi dan kenyataan hidup
masyarakat terjadi hubungan dialektis, sehingga berlangsung pengaruh timbal balik
yang terwujud dalam interaksi yang mana disatu pihak mamacu ideologi makin
realistis dan di pihak lain mandorong masyarakat makin mendekati bentuk yang ideal.
Ideologi mencerminkan cara berfikir masyarakat namun juga membentuk masyakat
menuju cita-cita. Dengan demikian terlihatlah bahwa ideologi bukanlah sekedar
pengetahuan teoritis belaka, tetapi merupakan sesuatu yang dihayati menjadi suatu
keyakinan. Ideologi adalah suatu pilihan yang jelas membawa komitmen untuk
mewujudkannya. Semakin mendalam kesadaran ideologis seseorang akan berarti
semakin tinggi pula rasa komitmen untuk melaksanakannya. Komitmen itu tercermin
dalam sikap seseorang yang menyakini ideologisnya sebagai ketentuan-ketentuan
normatif yang karena ditaati dalam hidup bermasyarakat. Soerjanto Poespowardoyo
(1996: 48) mengemukakan bahwa ideologi mempunyai beberapa fungsi, yaitu: (1)
struktur kognitif, adalah keseluruhan pengetahuan yang dapat merupakan landasan
untuk memahami dan menafsirkan dunia dan kejadian-kejadian dalam alam
sekitarnya; (2) orientasi dasar dengan membuka wawasan yang memberikan makna
serta menunjukkan tujuan dalam kehidupan manusia; (3) norma-norma yang menjadi
pedoman dan pengangan bagi seseorang untuk melangkah dan bertindak; (4) bekal
dan jalan seseorang untuk menemukan identitasnya; (5) kekuatan yang mampu
menyemangati dan mendorong seseorang untuk menjalankan kegiatan dan mencapai
tujuan, dan (6) pendidikan bagi seseorang atau masyarakat untuk memahami,
menghayati serta melakukan tingkah lakunya sesuai dengan orientasi dan norma-
norma yang terkandung di dalamnya (Soerjanto Poespowardoyo, 1991: 49).
Senada dengan Soerjanto Poespowardoyo, Sastropratedjo (1991: 143),
mengemukakan ideologi memiliki beberapa fungsi antara lain: (1) dapat memberikan
dorongan pengembangan ilmu pengetahuan dan dapat memberikan orientasi
pemanfaatannya; (2) membentuk identitas kelompok atau bangsa; (3) mempersatukan
bangsa atau mempersatukan orang dari berbagai agama sehingga dapat untuk
mengatasi berbagai konflik atau ketegangan sosial.

