Anda di halaman 1dari 17

Kode etik dan organisasi profesi1

Sulistyo-Basuki2

1. Pendahuluan

Kode etik yang dibahas dalam makalah ini dikaitkan dengan kode etik susunan Ikatan
Pustakawan Indonesia (untuk selanjutnya disingkat IPI) sedangkan IPI merupakan
organisasi profesi. Menyangkut definisi profesi ada 2 pendekatan yaitu pendekatan
berdasarkan definisi yang diberikan dalam buku dan buku rujukan serta pendekatan
berdasarkan ciri yang ada. Maka definisi profesi berdasarkan buku misalnya sebagai
berikut: profesi merupakan kelompok lapangan kerja yang khusus melaksanakan
kegiatan yang memerlukan ketrampilan dan keahlian tinggi guna memenuhi kebutuhan
yang rumit dari manusia, di dalamnya pemakaian dengan cara yang benar akan
ketrampilan dan keahlian tinggi, hanya dapat dicapai dengan dimilikinya penguasaan
pengetahuan dengan ruang lingkup yang luas, mencakup sifat manusia, kecenderungan
sejarah dan lingkungan hidupnya; serta adanya disiplin etika yang dikembangkan dan
diterapkan oleh kelompok anggota yang menyandang profesi tersebut.

Definisi di atas secara tersirat mensyaratkan pengetahuan formal menunjukkan adanya


hubungan antara profesi dengan dunia pendidikan tinggi. Lembaga pendidikan tinggi ini
merupakan lembaga yang mengembangkan dan meneruskan pengetahuan profesional.

Karena pandangan lain menganggap bahwa hingga sekarang tidak ada definisi yang yang
memuaskan tentang profesi yang diperoleh dari buku maka digunakan pendekatan lain
dengan menggunakan ciri profesi. Secara umum ada 3 ciri yang disetujui oleh banyak
penulis sebagai ciri sebuah profesi. Adapun ciri itu ialah:

1. Sebuah profesi mensyaratkan pelatihan ekstensif sebelum memasuki sebuah


profesi. Pelatihan ini dimulai sesudah seseorang memperoleh gelar sarjana.
Sebagai contoh mereka yang telah lulus sarjana baru mengikuti pendidikan
profesi seperti dokter, dokter gigi, psikologi, apoteker, farmasi, arsitektut untuk
Indonesia. Di berbagai negara, pengacara diwajibkan menempuh ujian profesi
sebelum memasuki profesi.

2. Pelatihan tersebut meliputi komponen intelektual yang signifikan. Pelatihan


tukang batu, tukang cukur, pengrajin meliputi ketrampilan fisik. Pelatihan
akuntan, engineer, dokter meliputi komponen intelektual dan ketrampilan.
Walaupun pada pelatihan dokter atau dokter gigi mencakup ketrampilan fisik
tetap saja komponen intelektual yang dominan. Komponen intelektual merupakan
karakteristik profesional yang bertugas utama memberikan nasehat dan bantuan
menyangkut bidang keahliannya yang rata-rata tidak diketahui atau dipahami
orang awam. Jadi memberikan konsultasi bukannya memberikan barang
merupakan ciri profesi.
3. Tenaga yang terlatih mampu memberikan jasa yang penting kepada masyarakat.
Dengan kata lain profesi berorientasi memberikan jasa untuk kepentingan umum
daripada kepentingan sendiri. Dokter, pengacara, guru, pustakawan, engineer,
arsitek memberikan jasa yang penting agar masyarakat dapat berfungsi; hal
tersebut tidak dapat dilakukan oleh seorang pakar permainan caturmisalnya.
Bertambahnya jumlah profesi dan profesional pada abad 20 terjadi karena ciri
tersebut. Untuk dapat berfungsi maka masyarakat modern yang secara teknologis
kompleks memerlukan aplikasi yang lebih besar akan pengetahuan khusus
daripada masyarakat sederhana yang hidup pada abad-abad lampau. Produksi dan
distribusi enersi memerlukan aktivitas oleh banyak engineers. Berjalannya pasar
uang dan modal memerlukan tenaga akuntan, analis sekuritas, pengacara,
konsultan bisnis dan keuangan. Singkatnya profesi memberikan jasa penting yang
memerlukan pelatihan intelektual yang ekstensif.

Di samping ketiga syarat itu ciri profesi berikutnya. Ketiga ciri tambahan tersebut
tidak berlaku bagi semua profesi. Adapun ketiga ciri tambahan tersebut ialah:

4. Adanya proses lisensi atau sertifikat. Ciri ini lazim pada banyak profesi namun
tidak selalu perlu untuk status profesional. Dokter diwajibkan memiliki sertifikat
praktek sebelum diizinkan berpraktek. Namun pemberian lisensi atau sertifikat
tidak selalu menjadikan sebuah pekerjaan menjadi profesi. Untuk mengemudi
motor atau mobil semuanya harus memiliki lisensi, dikenal dengan nama surat
izin mengemudi. Namun memiliki SIM tidak berarti menjadikan pemiliknya
seorang pengemudi profesional. Banyak profesi tidak mengharuskan adanya
lisensi resmi. Dosen di perguruan tinggi tidak diwajibkan memiliki lisensi atau
akta namun mereka diwajibkan memiliki syarat pendidikan, misalnya sedikit-
dikitnya bergelar magister atau yang lebih tinggi. Banyak akuntan bukanlah
Certified Public Accountant dan ilmuwan komputer tidak memiliki lisensi atau
sertifikat.

