Anda di halaman 1dari 33

Translated by http://heytiva.webs.

com

Hell on Earth
Stephenie Meyer

Gabe memandang ke seberang lantai dansa dan mengernyit. Ia tak yakin


mengapa ia mengajak Celeste ke pesta prom, dan misteri juga bagaimana
Celeste bisa mengiyakan ajakannya. Lebih misterius lagi sekarang, melihat
pegangan erat Celeste di sekeliling leher Heath McKenzie sehingga mungkin
Heath kini kesuliatan bernapas. Sosok mereka semakin menyatu ke dalam
kerumunan orang-orang yang mengumpul begitu mereka bergoyang melawan
alunan musik, mengacuhkan irama lagu yang mendentam di ruangan. Tangan
Heath menjelajahi gaun putih berkilau Celeste dengan menggebu.
“tidak beruntung ya, Gabe.”
Gabe mengalihkan pandangannya dari teman kencannya yang sedang
mendekati temannya.
“Hey, Bry. Mengalami malam yang menyenangkan ya?”
“Lebih baik darimu, teman, lebih baik darimu.” Bryan menjawab sambil
tersenyum lebar. Ia mengangkat cangkir hijaunya untuk sebuah toast. Gabe
menyentuhkan botol minumannya ke cangkir Bryan dan menghela napas.
“Aku sama sekali tak tau kalau Celeste tertarik pada Heath. Memang apa
hubungannya dengan Heath? Mantannya atau sesuatu semacamnya begitu?”
Bryan meneguk minumannya yang terlihat menyeramkan, memasang
ekspresi mukanya, dan menggelengkan kepalanya. “Setahuku sama sekali tidak
ada apa-apa. Aku bahkan tak pernah melihat mereka berbicara satu sama lain
sebelum malam ini.”
Keduanya menatap Celeste, yang kini terlihat kehilangan sesuatu yang ia
butuhkan di dalam mulut Heath.
“Huh,” ucap Gabe.
“Mungkin karena pengaruh minuman.” Ucap Bryan sebagai usaha untuk
menghibur. “Aku tak tahu berapa banyak orang yang berhasil melawan efek
minumannya, tapi ouch. Ia mungkin bahkan tak sadar kalau bukan kamu pria
yang sedang bersamanya.”
Bryan meneguk lagi minumannya dan memasang air muka lain.
“Kenapa kau minum itu?” Tanya Gabe kencang-kencang.
Bryan mengangkat kedua bahunya. “Aku tak tahu. Mungkin musiknya
akan mulai terdengar sedikit tidak lebih menyedihkan setelah aku meminum
habis segelas minuman ini.”
Gabe mengangguk, “Telingaku takkan pernah memaafkanku. Aku

Prom Nights from Hell (paranormal prom stories from five extraordinary authors)
Translated by http://heytiva.webs.com

seharusnya membeli iPod baru.”


“Aku penasaran dimana Clara. Memangnya ada ya hukum atau semacam
peraturan yang menyatakan kalau anak perempuan harus menghabiskan
beberapa persentase waktu dari setiap acara yang mereka ikuti dengan ke
kamar mandi bersama-sama?”
“Ya. Ada hukuman yang berlaku bagi gadis yang tidak ke kamar mandi
sesuai persentase waktu yang diharuskan.”
Bryan tertawa, namun kemudian senyumnya memudar dan ia dengan
gugup memainkan jarinya dengan dasi kupu-kupunya sejenak. “Tentang
Clara...” ia memulai.
“Kau tak harus berkata apapun.” Gabe meyakinkannya. “ia gadis yang
menakjubkan. Dan kalian berdua sempurna untuk satu sama lain. Aku pasti
buta kalau aku bilang tak melihat kecocokan kalian.”
“kau benar-benar tak keberatan?”
“aku yang menyuruhmu untuk mengajaknya ke prom kan?”
“yeah. Sir Galahad justru menyuruhku mengajak gadis lain. Serius nih,
apa kau bahkan tak memikirkan dirimu sendiri?”
“tentu saja, setiap jam. Dan hey, ngomong-ngomong tentang Clara... dia
harus mengalami malam yang menyenangkan sekarang atau aku akan
mematahkan hidungmu.” Gabe menyeringai dengan senyuman lebar. “Dia dan
aku masih berteman baik—jangan pikir aku takkan menelfonnya untuk
mengecek.”
Bryan memutar kedua bola matanya, tapi kemudian ia agak kesuliatan
untuk menelan ludahnya. Jika Gabe Christensen ingin mematahkan hidungnya,
ia takkan mengalami kesulitan sama sekali untuk benar-benar melakukannya—
Gabe tidak keberatan bila tinjunya memar atau rekor permanennya ternodai
jika itu berarti membenarkan sesuatu yang terlihat salah baginya.
“Aku akan menjaga Clara,” ucap Bryan, berharap kata-katanya tak
terdengar seperti sebuah sumpah. Ada sesuatu tentang Gabe dan mata biru
menusuknya yang membuatmu merasa—seperti melakukan yang terbaik yang
kau bisa di setiap tugas yang diberikan. Kadang-kadang terasa mengganggu
memang. Dengan sebuah seringai, Bryan membuang sisa minumannya ke
tanah mati yang menjadi tempat tumbuhnya pohon ficus palsu. “Kalau saja ia
keluar dari kamar mandi.”
“Pria yang baik.” Ucap Gabe meyakinkan, tapi senyumnya menurun
kebawah di satu sisi. Celeste dan Heath telah benar-benar menghilang ke
dalam kerumunan.