3. Pancasila Sebagai Ideologi Negara


Muzajin (1990: 16-17) mengatakan bahwa bangsa dan negara manapun
sudah pasti memiliki dan menetapkan ideologi sesuai dengan cita-cita dan
kepribadiannya guna dijadikan landasan ideologi perjuangannya. Muzajin
menunjukkan contoh diberbagai negara, misalnya: di Jepang, sebelum perang Dunia
Ke II berdasarkan pada fasisme yang bersumber pada shintoisme, Jerman juga
sebelum Perang Dunia Ke II mendasarkan pada Nazisme, di Amerika Serikat
berdasarkan pada Liberalisme dan Kapitalisme dan bangsa Indonesia berdasar kepada
Pancasila yang menitikberatkan pada kodrat manusia yang dijiwai oleh semangat
keimanan kepada Tuhan, Perikemanusiaan, Persatuan Kerakyatan dan Keadilan
Sosial yang bercita-cita menghapuskan segala bentuk penjajahan di muka bumi itu.
Kunto Wibisono Siswomiharjo (1996: 9) mengemukakan bahwa kekuatan
ideologi tergantung pada kualitas 3 dimensi yang ada pada ideologi tersebut, yakni:
(1) Dimensi realita, yaitu bahwa nilai-nilai dasar yang terkandung di dalam ideologi
termasuk mencerminkan realitas yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat
ideologi harus memberikan citra bahwa dirinya adalah kenyataan masyarakat ide
sendiri; (2) dimensi idealitas, dalam arti bahwa kadar idealisme yang terkandung
dalam dirinya mampu membutuhkan motivasi, gairah, kepada subjek pendukungnya
sehingga apa yang terkandung dalam dirinya bukan sekadar utopi, tanpa makna
melainkan pada suatu saat benar-benar akan diwujudkan dalam kenyataan hidup; (3)
dimensi Flexibelitas, dalam arti tetap relevan dan tetap fungsional sebagai
deseingrund dan leitsmotif dalam kenyataan hidup.
Ideologi negara dalam arti cita-cita negara memiliki ciri-ciri yaitu: (1)
mempunyai derajad yang tinggi sebagai nilai hidup kebangsaan dan kenegaraan, da,
(2) mewujudkan satu asas kerokhanian pandangan dunia, dikembangkan hidup yang
harus dipelihara, dikembangkan, diamalkan, dilestarikan kepada generasi penerus
bangsa (Elly M. Setiadi, 2003: 168).
Sebagai ideologi negara, Pancasila setidaknya memiliki empat fungsi pokok
dalam kehidupan, yaitu: (1) mempersatukan bangsa; (2) membimbing dan
mengarahkan, bangsa menuju tujuannya; (3) memberikan tekad untuk memelihara
dan mengembangkan identitas bangsa dan memberikan dorongan bagi nation and
character building; dan (4) menyoroti secara mendalam melainkan kenyataan yang
ada dan mengkritisi upaya perwujudan cita-cita yang terkandung dalam pancasila
(Bambang Suteng, 2007: 14).
Pancasila sebagai ideologi negara tidak lahir secara mendadak melainkan,
tumbuh dan berkembang dalam dalam pandangan hidup masyarakat dan bangsa
Indonesia. Secara yuridis formal, pancasila sebagai ideologi negara tertuang dalam
pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu dengan rumusan..... Ketuhanan Yang
Maha Esa....yang memiliki makna dasar filsafat negara sekaligus asas kerohanian
negara.
Berdasarkan catatan sejarah, upaya perumusan pancasila terkait dengan
upaya bangsa Indonesia mempersiapkan kemerdekaan, yaitu diawali dari sidang
BPUPKI. Adapun gambaran mengenai proses perumusan tersebut, secara ringkas
disajikan dalam uraian dibawah ini.
Dalam rangka mempersiapkan kemerdekaan Republik Indonesia, pada
tanggal 28 Mei 1945 secara sah terbentuk Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau Dokuritzu Zyunbi Tjosakai. Badan ini terdiri
dari 62 orang anggota. Ketuanya adalah seorang bekas ketua Budi Utomo yaitu Dr.
Radjiman Widyodiningrat. Ia didampingi oleh dua wakil ketua, masing-masing
seorang berkebangsaan Jepang dan seorang kebangsaan Indonesia.
Tugas BPIPKI adalah memprtimbangkan masalah-masalah pokok dn
kemudian merumuskan rncana-rencana pokok bagi bangsa Indonesia Merdeka.
BPUPKI mengadakan dua kali sidang, yang pertama pada tanggal 29 Mei 1945
sampai dengan 1 Juni 1945, dan yang kedua pada tanggal 10 sampai 17 Juli tahun
1945.
Dalam sidany yang pertama (29 Mei sampai 1 Juni 1945) ketua Dr.
Radjiman Widyodiningrat meminta kepada anggota BPUPKI untuk mengemukakan
pandangan tentang apa yang akan dijadikan dasar Indonesia Merdeka yaitu
pandangan tentang dasar falsafah negara.
Dasar falsafah negara itu diangap penting karena negara hanya akan
berfungsi dengan baik bil;a terdapat gambaran yang jelas tentang hakekat, dasar, dan
tujuannya. Karena itun para pendiri negara harus mempunyai gambaran dasar yang
jelas tentang negara. Gambaran dasar itu akan menjadi landasan dan pedoman bagi
pemerintah dan rakyat dalam berpartisipasi membangun negara.
Sebagai tanggapan atas permintaan ketua BPUPKI, para anggota BPUPKI
mengemukakan pendapatnya mengania dasar Indonesia Merdeka. Beberapa tokoh
yang berbneda untuk mengusulkan konsep dasar negara antara lain adalah Mr. Moh
Yamin, Prof. Dr Mr. Soepomo, dan Ir Soekarno.
Pada tanggal 29 Mei 1945, Mr. Moh Yamin berpidato dengan judul ”Asas
dan Dasar Negara Kebangsaan Republik Indonesia”. Dalam pidato iti ia mengsulkan