5. Adanya organisasi. Hampir semua profesi memiliki organisasi yang mengklaim


mewakili anggotanya. Ada kalanya organisasi tidak selalu terbuka bagi anggota
sebuah profesi dan seringkali ada organisasi tandingan. Organisasi profesi
bertujuan memajukan profesi serta meningkatkan kesejahteraan anggotanya.
Peningkatan kesejahteraan anggotanya akan berarti organisasi profesi terlibat
dalam mengamankan kepentingan ekonomis anggotanya. Sungguhpun demikian
organisasi profesi semacam itu biasanya berbeda dengan serikat kerja yang
sepenuhnya mencurahkan perhatiannya pada kepentingan ekonomi anggotanya.
Maka hadirin tidak akan menjumpai organisasi pekerja tekstil atau bengkel yang
berdemo menuntut disain mobil yang lebih aman atau konstruksi pabrik yang
terdisain dengan baik.

6. Otonomi dalam pekerjaannya. Profesi memiliki otonomi atas penyediaan jasanya.


Di berbagai profesi, seseorang harus memiliki sertifikat yang sah sebelum mulai
bekerja. Mencoba bekerja tanpa profesional atau menjadi profesional bagi diri
sendiri dapat menyebabkan ketidakberhasilan. Bila pembaca mencoba menjadi
dokter untuk diri sendiri maka hal tersebut tidak sepenuhnya akan berhasil karena
tidak dapat menggunakan dan mengakses obat-obatan dan teknologi yang paling
berguna. Banyak obat hanya dapat diperoleh melalui resep dokter.

Dengan demikian sebenarnya kode etik tidak merupakan syarat mutlak keberadaan
sebuah profesi. Namun demikian karena kode etik disusun oleh organisasi profesi maka
keberadaan kode etik dapat dikaitkan dengan keberadaan organisasi dan organisasi ini
merupakan syarat tambahan, berbeda dengan syarat mutlak yang dicantumkan dalam
ketiga butir persyaratan sebuah profesi.

2. Etika dengan etiket

Sebelum membahas lebih lanjut mengenai kode etik, ada baiknya kita memahami istilah
yang berkaitan dengan etika guna mencegah salah pengertian. Dalam kaitannya dengan
pendidikan pustakawan, ada program studi yang memberikan mata kuliah “Etiket dan
kepribadian pustakawan” di samping mata kuliah “Etika profesi.”

Etika merupakan bagian dari filsafat. Filsafat itu berasal dari kata Arab dan kata tersebut
berasal dari kata Yunani filosofia. Kata filosofia berasal dari kata filo dan sofia. Filo
artinya cinta dalam arti seluas-luasnya yaitu ingin dan karena ingin itu lalu berusaha
mencapai yang diinginkan. Sofia artinya kebijaksanaan, artinya pandit, tahu secra
mendalam. Maka batasan filsafat menurut pendekatan nama adalah ingin tahu dengan
mendalam atau cinta kepada kebijaksanaan.

Definisi filsafat menurut pengertian umum artinya ilmu pengetahuan yang menyelidiki
hakekat segala sesuatu untuk memperoleh kebenaran. Karena filsafat telah mengalami
perkembangan cukup lama maka timbul berbagai pendapat mengenai pengertian filsafat
yang mempunyai kekhususan masing-masing. Adanya aliran dalam filsafat membuktikan
adanya bermacam-macam pendapat yang khas yang berbeda satu dengan yang lain.
Misalnya rasionalisme mengagungkan akal, materialisme mengagungkan materi,
idealisme mengagungkan idea, hedonisme mengagungkan kesenangan dan stoicisme
mengagungkan tabiat saleh.

Etika dan estetika merupakan cabang filsafat tentang tindakan di samping filsafat
tentang pengetahuan, filsafat tentang keseluruhan kenyatan dan sejarah filsafat.
1. Etika dan estetika.

Etika disebut juga filsafat moral adalah cabang filsafat yang berbicara tentang praxis
(tindakan) manusia. Etika tidak mempersoalkan keadaan manusia, melainkan
mempersoalkan bagaimana manusia harus bertindak. Tindakan manusia ini ditentukan
oleh bermacam-macam norma.

Norma ini masih dibagi lagi menjadi norma hukum, norma moral, noprma agama dan
norma sopan santun. Norma hukum berasal dari hukum dan perundang-undangan,norma
agama berasal dari agama sedangkan norma moral berasal dari suara batin. Norma sopan
santun berasal dari kehidupan sehari-hari sedangkan norma moral berasal dari etika.

