Anda di halaman 1dari 2

REL

Sapardi Djoko Damono

Pagi itu matahari baru saja terbit, enam atau tujuh orang anak laki-laki, dan
seorang lelaki yang berumur hampir 40 tahun, baru saja melewati jalan yang tepi-tepinya
merupakan ladang yang belum digarap. Kira-kira 200 meter dari lintasan kereta api itu,
salah seorang anak laki-laki itu berlari sekencang-kencangnya sambil meneriakkan
beberapa patah kata yang tidak jelas maknanya. Tepat di rel ia berhenti, memandang ke
kiri ke kanan, lalu berjongkok—atau tepatnya duduk. Beberapa saat kemudian kepalanya
ditundukkannya dan dengan wajah yang aneh ia kemudian menempelkan telinga kirinya
ke rel kereta. Ayahnya, lelaki itu, dan juga teman-temannya seperti tidak pernah
memperhatikannya sebab hal seperti itu selalu berulang setiap mereka melakukan
perjalanan semacam itu. Pernah ayahnya menanyakan kenapa begitu, tetapi jawabannya
tidak jelas dan ayahnya tampak puas saja.
Beberapa saat kemudian diangkatnya kepalanya, lalu ganti ditempelkannya
telinga kanannya ke rel. Di telinganya, rel kereta selalu memperdengarkan getaran suara
yang membuat matanya berbinar-binar, persis seperti embun yang hampir jatuh dari
ujung daun dan ditembus cahaya matahari pagi. Ia mencintai rel. Ia tak pernah tahu, dan
tampaknya juga tak peduli, apakah getaran suara yang mencapai gendang telinganya itu
bersumber pada kereta yang menjauh atau yang mendekat. Anggota rombongan yang lain
tanpa memperhatikannya meneruskan perjalanan.
Mereka tadi bangun sebelum subuh. Hari itu libur, tak ada sekolah. Ayah anak itu,
kalau kebetulan pulang—ia suka tidak pulang berhari-hari, bahkan berminggu-minggu
karena konon bergabung dengan gerilya entah di mana di sebelah selatan kota
kelahirannya—suka mengajak anak-anak berziarah ke makam leluhurnya yang jauhnya
sekitar sejam jalan kaki. Ibu anak lelaki itu itu sudah tak ada. Dan orang tua anak-anak itu
sama sekali tak berkeberatan karena lelaki itu seorang priayi yang dihormati di
lingkungannya. Malam sebelum berangkat, anak-anak itu tidur di rumah lelaki itu—
meskipun neneknya pernah menyatakan keberatannya—dan sebelum subuh mereka
saling membangunkan untuk berangkat. Tak ada mandi; cuci muka secukupnya. Tak ada
sepatu, tak ada sandal—di zaman geger-geger revolusi itu mana ada orang memikirkan
sepatu atau sandal?
Mereka gembira sebab akan menyeberangi Bengawan Solo. Jika kebetulan air
pasang ada rakit yang membawa mereka ke seberang Timur, jika surut mereka lebih suka
jalan saja, meskipun tidak jarang terpeleset di batu licin yang digunakan untuk berpijak,
dan lalu tercebur ke air dangkal. Ada, tentu, yang sengaja mencebur, sebab menikmati
suara tawa teman-temannya yang meledek: sukur, sukur! Bengawan itu lebar, jika
penghujan suka meluap dan beberapa kali menyebabkan banjir besar. Tetapi di musim
kemarau hampir kering, dan air hanya mengalir di sela-sela batu-batu yang menonjol.
Lelaki itu tak banyak bicara. Dibiarkannya saja anak-anak itu, beberapa di
antaranya dengan pakaian sedikit basah, mendaki jalan setapak di tebing sungai itu.
Lepas dari situ, mereka berhamburan ke ladang yang di beberapa tempat masih terdengar
suara cengkerik dan gangsir. Lelaki itu suka memberi tahu cara menangkap cengkerik
yang bersembunyi di sela-sela batu atau bongkahan tanah, atau gangsir yang terkadang
kelihatan sebagian badannya di lubangnya. Tentu saja hanya cengkerik jantan yang
dicari, yang betina tak bisa diadu. Dan gangsir ditangkap untuk dibakar dan dilahap.
