PENDAHULUAN
menilai sesuatu dalam batasan baik-buruk atau pun benar-salah. Penilaian itu
didasarkan pada landasan filosofis atau kepercayaan yang dimiliki oleh masing-
yang dihadapinya.
sisi lain perkembangan itu tidak dapat terlepas dari nilai-nilai yang dianut oleh
Dalam memandang situasi etis dalam dunia modern, Bertens (2007 : 31)
adanya pluralism moral. Dalam masyarakat yang berbeda sering terlihat nilai
dan norma yang berbeda pula. Bahkan masyarakat yang sama bias ditandai oleh
pluralism moral. Kedua, sering timbul banyak masalah etis baru yang tidak
terduga. Ketiga, dalam dunia modern tampak semakin jelas juga suatu
1
baru karena hal tersebut tidak ditunjukkan secara eksplisit oleh agama yang
bersangkutan.
“In addition to old-age questions about right or wrong, religions in the modern
age are confronted with difficult questions raised by advances in science and
medical technology” ( Pappu, dalam Rinehart (editor), 2004: 155).
(Sebagai tambahan terhadap pertanyaan sejak masa lampau tentang benar dan
salah, agama pada masa modern dikonfrontasikan dengan pertanyaan-pertanyaan
sulit yang dimunculkan oleh kemajuan teknologi ilmu pengetahuan dan
kedokteran).
sikap kita terhadap masalah kesetaraan gender? Benar atau salahkah euthanasia?
Seolah-olah belum selesai kita mengkaji suatu masalah, masalah yang baru telah
menanti.
namun ia tetap mempunyai potensi paling besar dalam mengangkat harkat dan
2
terhadap kebenaran agama yang dianutnya atau perselisihan pendapat baik intern
Kita dapat melihat bagaimana lembaga otoritas keagamaan seperti MUI (Majelis
dari umat beragama yang bersangkutan, namun juga menjadi wacana bagi umat
beragama lain.
menjadi dasar bagi MUI untuk mengeluarkan fatwa bahwa merokok adalah
haram (berdosa bila dilakukan oleh umat Islam) dari yang dulunya merokok
bersifat makruh (bila dilakukan tidak berdosa, namun lebih baik ditinggalkan).
Acuan dari kajian ini bersifat teologis, sehingga menimbulkan polemik saat
masyarakat. Hal yang sama juga terjadi pada masalah meluruskan ranbut
Terlepas dari permasalahan ditaati atau tidaknya fatwa (anjuran) itu, hal
ini membuktikan bahwa agama, sebagai sumber etika bagi penganutnya, harus
3
dapat menyediakan pegangan hidup dalam kehidupan manusia yang penuh
perubahan.
sama. Apalagi karena umat Hindu adalah umat minoritas di Indonesia dimana
pada kelompok tertentu tidak sama pada kelompok yang lain. Pemaksaan suatu
etika dari kelompok tertentu terhadap kelompok lainnya tentu melanggar hak
Banyak pihak menilai bahwa RUU tersebut berdasarkan pada konsep etika
agama tertentu yang dapat merugikan bagi umat Hindu. Istilah aurat pada agama
lain tentu tidak dapat sebangun dengan istilah yang ada dalam agama Hindu.
Misalnya saja, bila RUU tersebut jadi disahkan, maka wanita dilarang
dewa yang menjadi bagian dalam banyak upacara Agama Hindu Bali. Tarian
terbuka pada bagian pundak. Bila hal tersebut kemudian dilarang karena
4
Pada kejadian ini kita melihat bahwa umat Hindu bereaksi terhadap
rancangan peraturan hukum yang dirasakan tidak sesuai dengan konsep etika
yang dimilikinya.