2. Etika dan etiket

Etika berarti moral sedangkan etiket berarti sopan santun. Dalam bahasa Inggeris dikenal
sebagai ethics dan etiquette. Antara etika dengan etiket terdapat persamaan yaitu:

a. etika dan etiket menyangkut perilaku manusia. Istilah tersebut dipakai mengenai
manusia tidak mengenai binatang karena binatang tidak mengenal etika maupun
etiket.

b. Kedua-duanya mengatur perilaku manusia secara normatif artinya memberi


norma bagi perilaku manusia dan dengan demikian menyatakan apa yag harus
dilakukan dan apa yang tidak boleh dilkukan. Justru karena sifatnya normatif
maka kedua istilah tersebut sering dicampuradukkan.

Adapun perbedaan antara etika dengan etiket ialah:

(a) etiket menyangkut cara melakukan perbuatan manusia. Etiket menunjukkan


cara

yang tepat artinya cara yang diharapkan serta ditentukan dalam sebuah kalangan
tertentu. Misalnya dalam makan, etiketnya ialah orang tua didahulukan
mengambil nasi, kalau sudah selesai tidak boleh mencuci tangan terlebih dahulu.
Di Indonesia menyerahkan sesuatu harus dengan tangan kanan. Bila dilanggar
dianggap melanggar etiket.

Etika tidak terbatas pada cara melakukan sebuah perbuatan, etika memberi
norma tentang perbuatan itu sendiri. Etika menyangkut masalah apakah sebuah
perbuatan boleh dilakukan atau tidak boleh dilakukan.
b. Etiket hanya berlaku untuk pergaulan. Bila tidak ada orang lain atau tidak ada
saksi mata, maka etiket tidak berlaku. Misalnya etiket tentang cara makan. Makan
sambil menaruh kaki di atas meja dianggap melanggar etiket dila dilakukan
bersama-sama orang lain. Bila dilakukan sendiri maka hal tersebut tidak
melanggar etiket. Etika selalu berlaku walaupun tidak ada orang lain. Barang
yang dipinjam harus dikembalikan walaupun pemiliknya sudah lupa.

c. Etiket bersifat relatif. Yang dianggap tidak sopan dalam sebuah kebudayaan,
dapat saja dianggap sopan dalam kebudayaan lain. Contohnya makan dengan
tangan, bersenggak sesudah makan. Etika jauh lebih absolut. Perintah seperti
“jangan berbohong”, “jangan mencuri” merupakan prinsip etika yang tidak dapat
ditawar-tawar.

d. Etiket hanya memadang manusia dari segi lahirian saja sedangkan etika
memandang manusia dari segi dalam. Penipu misalnya tutur katanya lembut,
memegang etiket namun menipu. Orang dapat memegang etiket namun munafik
sebaliknya seseorang yang berpegang pada etika tidak mungkin munafik karena
seandainya dia munafik maka dia tidak bersikap etis. Orang yang bersikap etis
adalah orang yang sungguh-sungguh baik.

2.3. Etika dan ajaran moral

Etika perlu dibedakan dari moral. Ajaran moral memuat pandangan tentang nilai dan
norma moral yang terdapat pada sekelompok manusia. Ajaran moral mengajarkan
bagaimana orang harus hidup. Ajaran moral merupakan rumusan sistematik terhadap
anggapan tentang apa yang bernilai serta kewajiban manusia.

Etika merupakan ilmu tentang norma, nilai dan ajaran moral. Etika merupakan filsafat
yang merefleksikan ajaran moral. Pemikiran filsafat mempunyai 5 ciri khas yaitu bersifat
rasional, kritis, mendasar, sistematik dan normatif (tidak sekadar melaporkan pandangan
moral melainkan menyelidiki bagaimana pandangan moral yang sebenarnya).

1. Fungsi etika

Etika tidak langsung membuat manusia menjadi lebih baik, itu ajaran moral, melainkan
etika merupakan sarana untuk memperoleh orientasi kritis berhadapan dengan pelbagai
moralitas yang membingungkan. Etika ingin menampilkan ketrampilan intelektual yaitu
ketrampilan untuk berargumentasi secara rasional dan kritis.
Orientasi etis ini diperlukan dalam mengabil sikap yang wajar dalam suasana pluralisme.
Pluralisme moral diperlukan karena:

a. pandangan moral yang berbeda-beda karena adanya perbedaan suku,


daerah budaya dan agama yang hidup berdampingan;
b. modernisasi membawa perubahan besar dalam struktur dan nilai
kebutuhan masyarakat yang akibatnya menantang pandangan moral
tradisional;
c. berbagai ideologi menawarkan diri sebagai penuntun kehidupan, masing-
masing dengan ajarannya sendiri tentang bagaimana manusia harus hidup.

Etika secara umum dapat dibagi menjadi etika umum yang berisi prinsip serta moral
dasar dan etika khusus atau etika terapan yang berlaku khusus. Etika khusus ini masih
dibagi lagi menjadi etika individual dan etika sosial. Etika sosial dibagi menjadi:

1. Sikap terhadap sesama;


2. Etika keluarga
3. Etika profesi misalnya etika untuk pustakawan, arsiparis, dokumentalis, pialang
informasi
4. Etika politik
5. Etika lingkungan hidup

serta

6. Kritik ideologi

3. Etika

Etika adalah filsafat atau pemikiran kritis rasional tentang ajaran moral sedangka moral
adalah ajaran baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban
dsb. Etika selalu dikaitkan dengan moral serta harus dipahami perbedaan antara etika
dengan moralitas.