lima asas yang akan dijadikan dasar negara, yaitu: (1) Peri Kebangsaan, (2) Peri
Kemanusiaan, (3) Peri KeTuhanan, (4) Peri Kerakyatan, dan (5) Kesejahteraan
Rakyat. Selain itu Moh Yamin juga mengusulkan konsep dasar negara dalam bentuk
tertulis. Konsep ini hampir sama dengan rumusan pancasila yang ada didalam
pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Kebangsaan Persatuan Indonesia
3. Rasa Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
4. Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat kebijaksanaan Dalam Pemusyawaratan
Perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.
Pada tanggal 31 Mei 1945, Prof Dr. Mr Soepomo menyampaikan pidato
yangb berisi penjelasan masalah-masalah yang berhubungan dengan dasar negara
yaitu:
1. Paham negara persatuan
2. Perhubungan negara dan agama
3. Sistem badan permusyawaratan
4. Sosialisme negara
5. Hubungan antar bangsa
Prof. Dr. Mr Soepomo tidak menyebutkan secara eksplisit bahwa kelima hal
tersebut diusulkan sebagai dasar negara. Ia mengajukan keterangan itu sebagai bahan
masukan dalam perumusan dasar negara Indonesia Merdeka.
Pada tanggal 1 Juni 1945, hari terakhir masa sidang pertama BPUPKI Ir
Soekarno menyampaikan Pidato tentang dasar negara. Pidato ini kemudian amat
terkenal dengan sebutan pidato lahirnya pancasila. Dalam pidato ini Ir Soekarno
menawarkan agar Indonesia merdeka bukan negara agama dan bukan pula negara
sekuler, tetapi negara yang berdasarkan pancasila. Rumusan pancasila yang diusulkan
Ir. Soekarno dengan ururan sebagai berikut:
1. Kebangsaan Indonesia
2. Internasionalisme atau perikemanusiaan
3. Mufakat atau Demikrasi
4. Kesejahteraan Sosial
5. Ketuhanan Yang Maha Esa
Dalam masa sidang tersebut para anggota belum mencapai kesepakatan
mengenai dasar negara Indonesia merdeka. Sidang berikutnya ditunda sampai bulan
Juli. Ambil menunggu masa sidang berikutnya 9 orang anggota BPUPKI membentuk
panitia kecil yang terdiri dari: Ir. Soekarno, Drs Moh Hatta, Mr. A. A Maramis,
Abikoesno Tjokrosoeyoso, Abdul Kahar Muzakir, H Agus Salim, Mr. Ahmad
Soebarjo, K.H.A Wahid Hasyim, dan Mr. Moh Yamin. Panitia kecil ini dengan
diketuai Ir. Soekarno bekerja dengan keras merumuskan rancangan pembukaan
undang-undang dasar (pembukaan hukum dasar) yang nantinya harus mengadung
asas dan tujuan negara Indonesia Merdeka. Akhirnya tugas itu terselesaikan pada
tanggal 22 Juni 1945 dn hasil rumusannya disebut dengan nama Piagam Jakarta atau
Jakarta Charter.
Di dalam alinea keempat piagam Jakarta tersebut terdapat rumusan lima
asas falsafah negara Indonesia merdeka sebagai berikut:
1. Ketuhanan dengan menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Piagam Jakarta tersebut diatas dengan beberapa perubahan, terutama
mengenai rumusan pancasila kemudian dijadikan pembukaan Undang-Undang Dasar
1945.
Sidang kedua membahas ranangan Undang-Undang Dasar beserta
pembukaannya. Panitia perancang Undang-Undang Dasar yang diketuai oleh Ir.
Soekarno m,enyetujui bahwa Undang-Undang Dasar diambil dari piagam Jakarta.
Untuk merumuskan Undang-Undang Dasar, panitia perancang membentuk lagi keil
yang diketai oleh Prof. Dr. Hussein. Pada tangal 14 Juli 1945 Ir. Oekarno melaporkan
hasil kerja sama Panitia Perancang Undang-Undang Dasar kepada sidang sebaga
berikut.
1. Pernyataan Indonesia mendeka
2. Pembukaan Undang-Undang Dasar
3. Undang-Undang Dasar (batang tubuh)
Akhirnya sidang BPUPKI menerima hasil kerja panitia itu. Setelah berhasil
menyelesaikan tugas tugasya, BPUPKI dibubarkan pada tanggal 7 Agustus 1945.
Sebagai gantinya, dibentuk PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia).
Pada tanggal 7 Agustus 1945, Ir Soekarno, Drs. Moh. Hatta dan dr.
Radjiman dipanggil oleh Panglima Tertinggi Mandala Selatan Jepang yang
membawahi seluruh Asia Tenggara, yakni Marsekal Darat Hisaici, ke Markas
besarnya di Dalat (Vietnam Selatan). Marsekal Terauci menyampaikan kepada ketiga
pemimpin itu bahwa pemerintahan Jepang telah memutuskan untuk memberikan
kemerdekaan kepada Indonesia. Sesuai dengan Dokuritsu Junbi Cosakai, para
anggota PPKI, kecuali yang berkewarganaan Jepang, bertugas mempersiapkan
kemerdekaan Indonesia. Yang ditujuk sebagai ketuanya adalah Ir. Sokrno dan Drs.
Hoh. Hatta sebagai wakilnya.
Berita penyerahan Jepang kepada sekutu pada tangal 15 Agustus1945 telah
diketahui oleh sebagian pemimpin Indonesia, terutama para pemimpin muda.
Golongan pemuda menghendaki agar Soekarno-Hatta segera
memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia tanpa campur tangan pemerintah Jepang
sementara Soekarno-Hatta ingin berbicara lebih dulu dengan oihak Jepang lalu
merapatkannya dalam PPKI. Golongan pemuda tetap memaksakan kehendaknya dan
rencana itu dilaksanakan oleh Sukarni, Yusuf Kunto, dan Syudanco Singih. Pada dini
hari tanggal 16 Agustus 1945, Soekarno-Hatta dibawa ke Rengasdengklok, sebuah
kota kedewanan disebelah utara Karawang yang telah diambil alih dai kekuasaan
