Alkisah seorang pemuda bernama Muluk (Reza Rahardian), yang merupakan lulusan S1 bidang
Manajemen. Namun sudah 2 tahun, semenjak lulus kuliah belum mendapatkan pekerjaan.
Sudah coba mendaftar kemana-mana. Tp belum berhasil juga. namun muluk tidak pernah berputus asa.
Suatu hari di pasar, Muluk bertemu dengan seorang pencopet yang bernama Komet. Muluk tak sengaja
memergoki komet yang tengah beraksi mencopet. Walau komet berhasil ditangkap, tapi komet dilepaskan
oleh Muluk.
Kemudian Komet membawa Muluk ke markas para pencopet. Disana Komet diperkenalkan dengan
bosnya copet yang bernama Jarot. Kaget bukan kepalang, karena di markas tersebut berkumpul banyak
anak yang smuanya bekerja sebagai pencopet. Kemudian Muluk melihat ada kesempatan untuk jalan
membebaskan para pencopet dari pekerjaan mereka selama ini yaitu mencopet. Tawaran Muluk kepada
jarot adalah membiarkan Muluk untuk mengelola keuangan para pencopet. Sebagai imbalannya adalah
10% dari hasil mencopet, yang ditambah dengan biaya mendidik mereka.
Usaha yang dilakukan oleh Muluk berhasil, sedikit demi sedikit para pencopet makin pintar karena
mendapat pendidikan. Untuk memperoleh pendidikan, kemudian Muluk meminta Samsul (Asrul Dahlan)
dan Pipit (Ratu Bravani) untuk membantu penddidikan para pencopet. Samsul yang notabene-sebagai
seorang Sarjana Pendidikan menjadi guru membaca yang berjiwa Pancasila. Sementara Pipit yang
merupakan anak Pak Haji, menjadi guru mengaji para copet. Rencana Muluk untuk merubah profesi para
pencopet menjadi pedagang, sedikit demi sedikit menunjukkan hasil yang baik. Perlahan tapi pasti.
Di satu sisi perjuangan yang dilakukan Muluk untuk memberikan edukasi kepada para pencopet sudah
mulai berhasil. Justru pada sisi lain, terjadi pertentangan dengan orang tua dari Muluk,Pipit dan Samsul.
Karena imbalan uang yang didapat untuk gaji Muluk, Pipit dan Samsul adalah hasil mencopet, tidak halal.
Film garapan Deddy Mizwar seperti pada umumnya selalu terkandung pesan moral yang dalam. yang
diangkat dalam cerita ini adalah Kemiskinan, Korupsi, dan pendidikan. Digambarkan betapa susahnya
kehidupan anak-anak sehingga mereka harus mencopet. Sementara koruptor juga mencopet dari kantong-
kantong kaum minoritas seperti kita ini. Pertanyaan yang menggelitik yang dilontarkan pada awal film ini
adalah, "penting kaga sih sebenernya pendidikan itu ? "
Humor yang dikemas dalam film ini juga terasa alami dan menghibur, sehingga bisa gampang diterima.
Contohnya salah satu adegan saat Muluk membawa para pencopet ke gedung DPR dan memberi tahu
kepada mereka kalau di sini tidak boleh mencopet, kemudian salah satu dari para pencopet langsung
memotong “Tapi boleh korupsi kan?“. Hahaha...benar-benar sindiran yang tajam. Dikemas dengan sangat
cerdas dan menyentil.
Penilaian secara keseluruhan untuk film ini adalah mendapat nilai 5 bintang dari 5 yah :). Walau
endingnya agak sedikit menggantung dan membuat kita bertanya-tanya bagaimana nasib Muluk dan anak2
para pencopet. Mungkin sengaja dilakukan oleh sang sutradara. Sebagai suatu perenungan, kenapa
masalah korupsi di negeri ini tidak tuntas2. Tp kalau ada gambaran mungkin cuplikan preview 5 tahun
kedepan kehidupan, pasti lebih oke itu.
Muluk (Reza Rahardian) seorang sarjana muda yang hampir dua tahun lulus dari bangku kuliahnya.
Walaupun begitu setelah masa pendidikannya itu, ia belum juga mendapatkan pekerjaan yang bisa
dibanggakan kepada ayahnya Makbul (Dedi Mizwar). Sampai akhirnya Muluk mendapati seorang bocah di
pasar sedang mencopet dan memergokinya yang akhirnya membawa Muluk pada pekerjaan barunya.