Prom Nights from Hell (paranormal prom stories from five extraordinary authors)
Translated by http://heytiva.webs.com

Gabe tak yakin apa protokolnya apabila kau dibuang oleh pasanganmu di
prom. Bagaimana ia bisa yakin kalau Celeste pulang dengan selamat? Apa itu
menjadi tugas heath sekarang?
Gabe kembali bertanya-tanya mengapa ia mengajak Celeste ke prom.
Ia gadis yang sangat cantik. Rambut pirang yang sempurna—begitu berisi
dan tebal—mata lebar cokelatnya, dan bibir berlekuknya yang selalu berwarna
pink yang merayu. Tidak hanya bibirnya saja yang berlekuk. Ia memiliki
segalanya dan ia tengah mengendalikan pikirannya dengan gaun tipis berkilau
yang ia kenakan malam ini.
Penampilannya bukanlah alasan Gabe memperhatikannya, walau begitu.
Alasannya sama sekali bukan karena penampilan fisik Celeste. Benar-benar
bodoh dan memalukan, sungguh. Gabe tak akan pernah, sekalipun
memberitahu siapapun tentang ini, tapi setiap saat, Gabe merasakan perasaan
aneh yang mengatakan kalau seseorang membutuhkan pertolongan.
Membutuhkan dirinya. Gabe merasakan adanya tarikan yang tak dapat
dijelaskan dari Celeste, seolah-olah dibalik sosok sempurna berambut pirang
itu, ada seorang gadis bersembunyi di dalam kesedihan, entah dimana, di balik
riasan sempurnanya.
Benar-benar bodoh. Dan seutuhnya salah. Celeste sepertinya tidak
tertarik pada pertolongan apapun dari Gabe sekarang.
Gabe memeriksa lantai dansa sekali lagi tapi tak dapat menemukan
rambut emas milik gadis itu di keramaian. Ia menghela napas.
“Hey, Bry, kau merindukannku?” Clara, dengan rambut gelap keritingnya
yang penuh dengan glitter, melonjak bebas dari sekelompok anak perempuan
dan bergabung dengan mereka di balik dinding. Sisa-sisa dari kelompok anak
perempuan itu memisahkan diri dan berpencar. “Hey, Gabe. Dimana Celeste?”
Bryan meletakkan lengannya di sekeliling pundak Clara. “Aku kira kau
telah pergi. Jadi aku harus membatalkan rencana hebatku yang baru saja aku
buat dengan—“
Sikut Clara tepat mengenai Bryan di jaringan otot perutnya.
“Mrs. Frinkle,” Lanjut Bryan, terengah-engah dengan kata-katanya dan
mengangguk ke arah wakil kepala sekolah yang menatap marah melalui sudut
ruangan yang paling jauh dari speaker. “Kita akan membetulkan kesalahan-
kesalahan pada cahaya lilin-lilin yang ada.”
“Well, aku tak akan mau melewatkannya! Aku rasa aku tadi melihat
pelatih Lauder di bagian kue. Mungkin aku bisa bicara padanya mengenai
beberapa tambahan hutang pull-ups.”