Jepang dan merupakan tempat kedudukan sebuah kompi tentara Peta di bawah
Syudanco Subeno. Berdasarkan perundingan dan tercapainya kata sepakat antara Mr.
Ahmad Subarjo dari golongan tua dan Syudanco dari goongan pemuda, Mr. Ahmad
Subarjo menjamin bahwa proklamasi akan dirumuskan keesok harinya.
Setelah tiba di Jakarta dari rengasdengklok, Soekarno dan Hatta langsun
dibauwa kerumag Laksamana Muda Maeda seorang perwakilan angkatan laut Jepang
di Jakarta tempat Ahmad Subarjo sebagai stafnya. Di rumah Maeda, Mr. Subarjo
memohon agar para tokoh pergerakan diperbolehkan berkumpul dirumahnya untuk
membicarakan persiapan priklamasi Persiapan Kemerdekaan keesok harinya.
Laksamana Maeda memberi izin dan menjamin keselamatan mereka di rumahnya
yang belokasi di Imam Bonjol No. 1 Jakarta. Pada malam itu, Soekarno Hatta
menemui kepala pemerintahan umum, Mayor jenderal Nisyimura untuk menjajaki
sikapnya. Ternyata Nisyimura takut disalah kan oleh sekutu. Dengan demikian
proklamasi kemerdekaan harus dilakukan terlepas dari campur tangan Jepang. Malam
itu juga musyawarah dilaksanakan. Pembicaraan tentang perumusan teks Proklamasi
baru dimulai pada pukul 23.00 dihadiri oleh para tokoh: Ir. Soekarno, Drs. Moh
Matta, Mr. Ahmad Soebarjo, para anggota PPKI, dan para tokoh pemuda, antara lain
Sukarni, Sayuti Melik, B.M Diah, dan Mbah Sudiro. Ir. Soekarno yang dengan pena
dan secarik kertas ditangan merumuskan teks proklamasi bersama Drs. Moh Hatta
dan Mr. Moh Ahmad Soebarjo menyampaikan kalimat pertama yang berbunyi,
”Kami bangsa Indonesia, dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia”. Kemudian
Moh Hatta menyempurnakan dengan kalimat kedua: ”hal-hal yang mengenai
pemindahan kekuasaan dan lain-lain, deselenggrakn dengan cara saksama dan dalam
tempoh yang sesingkat-singkatnya”.
Teks priklamasi yang telah disusun lelu dibawa keruang depan untuk
dimusyawarahkan. Saat itu timbul persolan tentang siapa yang mendatangani teks
proklamasi tersebut. Chaerul Saleh menyatakan tidak setuju jika teks itu
ditandatangani oleh anggota-anggota PKI sebab badan itu dibentuk oleh Jepang.
Sukarni kemudian mengusulkan agar teks proklamasi ditandatangani oleh Ir.
Soekarno dan Drs. Hatta atas nama bangsa Indonesia. Seluruh hadirin pun setuju.
Setela itu konsep teks proklamasi di serahkan kepada sayuti melik untuk diketik.
Dalam pengetikan, Sayuti Melik untuk diketik. Dalam pengetikan, Sayuti
mengadakan perubahan sedikit, yaitu kata ”tempoh” dan ”wakil-wakil bangsa
Indonesia” diubah menjadi ”Atas nama bangsa Indonesia”. Penulisan tanggal juga
diubah menjadi ”Djakarta, ari 17 boelan 8 tahoen 05”. Tahun 05 adalah tahun Showa
(Jepang), yaitu 2605 yang ditandatangani oleh Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta.
Naskah inilah yang dianggap sebagai naskah autentik.
Perumusan teks Proklamasi hingga penandatanganannya baru selesai pukul
04.00 tanggal 17 Agustus 1945. Pada saat itu juga telah diputuskan bahwa proklamasi
akan dibacakan di halaman rumah Ir. Soekarno di jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta
pada pukul 10.00 WIB.
Walaupun isinya sangat singkat, teks priklamasi tersebut mengandung
makna yang sangat dalam karena merupakan pernyataan bangsa Indonesia yang
sebelumnya terjajah m,enjadi bangsa yang merdeka.
Tokoh yang berperan dalam proklamasi kemerdekaan adalah Ibu Fatmawati
karena beliaulah yang membuat Bendera Merah Putih yang dikibarkan pada upacara
Proklamasi 17 Agustus 1945.
Ketika Proklamasi dikumandangkan, bangsa Indonesia telah menyatakan
dirinya merdeka dan berdaulat. Bangsa Indonesia memiliki perubahan bangsa yaitu
negara, maka bangsa Indinesia mendirikan Negara Indonesia Merdeka. Agar
kelangsungan hidup berjalan dengan teratur diperlukan undang-undang dasar.
Sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan, tepatnya tanggal 18 Agustus 1945,
PPKI mengadakan sidang yang pertama. Dalam persidangan tersebut menghasilkan
beberapa keputusan penting yaitu :
a. Mengesahkan Undang-Undang Dasar yang sebelumnya
telah dipersiapkan oleh Dokuritsu Junbi Cosakai yang
sekarang dikenal sebagai Undang-Undang Dasar 1945.
b. Memilih Ir. Soekarno sebagai Presiden dan Drs. Moh
Hatta sebagai Wakilnya.
c. Dalam masa peralihan, Presiden untuk sementara waktu
akan dibantu oleh sebuah Komite Nasional.
Rancangan Undang-Undang Dasar itu sendiri merupakan hasil karya
BPUPKI. Dalam sidangnya pertama pada tanggal 29 Mei dengan tanggal 1 Juni 1945,
badan ini membahas asas-asas dasar Negara Indonesia Merdeka dan sebagai hasil dari
pertemuan-pertemuan itu lahirlah Pancasila. Dalam sidangnya yang kedua pada
tanggal 10 Juli sampai 16 Juli 1945, badan tersebut menghasilkan rancangan Undang-
Undang Dasar. Setelah mengalami beberapa perubahan oleh PPKI, rancangan inilah
yang kemudian disahkan sebagai Undang-Undang Dasar 1945. rumusan terakhir
Pancasila yang benar dan berlaku sekarang tercantum dalam Pembukaan Undang-
Undang Dasar 1945.

4. Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka


Terkait dengan soal penafsiran ideologi, penting diketahui adanydua
macam watak ideologi, yaitu ideologi tertutup dan ideologi terbuka.
Ideologi tetutup, adalah ideologi yang bersifat mutla. Ideologi macam ini
memiliki ciri:
a. Bukan merupakan cita-cita yang sudah hidup dalam
mayarakat, melainkan cita-cita sebuah kelompok yang
digunakan sebagai dasar untuk mengubah masyarakat;
b. Apabila kelompok terebut berhasil mengusai negara,
ideologinya itu akan dipaksakan kepada masyarakat.
Nilai-nilai, nomra-norma, dan berbagai segi kehidupan
masyarakat akan diubah sesuai dengan ideologi
tersebut;
c. Bersifat totaliter, artinya mencakup/mengurusi semua
bidang kehidupan. Karena itu, ideologi tertutup ini
cenderung cepat-cepat berusaha menguasai bidang
informasi dan pendidikan; sebab, kedua bidang tersebut
merupakan saranan efektif untuk mempengauhi
perilaku masyarakat;
d. Pluralisme pandanga dan kebudayaan ditiadakan, hak
asasi tidak dihormati;
e. Menuntut masyarakat untuk memiliki kesetiaan total
dan kesediaan untuk berkorban ideologi tersebut;
f. Isi ideologi tidak hanya nilai-nilai dan cita-cita, tetapi
tuntutan-tuntutan konkret dan operasional yang keras,
mutlak dan total.
Sedangkan ideologi terbuka, adalah ideologi yang tidak dimutlakkan.
Ketidakmutlakan ini bukan berarti mengubah nilai-nilai dasar pancasila tetapi
mengeksplisifkan wawasanya secara lebih konkret, sehingga memiliki kemampuan
yang lebih tajam untuk memecahkan masalah-masalah baru.
Dalam ideologi terbuka terdapat cita-cita dan nilai-nilai yang bersifat
mendasar dan tidak langsung bersifat operasional. Oleh karena itu setiap kali harus
dieksplisifkan. Eksplitasi dilakukan dengan menghadapkannya pada berbagai
masalah yang selalu silih berganti melalui refleksi yang rasional, sehingga tertangkap
makna operasionalnya. Dengan demikian jelasla bahwa penjabaran ideologi
dilaksanakan melalui interpretasi dan reintepretasi yang kritis. Disinal dapat
ditunjukkan kekuatan ideologi terbuka. Ideologi terbuka memiliki sifat yang dimanis
dan tidak akan membeku. Ideologi terbuka memiliki beberapa ciri sebagai berikut:
(1) merupakan kekayaan rohani, moral, dan budaya masyarakat. Jadi bukan
keyakinan ideologis kelompok melainkan kesepakatan masyarakat, (2) tidak
diciptakan oleh negara, tetapi ditemukan dalam masyarakat sendiri. Ia adalah milik
seluruh rakyat dan bisa digali serta ditemukan dalam kehidupan mereka, (3) isinya
tidak langsung operasioanal sehingga setiap generasi baru dapat dan perlu menggali
kembali falsafah tersebut dan mencari inplikasinya dalam situasi kekinian mereka, (4)
tidak pernah memperkosa kebebasan dan tanggung jawab masyarakat, melainkan
menginspirasi masyakat untuk berusaha hidup bertanggung jawab sesuai dengan
falafah itu, dan (5) menghargai pluralitas, sehingga dapat diterima oleh warga
masyarakat yang berasal dari berbagai latar belakang budaya dan agama.
Bertolak dari ciri-ciri sebagaimana dipaparkan diatas, bisa dikatakan
bahwa pancasila memenuhi semua persyaratan sebagai ideologi terbuka. Hal itu akan
makin jelas dari penjelasan seperti berikut: Pertama, Pancasila adalah pandangan
hidup yang berakar pada kesadaran masyarakat Indonesia. Pancasila bukan impor
dari luar negeri bukan pula suatu ideologi yang dipikirkan oleh satu dua orang tokoh,
melainkan milik masyarakat Indonesia sendiri sebagai kesadaran dan cita-cita
moralnya. Pancasila bukan ideologi milik kelompok tertentu, tetapi milik seluruh
masyarakat Indonesia. Kedua, isi pancasila tidak langsung operasional. Sebagaimana
kita ketahui, pancasila berisi lima nilai dasar. Kelima nilai dasar itu berfungsi sebagai
acuan penyelenggaraan negara. Dalam pancasila tidak tersedia rumusan yang berisi
tuntutan-tuntutan konkret dan operasional yang harus dilaksanakan. Karena hanya
berisi nilai-nilai dasar, penerapan Pancasila memerlukan penafsiran. Penafsiran
dilakukan untuk mencari implikasi kelima nilai dasar itu bagi situasi nyata. Setiap
generasi bangsa Indonesia dapat dan bahkan perlu melakukan penafsiran terhadap
pancasila sesuai tantangan kekinian mereka masing-masing. Dengan demikian,
pancasila menjadi ideologi yang senantiasa relevan dan aktual. Ketiga, Pancasila
bukan ideologi yang memperkosa kebebasan dan tanggung jawab masyarakat
sebaliknya, pancasila justru menghargai kebebasan dan tanggung jawab masyarakat.
”Sila kemanusiaan yang adil dan beradab”, misalnya, mengakui kebebasab dan
kesamaderajatan manusia (hak asasi manusia); bahkan tidak hanya meliputi manusia
Indonesia, melainkan juga semua umat manusia diakui sebagai mahkluk yang
memiliki kebabasab dan kesamaderajatan. Keempat, Pancasila juga bukan ideologi
totaliter. Oleh para pendiri negara ini, Pancasila tidak dimaksudkan sebagai ideologi
totaliter, yang mengurusi segala segi kehidupan masyarakat. Melainkan, Pancasila
adalah ideologi ideologi politik, sebuah pedoman hidup dalam masyarakat, bangsa,
dan bernegara. Pedoman tersebut menjawab lima masalah pokok tentang negara,
Yaitu: (i) bagaimana kedudukan agama atau kepercayaan kepada Tuhan dalam
kehidupan negara; (ii) bagaimana kedudukan manusia dalam negara; (iii) untuk siapa
negara didirikan; (iv) siapakah yang berdaulat atas negara dan bagaimana keputusan
dalam urusan mengenai negara diambil; dan (v) apa tujuan negara. Dengan kata lain,
Pancasila merupakan ideologi yang terbatas. Karena itu, Pancasila tidak boleh diubah
menjadi ideologi totaliter. Kelima, Pancasila menghargai pluralitas, hal ini bisa kita
lihat misalnya dalam sejarah perumusan Pancasila. Rumusan definitif Pancasila
dicapai justru karena didorong oleh semangat untuk tetap mengahargai pluralitas.
Pluralitas menjadi kata subatansi ideologi Pancasila.

