Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sepanjang hidupnya, manusia selalu dihadapkan pada keharusan untuk

menilai sesuatu dalam batasan baik-buruk atau pun benar-salah. Penilaian itu

didasarkan pada landasan filosofis atau kepercayaan yang dimiliki oleh masing-

masing individu dan akan menentukan responnya terhadap suatu permasalahan

yang dihadapinya.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di suatu sisi

menyediakan kemudahan-kemudahan baru bagi kehidupan manusia, namun di

sisi lain perkembangan itu tidak dapat terlepas dari nilai-nilai yang dianut oleh

masyarakat. Terkadang penemuan baru yang dihasilkan oleh kemajuan ilmu

pengetahuan dan teknologi menimbulkan polemik di dalam masyarakat tentang

baik atau buruknya penemuan itu bagi kemanusiaan dan peradaban.

Dalam memandang situasi etis dalam dunia modern, Bertens (2007 : 31)

menengarai terutama tiga ciri yang menonjol. Pertama, kita menyaksikan

adanya pluralism moral. Dalam masyarakat yang berbeda sering terlihat nilai

dan norma yang berbeda pula. Bahkan masyarakat yang sama bias ditandai oleh

pluralism moral. Kedua, sering timbul banyak masalah etis baru yang tidak

terduga. Ketiga, dalam dunia modern tampak semakin jelas juga suatu

kepedulian etis yang universal.

Untuk penganut agama, penilaian tentang baik-buruk, atau salah

benarnya sesuatu akan selalu dikembalikan pada konsep-konsep etika dari

agama yang dianutnya. Namun terkadang hal ini menimbulkan kebingungan

1
baru karena hal tersebut tidak ditunjukkan secara eksplisit oleh agama yang

bersangkutan.

S.S. Rama Rao Pappu menyatakan :

“In addition to old-age questions about right or wrong, religions in the modern
age are confronted with difficult questions raised by advances in science and
medical technology” ( Pappu, dalam Rinehart (editor), 2004: 155).

(Sebagai tambahan terhadap pertanyaan sejak masa lampau tentang benar dan
salah, agama pada masa modern dikonfrontasikan dengan pertanyaan-pertanyaan
sulit yang dimunculkan oleh kemajuan teknologi ilmu pengetahuan dan
kedokteran).

Sebagai contoh adalah, bagaimana seharusnya penganut agama

menyikapi masalah cloning manusia yang merupakan keberhasilan ilmu biologi

modern? Benar atau salahkah? Bagaimana dengan penggunaan kontrasepsi

untuk mencegah kehamilan? Bagaimana sikap kita terhadap aborsi? Bagaimana

sikap kita terhadap masalah kesetaraan gender? Benar atau salahkah euthanasia?

Daftar pertanyaan tersebut tentunya dapat bertambah panjang lagi karena

memang pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini.

Seolah-olah belum selesai kita mengkaji suatu masalah, masalah yang baru telah

menanti.

Meski agama tak lagi memonopoli makna kehidupan di masa modern,

namun ia tetap mempunyai potensi paling besar dalam mengangkat harkat dan

martabat kemanusiaan (M. Amin Abdullah, http//www.scribd.com, diunduh

tanggal 2 Februari 2010)

Agama sebagai pedoman hidup harus mampu menyediakan prinsip-

prinsip dan guideline-guideline etika bagi para penganutnya. Tidak adanya

patokan yang kongkrit dalam hal tersebut rentan menimbulkan keraguan

2
terhadap kebenaran agama yang dianutnya atau perselisihan pendapat baik intern

maupun antar umat beragama.

Umat beragama di Indonesia juga tidak terlepas dari permasalahan ini.

Kita dapat melihat bagaimana lembaga otoritas keagamaan seperti MUI (Majelis

Ulama Indonesia) beberapa kali mengeluarkan fatwa yang bahkan terkadang

menimbulkan polemik dalam masyarakat dan mendapat perhatian bukan hanya

dari umat beragama yang bersangkutan, namun juga menjadi wacana bagi umat

beragama lain.

Perkembangan ilmu kesehatan yang akhirnya dapat membuktikan bahwa

kebiasaan merokok dapat menimbulkan akibat-akibat yang buruk bagi kesehatan

menjadi dasar bagi MUI untuk mengeluarkan fatwa bahwa merokok adalah

haram (berdosa bila dilakukan oleh umat Islam) dari yang dulunya merokok

bersifat makruh (bila dilakukan tidak berdosa, namun lebih baik ditinggalkan).