Prom Nights from Hell (paranormal prom stories from five extraordinary authors)
Translated by http://heytiva.webs.com

“Atau mungkin kita bisa berdansa.” Usul Bryan.


“Tentu. Aku bisa melakukannya.”
Sambil tertawa, mereka masuk ke dalam lantai dansa, tangan Bryan
melingkari pinggang Clara.
Gabe merasa senang karena Clara tidak menunggu jawaban atas
pertanyaannya. Agak memalukan baginya untuk mengatakan kalau ia tidak
mempunyai pasangan.
“Hey, Gabe, dimana Celeste?”
Gabe menyeringai dan menoleh ke arah suara Logan.
Logan juga sedang sendirian saat itu. Mungkin teman kencannya sedang
beralih ke kebiasaan gadis-gadis untuk berkumpul dan berkelompok.
“Aku tak bisa bilang,” Gabe mengakui, “Apa kau telah melihatnya?”
Logan mengerutkan bibirnya sejenak, seolah ia sedang bertebat dengan
dirinya sendiri apakah ia akan bilang atau tidak. Ia menjalankan tangannya
dengan gugup menelusuri rambut hitam elastisnya. “Well, aku rasa tidak. Aku
tak benar-benar yakin... ia mengenakan gaun putih, benar?”
“Ya—dimana dia?”
“Aku rasa aku tadi melihatnya di lobi. Tapi belum tentu benar.Wajahnya
agak sulit untuk kulihat.... wajah David Alvarado benar-benar menutupi seluruh
wajahnya....”
“David Alvarado?” Ulang Gabe terkejut. “Bukan Heath McKenzie?”
“Heath? Tidak. Tadi itu benar-benar David.”
Heath adalah pemain gelandang, berambut pirang dan cerah. David
hampir tidak setinggi 6 kaki; penampilannya berwarna seperti buah zaitun dan
rambutnya hitam. Tak mungkin sulit membedakan keduanya.
Logak menggelengkan kepalanya dengan sedih. “Maaf, Gabe. Kau
sedang sial.”
“tak perlu khawatir.”
“Setidaknya kau bukan satu-satunya orang yang terjebak dengan
kumpulan pria tak berpasangan.” Ucap Logan dengan putus asa.
“Benarkah? Apa yang terjadi dengan pasanganmu?”
Logan mengangkat kedua bahunya. “Ia di sekitar sini entah dimana,
memperhatikan semua orang. Ia tak ingin berdansa, ia tak ingin bicara, ia tak
ingin minum, ia tak ingin di foto, dan ia tak ingin aku menemaninya.” Ia
menjentikkan setiap hal negatif yang ia sebutkan dengan jarinya. “Aku tak
tahu kenapa dari awal ia mengajakku. Mungkin ia hanya ingin memamerkan

Prom Nights from Hell (paranormal prom stories from five extraordinary authors)
Translated by http://heytiva.webs.com