5. Pancasila sebagai Sumber Nilai dan Paradigma Pembangunan


Pancasila adalah merupakan sumber nilai, ini berarti pancasila adalah
merupakan acuan utama bagi pembentukan hukum nasional, kegiatan
penyelenggaraan negara, partisipasi warga negara, dan pergaulan antar warga negara,
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan kata lain nilai-nilai yang
terkandung dalam pancasila menjiwai seluruh kegiatan berbangsa dan bernegara
(Bambang Suteng, 2007: 16-17).
Sebagai sumber nilai, karena pancasila mengandung nilai dasar atau nilai
yang bersifat fundamental. Moerdiono (naskah ceramah, 1995: 14), menjelaskan
bahwa dalam memahami pancasila harus dibedakan antara nilai-nilai dasarnya yang
sudah baku dengan nilai-nilai instrumental dan nilai praksisnya yang berkembang
secara dinamis. Hal ini sejalan apa yang dikemukakan oleh Notonagoro (1980: 19)
yang mengatakan bahwa Pancasila dasar filsafat negara atau dasar kerohanian negara
mempunyai arti yang sangat penting karena berkaitan dengan rumusan sila-silanya,
tata urutan serta sumber atau tempat didapatinya rumusan-rumusan itu. Demikian
pula dikemukakan oleh Drijarkara (Kodhi dan Soejadi, 1988: 28 ) bahwa bagi bangsa
Indonesia Pancasila adalah sein im sollen yaitu sebagai kenyataan yang merupakan
budaya bangsa sekaligus cita-cita dan harapan. Wajarlah apabila kedudukan yang
demikian itu melahirkan banyak atribut yang dilekatkan pada pancasila antara lain
sebagai pandangan hidup bangsa atau jiwa bangsa, sebagai dasar negara atau dasar
kerohanian negara, sebagai landasan ideal pembangunan, sebagai cita hukum dan
sebagai pokok kaidah negara.
Nilai-nilai dasar yang dimaksudkan diatas meliputi keTuhanan Yang
Maha Esa, Kemanusiaan Yang adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan
Yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan perwakilan,
Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Nilai-nilai tersebut juga tercermin
dalam norma dasar yaitu pasal-pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Sebagai nilai dasar, nilai tersebut bersifat abstrak dan umum,
relatif tidak berubah, namun maknanya selalu bida disesuaikan dengan perkembangan
jaman. Hal ini bisa terjadi karena nilai dasar tersebut dapat terus menerus digali dan
ditafsirkan mengikuti perkembangan jaman. Melalui proses penafsiran akan didapat
nilai-nilai baru yang lebih operasional sesuai dengan tantangan kekinian. Nilai
tersebut bisa berupa nilai instrumental maupun nilai praksis.
Nilai instrumental adalah merupakan penjabaran dari nilai dasar. Nilai
ini berlaku untuk kurun waktu tertentu dan untuk kondisi tertentu yang sifatnya
kontektual menyesuaikan dengan perubahan jaman. Nilai ini tampil dalam bentuk
kebijakan, strategi maupun program-program pembangunan sebagai penjabaran lebih
lanjut dari nilai dasarnya.
Nilai praksis adalah merupakan penjabaran dari nilai instrumental dalam
situasi konkret pada tempat tertentu dan situasi tertentu yang sifatnya amat dinamis.
Dengan kata lain nilai praksis itu terkandung dalam kenyataan sehari-hari yaitu cara
bagaimana kita menerapkan pancasila dalam kehidupan nyata sehari-hari.
Berkaitan dengan pancasila sebagai paradigma pembangunan,
mengandung makna bahwa pancasila merupakan landasan, metode, nilai, dan
sekaligus tujuan yang ingin dicapai dalam pembangunan (Elly M Setiadi, 2003: 173).
Bambang Suteng (2007: 22) mengemukakan bahwa sebagai paradigma pembangunan
pancasila berisi angapan-angapan dasar yang meruoakan kerangka keyakinan.
Kerangka keyakinan ini berfungsi sebagai acuan, kiblat, dan pedoman dalam
perencanaan, pelaksanaan pengawasan, dan evaluasi hasil-hasil pembangunan.
Posisi pancasila sebagai paradigma pembangunan membawa konsekuensi
tertentu yakni keberhasilan pembangunan di Indonesia harus diukur dari
kesesuaiannya dengan pancasila. Ini berarti bahwa pembangunan di Indonesia tidak
boleh bersifat pragmatis dalam arti hanya mementingkan tindakan nyata dan
menafikkan pertimbangan etis. Pembangunan juga tidak boleh bersifat ideologis
semata dalam arti secara mutlak hanya melayani ideologi tertentu dan menafikkan
manusia. Melainkan pembangunan ditujukan untuk melayani manusia dengan segala
aspirasi dan harapan-harapannya.