Acuan dari kajian ini bersifat teologis, sehingga menimbulkan polemik saat

dihadapkan dengan pertimbangan sosio-ekonomis masyarakat dimana industri

rokok menyerap tenaga kerja yang besar.

Demikian pula menanggapi situs jejaring sosial, MUI mengeluarkan

fatwa haram. Kemajuan dalam teknologi informasi ini dianggap menimbulkan

lebih banyak mudharat (kerugian) daripada manfaat (keuntungan) bagi

masyarakat. Hal yang sama juga terjadi pada masalah meluruskan ranbut

(rebounding) dan menggunakan pewarna rambut.

Terlepas dari permasalahan ditaati atau tidaknya fatwa (anjuran) itu, hal

ini membuktikan bahwa agama, sebagai sumber etika bagi penganutnya, harus

3
dapat menyediakan pegangan hidup dalam kehidupan manusia yang penuh

perubahan.

Sebagai bagian dari masyarakat global dan khususnya sebagai bagian

dari masyarakat Indonesia, umat Hindu juga menghadapi permasalahan yang

sama. Apalagi karena umat Hindu adalah umat minoritas di Indonesia dimana

keberadaannya terkadang (atau seringkali) tidak diperhitungkan.

Pada kenyataannya, etika tidak selalu bersifat universal. Terkadang etika

pada kelompok tertentu tidak sama pada kelompok yang lain. Pemaksaan suatu

etika dari kelompok tertentu terhadap kelompok lainnya tentu melanggar hak

kelompok yang dipaksa menerima etika tersebut.

Kita dapat mengambil contoh saat akan disahkannya RUU pornografi.

Banyak pihak menilai bahwa RUU tersebut berdasarkan pada konsep etika

agama tertentu yang dapat merugikan bagi umat Hindu. Istilah aurat pada agama

lain tentu tidak dapat sebangun dengan istilah yang ada dalam agama Hindu.

Misalnya saja, bila RUU tersebut jadi disahkan, maka wanita dilarang

mempertontonkan bagian pundaknya karena bagian itu termasuk dalam batasan

aurat yang harus ditutup.

Kita dapat membayangkan implikasinya terhadap keberadaan tari rejang

dewa yang menjadi bagian dalam banyak upacara Agama Hindu Bali. Tarian

tersebut menyimbolkan bidadari dan ditarikan menggunakan pakaian tari yang

terbuka pada bagian pundak. Bila hal tersebut kemudian dilarang karena

melanggar hukum, apa yang akan terjadi?

4
Pada kejadian ini kita melihat bahwa umat Hindu bereaksi terhadap

rancangan peraturan hukum yang dirasakan tidak sesuai dengan konsep etika

yang dimilikinya.

Umat Hindu juga dihadapkan pada masalah yang merupakan masalah

bersama bagi bangsa Indonesia yaitu masalah korupsi dan kemerosotan moral

generasi muda. Dalam rangka menanggapi fenomena-fenomena ini, kajian etika

Hindu sangat diperlukan.

Etika tidak hanya mengetahui pandangan (theory), bahkan setengah dari

tujuan-tujuannya, ia mempengaruhi dan mendorong kehendak supaya

membentuk hidup suci, menghasilkan kebaikan, kesempurnaan, dan memberi

faedah kepada sesama manusia. Etika itu sendiri mendorong manusia agar

berbuat baik, tetapi ia tidak selalu berhasil kalau tidak ditaati oleh manusia

(Abdullah, 2006: 13)

Masalah ditaati atau tidaknya konsep sebuah agama, baik itu agama

secara umum, maupun aspek etika agama secara khusus akan sangat tergantung

pada masing-masing individu dan dipengaruhi oleh banyak faktor yang

kompleks, namun setidak-tidaknya kajian tentang etika akan menyediakan

kompas bagi kapal peradaban dan kemanusiaan.

1.2 Rumusan Masalah

Agama Hindu memiliki tiga aspek yaitu tattwa (filsafat), susila (etika),

dan upacara (ritual). Ketiga aspek ini saling terkait satu sama lain. Aspek tattwa

(keyakinan) menjadi jiwa bagi aspek-aspek yang lain.

