Anda di halaman 1dari 25

PERKEMBANGAN PERADABAN ISLAM PADA MASA PEMERINTAHAN

DINASTI UMAYYAH1

1. Latar Belakang Terbentuknya Dinasti Bani Umayyah


a. Masalah Khalifah 'Ali dengan Mu’awiyah dan Perang Shiffin
Ali kembali ke Kufah yang telah dijadikan sebagai pusat khilafah.
Sesampainya di Kufah, Ali segera mengutus Jurair bin Abdullah al-Bajli
kepada Mua'wiyah di Syam guna mengajak bergabung ke dalam apa
yang telah dilakukan orang-orang dan memberitahukan bahwa para
Muhajirin dan Anshar telah sepakat untuk membaiatnya. Akan tetapi,
Mu’awiyah berpendapat bahwa baiat itu tidak akan dinyatakan sah
kecuali dengan kehadiran mereka semua. Karena itu, Mu'awiyah tidak
bersedia memenuhi ajakan Ali sampai para pembunuh Utsman di-
qishash kemudian kaum Muslimin memilih sendiri imam mereka.
Sementara itu, Ali berkeyakinan penuh bahwa baiat telah dilakukan
dengan kesepakatan ahlul Madinah (penduduk Madinah), Darul Hijrah
Nabawiyah. Dengan demikian, setiap orang yang terlambat berbaiat di
antara orang-orang yang tinggal di luar kota Madinah berkewajiban
untuk segera bergabung kepada pembaiatan tersebut. Adapun soal
meng-qishash para pembunuh Utsman, seperti telah kami sebutkan,
Ali sendiri termasuk orang yang paling bersemangat keras untuk
melakukannya, tetapi ia mempunyai rencana yang matang untuk
menjamin keselamatan dan segala risikonya.
Setelah mendengar penolakan Mua'wiyah, Ali langsung menang-
gapinya sebagai "pemberontak" yang keluar dari Jama'atul Muslimin
dan imam mereka. Ali kemudian beserta pasukannya berangkat pada
tanggal 12 Rajab tahun 36 Hijriah lalu pasukan dikonsentrasikan di
Nakhilah. Tidak lama kemudian, Ibnu Abbas datang kepadanya dari
Bashrah, setelah bertugas sebagai wakilnya. Ali memobilisasi pasukan-

1 Makalah disampaikan dalam diskusi panel mahasiswa BSI – IV kelas B, pada mata kuliah Sejarah
Peradaban Islam, Senin, 09 April 2007 oleh Muhammad Muhardi – 205 102 497
nya untuk memerangi penduduk Syam dan memaksa mereka tunduk
kepada Jama'atul Muslimin.369.
Setelah mengetahui hal ini, Mu'awiyah pun dengan serta merta
mengerahkan pasukannya dari Syam hingga kedua pasukan ini
bertemu di daratan Shiffin di tepi sungai Eufrat. Selama dua bulan atau
lebih, kedua pihak saling bergantian mengirim utusan. Ali mengajak
Mua'wiyah dan orang-orang yang bersamanya untuk membaiatnya.
Beliau juga meyakinkan Mua'wiyah bahwa qishash terhadap para
pembunuh Utsman pasti akan dilaksanakan dalam waktu dekat.
Sementara itu, Mua'wiyah menyerukan Ali agar sebelum melakukan
segala sesuatu, hendaklah menangkap para pembunuh Utsman yang
merupakan anak pamannya. Karena itu, dia (Mua'wiyah) merupakan
orang yang paling berhak menuntut darahnya. Selama pembahasan
dan perundingan ini barangkali telah terjadi pertempuran-pertempuran
kecil dan manuver.

Keadaan ini terus berlangsung hingga datang bulan Muharram tahun


37 Hijriah. Mua'wiyah dan Ali kemudian sepakat untuk melakukan
"gencatan senjata" selama sebulan, dengan harapan dapat dicapai
ishlah. Akan tetapi, masa "gencatan senjata" ini berakhir tanpa mem-
buahkan hasil yang diharapkan. Pada saat itu, Ali memerintahkan
seorang petugas untuk mengumumkan, "Wahai penduduk Syam,
Amirul Mu'minin menyatakan kepada kalian bahwa aku telah memberi
waktu yang cukup kepada kalian untuk kembali kepada kebenaran,
tetapi kalian tetap tidak mau berhenti dari pembangkangan dan tidak
mau kembali kepada kebenaran. Karena itu, kini aku kembalikan
perjanjian ini kepada kalian dengan penuh kejujuran. Sesungguhnya,
Allah tidak mencintai para pengkhianat."370

Saat itulah Mua'wiyah dan Amr ibnul Ash memobilisasikan pasukannya


dari segala arah. Demikian pula Ali, sejak malam itu, ia memobilisasi
pasukannya. Ia mengangkat Asytar an-Nakha'i sebagai komandan
pasukan penduduk Bashrah. Ali kemudian berwasiat kepada
pasukannya agar tidak mendahului penyerbuan hingga penduduk
Syam memulainya, tidak menyerang orang yang luka, tidak mengejar
orang yang mundur melarikan diri, tidak membuka aurat wanita, dan
tidak menganiayanya.
Pada hari pertama dan kedua, pertempuran berlangsung dengan
sengit. Perang berlangsung selama tujuh hari tanpa ada pihak yang
kalah atau menang. Namun pada akhirnya, Mu'awiyah dan pasukannya
semakin terdesak oleh pasukan Ali. Ali dan pasukannya nyaris
mencatat kemenangan.

Saat itulah Mu'awiyah dan Amr ibnul Ash berunding. Amr ibnul Ash
mengusulkan supaya Mu'awiyah mengajak penduduk Irak untuk
berhukum kepada Kitab Allah. Mu'awiyah lalu memerintahkan orang-
orang supaya mengangkat Mush-haf di ujung tombak dan meme-
rintahkan seorang petugas untuk menyerukan atas namanya, "Ini
adalah Kitabullah di antara kami dan kalian." Ketika pasukan Ali
melihat hal ini -mereka sudah hampir memperoleh kemenangan-
terjadilah perselisihan di antara mereka. Ada yang setuju untuk
berhukum kepada Allah dan ada pula yang tidak menghendaki kecuali
peperangan karena siapa tahu hal itu hanyalah tipu daya.

Sebenarnya Ali cenderung pada pendapat yang terakhir, tetapi


terpaksa mengikuti pendapat pertama yang pendukungnya mayoritas.
Ali kemudian mengutus al-Asy'ats bin Qaia kepada Mu'awiyah guna
menanyakan apa sebenarnya yang dikehendakinya. Mu'awiyah
menjelaskan, "Mari kita kembali kepada Kitab Allah. Kami pilih seorang
wakil yang kami setujui dan kalian pilih pula seorang wakil yang kalian
setujui. Kita semua kemudian menyumpah kedua wakil tersebut untuk
memutuskan sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah. Apa pun
keputusan kedua wakil tersebut wajib kita ikuti."