gaunnya—gaunnya sangat keren, aku akui kepadanya. Tapi ia sepertinya sama


sekali tak peduli untuk memamerkan apapun sekarang... aku berharap aku
mengajak gadis lain kemari.” Mata Logan tinggal dengan iba ke sekolompok
gadis-gadis yang menari dengan cepat di area bebas pria. Gabe pikir, ia bisa
melihat kalau Logan hanya fokus menatap seorang gadis.
“Kenapa tak aku ajak Libby?”
Logan menghembuskan napas. “Aku tak tahu. Aku pikir... aku pikir ia
mungkin akan mau kalau kuajak. Oh, sial.”
“siapa pasangan kencanmu?”
“Gadis baru itu, Shebba. Ia sedikit terlalu bersemangat tapi ia benar-
benar menakjubkan, agak eksotis. Aku terlalu terkejut untuk mengatakan
apapun kecuali mengiyakan ajakannya ketika ia mengajakku untuk pergi ke
prom dengannya. Aku pikir ia, well, kupikir ia mungkin saja...
menyenangkan.....” Logan menyelesaikan perkataannya dengan pincang. Apa
yang benar-benar ia pikirkan ketika Sheba memintanya membawanya ke prom
sepertinya bukan sesuatu yang pantas diucapkan keras-keras, terutama untuk
Gabe; banyak hal sepertinya tidak pantas di sekitar Gabe. Kebalikannya dengan
Sheba. Ketika ia melihat gaun kulit berwarna merah yang menghanyutkan
pikirannya, pikirannya langsung penuh dengan berbagai pikiran yang entah
bagaimana tidak pantas sementara mata gelap gadis itu fokus menatapnya.
“Aku pikir aku tak pernah bertemu dengannya.” Ucap Gabe, menyela
fantasi singkat Logan.
“Kau pasti ingat kalau kau pernah.” Walau Sheba melupakan Logan
dengan cukup cepat begitu mereka tiba di depan pintu, “Hey, kau pikir
mungkinkah Libby datang kemari sendirian? Aku tak dengar kalau ada
seseorang mengajaknya...”
“Er, ia datang dengan Dylan.”
“Oh,” Ucap Logan, sangat kecewa. Kemudian ia setengah tersenyum.
“Malam cukup buruk tanpa dikurung oleh semua hal lain—bukankah
seharusnya ada band disini? DJ ini...”
“Aku tahu. Seolah-olah kita tengah dihukum atas dosa-dosa kita.” Ucap
Gabe sambil tertawa.
“Dosa? Seolah kau punya dosa, Galahad yang suci.”
“Apa kau bercanda? Aku hampir tak menyelesaikan hukuman skorsku
tepat waktu untuk bisa datang ke acara malam ini.”Tentu saja, saat itu Gabe
berpikir kalau waktunya tak begitu membantunya. “Aku beruntung tidak di
drop out.”

Prom Nights from Hell (paranormal prom stories from five extraordinary authors)
Translated by http://heytiva.webs.com

“Mr.Reeselah yang mengaturnya. Semuanya tau kok.”


“Ya, ia yang melakukannya.” Ucap Gabe, tiba-tiba nada tajam ia
tekankan di ujung katanya. Semua orang di sekolah bersikap waspada
terhadap Mr.Reese, tapi tak ada yang bisa mereka lakukan hingga guru
matematika itu melewati batas yang tak seharusnya ia lakukan. Seluruh murid
kelas 3 juga tau mengenai Mr.Reese, tapi hanya Gabe yang tak bisa diam saja
melihat Mr.Reese menguntit murid kelas 1 yang tak tau apapun sama-sekali
itu... Tapi tentu saja, merubuhkan seorang guru agak sedikit keterlaluan.
Mungkin ada beberapa jalan yang lebih baik untuk menangani situasi ini. Orang
tuanya mendukungnya meski begitu, seperti biasanya.
Logan menyela pikirannya. “mungkin kita harus pergi dari tempat ini.”
Ucap Logan.
“Aku merasa jahat—bagaimana kalau Celeste butuh tumpangan untuk
pulang...”
“Gadis itu bukan tipemu, Gabe.” Ia benar-benar seorang iblis—dan
seorang wanita murahan, Tambah logan, tapi itu bukan kata-kata yang ingin
kau ucapkan ketika kau ada di sekitar area pendengaran Gabe. “Biar saja ia
mendapat tumpangan pulang dari pria yang menempelkan lidahnya di
tenggorokannya.”
Gabe menghela napas dan menggelengkan kepalanya. “Aku akan
menunggu untuk memastikan kalau ia baik-baik saja.”
Logan mengerang. “Aku tak percaya kau mengajaknya. Well, bisakah kita
pergi sebentar keluar untuk mengambil beberapa CD setidaknya? Kemudian
kita bisa membajak musik-musik jelek yang diputar DJ itu...”
“aku suka cara pikirmu. Aku penasaran apakah supir limo tidak
keberatan dengan trip singkat...”
Logan dan Gabe berakhir dengan argumen dan saling mengejek
mengenai cd paling baik untuk dibawa—lima terbaik benar-benar hebat, tapi
darisitu, sisanya agak bersifat subjektif—keduanya menikmati waktu mereka
lebih baik daripada sepanjang sore mereka sebelumnya.
Tadi itu lucu sekali, tapi sembari keduanya bercanda, Gabe memiliki
perasaan kalau merekalah satu-satunya yang sedang menikmati waktu
menyenangkan. Semua orang di ruangan sepertinya tengah mengerutkan dahi
karena sesuatu. Dan di ujung sudut dekat kue-kue tidak menarik, sepertinya
ada seorang gadis sedang menangis. Bukankah itu Evie Hess? Dan gadis lain,
Ursula Tatum, juga memiliki mata merah dan maskara yang menodai wajahnya
bersamaan dengan air matanya. Mungkin musik dan minumannya bukanlah