5
Susila dan upacara dalam agama Hindu tidak lain merupakan

pengejawantahan praktis bagi keyakinan yang berlaku. Upacara dalam agama

Hindu merupakan bentuk fisik dari keyakinan yang terdapat dalam agama

Hindu, demikian pula dengan Susila yang merupakan bentuk perilaku yang

dijiwai oleh konsep-konsep keyakinan dalam agama Hindu.

Dari fenomena yang terjadi tersebut, maka permasalahan yang timbul

adalah :

1. Dari manakah sumber-sumber etika Hindu?

2. Apakah basis/pondasi teologis dari etika Hindu?

3. Bagaimanakah rumusan etika Hindu yang dapat digunakan sebagai

perspektif bagi umat Hindu dalam menanggapi permasalahan yang

timbul karena perkembangan IPTEK?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Secara umum, tujuan penelitian ini adalah untuk memperdalam

wawasan kita tentang aspek-aspek agama Hindu terutama aspek Etika

atau susila yang dalam perkembangannya menjadi memiliki peran yang

sangat penting dalam kehidupan umat.

1.3.2 Tujuan Khusus

Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mencari basis teologis dari etika Hindu

2. Menemukan sumber-sumber etika Hindu

6
3. Merumuskan etika Hindu dan mengkaitkannya dengan konteks

kekinian

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

Secara teoritis penelitian ini akan menyediakan kajian yang lebih

mendalam tentang etika Hindu. Agama Hindu memiliki tiga pilar yaitu Tattwa

(filsafat), Susila (Etika), dan Upacara (ritual). Dari ketiganya, aspek etika

tampaknya merupakan aspek yang paling sedikit mendapat perhatian

dibandingkan dengan kajian tentang filsafat Hindu dan tata upacara.

1.4.2 Manfaat Praktis

Pada tataran praktis, penelitian ini akan menghasilkan kerangka

berpikir dan landasan perilaku bagi umat Hindu dalam menyikapi segala

bentuk perkembangan jaman sehingga tidak timbul keraguan dalam

mengambil sikap di tengah-tengah umat beragama lain.

7
BAB II

KAJIAN PUSTAKA, TEORI, KONSEP, DAN MODEL PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka

S.S Rama Rao Pappu, dalam merumuskan Etika Hindu mengawali

dengan pertanyaan tentang definisi karena menurutnya :

“If ethics is conceived as a set of universal norms applicable to all rational


beings, then ethics cannot be uniquely Hindu, because “Hindu” refers to a
religious group that is a subset, and not a whole, of all rational beings.

(Jika etika dikonsepkan sebagai seperangkat norma universal yang berlaku


pada seluruh makhluk rasioal, maka etika tidak bisa disebut Hindu, karena
“Hindu” mengacu pada kelompok relijius yang terdiri dari bagian-bagian,
bukan keseluruhan, dari makhluk-makhluk rasional)(Pappu, 2004: 155).

Namun lanjutnya :

“…if we mean by “Hindu ethics” a set of moral norms that are prescriptive for
Hindus and Hindus alone, than ethics will be relativistic, without universal
validity.”

(…jika yang kita maksud dengan “Etika Hindu” adalah seperangkat norma
moral yang diperintahkan untuk orang Hindu dan hanya orang Hindu, maka
etika menjadi bersifat relative, tanpa validitas universal)(Pappu, 2004: 156)

Usaha Pappu untuk merumuskan etika dari perspektif Hindu

tampaknya menemui suatu kesulitan karena luasnya cakupan Hindu itu

sendiri. Pernyataannya menyiratkan bahwa hampir tidak mungkin untuk

merumuskan sesuatu yang disebut secara umum sebagai “Etika Hindu.”

Untuk mengatasi permasalahan ini, Pappu menoleh pada pembagian

yang biasa dilakukan dalam merumuskan Etika Hindu, yaitu :

(1) Sadharana dharmas, or duties pertaining to persons-qua-persons,


without reference to their station in life or their particular
circumstances, and (2) visesha dharmas or relative duties, that is,
duties pertaining to one’s station in life and life stages. ((1)
Sadharana dharma, atau kewajiban yang ditujukan pada setiap orang

8
tanpa mengacu pada kedudukan mereka dalam kehidupan atau
keadaan-keadaan khusus, dan (2) Visesha dharma atau kewajiban
relatif, yang adalah, kewajiban-kewajiban yang ditentukan oleh
keadaan atau tahap seseorang dalam kehidupan.)
(Pappu, 2004: 156)

Sementara itu, I Gede Sura mengawali perumusannya tentang etika

Hindu dengan mengajukan definisi yang agak berbeda. Menurutnya, Etika

adalah bentuk pengendalian diri dalam pergaulan hidup bersama (Sura, 2001:

38).