Penduduk Syam kemudian memilih Amr ibnul Ash, sedangkan


penduduk Irak memilih Abu Musa al-Asy'ari. Akhirnya diperoleh
kesepakatan antarkedua belah pihak -setelah keduanya menulis suatu
perjanjian menyangkut hal ini- untuk menunda keputusan tersebut
sampai bulan Ramadhan, kemudian setelah itu, kedua hakim tersebut
bertemu di Daumatul Jandal. Setelah kesepakatan ini, orang-orang pun
bubar kembali ke tempat masing-masing.

Ali kembali dari Shiffin menuju Kufah. Sementara itu, di kalangan


pasukan Ali terjadi perpecahan yang sangat berbahaya sehingga
ketika sampai di Kufah, Ali dinyatakan dipecat oleh sekelompok orang
yang menilai masalah tahkim sebagai suatu kesesatan. Mereka
berjumlah sekitar 12.000 orang dan berhimpun di Harura'. Ali
kemudian mengutus Abdullah bin Abbas untuk berdialog dan
menasihati mereka, tetapi upaya ini tidak membawa hasil apa-apa.
Akhirnya, Ali sendiri berangkat menemui mereka. Setelah berhadapan
dengan mereka, Ali bertanya, "Apa yang menyebabkan kalian
melakukan pembangkangan ini!" Mereka menjawab, "Masalah tahkim
yang kamu setujui di Shiffin." Ali menjelaskan, "Tetapi aku telah
mensyaratkan kepada kedua hakim itu agar menghidupkan apa yang
dihidupkan al-Qur'an dan mematikan apa yang dimatikan al-Qur'an."
Mereka mengatakan, "Coba jelaskan kepada kami, apakah adil ber-
tahkim kepada orang di tengah gelimangan darah!" Ali menjawab,
"Kami tidak berhukum kepada orang, tetapi berhukum kepada al-
Qur'an. Al-Qur'an ini adalah tulisan yang termaktub di atas kertas dan
tidak dapat berbicara. Yang dapat membunyikannya adalah orang."
Mereka bertanya lagi,"Lalu mengapa kalian batasi waktunya!" Ali
menjawab,"Supaya orang yang tidak tahu mengetahuinya dan yang
tahu dapat berpegang teguh. Semoga Allah memperbaiki umat ini
dengan gencatan senjata ini."

Akhirnya, mereka menerima pandangan Ali. Kepada mereka, Ali


mengatakan, "Masuklah kalian ke negeri kalian. Semoga Allah melim-
pahkan rahmat-Nya kepada kalian." Mereka semua kemudian masuk.

Setelah batas waktu yang ditentukan habis dan bulan Ramadhan


tahun ke-37 Hijriah telah datang, Ali mengutus Abu Musa al-Asy'ari
dengan sejumlah sahabat dan penduduk Kufah. Adapun Mu'awiyah
mengutus Amr ibnul Ash dengan sejumlah penduduk Syam. Kedua
kelompok ini berkumpul di Daumatul Jandal. Setelah keduanya
memanjatkan puja-puji kepada Allah dan saling menyampaikan
nasihat, akhirnya diperoleh kesepakatan agar disiapkan lembar
catatan dan seorang penulis yang akan mencatat semua yang telah
disepakati kedua belah pihak. Nyatanya kedua belah pihak tidak
mencapai kata sepakat tentang kepada siapa urusan umat ini
(khilafah) akan diserahkan. Abu Musa al-Asy'ari setuju mencopot Ali
dan Mua'wiyah kemudian tidak memilih untuk khilafah kecuali
Abdullah bin Umar, tetapi ia sendiri tidak mau ikut campur dalam
urusan ini.

Saat itu, kedua hakim telah sepakat untuk mencopot Ali dan
Mu'awiyah. Selanjutnya keduanya harus menyerahkan hal ini kepada
syura kaum Muslimin guna menentukan pilihan mereka sendiri. Kedua-
nya kemudian mendatangi para pendukungnya masing-masing. Amr
ibnul Ash mempersilakan Abu Musa al-'Asy'ari maju. Setelah
memanjatkan pujian kepada Allah dan shalawat kepada Rasulullah
Shalallahu 'alaihi wa sallam, ia berkata, "Wahai manusia, setelah
membahas urusan umat ini, kami berkesimpulan bahwa tidak ada
sesuatu yang lebih baik dan lebih dapat mewujudkan persatuan selain
dari apa yang telah aku dan Amr sepakati, yaitu kami mencopot Ali
dan Mu'awiyah."
Setelah menyampaikan kalimatnya, Abu Musa al-Asy'ari mundur.
Setelah itu, tiba giliran Amr untuk menyampaikan kalimatnya. Setelah
memanjatkan pujian kepada Allah, Amr mengatakan, "Sesungguhnya,
ia (Abu Musa) telah menyatakan apa yang kalian dengar. Ia telah
mencopot kawannya dan aku pun telah mencopotnya sebagaimana
dia. Akan tetapi, aku mengukuhkan kawanku Mu'awiyah karena
sesungguhnya ia adalah 'putra mahkota' Utsman bin Affan, penuntut
darahnya, dan orang yang paling berhak menggantikannya."

Setelah tahkim ini, orang-orang pun bubar dengan rasa kecewa dan
tertipu kemudian kembali ke negerinya masing-masing. Amr dan
kawan-kawannya menemui Mu'awiyah guna menyerahkan khilafah
kepadanya, sedangkan Abu Musa pergi ke Makkah karena malu
kepada Ali. Ibnu Abbas dan Syuraih bin Hani' kembali kepada Ali dan
menceritakan peristiwa tersebut
b. Masalah Khawarij dan Terbunuhnya Ali
Ketika Ali mengutus Abu Musa al-Asy'ari dan pasukannya ke Daumatul
Jandal, masalah kaum khawarij (pembelot) semakin bertambah
memuncak. Mereka sangat mengecam Ali, bahkan secara terus-
menerus mengafirkannya karena tindakannya menerima tahkim,
padahal kaum Khawarij ini sebelumnya termasuk mereka yang paling
antusias terhadap Ali.
Setelah upaya dialog dan nasihat yang dilakukan Ali kepada mereka
tidak bermanfaat sama sekali, akhirnya Ali berkata kepada mereka,
"Sesungguhnya, kami berkewajiban untuk tidak melarang shalat di
masjid-masjid kami selama kalian tidak membangkang terhadap kami.
Kami tidak akan menahan bagian kalian terhadap fa'i ini selama
tangan-tangan kalian bersama tangan-tangan kami dan kami tidak
akan memerangi kalian sampai kalian memerangi kami."
Setelah mengumumkan penolakannya terhadap keputusan dua hakim
tersebut, Ali berangkat memimpin pasukan besar ke Syam untuk
memerangi Mu'awiyah. Di samping itu, Ali mendapat berita bahwa
Khawarij telah melakukan berbagai kerusakan di muka bumi, me-
numpahkan darah, memotong jalan-jalan umum, memperkosa wanita--
wanita, bahkan membunuh Abdullah bin Khabbab, seorang sahabat
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, dan istrinya yang sedang
hamil. Akhirnya, Ali dan orang-orang yang bersamanya khawatir jika
mereka pergi ke Syam sibuk memerangi Mu'awiyah, orang-orang
Khawarij akan membantai keluarga dan anak keturunan mereka. Ali
dengan mereka kemudian sepakat untuk memerangi Khawarij terlebih
dahulu.
Ali dan pasukannya, termasuk di dalamnya para sahabat, berangkat
mendatangi mereka. Ketika sampai di dekat Mada'in, Ali mengirim
surat kepada orang-orang Khawarij di Nahrawan yang isinya,
"Serahkanlah kepada kami para pembunuh saudara-saudara kami
supaya kami dapat meng-qishosh mereka kemudian setelah itu kami
akan biarkan kalian dan kami akan melanjutkan perjalanan ke Syam.
Semoga Allah mengembalikan kalian kepada keadaan yang lebih baik
dari keadaan sekarang."
Akan tetapi, mereka membalas Ali dengan menyatakan, "Kami semua
adalah para pembunuh saudara-saudara kalian! Kami menghalalkan
darah mereka dan darah kalian!"