Perjumpaan Muluk dan Komet (Angga) membawanya bertemu dengan Jarot (Tio Pakusadewo) yang
notabene adalah bos para pencopet. Jarot dengan rapi mengorganisir sekelompok pencopet yang berjumlah
hampir 20 anak di bawah umur dan membaginya menjadi tiga kelompok copet yang terdiri dari copet pasar,
copet mall dan copet angkot. Walau sedikit kaget dengan apa yang ia dapati di sebuah rumah tua yang
kumuh, dari sinilah muluk mendapatkan ide cemerlang untuk para pencopet cilik ini.
Di tempat lain Syamsul (Asrul Dahlan) sarjana pendidikan yang juga masih menganggur, merasa putus asa
dengan nasibnya yang tak kunjung membaik. Setiap hari waktunya dihabiskan dengan bermain gaple di
gardu hansip. Sedangkan Pipit (Tika Bravani) yang merupakan anak ustad H.Rahmat (Slamet Rahardjo)
memiliki kebiasaan mengikuti kuis-kuis di TV dan mengirimkan undian berhadiah. Keduanya akhirnya diajak
Muluk untuk menjalakankan proyek yang diberi nama oleh Muluk pengembangan sumber daya manusia.
Ketiga sahabat ini tanpa lelah mencoba mengubah pola pikir para pencopet ini agar tidak lagi mencopet.
Berhasilkah usaha Muluk dan kedua sahabatnya itu mengubah nasib para pencopet? - 21Cineplex.com
(http://pendek.in/0188a)
Satu lagi karya besar seniman Indonesia, Deddy Mizwar dan teman-teman, berhasil
membawakan film Indonesia yang sangat berharga, artistik, anggun, berwibawa dan sarat
dengan nilai-nilai moral.
Banyak dialog-dialog bermakna terkandung di dalamnya. Alur ceritnya gw rasa bagus, dan ga
keduga-duga. Beberapa dialog yang gw patut catat adalah:
akarta – Sebuah film yang bagus akan membuka peluang telaah dan kajian yang luas dan
mendalam. Salah satu contohnya adalah Alangkah Lucunya (Negeri Ini) atau ALNI.
Film hasil kolaborasi penulis Musfar Yasin dan sutradara Deddy Mizwar ini bisa didekati dengan
banyak kemungkinan: ideologi, politik, sosial, budaya, pendidikan, kriminalitas, generasi muda,
dan agama. Isu pengangguran, kekerasan, dan semangat materialism juga disentil.
Bisa dibilang, film ini adalah perpanjangan ide anti-korupsi ‘Ketika’ dan semangat nasionalisme-
religius ‘Nagabonar Jadi 2′. Walau ada satu plot utama–yaitu bagaimana Muluk (Reza Rahadian)
dan kawan-kawannya bisa mengubah para pencopet cilik untuk tidak lagi mencopet dan beralih
usaha yang halal dengan cara yang “revolusioner”—tetapi yang tidak kalah serunya adalah
detail-detail minor seperti celetukan para bocah pencopet atau atmosfir sekitar.
Tengok bagaimana para calon besan (H Makbul/Deddy Miszwar dan H. Sarbini/Jaja Miharj)
begitu prihatin dengan Muluk yang sudah 2 tahun menganggur. Tekanan-tekanan sosial seperti
kewajiban bekerja dan menikah adalah hal lumrah di negeri ini. Pun dengan jutaan pengangguran
dari berbagai level pendidikan. Karena itu, lantas muncul komentar satir: “Pendidikan itu
penting. Karena berpendidikan, maka kita tahu bahwa pendidikan itu tidak penting!”
Atau tengok Jupri (Edwin ‘Bejo’) yang calon anggota DPR. Dengan norak, Jupri mendekati anak
H. Sarbini yang cukup terpesona melihat screensaver akuarium di laptop baru calon pejabat itu.
Atau bagaimana dia dilecehkan masyarakat saat membagi-bagikan kaos kampanyenya. Atau,
bagaimana dengan nakal, para pencopet yunior itu diajak ke Gedung MPR, dan nyeletuk,
“Mereka nyopetnya gimana ya?”.