Sura menyatakan, sasaran pandangan etika khusus kepada tindakan-

tindakan manusia yang dilakukan dengan sengaja (Sura, 2001: 42). Ini berarti

penilaian etika tidak berlaku bagi tindakan-tindakan yang dilakukan secara

tidak sengaja sehingga, misalnya, untuk seorang anak kecil atau orang tidak

waras penilaian etika tidak berlaku.

Rumusan-rumusan yang diajukan ini kebanyakan masih tidak

dikaitkan dengan konteks kekinian sehingga sulit diaplikasikan oleh umat

Hindu sebagai kerangka berpikir dalam menganalisa fenomena-fenomena baru

yang perlu ditanggapinya.

Dalam menganalisis etika Hindu yang terdapat dalam sastra

Ramayana, Roderick Hindery menyarankan empat aspek :

(A) Mores, (B) Ethos, (C) Institutions, and (D) legitimation, this
study will conclude with the suggestion that popular or Ramayanic ethics can
at least complement the ethical implication of philosophical Hindu systems in
the quest for religio-ethical and political-economic reform in India (Hindery,
1976: 288).

((A) Moral, (B) Etos, (C) Lembaga-lembaga, (D) Legitimasi, kajian ini
bermaksud menyimpulkan sebuah usulan bahwa etika popular maupun etika
masa Ramayana setidaknya dapat memperlengkap implikasi etis dari system

9
filsafat Hindu untuk mencari bentuk reformasi religio-etis dan ekonomi-
politik di India.

Walaupun Hindery telah mengajukan kerangka analisa yang cukup

tepat untuk merumuskan etika Hindu, namun pada akhirnya kesimpulan

penelitiannya memang berlatar belakang untuk mencari nilai-nilai yang cocok

untuk mendukung reformasi religio-etis dan ekonomi-politik di India.

Penelitian ini bermaksud untuk merumuskan etika Hindu agar dapat

dikaitkan dengan konteks kekinian walaupun tetap mengacu pada sumber-

sumber ajaran Hindu yang otoritatif yaitu kitab suci dan sastra Hindu.

Rumusan ini tidak harus, bahkan tidak boleh, berupa hukum atau

dogma yang kaku dan berimplikasi pada sikap yang menolak kemajuan atau

anti perkembangan teknologi, namun harus menyediakan prinsip yang

membuat penganut agama mampu menyikapi perkembangan jaman tanpa

melepaskan atau menyimpang dari tujuan hidup yang diajarkan agama.

Rumusan etika ini juga tidak boleh bersifat oversimplifikasi ajaran-

ajaran agama yang berarti agama menjadi “kalah” oleh peranan jaman.

2.2 Teori

Teori ialah pengetahuan yang diorganisasikan dengan cara tertentu

yang meletakkan fakta di bawah kaidah umum (Kaplan & Manners,

2002:43). Konstruksi teori melibatkan kajian atas konsep dan argumen-

argumen, seringkali juga pendefinisian ulang dan mengkritik hasil kerja

sebelumnya, untuk mencari alat-alat baru yang digunakan untuk memahami

dunia (Barker, 2005 : 44).

10
Teori melakukan generalisasi, tetapi ini bukan berarti teori perlu

melakukan sistematisasi atau totalisasi (Beilharz, 2005:xix). Dalam

bentuknya yang paling sederhana, generalisasi adalah proposisi yang

menjadikan dua atau lebih kelas fenomena saling berhubungan. Dalam

generalisasi terkandung suatu sikap logis yang penting, yakni bahwa

pernyataan yang dikemukakannya bersifat melampaui hal yang diamati atau

direkam (Kaplan & Manners, 2002:26).

Dalam ilmu sosial, proposisi biasanya disebut sebagai pernyataan

tentang hubungan antara dua konsep atau lebih (Usman dan Akbar, 2009:7).

