Anda di halaman 1dari 3

Haji dan Kesalehan Ritual Sosial

belum ada warga yang menilai artikel ini


Oleh: Saiful Amin Ghofur     27/10/2009 15:49:29

SIAPA yang tak ingin menunaikan ibadah haji? Setiap muslim pasti ingin menunaikan rukun
Islam yang terakhir ini. Sebab haji hakikatnya adalah penyempurna empat rukun Islam
sebelumnya. Namun demikian, kewajiban haji hanya dibebankan kepada muslim yang mampu
(istitha’ah) baik secara fisik maupun materi.

Karena itulah, haji merupakan aplikasi ajaran Islam yang paling bergengsi. Syarat istitha’ah
menjadikan haji sebagai ritus ibadah yang istimewa. Mereka yang terpanggil ke tanah suci
adalah orang-orang pilihan (khaira ummatin). Sehingga menjadi sebuah keniscayaan bagi
mereka yang terpilih untuk merenungkan secara mendalam substansi simbolitas syarat-rukun
haji. Dengan begitu, diharapkan mereka mampu menemukan energi transformatif internal yang
dasyat dan memancar keluar hingga terjadilah sinergi kesalehan ritual dan sosial.

Pencapaian inilah yang terpenting dalam haji. Tapi, kebanyakan umat Islam belum sampai pada
permenungan reflektif semacam itu. Sehingga mereka terjerembab dalam kubangan simbolitas
syarat-rukun haji. Maka bisa dimaklumi bila setelah haji tak ada perubahan signifikan ke arah
transformasi kesalehan sosial, kecuali kesalehan ritual (setidaknya) dengan memboyong gelar
haji. Sayang sekali, bukan? Padahal, kesalehan ritual dan kesalehan sosial tak dapat dipisahkan.
Ibarat dua gambar dalam sekeping mata uang, keduanya harus menyatu. Kesalehan ritual
semestinya mampu mendorong orang menjadi saleh sosial. Begitu pun sebaliknya, kesalehan
sosial lahir karena intensitas yang massif dalam saleh ritual.

 
Makna Simbolik
Untuk mencapai sinergi yang dinamis antara kesalehan ritual dan sosial, salah satu caranya
adalah mengungkap makna simbolik syarat-rukun haji. Pertama, haji diawali dengan ihram
berpakaian putih. Ini menandakan, agar jamaah haji selalu menekankan kesucian hati dan jiwa
dari segala penyakit yang merusak, seperti dusta, iri dengki, mengadu domba, terlalu cinta dunia
dan melupakan Tuhannya. Ihram juga menunjukkan egalitarianisme manusia di hadapan Tuhan.
Manusia sama di depan Tuhannya. Hanya takwa yang mampu membersihkan hati dan jiwa yang
mampu menaikkan harga diri dan martabatnya di hadapan Tuhan.

Kedua, tawaf menggambarkan kebersamaan, persaudaraan, dan kesatuan kolektif. Sebaik apa
pun sebuah umat, kalau tidak mampu menjaga rasa kebersamaan dan persaudaraan maka tidak
akan pernah mengalami masa kejayaan. Konflik, intrik, dan egoisme sektoral hanya akan
memperlemah kekuatan umat ini. Maka melalui tawaf, umat Islam belajar bagaimana pentingnya
membina kerukunan, persaudaraan, dan kebersamaan menuju masa depan yang
menggembirakan.

Ketiga, sa’i menggambarkan usaha yang terus menerus, tidak kenal lelah dan selalu optimis.
Seberat apa pun rintangan dan halangan dihadapi dengan penuh kegigihan, kesabaran, keuletan,
dan kesungguhan untuk mencapai cita-cita luhur. Memaksimalkan ikhtiar dan selalu tawakal
kepada Tuhan adalah ciri utama umat Islam.

Keempat, haji selalu diiringi gema takbir dan talbiyah. Ini menunjukkan, umat Islam harus
mampu menempatkan Tuhan di atas segala-galanya. Umat Islam mesti bisa mengalahkan semua
interes duniawi, seperti harta, jabatan, kekuasaan, popularitas, dan publisitas demi menggapai
rida Ilahi.

Kelima, haji selalu diakhiri dengan prosesi penyembelihan hewan kurban yang bertujuan
menapaktilasi pengorbanan besar Nabi Ibrahim yang tega ‘menyembelih’ putra tercintanya;
Ismail. Ini menandakan, jamaah haji harus membuang jauh-jauh sifat kebinatangan, seperti
rakus, buas, serakah, memakan yang lemah, tidak mau diingatkan, dan seenaknya sendiri.