Prom Nights from Hell (paranormal prom stories from five extraordinary authors)
Translated by http://heytiva.webs.com

satu-satunya yang menyebalkan di prom. Clara dan Bryan terlihat senang, tapi
selain keduanya, Gabe dan Logan—keduanya yang baru saja dihina dan ditolak
oleh teman kencan mereka—sepertinya menikmati waktu mereka sendiri lebih
daripada orang-orang lain.
Lebih tidak peka dari Gabe, Logan sepertinya tak menyadari atmosfer
negatif yang ada hingga Libby dan Dylan mulai berdebat; dengan kasar. Libby
meninggalkan lantai dansa. Hal itu menarik perhatiannya seketika. Logan
memindahkan beban tubuhnya, matanya menempel pada sosok Libby yang
pergi. “Hey, Gabe, apa kau keberatan kalau aku meninggalkanmu?”
“Tidak sama sekali. Kejarlah.”
Logan hampir berlari cepat untuk mengejarnya.
Gabe tak yakin apa yang akan ia lakukan dengan dirinya sendiri
sekarang.
Apakah ia harus mencari Celeste dan menanyakan apakah ia keberatan atau
jika Gabe pergi? Ia tak benar-benar setuju dengan ide untuk meminjamnya
sebentar dari orang lain hanya untuk bertanya, walau begitu. Ia memutuskan
mengambil sebotol lain air dan mencari sudut paling tenang untuk menunggu
sepanjang malam hingga prom selesai.
Dan kemudian, sembari mencari sudut paling tenang, Gabe merasa
adanya tarikan kuat aneh lagi, lebih kuat dari yang pernah ia rasakan sepanjang
hidupnya; seperti seseorang sedang tenggelam di air berwarna hitam dan
berteriak minta tolong kepadanya. Gabe memperhatikan sekitarnya dengan
gelisah, bertanya-tanya darimana panggilan darurat itu berasal. Ia tak bisa
mengerti, ujung kasar dan sangat berbahaya dari kesedihan ini. Sama sekali
berbeda dengan apa yang ia pernah rasakan sebelumnya.
Untuk sementara waktu, matanya terkunci pada seorang gadis—di balik
punggungnya, karena gadis itu sedang berjalan menjauh darinya. Rabut gadis
itu hitam dan berkilau, dengan cahaya kemilau yang seperti cermin. Ia
mengenakan gaun sepanjang lantai spektakuler dengan warna seperti api.
Sembar Gabe memperhatikan, anting gadis itu berkilau sesekali, seperti cahaya
merah kecil.
Gabe mulai berjalan mengejarnya dengan gerakan yang hampir tak
sadar, dipengaruhi oleh tarikan kuat di sekitar gadis itu yang mengatakan kalau
ia membutuhkan pertolongan Gabe. Gadis itu agak berbalik, dan Gabe bisa
melihat sedikit dari wajah tak dikenal yang pucat—bibir penuh berwarna putih
gading dan alis hitam yang miring—sebelum gadis itu merunduk ke kamar
mandi wanita.

Prom Nights from Hell (paranormal prom stories from five extraordinary authors)
Translated by http://heytiva.webs.com