3.1. Moralitas

Ajaran moral memuat pandangan tentang nilai dan norma moral yang terdapat di antara
sekelompok manusia. Adapun nilai moral adalah kebaikan manusia sebagai manusia.
Norma moral adalah tentang bagaimana manusia harus hidup supaya menjadi baik
sebagai manusia. Ada perbedaan antara kebaikan moral dan kebaikan pada umumnya.
Kebaikan moral merupakan kebaikan manusia sebagai manusia sedangkan kebaikan pada
umumnya merupakan kebaikan manusia dilihat dari satu segi saja, misalnya sebagai
suami atau isteri, sebagai pustakawan.
Moral berkaitan dengan moralitas. Moralitas adala sopan santun, segala sesuatu yang
berhubungan dengan etiket atau sopan santun. Moralitas dapat berasal dari sumber
tradisi atau adat, agama atau sebuah ideologi atau gabungan dari beberapa sumber.

3.2. Etika dan moralitas

Etika bukan sumber tambahan moralitas melainkan merupakan filsafat yang


mereflesikan ajaran moral. Pemikiran filsafat mempunyai lima ciri khas yaitu rasional,
kritis, mendasar, sistematik dan normatif. Rasional berarti mendasarkan diri pada rasio
atau nalar, pada argumentasi yang bersedia untuk dipersoalkan tanpa perkecualian. Kritis
berarti filsafat ingin mengerti sebuah masalah sampai ke akar-akarnya, tidak puas dengan
pengertian dangkal. Sistematis artinya membahas langkah demi langkah. Normatif
menyelidiki bagaimana pandangan moral yang seharusnya.

3.3. Etika dan agama

Etika tidak dapat menggantikan agama. Orang yang percaya menemukan orientasi dasar
kehidupan dalam agamanya. Agama merupakan hal yang tepat untuk memberikan
orientasi moral. Pemeluk agama menemukan orientasi dasar kehidupan dalam agamanya.
Akan tetapi agama itu memerlukan ketrampilan etika agar dapat memberikan orientasi,
bukan sekadar indoktrinasi. Hal ini disebabkan empat alasan sebagai berikut:

1. Orang agama mengharapkan agar ajaran agamanya rasional. Ia tidak puas


mendengar bahwa Tuhan memerintahkan sesuatu, tetapu ia juga ingin
mengertimengapa Tuhan memerintahkannya. Etika dapat membantu menggali
rasionalitas agama.

2. Seringkali ajaran moral yang termuat dalam wahyu mengizinkan interpretasi yang
saling berbeda dan bahkan bertentangan.

3. Karena perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan masyarakat maka agama


menghadapi masalah moral yang secara langsung tidak disinggung-singgung
dalam wahyu. Misalnya bayi tabung, reproduksi manusia dengan gen yang sama.

4. Adanya perbedaan antara etika dan ajaran moral. Etika mendasarkan diri pada
argumentasi rasional semata-mata sedangkan agama pada wahyunya sendiri. Oleh
karena
5. itu ajaran agama hanya terbuka pada mereka yang mengakuinya sedangkan etika
terbuka bagi setiap orang dari semua agama dan pandangan dunia.

4. Istilah berkaitan

Kata etika sering dirancukan dengan istilah etiket, etis, ethos, iktikad dan kode etik atau
kode etika. Etika adalah ilmu yang mempelajari apa yang baik dan buruk. Etiket adalah
ajaran sopan santun yang berlaku bila manusia bergaul atau berkelompok dengan
manusia lain. Etiket tidak berlaku bila seorang manusia hidup sendiri misalnya hidup di
sebuah pulau terpencil atau di tengah hutan. Etis artinya sesuai dengan ajaran moral,
misalnya tidak etis menanyakan usia pada seorang wanita. Ethos artinya sikap dasar
seseorang dalam bidang tertentu. Maka ada ungkapa ethos kerja artinya sikap dasar
seseorang dalam pekerjaannya, misalnya ethos kerja yang tinggi artinya dia menaruh
sikap dasar yang tinggi terhadap pekerjaannya. Kode atika atau kode etik artinya daftar
kewajiban dalam menjalankan tugas sebuah profesi yang disusun oleh anggota profesi
dan mengikat anggota dalam menjalankan tugasnya.

Etika terbagi atas 2 bidang besar yaitu etika umum dan etika khusus. Etika umum
masih dibagi lagi menjadi prinsip dan moral dasar etika umum. Adapun etika khusus
merupakan terapan etika, dibagi lagi menjadi etika individual dan etika sosial. Etika
sosial yang hanya berlaku bagi kelompok profesi tertentu disebut kode etika atau kode
etik.

5. Kode etik

Kode etik adalah sistem norma, nilai dan aturan profesional tertulis yang secara tegas
menyatakan apa yang benar dan baik dan apa yang tidak benar dan tidak baik bagi
profesional. Kode etik menyatakan perbuatan apa yang benar atau salah, perbuatan apa
yang harus dilakukan dan apa yang harus dihindari.

Tujuan kode etik agar profesional memberikan jasa sebaik-baiknya kepada pemakai atau
nasabahnya. Adanya kode etik akan melindungi perbuatan yang tidak profesional.