Aroma kemiskinan, pengangguran, dan akhirnya mencari jalan pintas atau apatis juga hadir.
Misalnya, Syamsul (Asrul Dahlan) yang hobi bermain gaple di pos ronda. Atau Pipit (Tika
Bravani) yang senang mengikuti kuis di televisi dan undian berhadiah. Atau, sang ibu (Rina
Hasyim) yang tidak punya pekerjaan selain mengisi TTS dan game watch.
Persoalan agama dan umatnya tentu kental di sini. Ada kelompok haji, seperti Makbul dan
Sarbini, dipimpin Haji Rahmat (Slamet Rahardjo Djarot). Tindakan revolusioner, mengumpulkan
10% dari hasil copet untuk diputar dan ditabung, menimbulkan kontroversi, khususnya bagi para
haji. Mereka tentu saja menolak uang haram. Konflik pun kian meruncing.
Tentu peran sutradara pendamping, Aria Kusumadewa, yang dekat dengan topik anak jalanan,
juga penting. Durasi 105 menit tidak terasa karena mengalirnya cerita.
Di akhir film, muncul pernyataan keras yang menjadi jiwa film ini: “Fakir miskin dan anak
terlantar dipelihara oleh negara”, bunyi pasal 34 UUD 1945.
Tetapi yang terkeras adalah pernyataan Syamsul di akhir cerita, yang berteriak-teriak
membandingkan koruptor dengan pencopet amatir. Dan setelah itu, Jupri menghampirinya untuk
memberinya kaos bergambar dirinya. Reaksi Syamsul sangat keras, dia berkata “kentut!”. Lewat
adegan itu, seolah kita diajak berpikir, orang ini ingin jadi wakil rakyat untuk kepentingan
pribadinya. Mengapa mereka tidak berupaya keras untuk mengentaskan banyak persoalan di
negeri ini?”
Tercatat ada sembilan nama peraih piala citra yang berkolaborasi di sini: Slamet Rahardjo,
Deddy Mizwar, Tio Pakusadewo, Rina Hassim, Aria Kusumadewa, Yudi Datau, Musfar Yasin
dan Zairin Zain.
Terakhir mari kita renungkan adegan ini: kala pencopet dengan sukses mengadakan upacara
bendera. Begitu lagu kebangsaan Indonesia Raya berhenti, “Hiduplah Indonesia Raya”…tiba-
tiba yang paling kecil menyeletuk:”Amin!”, sembari menggerakkan tangannya mengusap wajah,
layaknya berdoa.
Namun, di mata aktor film Dedi Mizwar negeri ini tampak sangat lucu. Bagaimana mungkin di
kota besar lulusan sarjana menganggur dan luntang-lantung mencari pekerjaan.
Bagaimana mungkin saat pemerintah rajin mempropagandakan sekolah gratis dan bantuan
operasional sekolah (BOS), terutama jelang kampanye, banyak anak tidak sekolah dan menjadi
pencopet pula.
Satu lagi, bagaimana mungkin, rakyat kecil mencopet dikejar dan terhina, sementara koruptor
merajalela dan mendapat tempat terhormat dan diperlakukan istimewa.
Kondisi ironi inilah yang menjadi tema utama film mutakhir Dedi. "Alangkah Lucunya Negeri
Ini". Setting dibuka dengan kehidupan sehari-hari masyarakat bawah.
Adalah tokoh tua, diwakili tiga bapak, Dedi Mizwar (merangkap sutradara) yang menjadi tokoh
utama dalam film ini, Muluk (Reza Rahadian) lalu Slamet Rahardjo dan Jaja Mihardja.
Ketiganya mempunyai anak dan pengangguran semua meski sudah tamat S-1. Dedi yang
berprofesi sebagai penjahit menolak anaknya disebut pengangguran. "Sedang mencari kerja.
Beda dengan pengangguran yang pasrah merenungi nasib," katanya kepada calon besan Jaja
yang dalam film ini memiliki gadis yang juga ditaksir calon anggota DPR.
Muluk sudah mencari kerja ke mana-mana tapi nasib tak berpihak padanya. Di sebuah pasar
bertemu dengan copet kecil yang mengambil dompet melalui kerja sama dengan teman-
temannya.