Dalam arti harafiahnya proposisi bermakna sesuatu pengertian yang diajukan

oleh seseorang untuk mendapat persetujuan atau kesepakatan pengertian atas

sesuatu yang dibicarakan, ini mengacu pada pengertian proposisi dari

Spinoza.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa teori merupakan satu set

konsep atau konstruk yang berhubungan satu dengan yang lainnya, atau satu

set proposisi yang mengandung pandangan sistematis dari gejala tertentu.

Teori diperlukan untuk membantu peneliti menganalisis informasi-informasi

yang diperoleh selama penelitian agar informasi-informasi tersebut dapat

menyajikan data-data yang menunjukkan suatu pola yang menerangkan

fenomena yang diteliti.

Teori juga turut menentukan jenis pendekatan yang digunakan untuk

melihat dari segi mana objek penelitian dipandang, dari dimensi mana peristiwa

11
dilihat, dimensi apa yang diperhatikan, unsur-unsur mana yanag diungkap dan

sebagainya (Wijaya, 2003 : 20).

Teori tentang etika berkembang dari konsep tentang tujuan hidup manusia,

baik untuk mencapai tujuan hidup di dunia maupun tujuan yang lebih jauh yaitu

tujuan setelah kematian.

Pandangan tentang filsafat etika :

1. Etika Hedonisme, yaitu etika yang mengarahkan kepada keperluan untuk


menghasilkan sebanyak-banyaknya kesenangan bagi manusia:
2. Etika Ultilitaristik, yaitu etika yang mengkoreksinya dengan
menambahkan bahwa kesenangan atau kebahagiaan dihasilkan oleh etika
yang baik merupakan kebahagiaan bagi sebanyak mungkin orang:
3. Etika Deontologis, yaitu etika yang memandang bahwa sumber bagi
perbuatan etis adalah rasa kewajiban.
(Abdullah, 2006: 18)

Sementara bentuk pembagian lain adalah :

1. Teleology : sebuah tindakan dianggap benar secara moral atau


dapat diterima jika tindakan itu membuahkan hasil yang diinginkan
seperti pengetahuan, kesenangan, perkembangan karir, kepentingan
pribadi, atau kegunaan. Menilai moral dari sebuah perilaku dilakukan
dengan melihat konsekuensi perilaku tersebut (consequentialisme).
Pandangan ini memiliki dua dasar filosofi :
• Egoisme : perilaku yang benar atau dapat diterima berdasarkan
konsekuensinya terhadap individu. Maksimalkan kepentingan pribadi
anda, perhatikan konsekuensinya, cari alternative yang paling tinggi
kontribusinya terhadap kepentingan pribadi.
• Utilitarianisme : memperhatikan konsekuensi dalam artian mencari
kebaikan yang utama dari jumlah orang sebanyak-banyaknya. Carilah
keuntungan terbaik bagi semua yang terpengaruh oleh sebuah keputusan.
Utilitarianisme membuat penilaian moral berdasarkan konsekuensi
tindakan, atau konsekuensi dari aturan bertindak.
2. Deontologi (Latin: deon-kewajiban: logos-ilmu pengetahuan) :
sebuah tindakan adalah benar jika tindakan itu merupakan kewajiban
yang harus dijalankan. Jika itu bukan kewajiban yang harus dijalankan,
maka tindakan itu adalah salah. Sebagai contoh, menyiksa, memperkosa,
memperbudak seseorang adalah selalu salah tidak peduli apapun
konsekuensinya. Jadi, deontology memfokuskan pada hak seseorang dan
memperhatikan tingkah laku bukan dengan konsekuensi-konsekuensi.
Pandangan ini mempercayai bahwa ada beberapa hal yang seharusnya

12
tidak kita lakukan walaupun itu menguntungkan (disarikan dari Teori
Etika, http//www.scribd.com, diunduh tanggal 29 Maret 2010).

2.3 Konsep

Konsep dalam ilmu sosial bersifat sangat umum dan abstrak,

berbeda dengan konsep-konsep ilmu alam. Dari sifat umum itu, justru

konsep diperlukan sebagai sebuah penentuan variable yang dipakai dalam

sebuah penelitian agar pengertian yang dimaksud memiliki pengertian

yang terbatas dalam artian tertentu.

Dengan demikian :

Konsep dapat disebut sebagai generalisasi dari


sekelompok gejala tertentu sehingga dapat dipakai untuk
menggambarkan berbagai gejala yang sama….Semakin dekat
suatu konsep dengan kenyataan, semakin mudah konsep tersebut
diukur (Usman dan Akbar, 2009:7).