Setelah itu, Ali maju menemui mereka kemudian menasihati dan


memperingatkan mereka, tetapi mereka tidak memberikan jawaban
selain dari suara bersahut-sahutan sesama mereka yang menyatakan
siap perang dan menemui Rabbul 'Alamin.

Sebelum memulai peperangan, Ali memerintahkan Abu Ayyub al-


Anshari agar mengangkat panji keamanan untuk orang-orang Khawarij
dan memberitahukan kepada mereka,"Siapa yang datang ke panji ini
maka dia aman, barangsiapa pergi ke Kufah dan Mada'in maka dia
aman."

Sejumlah besar dari mereka pun meninggalkan tempat. Orang yang


tetap bertahan di antara mereka hanya sekitar seribu orang yang
dipimpin oleh Abdullah bin Wahab ar-Rasiy. Orang-orang Khawarijlah
yang memulai peperangan ini. Akhirnya, mereka semua berhasil
ditumpas, sedangkan yang syahid dari pihak Ali berjumlah tujuh orang.
Berbagai situasi buruk tampaknya masih harus dihadapi oleh Amirul
Mu'minin Ali Radhiyallahu 'anhu. Pasukannya mengalami kegun-
cangan. Sejumlah besar penduduk Irak rnelakukan pembangkangan
terhadapnya, sementara masalah di Syam pun semakin meningkat.
Mereka berpropaganda ke berbagai penjuru, seperti dikatakan oleh
Ibnu Katsir, bahwa kepemimpinan telah berpindah ke tangan
Mu'awiyah sesuai dengan keputusan dua hakim. Para penduduk Syam
semakin bertambah kuat, sedangkan para penduduk Irak semakin
bertambah lemah.
Kendati mereka mengetahui bahwa amir mereka, Ali Radhiyallahu
'anhu, adalah orang yang terbaik di muka bumi pada saat itu, orang
yang paling zuhud, paling alim, dan paling takut kepada Allah, mereka
tetap tega mengkhianatinya sampai membuatnya membenci
kehidupan dari mengharapkan kematian. Ali bahkan sering
mengatakan, "Demi Allah yang membelah biji dan meniupkan ruh,
sesungguhnya jenggot ini beruban karena kepala ini. Adakah kiranya
sesuatu yang dapat menghentikan penderitaan ini?"
Abdurrahman bin Muljim adalah salah seorang tokoh Khawarij. Ia
sedang melamar seorang wanita cantik bernama Qitham. Karena ayah
dan saudara wanita ini terbunuh di peristiwa Nahrawan, ia
mensyaratkan kepada Abdurrahman bin Muljim, jika ingin
menikahinya, ia harus membunuh Ali. Dengan gembira, Abdurrahman
bin Muljim menjawab, "Demi Allah, aku tidak datang ke negeri ini
kecuali untuk membunuh Ali." Setelah menjadi suami istri, wanita ini
semakin keras menggerakkan suaminya untuk membunuh Ali.

Pada malam Jumat tanggal 17 Ramadhan tahun 40 Hijriah,


Abdurrahman bin Muljim -bersama dengan dua orang temannya -
mengincar Ali di depan pintu yang biasa dilewatinya. Seperti kebiasa-
annya, Ali keluar membangunkan orang untuk shalat subuh, tetapi ia
dikejutkan oleh Ibnu Muljim yang memukul kepalanya dengan pedang
sehingga darahnya mengalir di jenggotnya.

Setelah mengetahui bahwa yang melakukan tindak kriminal ini adalah


Ibnu Muljim, Ali berkata kepada para sahabatnya, "Jika aku mati,
bunuhlah ia, tetapi jika aku hidup, aku tahu bagaimana bertindak
terhadapnya." Ketika sakratul maut, Ali tidak mengucapkan kalimat
apa pun selain la Ilaha ilallah. Beliau wafat pada usia enam puluh
tahun. Khilafahnya berlangsung selama lima tahun kurang tiga bulan.
Ibnu Katsir menguatkan pendapat yang mengatakan bahwa Ali dikubur
di Darul Imarah (rumah keamiran) di Kufah. Akan tetapi, kebanyakan
ahli sejarah mengatakan bahwa kaum kerabat dan para pendukungnya
menyembunyikan kuburannya karena khawatir terhadap tindakan
kaum Khawarij. Banyak sekali pendapat yang dikemukakan tentang
tempat pemakamannya. Ada yang mengatakan bahwa ia dipindahkan
ke Baqi atau dipindahkan ke tempat-tempat lain.
Sementara itu, pelaksanaan qishash Ibnu Muljim dilakukan oleh Hasan
Rodhiyallahu 'anhu kemudian jasadnya dibakar dengan api.372
c. Nasab & Sifatnya MU'AWIYAH BIN ABU SUFYAN
Mua'wiyyah bin Abu Sufyan bin Harb bin Umayyah bin Abd asy Syams
bin Abdu Manaf bin Qushay. Nama panggilannya Abu Abdur Rahman
al-Umawi. Dia dan ayahnya masuk Islam pada saat pembukaan kota
Makkah (Fathu Makkah), ikut daIam perang Hunain, termasuk orang--
orang muallaf yang ditarik hatinya untuk masuk Islam, dan keislaman-
nya baik, serta menjadi salah seorang penulis wahyu.

Dia meriwayatkan hadits dari Rasulullah sebanyak seratus enam puluh


tiga hadits. Beberapa sahabat dan tabi'in yang meriwayatkan hadits
darinya antara lain: Abdullah bin Abbas, Abdulah bin Umar, Abdullah
bin Zubair, Abu Darda', Jarir aI-Bajali, Nu'man bin Basyir dan yang lain.
Sedangkan dari kalangan tabiin antara lain: Sa'id bin al-Musayyib,
Hamid bin Abdur Rahman dan lain-lain.

Dia termasuk salah seorang yang memiliki kepintaran dan kesabaran.