Gabe hampir kesulitan bernapas dalam usahanya untuk menahan diri


agar tak mengikuti gadis itu ke area-bebas-pria. Ia dapat merasakan betapa
butuhnya gadis itu akan pertolongannya seperti pasir hisap yang menariknya
kuat. Ia mencondongkan badannya di balik dinding dari kamar mandi, melipat
kedua lengannya erat-erat di dadanya, dan berusaha berbicara pada dirinya
sendiri untuk menunggu gadis itu keluar. Insting gila yang ia rasakan sekarang
terlalu kelewat batas. Bukankah Celeste merupakan bukti dari kegilaan
instingnya? Semuanya hanya imajinasinya.
Mungkin ia harus pergi sekarang.
Tapi Gabe tak bisa memaksakan kakinya untuk bergerak satu langkah
saja.
Meskipun gadis itu hanya mencapai 5 kaki dengan stiletto ber-hak 3
inchinya, sesuatu tentang figur ramping dan lurus membuat gadis itu tampak
tinggi.
Gadis itu adalah sebuah kontradiksi yang berjalan dengan lebih banyak
cara, tidak hanya dari tingginya—ia terang dan gelap dengan rambut berwarna
tinta dan kulit berwarna kapur, baik lembut dan keras dengan tubuh mungil,
fitur tajam, dan keduanya mengundang dan menolak dengan irama tubuhnya
dibawah ekspresi wajahnya.
Hanya satu hal pada gadis itu yang tidak ambigu—gaunnya, tak perlu
ditanyakan, gaun itu benar-benar mahakarya; kain memanjang berwarna
berah terang bagai bulu api yang menjuntai menuruni kurva tubuh rampingnya
hingga menyentuh lantai. Ketika ia melewati lantai dansa, semua mata
perempuan mengikuti jalan yg ditempuh gaun merahnya dengan rasa iri dan
mata para pria memandanginya dengan hasrat.
Ada fenomena lain pada gadis itu; sebagai gadis dengan baru berwarna
api yang melewati kerumunan para penari, suara-suara napas berupa
kengerian dan rasa sakit dan rasa malu keluar bergelombang dari sekelilingnya
dalam pusaran angin aneh yang bisa saja kebetulan. Hak sepatu seorang gadis
tiba-tiba patah, dan membuat pergelangan kakinya terkilir. Gaun satin seorang
gadis robek dari mulai pinggangnya hingga paha. Kontak lens seseorang
terlepas dan jatuh entah dimana diatas lantai yang kotor. Tali bra patah
menjadi dua. Sebuah dompet terjatuh dari saku seseorang. Sebuah kalung
yang dipinjam tersebar menjadi hujan mutiara ke lantai.
Terus, terus dan terus, bencana-bencana kecil terjadi, berputar bagai
lingkaran kesengsaraan.
Gadis pucat gelap itu tersenyum kepada dirinya sendiri, seolah ia dapat
merasakan kesengsaraan di udara dan menikmatinya, melihat bagaimana
caranya menjilat bibirnya dengan kesenangan.

Prom Nights from Hell (paranormal prom stories from five extraordinary authors)
Translated by http://heytiva.webs.com