Dialog Muluk dengan copet kecil menjadi awal bahwa dialog dalam film ini menjanjikan
percakapan cerdas. Penulis cerita Musfar Yasin patut diacungkan jempol untuk itu.
Termasuk, menggunakan kata "adalah" melalui Kifli, salah seorang ketua kelompok copet bus
kota. Kata "adalah" pada setiap kalimat Kifli bisa menjadi daya tarik seperti "Apa kata dunia"
dalam film Naga Bonar.
Muluk berkata bahwa dia sudah ke sana kemari mencari kerja untuk mendapat uang, tetapi
dengan gampang sang copet mengambil dompet orang. "Jika kamu minta pasti akan diberi," kata
Muluk.
"Saya pencopet, bang. Bukan peminta-minta," ujar Komet, sang copet kecil yang kemudian
diperlihatkan sebagai ketua copet pasar.
Pertemuan itu dilanjutkan pada sebuah sudut warung di mana Komet menawarkan lauk opor,
sementara Muluk hanya pesan tempe dan sayur kangkung.
Pimpinan copet
Singkat cerita, Muluk bertemu dengan pimpinan copet, Jarot (Tio Pakusadewo) yang
mengkoordinir tiga kelompok copet, yakni copet pasar, copet di mall dan kelompok copet bus.
Muluk yang sarjana manajemen menawarkan proposal kerja sama kepada Jarot. Tawarannya,
mengelola hasil copet anak-anak untuk dijadikan modal usaha. Dijanjikan, uang itu akan
dikembangkan sehingga mereka suatu hari tidak perlu mencopet lagi.
Tidak hanya itu, Muluk ternyata berfikir jauh. Dia ingin anak-anak pencopet itu juga belajar
pengetahuan umum, mengaji, mandi dan berdagang (menjadi pengasong).
Dedi tidak ingin perubahan profesi itu mulus sehingga penonton menyaksikan happy ending. Dia
ingin semuanya realistis. Tidak gampang mengubah profesi copet menjadi pengasong.
Dialog cerdas muncul ketika Samsul (Asrul Dahlan), sarjana pendidikan harus menjelaskan
pentingnya pendidikan. Di sini peran Kifli (tokoh anak yang mengantar orang tua di mobil bak
terbuka di tengah kemacetan, Naga Bonar 2) yang selalu menggunakan kata "adalah" pada setiap
percakapannya.
Pendidikan adalah... Asrul menjelaskannya dengan bahasa "tinggi" yang tak dipahami. Akhirnya
pendidikan dipahami sebagai kemampuan yang lebih tinggi. Jika, tak berpendidikan hanya
menjadi copet dan tetap miskin, maka jika berpendidikan bisa jadi koruptor dan hidup nyaman.
Jadi, "Hidup koruptor!" Teriak belasan anak copet di rumah kosong dan sebagian runtuh yang
menjadi markas mereka. Sindiran pada koruptor juga dimunculkan ketika anak dibawa ke pintu
gerbang DPR. Musfar mendisain dengan manis. Anak-anak mengatakan apakah boleh mencopet
di gedung DPR. Tentu tidak boleh.
Kalau korupsi, tanya anak-anak. Para pendamping menghentikan dialog dengan mengajak
mereka naik ke truk dan meninggalkan pintu gerbang. DPR juga DPRD saat ini sedang berjuang
agar label koruptor itu lepas dari jabatan mereka karena hingga saat ini pun tak sedikit
anggotanya yang ditahan dan diperiksa terkait sejumlah kasus korupsi.
Nilai moralitas dan halal tidaknya suatu rejeki juga disuguhkan dalam film ini. Tiga tokoh tua
(Dedi, Slamet dan Jaja) ingin melihat pekerjaan anak-anaknya. Sebelumnya, Muluk mengatakan
kepada bapaknya, Makbul, bahwa dia bekerja di bidang pengembangan SDM.
Kenyataannya, ketiga tokoh tua menyaksikan anak-anak mereka digaji dari uang copetan,
meskipun dibungkus dengan kata "pengembangan SDM". Mereka tidak rela makan uang haram,
uang dari mencopet.
Makbul menyisihkan gula dan teh dari Muluk. Termasuk, dana rekening listrik. "Mulai bulan
depan, saya yang bayar," kata Makbul. Dia tak ingin uang dari hasil mencopet mengalir di darah
dan menjadi daging di tubuhnya.