Banyak hadits yang menyatakan keutamaan pribadinya, namun dari
hadits-hadits tersebut hanya sedikit yang bisa diterima.

Imam at-Tirmidzi meriwayatkan (dia mengatakan bahwa hadits ini


hasan) dari Abdur Rahman bin Abi Umairah (seorang sahabat Ra-
sulullah) dari Rasulullah bahwa dia bersabda kepada Mu'awiyah, "Ya
Allah, jadikanlah dia orang yang memberi petunjuk dan mendapat
petunjuk."

Imam Ahmad dalam Musnadnya meriwayatkan dari al-Mirbadh bin


Sariyyah dia berkata: Saya mendengar Rasulullah bersabda, "Ya Allah
ajarilah Mu'awiyah al-Qur'an dan hisab serta lindungilah dia dari
adzab."

Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannafnya dan Imam ath-Thabarani dalam


kitabnya al-Kabir meriwayatkan dari Abdul Malik bin Umair dia berkata:
Mu'awiyyah berkata: Sejak Rasulullah bersabda kepada saya. "Wahai
Mu'awiyah, jika kamu menjadi raja, maka berbuat baiklah!” saya selalu
menginginkan jabatan kekhilafahan.
Mua'wiyyah adalah seorang lelaki yang bertubuh tinggi berkulit putih
dan tampan serta karismatik. Suatu ketika Umar bin Khaththab melihat
kepadanya dan berkata, "Dia adalah kaisar Arab."

Diriwayatkan dari Ali bin Abu Thalib dia berkata, "Janganlah kalian
membenci pemerintahan Mu'awiyah. Sebab andai kalian kehilangan
dia, niscaya akan kalian lihat beberapa kepala lepas dari lehernya."

Al-Maqbari berkata: Kalian sangat kagum kepada kaisar Persia dan


Romawi namun kalian tidak mempedulikan Mu'awiyah! Kesabarannya
dijadikan sebuah pepatah. Bahkan Ibnu Abid Dunya dan Abu Bakar bin
'Ashim mengarang buku khusus tentang kesabarannya.

Ibnu 'Aun berkata, "Ada seorang lelaki berkata kepada Mu'awiyah:


Demi Allah hendaknya kamu menegakkan hukum dengan lurus wahai
Mu'awiyah. Jika tidak, maka kamilah yang akan meluruskan kamu!"
Mu'awiyah berkata, "Dengan apa kalian akan meluruskan kami?'
Dia menjawab, "Dengan pentungan kayu!"
Muawiyyah menjawab, "Jika begitu kami akan berlaku lurus."

Qubaishah bin Jabir berkata: Saya menemani Mu'awiyah beberapa


lama, ternyata dia adalah seorang yang sangat sabar. Tidak saya
temui seorang pun yang sesabar dia, tidak ada orang yang lebih bisa
berpura-pura bodoh darinya, sebagaimana tidak ada orang yang lebih
hati-hati daripadanya.

Tatkala Abu Bakar mengutus pasukan ke Syam, dia dan saudaranya


Yazid bin Abu Sufyan berangkat ke sana. Tatkala Yazid meninggal dia
ditugaskan untuk menggantikan saudaranya di Syam untuk menjadi
gubernur. Umar mengokohkan apa yang ditetapkan Abu Bakar dan
Utsman menetapkan apa yang ditetapkan oleh Umar. Utsman
menjadikan Syam seluruhnya berada di bawah kekuasaannya. Dia
menjadi gubernur di Syam selama dua puluh tahun dan menjadi
khalifah juga selama dua puluh tahun.

Ka'ab al-Ahbar berkata: Tidak ada orang yang akan berkuasa


sebagaimana berkuasanya Mu'awiyah.

Adz-Dzahabi berkata: Ka'ab meninggal sebelum Mu'awiyah menjadi


khalifah, maka benarlah apa yang dikatakan Ka'ab. Sebab Mu'awiyah
menjadi khalifah selama dua puluh tahun, tidak ada pemberontakan
dan tidak ada yang menandinginya dalam kekuasaannya. Tidak seperti
para khalifah yang datang setelahnya. Mereka banyak yang
menentang, bahkan ada sebagian wilayah yang menyatakan
melepaskan diri.
Mu'awiyah melakukan pemberontakan kepada Ali sebagaimana yang
telah disinggung di muka, dan dia menyatakan dirinya sebagai
khalifah. Kemudian dia juga melakukan pemberontakan kepada al-
Hasan. Al-Hasan akhirnya mengundurkan diri. Kemudian Mu'awiyah
menjadi khalifah pada bulan Rabiul Awal atau Jumadil Ula, tahun 41 H.
Tahun ini disebut sebagai 'Aam Jama'ah (Tahun Kesatuan), sebab pada
tahun inilah umat Islam bersatu dalam menentukan satu khalifah. Pada
tahun itu pula Mu'awiyah mengangkat Marwan bin Hakam sebagai
gubernur Madinah.

Pada tahun 43 H, kota Rukhkhaj dan beberapa kota lainnya di Sajistan


ditaklukkan. Waddan di Barqah dan Kur di Sudan juga ditaklukkan.
Pada tahun itu pulalah Mu'awiyah menetapkan Ziyad anak ayahnya. Ini
-menurut ats-Tsa'labi- merupakan keputusan pertama yang dianggap
mengubah hukum yang ditetapkan Rasulullah.
Pada tahun 45 H, Qaiqan dibuka.

Pada tahun 50 H, Qauhustan dibuka lewat peperangan. Pada tahun 50


H, Mu'awiyah menyerukan untuk membaiat anaknya Yazid sebagai
putra mahkota dan khalifah setelahnya jika dia meninggal.

Mu'awiyah meninggal pada bulan Rajab tahun 60 H. Dia dimakamkan


di antara Bab al-Jabiyyah dan Bab ash-Shaghir. Disebutkan bahwa
usianya mencapai tujuh puluh tujuh tahun. Dia memiliki beberapa helai
rambut Rasulullah dan sebagian potongan kukunya. Dia mewasiatkan
agar dua benda itu di diletakkan di mulut dan kedua matanya pada
saat kematiannya. Dia berkata, “Kerjakan itu, dan biarkan saya
menemui Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha penyayang!”.

PEMBAIATAN ALI DAN MENCARI PEMBUNUH KHALIFAH UTSMAN


Ali keluar dari rumah Utsman dengan penuh kemarahan terhadap
peristiwa yang terjadi. Sementara itu, orang-orang berlari kecil
mendatangi Ali seraya berkata, "Kita harus mengangkat amir.
Ulurkanlah tanganmu, kami baiat." Ali Menjawab, "Urusan ini bukan
hak kalian, tetapi hak para pejuang Badar. Siapa yang disetujui oleh
para pejuang Badar maka dialah yang berhak menjadi khalifah."