Setiap konsep paling sedikit terdiri atas dua atau tiga rangkap

komponen, demikian seterusnya (Titib, 2006: 13). Kompenen-kompenen

etika biasanya berkaitan dengan prinsip-prinsip moral dan aturan tentang

tingkah laku.

2.3.1 Konsep Etika

Etika berasal dari bahasa Yunani ethos (jamak: ta etha) yang berarti

adat kebiasaan (Zuriah, 2007:17), namun sebenarnya etika tidak hanya

mempelajari tentang adat kebiasaan yang menentukan nilai baik-buruknya

sesuatu sehingga pengertian etika harus diperluas.

13
Etika sebagai cabang filsafat mempelajari tingkah laku manusia

ditinjau dari sudut baik dan buruk, merupakan hasil perbuatan manusia yang

bebas, yang sesuai dengan tingkatan manusia sebagai individu, sebagai

persona, artinya suatu nilai yang seharusnya berlaku bagi manusia untuk

mempertahankan derajat kemanusiaannya. Etika memberikan pedoman

kepada manusia untuk memperoleh kebahagiaan di dalam hidupnya

(Wardana dan Relin, 2004: 108).

Hasil perbuatan manusia yang bebas artinya perbuatan itu

dilaksanakan dalam lingkup kesadaran pribadi, bukan karena paksaan

seseorang atau pihak lain. Sebagai contoh: orang yang dipaksa untuk

melakukan pembunuhan oleh orang lain sebenarnya tidak dapat disebut

buruk karena perbuatan itu dilakukan pada saat ia tidak bebas atau tidak

sebagai persona. Mungkin saja justru orang tersebut memiliki pertimbangan

moral yang bertentangan dengan apa yang terpaksa dilakukannya.

Ini menimbulkan pertanyaan lebih lanjut, apakah bila seseorang

melakukan perbuatan yang salah karena terpaksa dan di luar kemauannya itu

adalah hal yang buruk? Kajian-kajian seperti inilah yang juga merupakan

cakupan etika sehingga pengertiannya, etika adalah ilmu yang mempelajari:

1. a system of moral principles or rules of behavior (sebuah system


prinsip moral atau aturan perilaku)
2. moral principles that govern or influence a persons behavior
(prinsip-prinsip moral yang mengatur atau mempengaruhi perilaku
seseorang)
(Hornby, 1995:393)

Etika sebagai cabang filsafat menjadi refleksi kritis terhadap tingkah

laku manusia, maka etika tidak bermaksud untuk membuat orang bertindak

14
sesuai tingkah laku yang bagus saja. Ia harus bertindak berdasarkan

pertimbangan akal sehat, apakah bertentangan atau membangun tingkah laku

baik (Abdullah, 2006: 580)

Menurut Maswinara Etika adalah cabang filsafat yang menyelidiki

permasalahan moralitas seperti standard pertimbangan moral, tujuan

kehidupan manusia yang lebih tinggi dan permasalahan lain yang berkaitan

denganya (Maswinara, 2006:3).

Lebih lanjut Maswinara menjelaskan, filsafat India membicarakan

permasalahan yang berbeda dari Metafisika, Etika, Logika, Phsikologi dan

Epitemologi, tetapi umumnya ia tidak membicarakannya secara terpisah

(Maswinara, 2006:4).

Ajaran etika atau tata susila yakni tingkah laku yang baik dan benar

untuk kebahagiaan hidup serta untuk keharmonisan hubungan antara

manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa, antara sesama manusia, manusia

dengan alam semesta, dan ciptaan-Nya (Titib, 1996: 308)

2.3.2 Konsep Teologi Hindu

Di dalam sastra Sansekerta dan berbagai kitab suci Hindu, ilmu yang

mempelajari tentang Tuhan dinamakan BRAHMA WIDYA atau BRAHMA

TATTWA JNANA. (Pudja, 1992: 9)

Usaha untuk merumuskan “Teologi Hindu” membuahkan hasil yang

berbeda-beda. Tidak ada rumusan tunggal tentang Tuhan dalam Hindu. Hal

ini disebabkan karena Hindu merupakan agama yang merangkul banyak jenis

kepercayaan dan praktek keagamaan yang berbeda.