Menuju Kesalehan Sosial


Kelima nilai itu yang harus diresapi sungguh-sungguh dan diaktualisasikan di tengah situasi yang
serba carut-marut dewasa ini. Dari kelima nilai itu, kesalehan sosial yang tersanggul dalam
terminologi haji mabrur bisa dikembangkan. Dalam sebuah hadis Nabi dijelaskan ada tiga
indikator penting guna mengidentifikasi haji mabrur, yaitu thibul kalam (baik perkataannya),
ith’amu ath-tha’am (memberi makan) dan ifsyau as-salam (menyebarkan kedamaian).

Jika hadis tersebut diselami maka akan ditemukan makna bahwa ‘baik perkataan’ dapat
diimplementasikan dalam moralitas dan mentalitas luhur, jujur, amanah, sopan santun, dan
penuh kerendahdirian (tawadu’) baik di hadapan Tuhan maupun sesama manusia. Saat ini,
makna tersebut adalah nuansa langka yang sepertinya perlahan-lahan menguap dari ranah
dinamika kehidupan sosial. Mentalitas dan moralitas luhur semakin mahal harganya. Virus
patologi sosial seperti korupsi yang mentradisi adalah satu tamsil dari sekian bentuknya. Dengan
menginsafi makna ‘baik perkataan’ diharapkan intensitas patologi sosial dapat ditekan secara
maksimal.

Sebagai seorang pimpinan, kemabruran haji dapat dilihat dari hilangnya sifat-sifat
primordialisme, eksklusifisme, neofeodalisme, dan nepotisme. Ia akan lebih all out berjuang
untuk kesejahteraan rakyatnya sesuai dengan sebuah kaidah fiqhiyah, “tasharruful imam ‘ala ar-
ra’iyyah manuthun bi al-mashlahah" (kebijakan seorang pemimpin harus mencerminkan
kemaslahatan rakyat). Ia akan berusaha menjadi pelayan rakyat, bukan sebaliknya, menjadi
majikan rakyat.

Sementara ‘memberi makan’ seyogiyanya dipahami sebagai bentuk kepedulian tinggi terhadap
persoalan rakyat kecil dengan berjuang memberantas kemiskinan, kelaparan, kebodohan,
keterbelakangan, penindasan, kesewenang-wenangan, dan kezaliman. Fenomena tersebut adalah
fakta sosial yang berseliweran di ruang publik. Karenanya, menjadi kewajiban yang tak
terelakkan untuk menafikan ketimpangan sosial itu.

Pengusaha dan mereka yang diberi kelebihan rezeki akan semakin dermawan dalam memberikan
beasiswa kepada anak didik yang membutuhkan, memberi santunan yatim piatu, anak terlantar
dan mereka yang dalam kondisi miskin dan lapar. Pendidik akan semakin ikhlas mengabdikan
ilmunya untuk kecerdasan dan keluhuran moral anak didiknya. Ia akan berusaha memberikan
yang terbaik agar tumbuh kader bangsa berkualitas yang akan meneruskan estafet kepemimpinan
negeri ini.

Sedangkan maksud ‘menyebarkan kedamaian’ adalah berjuang menegakkan perdamaian,


persaudaraan, keadilan, persamaan dan kebahagiaan dari orang atau institusi yang tirani, anarkis
dan feodal. Diskriminasi dan lemahnya upaya supremasi hukum, kriminalitas yang meningkat,
merebaknya aksi terorisme merupakan tantangan dari manifestasi kesalehan sosial itu.

Hal itulah yang menjadi ‘pekerjaan rumah’ bagi mereka yang menunaikan ibadah haji. Di situ
tersimpan makna sesungguhnya kesalehan sosial dalam bingkai haji mabrur yang telah dijanjikan
surga sebagai balasannya. Surga dalam konteks imanensi duniawi dapat dilihat dari tercapainya
kemakmuran dan kesejahteraan rakyat di segala bidang sekaligus membenarkan adagium klasik
gemah ripah loh jenawi tata tentrem kerta raharja.

Ibadah haji tanpa implikasi konkret seperti itu sesungguhnya tak bermakna apa-apa melainkan
sebatas menggugurkan kewajiban, apalagi bila ditumpangi dengan interes temporal seperti
popularitas dan status sosial. Haji, dengan begitu, telah terreduksi hanya ritualitas tanpa
menemukan makna reflektif-transformatif sosialnya. Semoga para jemaah haji tidaklah seperti
itu. @

*) Saiful Amin Ghofur, Staf Pengajar Ponpes Roudlotun Nasyi'in Beratkulon Mojokerto.

Anda mungkin juga menyukai