Selanjutnya tidak seorang pun dari para pejuang Badar kecuali telah
mendatangi Ali seraya berkata, "Kami tidak melihat adanya seorang
yang lebih berhak menjabat sebagai khalifah selain dirimu. Ulurkanlah
tanganmu, kami baiat." Mereka lalu membaiatnya.
Belum selesai pengangkatan dan pembaiatan Ali sebagai khalifah,
Marwan dan anaknya telah melarikan diri.

Ali datang kepada istri Utsman menanyakan tentang para pembunuh


Utsman. Istri Utsman menjawab, "Saya tidak tahu. Ada dua orang yang
datang kepada Utsman beserta Muhammad bin Abu Bakar." Ali
kemudian menemui Muhammad, menanyakan tentang apa yang
dikatakan oleh istri Utsman tersebut. Muhammad menjawab, "Istri
Utsman tidak berdusta. Demi Allah, tadinya aku masuk kepadanya
dengan tujuan ingin membunuhnya, tetapi kemudian aku teringat
pada ayahku sehingga aku membatalkannya. Aku bertobat kepada
Allah. Demi Allah, aku tidak membunuhnya, bahkan aku tidak
menyentuhnya." Istri Utsman menyahut, "Dia benar, tetapi dialah yang
memasukkan kedua orang tersebut."
Ibnu Asakir meriwayatkan dari Kinanah, mantan budak Shafiah, dan
lainnya. Mereka berkata, "Utsman dibunuh oleh seorang lelaki dari
Mesir berkulit biru kecokelatan."
Ibnu Asakir juga meriwayatkan dari Abu Tsaur al-Fahmi, ia
berkata,"Aku pernah datang kepada Utsman ketika sedang dikepung
lalu beliau berkata, "Aku telah bersembunyi di sisi Rabbku selama
sepuluh hari. Sesungguhnya, aku adalah orang keempat yang pertama
Islam. Aku juga pernah membekali pasukan yang tengah menghadapi
kesulitan (Jaisyul 'usrah). Kepadaku, Rasulullah pernah menikahkan
anak perempuan beliau kemudian ia meninggal dan aku dinikahkan
lagi dengan anak perempuan beliau yang lain .... Tidaklah pernah
lewat satu Jum'at semenjak aku masuk Islam kecuali pada hari itu aku
memerdekakan budak manakala aku memiliki sesuatu untuk
memerdekakannya. Aku tidak pernah berzina di masa Jahiliah, apalagi
di masa Islam. Aku tidak pernah mencuri di masa Jahiliah, apalagi di
masa Islam. Aku juga pernah menghimpun al-Qur'an di masa
Rasulullah."
Menurut riwayat yang sahih, Khalifah Utsman dibunuh pada
penengahan hari tasyriq tahun ke-35 Hijriah.

Nasab & Sifatnya MU'AWIYAH BIN ABU SUFYAN


Mua'wiyyah bin Abu Sufyan bin Harb bin Umayyah bin Abd asy Syams
bin Abdu Manaf bin Qushay. Nama panggilannya Abu Abdur Rahman
al-Umawi. Dia dan ayahnya masuk Islam pada saat pembukaan kota
Makkah (Fathu Makkah), ikut daIam perang Hunain, termasuk orang--
orang muallaf yang ditarik hatinya untuk masuk Islam, dan keislaman-
nya baik, serta menjadi salah seorang penulis wahyu.

Dia meriwayatkan hadits dari Rasulullah sebanyak seratus enam puluh


tiga hadits. Beberapa sahabat dan tabi'in yang meriwayatkan hadits
darinya antara lain: Abdullah bin Abbas, Abdulah bin Umar, Abdullah
bin Zubair, Abu Darda', Jarir aI-Bajali, Nu'man bin Basyir dan yang lain.
Sedangkan dari kalangan tabiin antara lain: Sa'id bin al-Musayyib,
Hamid bin Abdur Rahman dan lain-lain.

Dia termasuk salah seorang yang memiliki kepintaran dan kesabaran.


Banyak hadits yang menyatakan keutamaan pribadinya, namun dari
hadits-hadits tersebut hanya sedikit yang bisa diterima.

Imam at-Tirmidzi meriwayatkan (dia mengatakan bahwa hadits ini


hasan) dari Abdur Rahman bin Abi Umairah (seorang sahabat Ra-
sulullah) dari Rasulullah bahwa dia bersabda kepada Mu'awiyah, "Ya
Allah, jadikanlah dia orang yang memberi petunjuk dan mendapat
petunjuk."

Imam Ahmad dalam Musnadnya meriwayatkan dari al-Mirbadh bin


Sariyyah dia berkata: Saya mendengar Rasulullah bersabda, "Ya Allah
ajarilah Mu'awiyah al-Qur'an dan hisab serta lindungilah dia dari
adzab."

Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannafnya dan Imam ath-Thabarani dalam


kitabnya al-Kabir meriwayatkan dari Abdul Malik bin Umair dia berkata:
Mu'awiyyah berkata: Sejak Rasulullah bersabda kepada saya. "Wahai
Mu'awiyah, jika kamu menjadi raja, maka berbuat baiklah!” saya selalu
menginginkan jabatan kekhilafahan.
Mua'wiyyah adalah seorang lelaki yang bertubuh tinggi berkulit putih
dan tampan serta karismatik. Suatu ketika Umar bin Khaththab melihat
kepadanya dan berkata, "Dia adalah kaisar Arab."

Diriwayatkan dari Ali bin Abu Thalib dia berkata, "Janganlah kalian
membenci pemerintahan Mu'awiyah. Sebab andai kalian kehilangan
dia, niscaya akan kalian lihat beberapa kepala lepas dari lehernya."

Al-Maqbari berkata: Kalian sangat kagum kepada kaisar Persia dan


Romawi namun kalian tidak mempedulikan Mu'awiyah! Kesabarannya
dijadikan sebuah pepatah. Bahkan Ibnu Abid Dunya dan Abu Bakar bin
'Ashim mengarang buku khusus tentang kesabarannya.

Ibnu 'Aun berkata, "Ada seorang lelaki berkata kepada Mu'awiyah:


Demi Allah hendaknya kamu menegakkan hukum dengan lurus wahai
Mu'awiyah. Jika tidak, maka kamilah yang akan meluruskan kamu!"
Mu'awiyah berkata, "Dengan apa kalian akan meluruskan kami?'
Dia menjawab, "Dengan pentungan kayu!"
Muawiyyah menjawab, "Jika begitu kami akan berlaku lurus."

Qubaishah bin Jabir berkata: Saya menemani Mu'awiyah beberapa


lama, ternyata dia adalah seorang yang sangat sabar. Tidak saya
temui seorang pun yang sesabar dia, tidak ada orang yang lebih bisa
berpura-pura bodoh darinya, sebagaimana tidak ada orang yang lebih
hati-hati daripadanya.

Tatkala Abu Bakar mengutus pasukan ke Syam, dia dan saudaranya


Yazid bin Abu Sufyan berangkat ke sana. Tatkala Yazid meninggal dia
ditugaskan untuk menggantikan saudaranya di Syam untuk menjadi
gubernur. Umar mengokohkan apa yang ditetapkan Abu Bakar dan
Utsman menetapkan apa yang ditetapkan oleh Umar. Utsman
menjadikan Syam seluruhnya berada di bawah kekuasaannya. Dia
menjadi gubernur di Syam selama dua puluh tahun dan menjadi
khalifah juga selama dua puluh tahun.