bersama bagi bangsa Indonesia yaitu masalah korupsi dan kemerosotan moral
faedah kepada sesama manusia. Etika itu sendiri mendorong manusia agar
berbuat baik, tetapi ia tidak selalu berhasil kalau tidak ditaati oleh manusia
Masalah ditaati atau tidaknya konsep sebuah agama, baik itu agama
secara umum, maupun aspek etika agama secara khusus akan sangat tergantung
Agama Hindu memiliki tiga aspek yaitu tattwa (filsafat), susila (etika),
dan upacara (ritual). Ketiga aspek ini saling terkait satu sama lain. Aspek tattwa
5
Susila dan upacara dalam agama Hindu tidak lain merupakan
Hindu merupakan bentuk fisik dari keyakinan yang terdapat dalam agama
Hindu, demikian pula dengan Susila yang merupakan bentuk perilaku yang
adalah :
6
3. Merumuskan etika Hindu dan mengkaitkannya dengan konteks
kekinian
mendalam tentang etika Hindu. Agama Hindu memiliki tiga pilar yaitu Tattwa
(filsafat), Susila (Etika), dan Upacara (ritual). Dari ketiganya, aspek etika
berpikir dan landasan perilaku bagi umat Hindu dalam menyikapi segala
7
BAB II
Namun lanjutnya :
“…if we mean by “Hindu ethics” a set of moral norms that are prescriptive for
Hindus and Hindus alone, than ethics will be relativistic, without universal
validity.”
(…jika yang kita maksud dengan “Etika Hindu” adalah seperangkat norma
moral yang diperintahkan untuk orang Hindu dan hanya orang Hindu, maka
etika menjadi bersifat relative, tanpa validitas universal)(Pappu, 2004: 156)
8
tanpa mengacu pada kedudukan mereka dalam kehidupan atau
keadaan-keadaan khusus, dan (2) Visesha dharma atau kewajiban
relatif, yang adalah, kewajiban-kewajiban yang ditentukan oleh
keadaan atau tahap seseorang dalam kehidupan.)
(Pappu, 2004: 156)
adalah bentuk pengendalian diri dalam pergaulan hidup bersama (Sura, 2001:
38).
tindakan manusia yang dilakukan dengan sengaja (Sura, 2001: 42). Ini berarti
tidak sengaja sehingga, misalnya, untuk seorang anak kecil atau orang tidak
(A) Mores, (B) Ethos, (C) Institutions, and (D) legitimation, this
study will conclude with the suggestion that popular or Ramayanic ethics can
at least complement the ethical implication of philosophical Hindu systems in
the quest for religio-ethical and political-economic reform in India (Hindery,
1976: 288).
((A) Moral, (B) Etos, (C) Lembaga-lembaga, (D) Legitimasi, kajian ini
bermaksud menyimpulkan sebuah usulan bahwa etika popular maupun etika
masa Ramayana setidaknya dapat memperlengkap implikasi etis dari system
9
filsafat Hindu untuk mencari bentuk reformasi religio-etis dan ekonomi-
politik di India.
sumber ajaran Hindu yang otoritatif yaitu kitab suci dan sastra Hindu.
Rumusan ini tidak harus, bahkan tidak boleh, berupa hukum atau
dogma yang kaku dan berimplikasi pada sikap yang menolak kemajuan atau
ajaran agama yang berarti agama menjadi “kalah” oleh peranan jaman.
2.2 Teori
10
Teori melakukan generalisasi, tetapi ini bukan berarti teori perlu
tentang hubungan antara dua konsep atau lebih (Usman dan Akbar, 2009:7).
Spinoza.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa teori merupakan satu set
konsep atau konstruk yang berhubungan satu dengan yang lainnya, atau satu
melihat dari segi mana objek penelitian dipandang, dari dimensi mana peristiwa
11
dilihat, dimensi apa yang diperhatikan, unsur-unsur mana yanag diungkap dan
Teori tentang etika berkembang dari konsep tentang tujuan hidup manusia,
baik untuk mencapai tujuan hidup di dunia maupun tujuan yang lebih jauh yaitu
12
tidak kita lakukan walaupun itu menguntungkan (disarikan dari Teori
Etika, http//www.scribd.com, diunduh tanggal 29 Maret 2010).