Gurih. Mereka sudah menyiapkan kotak-kotak anyaman bambu untuk itu.
Anak itu memang suka adu cengkerik, tetapi ia lebih menikmati tontonan
perburuan serangga itu. Di rumah, jika ayahnya sedang di luar kota, pamannya suka
membuatnya jengkel dengan membuang cengkerik-cengkerik yang dipeliharanya di
kotak-kotak itu. Bikin ribut saja, semalaman tak tidur gara-gara cengkerik keparat itu!
Paman itu temanten baru, sesudah terlalu lama membujang, dan tentu saja malam-malam
tidak suka diganggu meskipun hanya oleh suara cengkerik. Tapi ia sayang pada
pamannya, yang ketika sedang pacaran suka pulang membawakannya dua atau tiga buku
komik—sogokan dari calon bibinya itu—yang akan selesai dibacanya hanya dalam
sepuluh atau lima belas menit saja.
Ketika ia asyik menempelkan telinganya di rel, rombongan sudah agak jauh
meninggalkannya. Mereka sedang menuju makam leluhur lelaki itu, yang tentu saja juga
leluhur anak itu. Ia bangkit dan berteriak-teriak agar ditunggu, dan didengarnya derai
tawa teman-temannya. Ayahnya terus saja berjalan di depan. Di makam, yang di sana-
sini ditumbuhi pohon randu alas dan kemboja, ayahnya masuk ke kompleks nisan
leluhurnya, membakar kemenyan yang disediakan juru kunci yang rumahnya di depang
gerbang makam itu, dan berada di sana berjam-jam lamanya. Sementara itu anak-anak
melanjutkan keasyikannya mencari cengkerik di sela-sela nisan dan batu-batuan makam.
Mereka semakin menjauh darinya.
Ia lebih suka mencari bunga kemboja yang jatuh dan menghitung daun bunganya.
Kata ibunya dulu, ada perbedaan antara jumlah yang genap dan yang ganjil, yang bisa
mempengaruhi keberuntungan orang. Almarhumah tidak pernah memberi tahu kenapa.
Hari itu seperti ada yang menggoyang pohon kemboja itu begitu keras sehingga bunga-
bunganya berjatuhan bagai hujan yang sangat deras. Ia seperti orang mabok berlarian ke
sana ke mari menangkap bunga-bunga itu, mencari yang daun bunganya lima seperti
yang dulu pernah dipesankan ibunya, tetapi tak ada—seperti dulu-dulu juga.
Capek, ia pun duduk menunggu acara ziarah ayahnya selesai, dan rombongan
kembali ke kota. Di tepi desa itu mereka suka ketemu penjual gethuk yang baru keluar
dari rumahnya, jadi masih hangat, dan ayahnya selalu membuat pesta kecil makan gethuk
hangat. Yang sisi-sisi gumpalannya dilubangi untuk menaruh cairan gula jawa. Mereka
suka makan bagian yang kena gula jawa itu. Dan seusai pesta makan itu, datanglah saat-
saat yang benar-benar telah memberinya semangat untuk berjalan sejauh 10 km itu.
Mereka kembali akan menyeberangi rel kereta api, dan ia pun berlari sekencang-
kencangnya mendahului teman-temannya agar segera sampai di rel itu. Ia pun mula-mula
menempelkan telinga kirinya ke rel, matanya seperti kelereng bening yang dilindungi
kelopaknya, menerawang jauh entah ke mana. Kemudian ganti telinga kanannya
ditempelkannya ke rel, dan ia merasakan rel itu telah menghubungkannya dengan tempat-
tempat yang jauh di sudut-sudut otaknya. Dan teman-temannya—juga ayahnya—tidak
memperhatikannya sedikit pun. Mereka sudah sangat jauh meninggalkannya. Ia tidak
pernah tahu apakah getaran suara di rel yang merambat ke telinganya itu berasal dari
kereta api yang menjauh atau mendekat. Ia tak peduli. Sampai didengarnya suara
seseorang, Bangunlah, Nak; hari sudah sore. Tidak ada lagi kereta lewat. Ketika ia
mendongak remang-remang dilihatnya seorang perempuan dengan bunga kemboja
berdaun lima di telinganya, wajahnya mirip penjual gethuk tadi, mengulurkan
tangannya.***

Anda mungkin juga menyukai