Ka'ab al-Ahbar berkata: Tidak ada orang yang akan berkuasa


sebagaimana berkuasanya Mu'awiyah.

Adz-Dzahabi berkata: Ka'ab meninggal sebelum Mu'awiyah menjadi


khalifah, maka benarlah apa yang dikatakan Ka'ab. Sebab Mu'awiyah
menjadi khalifah selama dua puluh tahun, tidak ada pemberontakan
dan tidak ada yang menandinginya dalam kekuasaannya. Tidak seperti
para khalifah yang datang setelahnya. Mereka banyak yang
menentang, bahkan ada sebagian wilayah yang menyatakan
melepaskan diri.
Mu'awiyah melakukan pemberontakan kepada Ali sebagaimana yang
telah disinggung di muka, dan dia menyatakan dirinya sebagai
khalifah. Kemudian dia juga melakukan pemberontakan kepada al-
Hasan. Al-Hasan akhirnya mengundurkan diri. Kemudian Mu'awiyah
menjadi khalifah pada bulan Rabiul Awal atau Jumadil Ula, tahun 41 H.
Tahun ini disebut sebagai 'Aam Jama'ah (Tahun Kesatuan), sebab pada
tahun inilah umat Islam bersatu dalam menentukan satu khalifah. Pada
tahun itu pula Mu'awiyah mengangkat Marwan bin Hakam sebagai
gubernur Madinah.

Pada tahun 43 H, kota Rukhkhaj dan beberapa kota lainnya di Sajistan


ditaklukkan. Waddan di Barqah dan Kur di Sudan juga ditaklukkan.
Pada tahun itu pulalah Mu'awiyah menetapkan Ziyad anak ayahnya. Ini
-menurut ats-Tsa'labi- merupakan keputusan pertama yang dianggap
mengubah hukum yang ditetapkan Rasulullah.
Pada tahun 45 H, Qaiqan dibuka.
Pada tahun 50 H, Qauhustan dibuka lewat peperangan. Pada tahun 50
H, Mu'awiyah menyerukan untuk membaiat anaknya Yazid sebagai
putra mahkota dan khalifah setelahnya jika dia meninggal.

Mu'awiyah meninggal pada bulan Rajab tahun 60 H. Dia dimakamkan


di antara Bab al-Jabiyyah dan Bab ash-Shaghir. Disebutkan bahwa
usianya mencapai tujuh puluh tujuh tahun. Dia memiliki beberapa helai
rambut Rasulullah dan sebagian potongan kukunya. Dia mewasiatkan
agar dua benda itu di diletakkan di mulut dan kedua matanya pada
saat kematiannya. Dia berkata, “Kerjakan itu, dan biarkan saya
menemui Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha penyayang!”.

Dinasti Umayyah mulai terbentuk dan terlahir sejak terjadinya peristiwa tahkim pada
perang shiffin. Perang yang dimaksudkan untuk menuntut balas atas kematian Usman bin
Affan itu semula dimenangkan oleh pihak Ali. Namun karena Muawiyah melihat gelagat
bahwa mereka pasti akan mengalami kekalahan lagi., maka akhirnya Muawiyah
mengadakan negosiasi dengan pihak Ali untuk kembali menggunakan hukum Allah.2
Dalam peristiwa Tahkim itu Ali telah terpedaya oleh taktik dan siasat Muawiyah yang
pada akhirnya Ali mengalami kekalahan secara politis, dan Alipun terbunuh oleh salah
seorang dari golongan Khawarij.
Setelah merebut kekuasaan dari Hasan bin Ali pada tahun 41 H/661 M, naiklah
Muawiyah bin Abi Sofyan menjadi khalofah dan memindahkan segala pusat kegiatan
pemerintahan dari Madinah ke Damaskus (negeri Syam). Memasuki masa kekuasaanya,
Muawiyah mengubah sistem pemerintahan yang semula bersifat demokratis menjadi
monarkhi, mencontoh monarkhi di Persia dan Byzantium3. Kekhalifahan Muawiyah
diperoleh melalui kekerasan, diplomasi dan tipu daya, tidak dengan pemilihan atau suara
terbanyak. Suksesi kepemimpinan secara turun temurun dimulai ketika Muawiyah
mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia kepada putranya, Yazid4
BID’AH TERBESAR SEPANJANG SEJARAH ISLAM