Dan kemudian ia mengerutkan keningnya dan alisnya dengan penuh


konsentrasi. Seorang anak laki-laki yang melihat wajahnya dapat melihat ada
glitter merah aneh di dekat telinganya, seperti bunga api merah yang siap
menembak. Semua orang yang lain kemudian berpaling untuk melihat ke arah
Brody Farrow, yang tengah mencengkram lengannya dan berteriak kesakitan;
gerakan kecil dari tarian lambat yang ia lakukan membuat bahunya terkilir.
Gadis dalam gaun merah menyeringai.
Dengan suara hak sepatunya yang membentur lantai dengan tajam, ia
berjalan menyusuri lorong menuju toilet. Semua erangan rasa sakit dan
kecewa di lantai dansa seakan membututi gadis itu.
Sekumpulan gadis berdiri di depan cermin dinding yang panjang di dalam
kamar mandi. Mereka semua hanya memiliki satu detik untuk ternganga
melihat gaun yang menakjubkan, untuk melihat bagaimana gadis kecil dibalik
balutan gaun indah itu tengah menggigil di ruang pengap yang terlalu hangat
itu, sebelum kekacauan terjadi dan mengalihkan perhatian mereka. Ini dimulai
dengan Roland Emma menusuk matanya sendiri dengan maskaranya. Ia
menggapai-gapai kecewa, hingga tak sengaja memukul gelas penuh punch di
tangan Bethany Crandall, yang kemudian tumpah membasahi Betania dan
menodai 3 gaun gadis lainnya di tempat yang paling tidak nyaman. Suasana di
kamar kecil tiba-tiba memanas ketika seorang gadis—menunjukkan noda hijau
di dadanya—menuduh Bethany melempar gelas punch ke gaunnya dengan
sengaja.
Gadis gelap pucat itu hanya tersenyum kecil melihat pertengkaran itu
dan kemudian melangkah menuju pintu toilet paling jauh di ruangan yang
panjang itu dan mengunci pintunya.
Ia tidak memanfaatkan privasi seperti yang mungkin dikira oleh orang-
orang. Sebaliknya—menunjukkan rasa tidak takut terhadap lingkungan yang
sudah tidak steril lagi—gadis itu menyandarkan dahinya ke dinding logam dan
menutup matanya. Tangannya, mengepalkan tinju kecil yang tajam, menempel
pada logam untuk menahan badannya.
Jika salah satu gadis yang ada di toilet memperhatikan, mereka mungkin
bertanya-tanya apa yang menyebabkan cahaya merah yang bersinar datar
melalui celah antara pintu dan dinding. Tetapi, tak ada yang memperhatikan.
Gadis berbaju merah itu menggertakkan giginya dengan erat bersama-
sama. Dari antara gigi-giginya, sebuah dorongan api panas yang terang
melesat, dan pola hitam hangus membekas di lapisan cat pada dinding logam.
Ia mulai terengah-engah, berusaha keras dengan berat badan yang tak terlihat,
dan dibakar api yang panas, jemari tebal berwarna merah menekan logam
yang dingin. Api menjulur ke rambutnya, tapi tidak menghanguskan rambut

Prom Nights from Hell (paranormal prom stories from five extraordinary authors)
Translated by http://heytiva.webs.com

halus dan segelap tintanya. Jejak asap merembes melalui hidung dan
telinganya. Hujan letusan keluar dari telinganya ketika ia membisikkan sebuah
kata melalui giginya.
“Mellisa.”

Kembali ke atas lantai dansa yang ramai, Mellisa Harris mendongak,


terganggu. Apakah seseorang baru saja memanggil namanya? Tidak ada
seorangpun yang cukup dekat dengannya yang sepertinya memanggilnya
dengan suara kecil barusan. Kalau begitu hanya imajinasinya saja mungkin.
Mellisa kembali menatap pasangan kencannya dan mencoba berkonsentrasi
pada apa yang pria itu tengah katakan.
Mellisa bertanya-tanya mengapa ia menyetujui untuk pergi ke prom
bersama Cooper Silverdale. Ia sama sekali bukan tipenya. Pria kecil,
mementingkan kepentingannya sendiri, dengan terlalu banyak bukti untuk
dibuktikan. Ia menjadi terlalu aktif dan aneh sepanjang malam, membicarakan
mengenai keluarganya dan keinginnya terus menerus tanpa henti, dan Mellisa
lelah mendengarnya.
Sebuah bisikan lemah yang lain menangkap perhatian Mellisa dan gadis
itupun berubah.
Disana, begitu jauh diseberang kerumunan yang merupakan sumber
suara-suara, Tyson Bell tengah memandangi tepat ke Mellisa dari balik gadis
yang tengah berdansa dengannya. Mellisa menatap kebawah langsung,
gemetaran, berusaha untuk tidak peduli dengan siapa pria itu, dan
memaksakan diri untuk tidak melihat kearahnya.
Ia mendekatkan diri ke arah Cooper, membosankan dan dangkal,
mungkin, tapi lebih baik daripada bersama Tyson. Siapapun lebih baik daripada
Tyson.
Benarkah? Benarkan Cooper adalah pilihan yang lebih baik? Pertanyaan-
pertanyaan muncul di pikiran Mellisa seolah pertanyaan tersebut datang dari
orang lain. Secara sukarela, ia menatap mata gelap Tyson. Tyson masih
memandanginya.
Tentu saja Cooper lebih baik daripada Tyson, tak peduli setampan
apapun Tyson. Ketampanannya hanyalah sebuah perangkap.
Cooper masih bicara panjang lebar, tersandung dengan kata-katanya
sendiri ketika ia berusaha menarik perhatian Mellisa.
Kau benar-benar bukan levelnya Cooper, pikirannya berbisik. Mellisa
menggelengkan kepala, malu untuk berpikir demikian. Itu tidak benar. Cooper
sama baiknya seperti dirinya, sama baiknya dengan laki-laki lain.