15
Harus diakui ada banyak kerancuan atau ketidakjelasan tentang

pemahaman Tuhan di kalangan masyarakat Hindu. Ini disebabkan antara lain

karena begitu luasnya pustaka suci Hindu yang seringkali memberikan

penekanan berbeda pada aspek-aspek tertentu dari wacana mengenai Tuhan.

Ini juga disebabkan oleh karena konsep Istadewata mengijinkan setiap orang

Hindu memilih ideal untuk dipuja yang paling cocok dengan kecenderungan

rohaninya ( Putra, 2008, Media Hindu: V).

Umat Hindu sendiri sering mengalami kebingungan untuk

menjelaskan ketika ditanya perihal Tuhannya. Tampaknya hal ini disebabkan

pendidikan keagamaan yang tidak menekankan pada perbedaan perspektif

ketuhanan dalam Hindu dengan perspektif ketuhanan dalam agama lain.

Malahan upaya yang dilakukan adalah mempersamakan konsep-konsep

ketuhanan agama Hindu yang sebenarnya unik dan khas dengan konsep-

konsep ketuhanan agama lain untuk menghindari stigma yang negatif tentang

Hindu.

Mindset umat Hindu kebanyakan terbentuk oleh mindset ketuhanan a

la Monotheisme Abrahamik karena justru pandangan inilah yang menyebar

luas dalam masyarakat yang mayoritas memang adalah penganut agama-

agama Monotheisme Abrahamik.

Tentu saja, berpandangan monotheisme bagi orang Hindu bukanlah

hal yang salah karena memang dalam keluarga besar agama Hindu ada yang

menganut paham yang serupa dengan Monotheisme Abrahamik. Kelompok

16
ini biasanya mendasarkan filsafat ketuhanannya pada Vedanta yang bersifat

Dvaita (mengakui bahwa Tuhan berbeda dengan jiwa individu).

Pada garis besarnya, ada tiga kelompok besar pandangan ketuhanan

dalam Hindu, yaitu:

a. Pandangan Advaita

Menurut Advaita Vedanta, semua makhluk baik yang hidup maupun yang

tidak hidup tiada lain adalah Brahman (Pandit, 2005: 65).

Menurut pandangan ini, Tuhan (Brahman) adalah satu dan tak terpisahkan

dengan jiwatman (jiwa individu). Semua perbedaan dan kejamakan adalah

merupakan khayalan yang disebut dengan maya.

Orang pertama yang secara sistematis menguraikan filsafat Advaita adalah

Gaudapada yang merupakan Parama Guru (gurunya guru) dari Sri Sankara.

Govinda, guru dari Sri Sankara adalah murid dari Gaudapada.(Maswinara,

1999: 181).

b. Pandangan Visistadvaita

Pandangan ini menanamkan pengertian Advaita atau kesatuan dengan Tuhan,

dengan Visesa atau atribut, sehingga ia merupakan monism terbatas. Hanya

Tuhan saja yang ada, sedangkan semua yang lainnya yang terlihat merupakan

perwujudan atau atributNya (Maswinara, 1999: 185).

Visistadvaita disebut juga non-dualisme dengan kualitas yang berkesimpulan

bahwa Kenyataan Tertinggi, walaupun satu tetapi bukannya tanpa perbedaan,

karena ketidakberbedaan tansendental semacam itu tak dapat diterima dan

17
tidak logis. Ada tiga kenyataan fundamental yaitu, Isvara (Tuhan), Cit (jiwa),

dan Acit (materi).

Tokoh utama aliran ini adalah Ramanujacarya. Tidak seperti Sankara,

Ramanuja lebih menyukai pengabdian di atas pengetahuan sebagai alat untuk

mencapai kesadaran diri. Ia menyatakan penyerahan diri sebagai jalan untuk

mencapai pembebasan diri (Pandit, 2005: 66)

c. Pandangan Dvaita

Menurut pandangan ini, Tuhan memiliki perbedaan-perbedaan atau terpisah

dengan hal-hal lain. Ajaran ini, oleh Madhvacarya disebut Atyanta-bheda-

darsana yang menegaskan 5 perbedaan besar (panca bheda), yaitu (1)

perbedaan antara Tuhan dan roh pribadi, (2) perbedaan antara Tuhan dengan

materi, (3) perbedaan antara roh pribadi dengan materi, (4) perbedaan antara

satu roh dengan roh lainnya dan (5) perbedaan antara materi yang satu

dengan materi yang lainnya. (Maswinara, 1999: 191). Pencetus pandangan ini

adalah Madhvacarya.