Adegan dramatis dipertunjukkan ketika keduanya berdoa di musholla, minta maaf dan ampun
pada Allah karena selama ini makan uang dari hasil mencopet. Muluk dan rekan perempuannya,
anak Slamet, menjadi ragu dengan profesi yang mereka lakukan selama ini.
Mereka ingin berhenti mendidik pencopet padahal mereka sudah menyiapkan enam kotak
sebagai modal untuk mengasong (menjaja).
Adegan terbaik
Adegan terbaik dalam film ini diperlihatkan Samsul yang ingin tetap mendidik anak-anak
pencopet asal diberi ongkos, tanpa honor. Masalahnya, bukan sekadar honor atau uang haram,
tetapi menyangkut harga diri. Jika tidak mengajar maka dia akan menjadi penganggur lagi dan
bermain kartu di gardu siskamlimg.
Dengan gaya yang ekspresif, khas Asrul, Samsul berteriak bahwa bukan mereka yang salah
memakan uang pencopet. Bukan mereka juga yang salah makanya ada pencopet. Mengapa
makan uang pencopet menjadi hina, sementara koruptor menghabisi uang rakyat dibiarkan
bahkan kadang dibela dan jadi mulia. Yang salah adalah mereka yang membiarkan rakyatnya
mencopet, teriak Samsul disaksikan warga kampung lainnya.
Ini inti dari pesan Alangkah Lucunya Negeri ini. Parodi kehidupan pencopet di film dan
mencuatnya kasus korupsi di mana-mana, dalam kehidupan nyata.
Ternyata adegan itu belum cukup. Dedi dan Musfar menutupnya scene itu dengan adegan Jupri
(Edwin) yang berjuang jadi calon wakil rakyat, menawarkan kaos bergambar dirinya. "Pilih saya,
ya," kata Jupri dengan senyum lebar. Samsul yang meradang, mengembalikan kaos dengan
mengatakan, "Kentuuut...!!!" dengan mantap.
Secara keseluruhan film ini sangat menghibur, mengalir dan sarat dengan pesan, jauh beda
dengan film-film lainnya, kecuali Naga Bonar 2, tentunya. Adegan yang mengganggu adalah
saat para pencopet menaikkan bendera merah putih dan menyanyikan lagu Indonesia Raya di
tanah kosong dengan latar gedung tinggi di sekitarnya. Apa menariknya adegan ini?.
Dedi seakan ingin mengatakan, pesan yang sarat dengan makna di lagu kebangsaan adalah doa
yang layak dipanjatkan ke Tuhan yang Maha Esa, sehingga pantas ditutup dengan kata "amin".
Meski ada sejumlah adegan yang menampilkan produk minuman suplemen, motor dan penganan
sosis, tetapi sebagai produk kapitalis yang butuh sponsor, hal itu wajar dilakukan. Tanpa
dukungan dana, film seperti ini hanya akan menjadi wacana yang habis dalam diskusi dan
proposal. Sebagai film, Alangkah Lucunya Negeri ini pantas diacungkan dua jempol.
Namun, bukan Dedi dan Musfar namanya, jika tidak bisa menjadikannya menjadi menarik.
Mereka menampilkan adegan, ikon para pencopet, anak terkecil yang menjadi pemantau di
markas, datang ke lapangan upacara dengan tertatih, saatlagu Indonesia Raya selesai, dan
bendera sempurna di kibarkan di tiang bambu, dia lalu berkata, "Amiin..."
Satu, dua pencopet, dengan ragu-ragu, mengucapkan hal yang sama. Akhirnya, semua
mengucapkan hal yang sama.
Dedi seakan ingin mengatakan, pesan yang sarat dengan makna di lagu kebangsaan adalah doa
yang layak dipanjatkan ke Tuhan yang Maha Esa, sehingga pantas ditutup dengan kata, amin.
Meski ada sejumlah adegan yang menampilkan produk minuman suplemen, motor dan penganan
sosis, tetapi sebagai produk kapitalis yang butuh sponsor, hal itu wajar dilakukan. Tanpa
dukungan dana, film seperti ini hanya akan menjadi wacana yang habis dalam diskusi dan
proposal. Sebagai film, Alangkah Lucunya Negeri ini pantas diacungkan dua jempol.(*)
(E007/R009)