Ketaatan tenaga profesional terhadap kode etik merupakan ketaatan naluriah yang telah
bersatu dengan pikiran, jiwa dan perilaku tenaga profesional. Jadi ketaatan itu terbentuk
dari masing-masing orang bukan karena paksaan. Dengan demikian tenaga profesional
merasa bila dia melanggar kode etiknya sendiri maka profesinya akan rusak dan yang
rugi adalah dia sendiri.

Kode etik bukan merupakan kode yang kaku karena akibat perkembangan zaman maka
kode etik mungkin menjadi usang atau sudah tidak sesuai dengan tuntutan zaman.
Misalnya kode etik tentang euthanasia (mati atas kehendak sendiri), dahulu belum
tercantum dalam kode etik kedokteran kini sudah dicantumkan.
Kode etik disusun oleh organisasi profesi sehingga masing-masing profesi memiliki
kode etik tersendiri. Misalnya kode etik dokter, guru, pustakawan, pengacara,
Pelanggaran kde etik tidak diadili oleh pengadilan karena melanggar kode etik tidak
selalu berarti melanggar hukum. Sebagai contoh untuk Ikatan Dokter Indonesia terdapat
Kode Etik Kedokteran. Bila seorang dokter dianggap melanggar kode etik tersebut, maka
dia akan diperiksa oleh Majelis Kode Etik Kedokteran Indonesia, bukannya oleh
pengadilan.

5.1. Sifat kode etik profesional

Kode etik adalah pernyataan cita-cita dan peraturan pelaksanaan pekerjaan (yang
membedakannya dari murni pribadi) yang merupakan panduan yang dilaksanakan oleh
anggota kelompok. Kode etik yang hidup dapat dikatakan sebagai ciri utama keberadaan
sebuah profesi.

Sifat dan orientasi kode etik hendaknya singkat; sederhana, jelas dan konsisten; masuk
akal, dapat diterima, praktis dan dapat dilaksanakan; komprehensif dan lengkap; dan
positif dalam formulasinya. Orientasi kode etik hendaknya ditujukan kepada rekan,
profesi, badan, nasabah/pemakai, negara dan masyarakat. Kode etik diciptakan untuk
manfaat masyarakat dan bersifat di atas sifat ketamakan penghasilan, kekuasaan dan
status. Etika yang berhubungan dengan nasabah hendaknya jelas menyatakan kesetiaan
pada badan yang mempekerjakan profesional.

Kode etik digawai sebagai bimbingan praktisi. Namun demikian hendaknya diungkapkan
sedemikian rupa sehingga publik dapat memahami isi kode etik tersebut. Dengan
demikian masyarakat memahami fungsi kemasyarakatan dari profesi tersebut. Juga sifat
utama profesi perlu disusun terlebih dahulu sebelum membuat kode etik. Kode etik
hendaknya cocok untuk kerja keras

Sebuah kode etik menunjukkan penerimaan profesi atas tanggung jawab dan
kepercayaan masyarakat yang telah memberikannya.

6. Kode etik ilmuwan informasi

Pada tahun 1895 muncullah istilah dokumentasi sedangkan orang yang bergerak dalam
bidang dokumentasi menyebut diri mereka sebagai dokumentalis. Istilah dokumentasi
kini ada yang mengaggapnya sudah usang walaupun istilah tersebut masuh lazim
digunakan di Eropa Barat. DI AS, istilah dokumentasi diganti menjadi ilmu informasi
sebagaimana nampak pada perubahan nama badan yang bergerak dalam bidang
dokumentasi. Dahulu organisasi dokumentasi bernama American Documentation
Institute kemudian diganti menjadi American Society for Information (ASIS). Sebagai
sebuah organisasi profesi maka ASIS pun berupaya menyusun kode etik untuk ilmuwan
informasi (information scientists). Kode etik ASIS tumbuh dari pembahasan etika yang
dimulai di Inggeris. Penulis Inggeris B.J. Kostrewski dan Charles Oppenheim
menunjukkan bahwa ilmuwan informasi memerlukan kode etik dan mereka
membutuhkannya jauh lebih banyak daripada apa yang mereka sadari. Gagasan kedua
penulis tersebut kemudian dibahas oleh ASIS, kemudian membentuk ASIS Public
Affairs Committee (ASIS PAC). PAC membuar rencana kode etika untuk masyarakat.
Tugas PAC kemudian diteruskan oleh ASIS Professionalism Committee yang menbuat
rancangan ASIS Code of Ethics for Information Professionals. Kode etik yang dihasilkan
terdiri dari preambul dan 4 kategori pertanggungan jawab etika, masing-masing pada
pribadi, masyarakat, sponsor, nasabah atau atasan dan pada profesi. Kesulitan menyusun
kode etik menyangkut (a) apakah yang dimaksudkan dengan kode etik dan bagaimana
seharunysa; (b) bagaimana kode tersebut akan digunakan; (c) tingkat rincian kode etik
dan (d) siapa yang menjadi sasaran kode etik dan kode etik diperuntukkan bagi
kepentingan siapa.