2 Ajid Thohir 2004, Perkembangan Islam di Kawasan Dunia Islam, hal 34


3 Drs. Amrullah, 1995, Sejarah kEbudayaan Islam, hal 16.
4 Dr. Badri Yatim, M.A, Sejarah Peradaban Islam, hal 42
Dari Sa’ad bin Abi Waqqas, katanya : “Muawiyyah bin Abu Sufyan
menyuruh Sa’ad (bin Abi Waqqas) dan menanyakan : “Apakah yang
menjadi halangan bagimu untuk mencerca Abu Turab (Ali bin Abi
Thalib)?” Sa’ad menjawab : “Adapun yang saya ingat ada 3 hal yang
diungkap Rasulullah Saw. Karena (ketiga hal) itulah saya tidak akan
mencerca Ali. Andai saja untuk saya satu dari ketiga hal yang
dimilikinya itu, maka itu lebih aku sukai ketimbang memperoleh
sejumlah binatang ternak yang sehat-sehat. Saya telah mendengar
Rasulullah Saw bersabda ketika beliau menyuruh Ali tinggal (di
Madinah) dalam beberapa peperangan, lalu Ali berkata kepada Rasul :
“Ya Rasulullah, engkau menyuruhku tinggal bersama kaum perempuan
dan anak-anak?” Rasulullah Saw bersabda, “Apakah engaku tidak
merasa senang (ridha) kalau engkau bagiku serupa dengan kedudukan
Harun dengan Musa, tapi tidak ada kenabian sepeninggalku.” Dan saya
(Sa’ad) juga mendengar Nabi Saw bersanda di hari perang Khaibar :
“Sesungguhnya aku akan menyerahkan panji-panji ini kepada seorang
laki yang mencintai Allah dan Rasul-Nya sedang Allah dan Rasul-Nya
mencintainya pula.” Lalu kami (para sahabat) menanti-nantikannya.
(berharap memperoleh kedudukkan itu). Kemudian Nabi bersabda,
“Panggillah Ali supaya dia datang kepadaku!” Dia dibawa (ke hadapan
Nabi) dalam keadaan sakit mata, lalu Nabi meludahi matanya, lalu
menyerahkan panji-panji kepadanya. Allah memberikan kemenangan
di tangannya. (Yang ketiga) Setelah turun ayat : “Maka katakanlah :
“Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu…” dan
Rasulullah Saw memanggil Ali, Fathimah, Hasan, dan Husain, lalu
beliau mengatakan, “Ya Allah! Mereka inilah keluargaku! (Allahumma
Haulai Ahly)” 3]
Apa yang disuruh Muawiyah kepada Saad bin Abi Waqqas jelas-jelas
tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw, Abu Bakar, Umar dan
Utsman. Tetapi orang ini, setelah duduk di tampuk kekuasaannya
melakukan banyak BID’AH, dan salah satu Bid’ah terbesarnya adalah
titah perintahnya kepada kaum Muslim pada masa kekuasaan Bani
Umayyah : Mengutuk, mencerca dan menghina Sahabat besar
Nabi Saw, Ali bin Abi Thalib.
Apakah ada contoh yang dilakukan Nabi Saw seperti yang dilakukan
Muawiyah?
Tidak ada! Jadi ini bid’ah! Tak seorang pun bisa berkelit dengan fakta
hadis ini!
Dan apa sabda Nabi Saww terhadap orang yang membenci sahabat Ali
bin Abi Thalib? Di dalam Shahih Muslim diriwayatkan Rasulullah Saw
bersabda : “Mencintai Ali adalah tanda keimanan dan membencinya
adalah tanda kemunafikan.” 4]
Hadis ini sedemikian masyhur sampai-sampai beberapa sahabat nabi
sering berkata, “Kami mengetahui kemunafikan seseorang dari
kebenciannya terhadap Ali.” 5]
Lalu bagaimana dengan Muawiyah?
Apakah keterangan ini masih kurang jelas bagi Anda?
Mari kita lihat lagi beberapa riwayat yang semoga akan meyakinkan
Anda yang membaca tulisan ini. 6]
Di dalam Shahih Muslim, Ali bin Abi Thalib berkata, “Demi Dia yang
membelah biji-bijian dan menghidupkan segala sesuatu, Rasulullah
berjanji kepadaku bahwa tiada orang yang mencintaiku kecuali orang
mukmin dan tiada orag yang menyimpan kebencian kepadaku kecuali
orang munafik. 7]
Pengutukan terhadap Imam Ali bin Abi Thalib merupakan bid’ah
terbesar yang pernah dilakukan seseorang di dalam sejarah Islam.
Muawiyah dan keturunananya melakukan bid’ah keji ini selama 65
tahun. Tapi mengapa Kaum Salafy dan Wahaby tidak membicarakan
bid’ah keji yang pernah dilakukan oleh Muawiyah? Mengapa? Mengapa
ulama-ulama Wahaby yang hidup di bawah ketiak Kerajaan Saudi
Arabia tidak membuka hadis-hadis ini? Mengapa mereka
menyembunyikan hadis-hadis ini? Mengapa Kerajaan Saudi
mendukung ulama-ulama Wahaby? Tak bisa disangkal lagi bahwa
mereka ingin KERAJAAN mereka yang didirikan dan dijalankan tidak
berdasarkan musyawarah (sekali lagi Bid’ah yang nyata lagi terang!),
yang mereka jalankan dengan cara-cara di luar konteks Al-Quran dan
Sunnah Nabinya, bisa tetap tegak sebagaimana yang dilakukan
Muawiyah. Mereka semua (Ulama Salafy Wahaby dan Kerajaan Saudi
Arabia) tidak mengikuti Sunnah Rasulullah Saw, tetapi yang mereka
ikuti Bid’ah Muawiyah. Sahabat-sahabat Nabi yang tulus pun enggan
mengikuti bid’ah yang diperintahkan Muawiyah. Sebagaian sahabat
Nabi Saw, yang melawan BID’AH yang diterapkan Muawiyah ini
dibunuh dengan sadis. 8]
Inikah sunnah Nabi? Bukan! Ini bid’ah Muawiyah bukan sunnah Nabi!!
Kita membela Sunnah Nabi bukan membela Bid’ah Muawiyah!
Penghinaan dan sumpah serapah yang diperintahkan Muawiyah dan
keturunannya terus berlangsung di mimbar-mimbar Jumat di seluruh
kekuasaan Bani Umayyah yang terbenatang luas, sampai akhirnya
khalifah Umar bin Abdul Azis menghapus bid;ah keji ini, tapi orang baik
ini pun dibunuh oleh keluarganya sendiri karena berani menghapus
BID’AH Muawiyah. 9]
2. Sepak Terjang Pemerintahan Dinasti Umayyah
Kekusaaan Bani Umayyah berlangsung selama ± 90 tahun. Dalam hal ini 20 tahun
dikuasai oleh 10 orang khalifah, dan 70 tahun oleh empat orang khalifah, yaitu :
Muawiyah bin Abu Safyan, Abdul MAlik bin MArwan, Walid bin Abdul MAlik, dan
Hisyam bin Abdul Malik.
Selama pemerintahan Bani Umayyah, gerakan ekspansi yang pernah terhenti akibat
konflik yang terjadi pasca kematian Usman bin Affan dilanjutkan kembali oleh para
Kholifah pada masa dinasti Umayyah. Pada masa ini perluasan kekuasaan Islam
dilakukan secara besar-besaran. Para khalifah di setiap masanya mengirimkan ribuan
bahkan puluhan ribu tentara Islam yang dipimpin oleh panglima-panglima dan jendrakl
perang yang paling mahir, pakar, dan ahli pada masanya demi menyebarkan Islam ke
seluruh penjuru Dunia. Pada masa ini Islam telah tersebar ke Pakistan, Khurasan,
Bukharo, Samarkand, Konstantinopel, Mesir, dan Afrika. Negara-negara tersebut dapat
ditaklukkan oleh pasukan Islam dengan mudah, karena kedatangan Islam ternyata
mendapat respon positif dan ditunggu-tunggu oleh mereka. Mereka yang terdzolimi dan
tersiksa oleh para penguasa dan raja di negerinya merasa terbebaskan dengan kehadiran
Islam.
Setelah beberapa Negara dapat tertalkukkan, di sana pun didirikan pusat
pemerintahan Islam yang dipimpin oleh seorang gubernur. Pemerintahan masih berpusat
di Damaskus dan menjadi sentral kebijakan dan pemerintahan yang berhak mengeluarkan
undang-undang dan aturan Negara lainnya, termasuk pengaturan pajak dan pengadilan.