Perbedaan pandangan-pandangan ini, walaupun mengundang

perdebatan yang cukup sengit, namun tidak menimbulkan konflik yang

meluas diantara para penganutnya. Fenomena yang terjadi justru pada

akhirnya banyak paham ketuhanan yang lebih baru mengadopsi aspek-aspek

dari ketiga pandangan ini.

Pada akhirnya memang perbedaan pandangan teologi ini

menimbulkan perbedaan-perbedaan dalam ritual agama, namun tampaknya

18
dalam masalah etika tidak terlalu menunjukkan adanya perbedaan yang

signifikan.

Walaupun semua perbedaan dari doktrin metaphisik, cara-cara

disiplin keagamaan serta bentuk-bentuk pelaksanaan ritual dan kebiasaan

social umumnya dalam masyarakat Hindu, namun ada keseragaman yang

mendasar dalam konsep agama serta dalam cara berpikir tentang kehidupan

dan alam raya, diantara semua kelompok orang Hindu (Sivananda, 2003: 4).

2.4 Model Penelitian

Ajaran Agama Hindu

Teologi Hindu

Etika Hindu
Fenomena Kemajuan IPTEK

19
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan berlokasi di Kota Madya Mataram dengan

memanfaatkan fasilitas Perpustakaan Daerah Propinsi NTB, Perpustakaan

Kota Mataram, maupun Perpustakaan STAHN Gde Pudja Mataram.

3.2. Pendekatan

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

filsafat dengan cara mencoba untuk merumuskan konsep etika Hindu

dipandang dari perspektif Teologi Hindu. Hal ini dikarenakan peneliti

berpegang pada kenyataan bahwa etika adalah merupakan cabang dari ilmu

filsafat.

Pendekatan lain yang digunakan adalah pendekatan penafsiran karena

berkaitan dengan kajian-kajian terhadap teks-teks yang dilakukan.

Pendekatan penafsiran diturunkan dari kajian-kajian sastra dan hermeneutika,

dan berkepentingan dengan evaluasi kritis terhadap teks-teks (Stokes, 2006:

ix)

3.3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam mengumpulkan data, metode yang digunakan adalah metode

kepustakaan dengan cara mengkaji pustaka-pustaka Hindu terutama yang

menyangkut Teologi dan Etika yang kemudian dianalisa untuk menemukan

kaitannya secara ilmiah. Yang dimaksud dengan metode kepustakaan

(library method) adalah mengadakan kajian dan penelusuran terhadap

20
sumber-sumber kepustakaan yang dijadikan subyek penelitian (Sutrisno,

1982: 21 dalam Titib, 2003: 4)

Selain itu, untuk mendapatkan sumbangan pemikiran dari sumber-

sumber yang lain akan digunakan metode focused group discussion (FGD)

atau kelompok focus atau kelompok terarah. Seperti dindikasikan lewat

namanya, tujuan kelompok fokus adalah untuk memfokuskan diskusi pada

masalah khusus. Wawancara pola ini dapat dirancang, sehingga pertanyaan-

pertanyaan dan checklist-nya disiapkan lebih dulu atau sebaliknya.

Pertanyaan dibuat sepenuhnya tidak terstruktur, sehingga intervensi peneliti

sangat minimal (Bell, 2006 : 200)

Kelompok terarah melibatkan sekelompok orang-acap dilengkapi

dengan pengalaman atau karakteristik serupa-yang diwawancarai oleh

seorang peneliti (disebut ‘moderator’ atau’fasilitator’). Tujuannya adalah

memunculkan gagasan, persepsi, dan pemikiran mengenai suatu topik yang

spesifik atau permasalahan tertentu terkait dengan wilayah kepentingan

tertentu (Daymon, 2008 : 293).

Paradigma penelitian ini adalah kualitatif. Ini bertujuan untuk dapat

menggali makna yang sedalam-dalamnya dari obyek yang diteliti. Penelitian

Kualitatif merupakan nama yang diberikan bagi paradigm penelitian yang

terutama berkepentingan dengan makna dan penafsiran (Stokes, 2006: ix).

21

Anda mungkin juga menyukai