2.3 Konsep
berbeda dengan konsep-konsep ilmu alam. Dari sifat umum itu, justru
Dengan demikian :
Setiap konsep paling sedikit terdiri atas dua atau tiga rangkap
tingkah laku.
Etika berasal dari bahasa Yunani ethos (jamak: ta etha) yang berarti
13
Etika sebagai cabang filsafat mempelajari tingkah laku manusia
ditinjau dari sudut baik dan buruk, merupakan hasil perbuatan manusia yang
persona, artinya suatu nilai yang seharusnya berlaku bagi manusia untuk
seseorang atau pihak lain. Sebagai contoh: orang yang dipaksa untuk
buruk karena perbuatan itu dilakukan pada saat ia tidak bebas atau tidak
melakukan perbuatan yang salah karena terpaksa dan di luar kemauannya itu
adalah hal yang buruk? Kajian-kajian seperti inilah yang juga merupakan
laku manusia, maka etika tidak bermaksud untuk membuat orang bertindak
14
sesuai tingkah laku yang bagus saja. Ia harus bertindak berdasarkan
kehidupan manusia yang lebih tinggi dan permasalahan lain yang berkaitan
(Maswinara, 2006:4).
Ajaran etika atau tata susila yakni tingkah laku yang baik dan benar
manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa, antara sesama manusia, manusia
Di dalam sastra Sansekerta dan berbagai kitab suci Hindu, ilmu yang
berbeda-beda. Tidak ada rumusan tunggal tentang Tuhan dalam Hindu. Hal
ini disebabkan karena Hindu merupakan agama yang merangkul banyak jenis
15
Harus diakui ada banyak kerancuan atau ketidakjelasan tentang
Ini juga disebabkan oleh karena konsep Istadewata mengijinkan setiap orang
Hindu memilih ideal untuk dipuja yang paling cocok dengan kecenderungan
ketuhanan agama Hindu yang sebenarnya unik dan khas dengan konsep-
konsep ketuhanan agama lain untuk menghindari stigma yang negatif tentang
Hindu.
hal yang salah karena memang dalam keluarga besar agama Hindu ada yang
16
ini biasanya mendasarkan filsafat ketuhanannya pada Vedanta yang bersifat
a. Pandangan Advaita
Menurut Advaita Vedanta, semua makhluk baik yang hidup maupun yang
Menurut pandangan ini, Tuhan (Brahman) adalah satu dan tak terpisahkan
Gaudapada yang merupakan Parama Guru (gurunya guru) dari Sri Sankara.
1999: 181).
b. Pandangan Visistadvaita
Tuhan saja yang ada, sedangkan semua yang lainnya yang terlihat merupakan
17
tidak logis. Ada tiga kenyataan fundamental yaitu, Isvara (Tuhan), Cit (jiwa),
c. Pandangan Dvaita
perbedaan antara Tuhan dan roh pribadi, (2) perbedaan antara Tuhan dengan
materi, (3) perbedaan antara roh pribadi dengan materi, (4) perbedaan antara
satu roh dengan roh lainnya dan (5) perbedaan antara materi yang satu
dengan materi yang lainnya. (Maswinara, 1999: 191). Pencetus pandangan ini
adalah Madhvacarya.
18
dalam masalah etika tidak terlalu menunjukkan adanya perbedaan yang
signifikan.
mendasar dalam konsep agama serta dalam cara berpikir tentang kehidupan
dan alam raya, diantara semua kelompok orang Hindu (Sivananda, 2003: 4).
Teologi Hindu
Etika Hindu
Fenomena Kemajuan IPTEK
19
BAB III
METODE PENELITIAN
3.2. Pendekatan
berpegang pada kenyataan bahwa etika adalah merupakan cabang dari ilmu
filsafat.
ix)
20
sumber-sumber kepustakaan yang dijadikan subyek penelitian (Sutrisno,
sumber yang lain akan digunakan metode focused group discussion (FGD)
21