Walaupun ada kode etik profesi, keberadaan kode etik bukanlah sesuatu yang mutlak dan
pasti sehingga tidak dapat diubah. Sesuai dengan tuntutan zaman, kode etik dapat
diubah.

7. Kode etik Ikatan Pustakawan Indonesia

Kode etik pustakawan (untuk memudahkan disingkat KEP) disusun oleh IPI (lihat
Lampiran 1). Sejak penyusunannya hingga tahun 2000 belum pernah direvisi ataupun
dibahas dalam pertemuan ilmiah. Dengan demikian pelanggaran kode etik yang mungkin
terjadi juga tidak dibahas. Seandainya ada pelanggaran kode etik, IPI masih belum
memiliki semacam Majelis Kode Etik Pustakawan Indonesia yang bertugas memecahkan
pelanggaran kode etik beserta sanksinya. Beberapa butir yang memerlukan pembahasan.

7.1. definisi pustakawan

Definisi pustakawan dinyatakan dalam KEP, berbeda mislanya dengan Kode Etik (KE)
Singapura, Filipina, Malaysia.3 Definisi pustakawan disebutkan dalam pendahuluan. Ada
beberapa asosiasi, misalnya Canadian Library Association menganggap perpustakaan dan
pustakawan sebagai sebuah kesatuan sehingga tidak perlu memberi definisi pustakawan.
Pandangans erupa diikuti oleh Singapore Library Association (SLA), Philippines Library
Association dan Persatuan Pustakawan Malaysia (PPM).

7.2.kewajiban umum

7.2.1. Tugas yang diemban.

Kewajiban umum yang dicantumkan dalam KEP (Kode Etik Pustakawan) terlalu berat.

Butir (1) menyatakan bahwa “rofesi pustakawan adalah profesi yang terutama
mengemban tugas pendidikan dan penelitian.” Tugas ini terlalu berat, pustakawan
bukanlah seorang pendidik atau peneliti; pustakawan adalah tenaga yang berhubungan
dengan tugas informasi. Seperti dikatakan Pendit (2000a) IPI ingin menunjukkan bahwa
profesi pustakawan terekesan agung dan mulia. Hal tersebut menunjukkan bahwa IPI
masih belum yakin akan profesinya sendiri.
7.2.2. Butir (2) Pengabdian kepada masyarakat

Pustakawan ...mengutamakan pngabdian negara dan bangsa” berdasarkan pengalaman


semasa Orde Baru digunakan untuk kepentingan penguasa. Sesungguhnya kepentingan
utama pustakawan ialah pemakai, pengguna, klien dan pemakai tidak dapat dirampadkan
(generalisasi) menjadi masyarakat.

8.3. kewajiban terhadap organisasi profesi

Kewajiban ini bersifat berat sebelah karena mewajibkan anggota IPI namun tidak
memuat ketentuan apa kewajiban pengurus IPI serta IPI sebagai organisasi kepada
anggotanya. Dalam AD/ART tidak dinyatakan secara jelas tugas IPI dan PB IPI kepada
anggotanya.

8. Beberapa saran.

Berdasarkan kajian dengan berbagai organisasi profesi di luar negeri maka ada butir yang
perlu ditambahkan pada KEP yaitu:

(1) ketentuan yang mengatur hubungan antara pustakawan dengan pemakai.

Hal ini belum dicantumkan dalam KEP karena pustakawan berhadapan angsung dengan
pemakai. Dalam hal ini kewajiban pustakawan disebutklan seperti:

a. memberikan layanan/jasa dan kepuasan kep[ada pemakai (pengguna) dengan


mengerahkan segala pengetahuan dan keahlian yang dimiliki pustakawan;
b. melindungi dan menjaga privasi dan kepercayaan pemakai serta membantu
mereka dalam konsultasi informasi.Ini berkaitan dengan kerahasiaan informasi.

(2) hubungan dengan masyarakat

Hal ini belum dicakup dalam KEP. Pemakai merupakan bagian dari masyarakat namun
dalam berbagai kode etik selalu dicantumkan butiran hubungan dengan masyarakat.
Seyogyanya dalam KEP mendatang disertakan peran pustakawan sebagai pemandu arus
bebas informasi atau hak informasi dalam segala kehidupan masyarakat sehingga
dengan demikian pustakawan merupakan fasilitator sumber informasi bagi masyarakat.
Hal lain yang perlu pertimbangan untuk dimasukkan ialah:

• mutu dan kecepatan layanan. Pustakawan yang bermalas-malasan memberikan


layanan atau lambat mengolah buku dapat dkatakan sebagai melanggar kode etik
walaupun tidak melanggar undang-undang. Demikian pula pustakawan yang
membiarkan permintaan penelusuran tidak dijawab segera;
• teknologi informasi (TI). Bagaimana sikap pustakawan terhadap TI serta
pendayagunaannya bagi masyarakat;
• bagaimana sikap pustakawan terhadap pemakai yang membiarkan atau
memungkinkan seorang pemakai memfotokopi seluruh karya tulis. Bagaimana
kaitannya dengan hak cipta?
• penerimaan imbalan. Hal ini erat sekali dengan kondisi Indonesia di mana
pustakawan pegawai negeri menerima gaji yang relatif lebih rendah daripada
mereka yang bekerja di sektor swasta. Situasi tersebut menimbulkan masalah
apakah pustakawan boleh atau tidak boleh menerima imbalan dalam tugasnya.