6. Sikap Positif terhadap Pancasila sebagai Ideologi Terbuka


Pancasila bukan sekedar untuk dipahami dengan penalaran yang jernih
semata tetapi juga untuk dihayati dalam batin serta diamalkan secara konsisten dalam
berbagai bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Jadi hal ini
bukan sekedar masalah teoritika murni tetapi mempunyai inplikasi yuridis
konstitusional, filsafat, ideologi, serta politik (Moerdiono, 1991: 399).
Ada beberapa faktor yang mendorong pemikiran mengenai pancasila
sebagai ideologi terbuka yang antara lain sebagai berikut: Pertama, kenyataan bahwa
dalam proses pembangunan yang demikian cepat sebagi akibat perkembangan
IPTEK, jawabannya tidak selalu bisa ditemukan dalam pemikiran-pemikiran ideologi
sebelumnya. Oleh karena itu diperlukan kejelasan sikap secara ideologis yang mampu
mengantisipasi adanya perubahan tersebut. Kedua, adanya kenyataan bangkrutnya
ideologi tertutup seperti Marxisme-Leninisme/Komunisme. Ketiga, pengalaman
sejarah politik kita sendiri yang mana pancasila pernah dijadikan semacam dogma
yang kaku. Dalam suasana kekakuan tersebut, pancasila tidak lagi tampil sebagai
ideologi yang menjadi acuan bersama, tetapi sebagai senjata konseptual untuk
menyerang lawan-lawan politik sehingga menjadikan pemerintah bersifat absolout.
Keterbukaan ideologi pancasila bukan saja merupakan suatu penegasan
kembali dari pola pikir yang dinamis dari pendiri negara kita, tetapi juga merupakan
kebutuhan konseptual dalam dunia modern yang berubah demikian cepat. Oleh
karena itu disatu pihak, kita diharuskan mempertajam kesadaran akan nilai-nilai dasar
yang bersifat abadi, di lain pihak kita didorong untuk mengembangkannya pancasila
secara kreatif dan dinamis untuk menjawab kebutuhan jaman yang berubah secara
cepat tersebut.
Dengan mencermati hal tersebut diatas menuntut sikap dan tanggapan
positif dari semua warga masyarakat. Sikap positif itu terutama adalah kesediaan
segenap warga masyarakat untuk aktif serta kreatif mengungkapkan pemahamannya
mengenai pancasila melalui dalam berbagai macam cara, misalnya dialog publik,
seminar, serta forum ilmiah lainnya. Selain itu adanya kesediaan dan segenap warga
masyarakat untuk menjadikan nilai pancasila makin tampak nyata dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
BAB III
EVALUASI DAN REFLEKSI

D. Evaluasi
Petunjuk :
Kerjakan soal di bawah ini !
1. Samakah konstitusi dengan Undang-Undang Dasar ? Berikan argumentasi
secukupnya !
2. Jika dikaitkan pendapat dari Karl Loewenstein, UUD 1945 mengandung nilai
yang mana ? Berikan argumentasi secukupnya !
3. Jika dilihat dari sifatnya, UUD 1945 bersifat fleksibel ataukah rigid ? Berikan
penjelasan secukupnya !
4. Sejak ditetapkan tanggal 18 Agustus 1945, UUD 1945 telah mengalami
beberapa kali mengalami perubahan. Deskripsikan secara singkat mekanisme
perubahan tersebut !
5. Uraikan secara singkat dampak positif dan negatif dari globalisasi bagi
kehidupan bangsa dan negara di Indonesia !
6. Uraikan berbagai upaya yang dapat dilakukan untuk mengendalikan dampak
negatif sebagai akibat globalisasi bagi kehidupan bangsa dan negara di
Indonesia !
7. Menurut pendapat saudara apakah selama era reformasi pancasila sudah
sungguh-sungguh dijadikan sebagai sumber nilai dalam kehidupan bernegara !
8. Apakah Pancasila sudah sungguh-sungguh dijadikan sebagai paradigma
pembangunan !

E. Refleksi
1. Pada hakekatnya, perubahan/amandemen UUD 1945 adalah sebuah tuntutan
masyarakat yang menginginkan adanya kehidupan berbangsa dan bernegara
yang lebih baik. Dengan amandemen tersebut, diharapkan terselenggaranya
negara hukum yang demokratis, terhindar dari sistem pemerintahan absolut,
terwujudnya pemerintahan yang jujur, bersih dan berwibawa, terciptanya
pengawasan pemerintahan yang efektif, terjaminnya perlindungan HAM,
meningkatnya partisipasi aktif warga negara dalam pemerintahan serta
terwujudnya masyarakat madani yang tertib, damai, harmonis dan sejahtera.
Namun demikian, perubahan / amandemen tersebut tidakakan ada artinya jika
tidak dibarengi adanya sikap positif dan dukungan dari seluruh warga negara
mulai dari kehidupan pribadi, keluarga, sekolah, masyarakat, berbangsa dan
bernegara.
2. Globalisasi memberikan dampak yang sangat besar bagi kehidupan manusia
di semua aspek kehidupan, baik kehidupan politik, ekonomi, sosial budaya,
hukum, HAM maupun pertahanan dan keamanan. Dampak tersebut dapat
berifat positif maupun negatif.
3. Dalam rangka mengantisipasi dampak negatif dari globalisasi diperlukan
sikap dan perilaku yang positif setiap warga negara, baik dalam kehidupan
pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Selain itu juga diperlukan
kualitas sumber daya manusia yang memadai, baik dari segi mental spiritual
maupun dari segi intelektual.
4. Para pendiri bangsa kita sebenarnya sudah meletakkan visi yang jelas tentang
pancasila, tetapi selama ini pancasila telah dimanipulasi untuk keuntungan
penguasa. Pancasila hanya dijadikan lips service, hanya dipandang sebagai
ritual politik tanpa ada sangkut pautnya dengan kenyataan sejarah. Oleh
karena itu pancasila harus dikembalikan ke visi semula serta
dikembangkannya secara dinamis dan kreatif sesuai dengan perubahan jaman.
DAFTAR PUSTAKA

Adnan Buyung Nasution, 1995, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia.


Penerjemah : Sylvia Tiwon. Jakarta : Graffiti.

A.K Pringgodogdo, 1956, Kedudukan Presiden Menurut Tiga Undang-Undang


Dasar dalam Teori dan Praktek, Jakarta: Pembangunan.

Alfian,1991, Pancasila Sebagai Ideologi Dalam Kehidupan Politik, Jakarta: BP7


Pusat.

Bagir Manan, Kuntana Magnar, 1995, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi


Suatu Negara, Bandung: Mandar Maju.

---------------------------------------, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia,


Bandung: Alumni.

Bambang Suteng, 2007, Pendidikan Kewarganegaraan Untuk SMA Kelas XII,


Jakarta: Erlangga.

