P ada zaman dahulu kala, di Sambas hiduplah seorang saudagar yang kaya raya.
Saudagar tersebut mempunyai dua orang anak laki-laki. Anaknya yang sulung bernama
Muzakir, dan yang bungsu bernama Dermawan. Muzakir sangat loba dan kikir. Setiap
hari kerjanya hanya mengumpulkan uang saja. Ia tidak perduli kepada orang-orang
miskin. Sebaliknya Dermawan sangat berbeda tingkah lakunya. Ia tidak rakus dengan
uang dan selalu bersedekah kepada fakir miskin.
Sebelum meninggal, saudagar tersebut membagi hartanya sama rata kepada kedua
anaknya. Maksudnya agar anak-anaknya tidak berbantah dan saling iri, terutama bila ia
telah meninggal kelak.
Muzakir langsung membeli peti besi. Uang bagiannya dimasukkan ke dalam peti
tersebut, lalu dikuncinya. Bila ada orang miskin datang, bukannnya ia memberi sedekah,
melainkan ia tertawa terbahak-bahak melihat orang miskin yang pincang, buta dan
lumpuh itu. Bila orang miskin itu tidak mau pergi dari rumahnya, Muzakir memanggil
orang gajiannya untuk mengusirnya. Orang-orang miskin kemudian berduyun-duyun
datang ke rumah Dermawan.
Burung itu menjadi jinak dan tidak takut kepadanya. Beberapa hari kemudian, burung
itu telah dapat mengibas-ngibaskan sayapnya, dan sesaat kemudian ia pun terbang.
Keesokan harinya ia kembali mengunjungi Dermawan. Di paruhnya ada sebutir biji, dan
biji itu diletakkannya di depan Dermawan. Dermawan tertawa melihatnya. Biji itu biji
biasa saja. Meskipun demikian, senang juga hatinya menerima pemberian burung itu.
Biji itu ditanam di belakang rumahnya.
Tiga hari kemudian tumbuhlah biji itu. Yang tumbuh adalah pohon semangka. Tumbuhan
itu dipeliharanya baik-baik sehingga tumbuh dengan subur. Pada mulanya Dermawan
menyangka akan banyak buahnya. Tentulah ia akan kenyang makan buah semangka
dan selebihnya akan ia sedekahkan. Tetapi aneh, meskipun bunganya banyak, yang
menjadi buah hanya satu. Ukuran semangka ini luar biasa besarnya, jauh lebih dari
semangka umumnya. Sedap kelihatannya dan harum pula baunya. Setelah masak,
Dermawan memetik buah semangka itu. Amboi, bukan main beratnya. Ia terengah-
engah mengangkatnya dengan kedua belah tangannya. Setelah diletakkannya di atas
meja, lalu diambilnya pisau. Ia membelah semangka itu. Setelah semangka terbelah,
betapa kagetnya Dermawan. Isi semangka itu berupa pasir kuning yang bertumpuk di
atas meja. Ketika diperhatikannya sungguh-sungguh, nyatalah bahwa pasir itu adalah
emas urai murni. Dermawan pun menari-nari karena girangnya. Ia mendengar burung
mencicit di luar, terlihat burung pipit yang pernah ditolongnya hinggap di sebuah
tonggak. "Terima kasih! Terima kasih!" seru Dermawan. Burung itu pun kemudian
terbang tanpa kembali lagi.
Keesokan harinya Dermawan memberli rumah yang bagus dengan pekarangan yang luas
sekali. Semua orang miskin yang datang ke rumahnya diberinya makan. Tetapi
Dermawan tidak akan jatuh miskin seperti dahulu, karena uangnya amat banyak dan
hasil kebunnya melimpah ruah. Rupanya hal ini membuat Muzakir iri hati. Muzakir yang
ingin mengetahui rahasia adiknya lalu pergi ke rumah Dermawan. Di sana Dermawan
menceritakan secara jujur kepadanya tentang kisahnya.
Biji pemberian burung ditanam Muzakir di tempat yang terbaik di kebunnya. Tumbuh
pula pohon semangka yang subur dan berdaun rimbun. Buahnya pun hanya satu,
ukurannya lebih besar dari semangka Dermawan. Ketika dipanen, dua orang gajian
Muzakir dengan susah payah membawanya ke dalam rumah karena beratnya. Muzakir
mengambil parang. Ia sendiri yang akan membelah semangka itu. Baru saja semangka
itu terpotong, menyemburlah dari dalam buah itu lumpur hitam bercampur kotoran ke
muka Muzakir. Baunya busuk seperti bangkai. Pakaian Muzakir serta permadani di
ruangan itu tidak luput dari siraman lumpur dan kotoran yang seperti bubur itu. Muzakir
berlari ke jalan raya sambil menjerit-jerit. Orang yang melihatnya dan mencium bau
yang busuk itu tertawa terbahak-bahak sambil bertepuk tangan dengan riuhnya.
(diolah dari Cerita Rakyat dari Kalimantan Barat 2, Syahzaman, PT.Grasindo, 1995