(3) Definisi pustakawan.

Berbagai kode etik negara jiran tidak memberikan definisi lengkap seperti kode
etik IPI namun memberikan ciri pustakawan dilihat dari tugasnya. PPM
mengatakan tugas seorang pustakawan ialah mengawasi, memilih,
mengorganisasi, melestarikan dan menyebarluaskan informasi.

(4) Hubungan dengan atasan.

Hal ini belum dibahas dalam KEP.

6. Perlunya lembaga pengaduan dan pemeriksaan pelaksanaan kode etik. Walaupun


kode etik sudah ada selama bertahun-tahun namun belum ada lembaga yang
menerima pengaduan pelanggaran kode etik maupun memeriksa pelaksanaannya.
Situasi ini menumbuhkan kesan bahwa kode etik tidak perlu ditaati karena
pelanggaran toh tidak diikuti dengan sangsi.

7. Penyebaran kode etik. Data yang diperoleh dari karya akhir mahasiswa JIP FSUI
tentang pengetahuan kode etik sangat menyedihkan, apalagi persepsi dan
tanggapan mereka tentangnya. Untuk Jakarta, dari 10 perpustakaan utama hanya 4
saja yang pernah mendengar keberadaan kode etik, itupun pengetahuan mereka
masih terbatas.

9. Penutup

Kode etik merupakan bagian dari organisasi profesi sedangkan organisasi profesi
merupakan persyaratan sebuah profesi. Kode etik untuk pustakawan Indonesia disusun
oleh Ikatan Pustakawan Indonesia. Walaupun keberadannya sudah cukup lama, namun
eksistensinya tidak banyak diketahui orang. Sementara itu isi kode etik pustakawan
Indonesia terlau berat bagi anggotanya karena adanya kewajiban yang beraneka warna
sementara itu disisi lain belum dicakup hubungan pustakawan dengan pemakai,
hubungan dengan masyarakat serta berbagai masalah yang memerlukan pemikiran seperti
masalah imbalan, sikap ogah-ogahan dari pustakawan dalam melayani pemakai, sikap
terhadap hak cipta. Pelanggaran kode etik tidak dicakup karena belum ada lembaga
penerima pengaduan pelanggaran kode etik serta lembaga yang melaksanakan kode etik.
Maka sudah waktunya Kode Etik Pustakawan direvisi.

Bibliografi

Allerton Park Institute. Ethics and the librarian. Urbana,Illinois: University of Ilinois

Graduate School of Library and Information Science, 1991.

America Library Association. “Statement on professional ethics adopted ny ALA

Council, June 30, 1981.” American Libraries, 13, October 1982:595

Arlante, S.M. and R. Y. Tarlis. “The professionalization of librarians: a unique

Philippines experience,”Asian Libraries, 3 (2) June 1993:13-22

Bayles, M. D. Profesional ethics. 2nd ed. Belmont, Calif.: Wadsworth, 1989.

Bekker, J.Professional ethics and its application to librarianship. Unpublished

dissertation, Case Western Reserve University [Cleveland,Ohio], 1976.

Bernier, C. L. “Ethics of knowing.” Journal of the American Society for Information

Science, 36, May 1985:211-2

Blixrud, J.C. and Sawyer, E. J. “A code of ethics for ASIS: the challenge before

us,” ASIS Bulletin, 11, Oct. 1984:8-10

Finks, Lee W. And Elisabeth Soekefeld. Encyclopedia of Library and Information

Science. vol 52 supplement 15, 1993 s.v. “Professional ethics,”

Hauptman, R. Ethical challenges in librarianship. Phoenix, A: Oryx Press, 1988

Kochen, M. “Ethics and information science,” Journal of the American Society for

Information Science, 38, May 1987:206-10

Kultgen, J. H. Ethics and professionalism. Philadelphia, PA: University of

Pennsylvania , Press, 1988.


Library Association of Singapore. Code of ethics. http://www.faife.dk/lascode.htm. 24

November 2000

Magnis-Suseno, Franz. Etika sosial. Jakarta: APTIK bekerja sama dengan Gramedia

Pustaka Utama, 1991.

Pendit, Putu (a) . Kode etik. 20 November 2000. i_c_s@groups.com. Akses tgl 27

November 2000.

Pendit, Putu (b). Kode etik (2). 21 November 2000. i_c_s@egroups.com. 27 November

2000.

Pendit, Putu. Sangsi moran (Re:saran dan komentar untuk Kode Etik). 27 Nov. 200.

i_c_s@egroups.com. 28 November 2000

Persatuan Pustakawan Malaysia (Librarians Association of Malaysia). Code of ethics.

http://www.faife.uk/ethics/faifecode. 22 November 2000.

Professional Regulation Commission of the Republic of Philippines. Code of ethics for

registered librarians. 1992. http://www.faife.dk/ethics/bbcode 24 November


2000

Prins, Hans and Wilco de Gier. “Image, status and reputation of librarianship and

information work,”IFLA Journal, 18 (2) 1992:108-118

Rutgers School of Communication, Information, and Library Studies. Information

ethics: concerns for librarianship and the information industry.