3. Kemajuan Peradaban Islam di Masa Umayyah


Seiring dengan berlangsungnya pemerintahan dinasti Umayyah, selain mengadakan
ekspansi ke berbagai daerah ke berbagai penjuru dunia, pada masa ini juga peradaban
islam mulai berkembang, peradaban yang dimaksud adalah peradaban yang terefleksi
dalam politik, ekonomi, budaya, dan teknologi5. Di antara kemajuan peradaban yang
diperoleh oleh dinasti Umayyah adalah sebagai berikut :
a. Di bidang ekonomi
Pada masa Abdul Malik, ia membuat mata uang Negara pada tahun 77H.
dengan diresmikannya penggunaan mata uang Negara, maka segala pertukaran barang
yang menyangkut urusan kehidupan sehari-hari atau ataupun hubungan dengan luar
bisa ditetapkan standarnya, sehingga dengan demikian laju perekonomian semakin
lancar.

b. Di bidang politik
Sejak ekspansi gencar dilakukan, maka pemerintah membentuk badan atau
lembaga yang mengurusi beberapa bidang, di antara lembaga yang didirikan adalah :
Nidhomul Siyasi (organisasi politik), Nidhomul Idary (Tata usaha kenegaraan),
Nidhomul Maaly (ekonomi keuangan), Nidhomul Harby (ketentaraan), dan Nidhomul
Qadhai (Kehakiman). Dengan didirikannya lembaga-lembaga di atas, maka

5 Ajid Thohir 2004, Perkembangan Islam di Kawasan Dunia Islam, hal 35


pemerintahan berjalan semakin lancar, dan rakyat makin terjamin kesejateraannya.
Dengan demikian juga mulai ditetapkannya gajih setiap pegawai, mulai dari para
pejabat, tentara, bahkan penetapan gaji bagi para buruh Negara dan buruh-buruh
lainnya6.

c. Di Bidang Budaya, Seni Dan Pendidikan


Pada mulanya kantor pemerintahan berpusat di Damaskus atau Syam, dimana
masyarakatnya menggunakan bahasa Yunani sebagai bahasa resmi, di Persia bahasa
Persia, di Mesir bahasa Qibthi. Setelah Abdul Malik berkuasa semua bahasa itu dihapus
dan diganti dengan bahasa Arab sebagai bahasa resmi dan bahasa pemersatu ummat.
Disamping itu kemajuan di bidang seni meliputi, perkembangan syair, seni suara
melantunkan ayat-ayat Al-Qur an, dan arsitektur bangunan. Dan di bidang pendidikan
pada masa ini kemajuan bidang pendidikan telah dirintis, diantaranya berdiri madrasah-
madarash. Ilmu yang marak dipelajari adalah : ilmu naqli, filsafat, eksakta yang
melengkapi ilmu-ilmu sebelumnya yaitu, tarikh dan ilmu agama dan juga dakwah.

d. Di Bidang Hukum dan Sosial


Pada masa ini diberlakukan pengadilan atau mahkamah dimana para hakim
yang tadinya hanya sampingan, saat itu sudah menjadi sebuah profesi, sehingga para
hakim betul-betul konsen pada bidangnya dan membantu pemerintah dalam
menegakkan hukum dan undang-undang Negara. Di bidang sosial pada zaman ini
sudah didirikan rumah-rumah jompo, panti asuhan dan rumah yatim piatu.

4. Hambatan-hambatan yang Terjadi Selama Pemerintahan Bani Umayyah


Pada masa pemerintahan Bani Umayyah tidak berarti terbebas dari gangguan dan
pemberontakkan. Hal ini terjadi pada masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan. Pada
masanya terjadi beberapa pemberontakan, sehingga konsentrasi pemerintahannya terpusat
pada pembenahan masalah dalam negeri. Diantara pemberontakan yang terjadi adalah
sebagai berikut :
• Pemberontakan golongan Syi’ah tahun 66 H/ 686 M. pemberontakan ini terjadi

6 Drs. Amrullah, 1995, Sejarah kEbudayaan Islam, hal 31


karena mereka menuntut balas atas pembunuhan Husain bin Ali di Karbala dan
pengingkaran Bani Umayyah atas perjanjian Madinah antara Muawiyah dan Ali.
Sementara itu di kota Kuffah bangkit pula gerakkan Syi’ah yang dipimpin oleh
gubernur Mukhtar ibnu Abdillah. Pemberontakan ini tidak dapat dipatahkan,
sehingga panglima perang dari pasukan pemerintahpun terkalahkan dan terbunuh.
• Pemberontakkan Abdullah ibnu Zubair pada tahun 72H/ 692M. Abdullah adalah
orang yang tidak mengakui pemerintahan Bani Umayyah, pada masa itu
kekuasaan Abdullah ibnu Zubair melebihi kekuasaan Umayyah, sehingga lahir
anggapan bahwa pemerintahan Islam yang syah adalah pemerintahan Abdullah
ibnu Zubair. Namun pemberontakkan dapat dihentikan oleh Abdul Malik dalam
peperangan di Mekkah yang akhirnya Abdullah mati terbunuh.
• Pemberontakkan Amru ibnu Said pada tahun 70H/690M. ia adalah orang yang
termasuk keluarga Umayyah yang ingin menjadi putra mahkota, tapi berkat
kepiawaian Abdul Malik ia dapat terpedaya dan akhirnya terbunuh oleh Abdul
Malik sendiri.

Pada masa khalifah Umar bin Abdul Aziz pemerintahan dipusatkan untuk membenahi
masyarakat dari berbagai pemberontakkan dan konflik. Pada masa ini kholifah Umar
berhasil bernegosiasi dengan golongan Syi;ah sehingga mereka mau berdamai, kemudian
Umarpun melarang siapa saja untuk menghina atau memojokkan keluarga Ali dan Ahluil
Bait sehingga itu kedamain dan ketentraman dalam negeri dapat dicapai

5. Bergulingnya Kekuasaan Pemerintahan Umayyah


Wafatnya Umar bin Abdul Aziz menandai berakhirnya zaman dinasti Bani
Umayyah, karena para khalifah sesudahnya banyak dipengaruhi oleh berbagai pengaruh
buruk yang akhirnya melemahkan dan menghancurkannya. Para kholifah sesudahnya
cenderung hidup bersenang-sennag dan berpoya-poua, bahkan sering terjadinya
perselisihan antara putra mahkota yang memperebutkan kursi kekuasaan. Namun secara
rinci dapat dijabarkan tiga faktor utama kehancuran dinasti Bani Umayyah, yaitu :
• Latar belakang terbentuknya dinasti Bani Umayyah yang tidak bisa terlepas dari
konflik-konflik politik yang terjadi di masa Ali. Sisa-sisa Syi’ah dan Khawarij
terus menjadi gerakkan oposisi, baik secara terbuka ataupun tersembunyi.
• Banyaknya pertentangan antar etnis, yaitu antara suku Arabia Utara dan Atabia
Selatan yang sudah terjadi sejak sebelum datangnya Islam. Hal ini mengakibatkan
penguasa Bani Umayyah kesulitan untuk mempersatukan mereka.
• Munculnya kekuatan baru yang dipelopori oleh keturunan Al Abbas bin Abdul
Mutholib . gerakan ini mendapat dukungan dari Bani Hasyim dan Syi’ah serta
kaum Mawali yang merasa disisihkan.7

Referensi :
1. Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan
Dunia Islam, Rajawali Pers, Jakarta 2004.
2. Badri Yatim, Dr. M.A, Sejarah Peradaban Islam,
Rajawali Pers, Jakarta 2003
3. Amrullah, Drs, Sejarah Kebudayaan Islam, Armico,
BAndung 1995
4.

7 Drs. Amrullah, 1995, Sejarah kEbudayaan Islam, hal 41,

Anda mungkin juga menyukai