Budi Winarno, 2007, Sistem Politik Indonesia Era Reformasi, Yogyakarta: Med
Press.

------------------ 2004. Globalisasi Wujud ImperialismeBaru Peran Negara dalam


Pembangunan. Yogyakarta : Tajidu Press

Dahlan Thaib, 2004, Jazin Hamidi, Ni’matul Huda, Jakarta: Teori dan Hukum
Konstitusi, Radja Grafindo Persada.

-------------------, 2004. Teori dan Hukum Konstitusi. Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada.

Ellydar Chaidir, 2007, Hukum dan Teori Konstitusi, Yogyakarta: Kreasi Total Media.

Elly M. Setiadi, 2003, Pendidikan pancasila Untuk Perguruan Tinggi, Jakarta: PT


Gramedia Pustaka Utama.

Hans Kelsen, 1995, Teori Hukum Murni: Dasar-dasar Ilmu Hukum Normatif
Sebagai Ilmu Hukum Empirik Deskriptif, Jakarta: Rimdi Press.

Harun Alrasid, Suara Pembaharuan, 24 Juni 1999.

I Gede Pantja Astawa, 2000, Hak Angket Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia
Menurut Undang-Undang Dasar 1945, Disertasi, Bandung: Pascasarjana
Universitas Padjajaran,

Ismail Suny, 1981, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Jakarta: Aksara Baru.

--------------, Kompas, 25 September 1999.

Koerniatmanta Soetoprawiro, (1987), Konstitusi : Pengertian dan Perkembangannya,


Pro Justitia, No 2 tahun V, Mei 1987.

Kunto Wibisono Siswomiharjo, 1996, Pancasila suatu telaah ideologi dalam


perspektif 25 tahun mendatang, Yogyakarta: Pusat Studi Pancasila UGM.

Majelis Pemusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, 2004, Buku I Naskah


Akademik Kajian Komperhensif Komisi Konstitusi Tentang perubahan
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Jakarta.

Martin Khor. 2002. Globalisasi Perangkap Negara-negara Selatan. Yogyakarta :


Cilalaras Pustaka Rakyat Cerdas.

Miriam Budiardjo, 1984, Aneka Pemikiran Tentang Kuasa dan Wibawa, Jakarta:
Sinar Harapan.

----------------------, 2002, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia.

Michael J. Perry, 1998, “What is “the Constitution” (and Other Fundamental


Quenstion) dalam Larry Alexander (ed), Constitutionalism, United Kingdom :
Cambridge University Press.

Moerdiono, 1991, Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka, Jakarta: BP7 Pusat.

Moh. Kusnadi dan Harmaily Ibrahim, 1983, Pengantar Hukum Tata Negara
Indonesia ,Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum
Universitas Indonesia dan Sinar Bakti.
Moh. Mahfud MD, 1998, Politik Hukum di Indonesia. Jakarta, LP3ES.

Mohtar Probotinggi, (1998). Strategi dan Upaya Penyusunan Agenda Politik dalam
Reformasi. Makalah disampaikan dalam seminar di P4K UGM.
Yogyakarta : 29-30 Juni 1998.

Mochtar Kusumatmadja, 1986, Pembinaan Hukum Dalam Rangka Pembanguan


Nasional, Bandung: Bina Cipta.

MPR RI, 2007, Panduan Pemusyaratan Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia tahun 1945, Jakarta: Sekretarian Jendral MPR RI.

Notonagoro, 1980, Pancasila secara ilmiah popule, Jakarta: CV Pancuran Tujuh.

Robert Gilpin, 1987.The Political Economic of International Relation. New Jersey :


Princeton University Press.

Roland Robert.1992. Globalisasi, Social Theory and Global Culture. (ed) Khudzaifah
Dimyah, Kelik Wardiono. 2000. Problema Globalisasi. Surakarta : UMS
Perss
Sastrapratedja. M. J. Riberu dan Frans M.Parera, 1986, Menguak Mitos-mitos
pembangunan talaah etis dan kritis, Jakarta: PT Gramedia.

Sastrapratedja, 1991, Pancasila Sebagai Ideologi Dalam Kehidupan Budaya, Jakarta:


BP7 Pusat.

Shepherd L. Witman dan John J Wuest, 1963, Visual Outline of Comparative


Government, New Jersey: Littlefield, Adams & Co, Peterson.

Soejadi, 1999, Pancasila Sebagi sumber tertib hukum Indonesia, Yogyakarta:


Lukman Offset.

Soerjanto Poespowardojo, 1991, Pancasila Sebagai Ideologi ditinjau dari segi


pandangan hidup bersama, Jakarta: BP7 Pusat.

Sri Soemantri, 1984, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Bandung: Alumni.

----------------, 1987, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Bandung: Alumni.


----------------, 21 Februari 1987, Undang-Undang Dasar dan Ketetapan MPR
sebagai produk MPR, Pidato Guru Besar, Bandung: FH Universitas
Padjajaran.

Strong, C.F, 1966, Modern Political Constitutions, London: Sidg Wiek & Jackson
Limited.

Taufiqurahman, Prosedur Perubahan Konstitusi (perubahan Undang-Undang Dasar


Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan perbandingannya dengan
konstitusi negara lain), Desertasi, Jakarta: FH UI, 2003.

Wade E.C.S, & G. Godfray Philips, 1987, Constitutional Law, London: Logmen,
Green and Co.

Wheare, K.C, 1952, Modern Constitutions, London: Geoffrey Cumberlege Oxford


University Press.

----------------, 2003, Konstitusi-Konstitusi Modern, Surabaya: Pustaka Eureka.

Anda mungkin juga menyukai