Jefferson,NC:McFarland, 1990

Strauc, K. and B. Strauch (editors). Legal and ethical issues in acquisition. New

York: Haworth Press, 1990.

Soeriptyo, Yuni. Saran dan komentar untuk Kode Etik Pustakawan. 24 Nov. 2000.

i_c_s@egropus.com. 27 November 2000.


Lampiran 1

KODE ETIK PUSTAKAWAN

Berkat rakhmat Tuhan Yang Maha Esa, Indonesia telah mencapai kemerdekaan pada
tanggal 17 Agustus 1945.

Dalam rangka mencapai tujuan kemerdekaan nasional, yakni mewujudkan masyarakat


adil makmur yang merata dan berkesinambungan material dan spiritual, diperlukan
warganegara Indonesia yang berkeahlian dalam berbagai bidang termasuk pustakawan
yang setia dan taat kepada Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.

Pustakawan yang telah sepakat bergabung dalam organisasi profesi Ikatan Pustakawan
Indonesia dengan niat yang luhur serta penuh kesungguhan mengabdikan dirinya dengan
jalan memberikan pelayanan perpustakaan, dokumentasi dan informasi dengan tujuang
meningkatkan pengetahuan dan kesejahteraan masyarakat, bangsa dan negara.

Menyadari eksistensi serta peranannya dalam masyarakat, dengan ini Ikatan Pustakawan
Indonesia mengikrarkan Kode Etik Pustakawan Indonesia.

BAB I

Pengertian Pustakawan

Pustakawan adalah seorang yang melaksanakan kegiatan perpustakaan dengan jalan


memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan tugas lembaga induknya
berdasarkan ilmu perpustakaan, dokumentasi dan informasi yang dimilikinya melalui
pendidikan.

BAB II

Kewajiban Umum

1. Setiap Pustakawan Indonesia menyadari sepenuhnya bahwa profesi pustakawan

adalah profesi yang terutama mengembangkan tugas pendidikan dan penelitian.

2. Setiap Pustakawan Indonesia dalam menjalankan profesinya menjaga martabat


dan moral serta mengutamakan pengabdian pada negara dan bangsa.

3. Setiap Pustakawan Indonesia menghargai dan mencintai kepribadian dan


kebudayaan Indonesia.
4. Setiap Pustakawan Indonesia mengamalkan ilmu pengetahuannya untuk
kepentingan sesama manusia, masyarakat, bangsa dan agama.

5. Setiap Pustakawan Indonesia menjaga kerahasiaan informasi yang bersifat


pribadi yang diperoleh dari masyarakat yang dilayani.

BAB III

Kewajiban kepada organisasi dan profesi

1. Setiap Pustakawan Indonesia menjadikan Ikatan Pustakawan Indonesia sebagi


forum kerjasama, tempat konsultasi dan tempat pengemblengan pribadi guna
peningkatan ilmu pengembangan profesi antara sesama pustakawan.

2. Setiap Pustakawan Indonesia memberikan sumbangan tenaga, pikiran dan dana


kepada organisasi untuk kepentingan pengembangan ilmu dan perpustakaan di
Indonesia.

3. Setiap Pustakawan Indonesia menjauhkan diri dari perbuatan dan ucapan serta
sikap dan tingkah laku yang merugikan organisasi dan profesi, dengan cara
menjunjung tinggi nama baik Ikatan Pustakawan Indonesia.

4. Setiap Pustakawan Indonesia berusaha mengembangkan organisasi Ikatan


Pustakawan Indonesia dengan jalan selalu berpartisipasi dalam setiap kegiatan di
bidang perpustakaan dan yang berkaitan dengannya.

BAB IV

Kewajiban antara sesama Pustakawan

1. Setiap Pustakawan Indonesai berusaha memelihara hubungan persaudaraan


dengan mempererat rasa solidaritas antara Pustakawan.

2. Setiap Pustakawan Indonesia saling membantu dalam berbuat kebijakan dalam


mengembangkan profesi dan dalam melaksanakan tugas.

3. Setiap Pustakawan Indonesia saling menasihati dengan penuh kebijaksanaan


demi kebenaran dan kepentingan pribadi, organisasi dan masyarakat.
4. Setiap Pustakawan Indonesia saling menghargai pendapat dan sikap masing-
masing, meskipun berbeda.

BAB V

Kewajiban terhadap diri sendiri

1. Setiap Pustakawan Indonesia selalu mengikuti perkembangan ilmu


pengetahuan, terutama ilmu perpustakaan, dokumentasi dan informasi.

2. Setiap Pustakawan Indonesia memelihara akhlak dan kesehatan- nya untuk dapat
hidup dengan tenteram dan bekerja dengan baik.

3. Setiap Pustakawan Indonesia selalu meningkatkan pengetahuan serta


keterampilannya, baik dalam pekerjaan maupun dalam pergaulan di masyarakat.

BAB VI

Pelaksanaan Kode Etik

Setiap Pustakawan Indonesia mempunyai tanggung jawab moral untuk melaksanakan


Kode Etik ini dengan sebaik-baiknya.

Anda mungkin juga menyukai