Prom Nights from Hell (paranormal prom stories from five extraordinary authors)
Translated by http://heytiva.webs.com

Tidak sebaik Tyson. Ingat bagaimana hal itu....


Mellisa berusaha mengeluarkan gambaran-gambaran dari pikirannya:
mata Tyson yang hangat, penuh kerinduan.... tangannya yang kasar namun
lembut di kulitnya.... kaya suaranya yang membuat kata-kata yang bahkan
paling umum terdengar seperti puisi.... bagaimana bahkan hanya sebuah
tekanan paling ringan bibir pria itu ke jemarinya bisa mengirimkan denyut
pembuluh darahnya dengan cepat.
Jantungnya berdebar, sakit.
Dengan sengaja. Mellisa mengingat-ingat kenangannya yang lain untuk
menghilangkan gambar-gambar di kepalanya sebelumnya. Bagaimana tinju
besi Tyson menghantam wajahnya tanpa peringatan—warna hitam berbekas di
depan matanya—tangannya bertumpu ke lantai—muntah tersedak di
tenggorokannya—rasa sakit yang mengguncang seluruh tubuhnya.
Ia menyesal. Sangat menyesal. Ia telah berjanji. Tidak akan terjadi lagi.
Diluar keinginannya, mata gelap Tyson terlihat berlinangan air mata muncul di
pikirannya.
Dengan reflek, mata Mellisa mencari sosok Tyson. Pria itu masih
menatapnya. Dahinya berkerut, alisnya tertarik menyatu, air mukanya sedih...
Mellisa bergetar lagi.
“Apa kau kedinginan? Kau mau menggunakan jak—“ Cooper setengah
mengangkat bahu melepaskan jaket tuksedonya dan kemudian menahan diri,
wajahnya memerah. “Kau tak mungkin kedinginan. Disini sangat panas.”
Katanya lemat ketika dia menarik tawarannya, mengancingkan jaketnya
kembali.
“Aku baik-baik saja,” Mellisa meyakinkannya. Ia memaksakan dirinya
untuk hanya memperhatikan wajah pucar kekanak-kanakanny Cooper.
“tempat ini agak menyebalkan.” Kata Cooper, dan Mellisa mengangguk,
dengan senang hati setuju dengannya. “kita bisa pergi ke county club ayahku.
Ada restoran luar biasa disana, jika kau berminat untuk makanan pencuci
mulut. Kita tidak perlu menunggu meja kosong. Asal kita menyebut namaku
saja...”
Perhatian Mellisa mengembara lagi.
Kenapa aku disini dengan si kecil sombong ini? Tanya pikiran aneh yang
begitu asing dalamkepalanya, meskipun datang dari suaranya sendiri. Pria itu
lemah. Lalu kenapa kalau ia tidak bisa menyakiti seekor anak kucing? Bukankah
lebih baik mencintai daripada memperhatikan keselamatan? Aku tidak
merasakan kebutuhan aneh di perutku yang sama ketika aku melihat Cooper—
tidak, ketika aku melihat semua orang kecuali Tyson... Aku tak bisa
membohongi diriku sendiri. Aku masih menginginkannya. Sangat

Prom Nights from Hell (paranormal prom stories from five extraordinary authors)
Translated by http://heytiva.webs.com

menginginkannya. Bukankah ini yang disebut cinta, perasaan menginginkan


ini?
Mellisa berhatap ia tidak minum terlalu banyak hingga bisa berpikir
sekeji itu. Mustahil baginya untuk berpikir jelas.
Mellisa memperhatikan ketika Tyson meninggalkan pasangannya
sendirian dan menyeberangi lantai dansa sampai ia berdiri tepat di depannya
—sempurna dengan bahu lebar pemain football, pahlawan klise. Seolah-olah
tidak ada Cooper diantara mereka.
“Mellisa?” tanyanya dalam suara meleleh, kesedihan memutar
wajahnya. “Mellisa, kumohon.” Ia menjulurkan tangannya ke arahnya,
mengabaikan kata-kata Cooper yang tergagap.
Ya ya ya ya ya menyanyi di kepala Mellisa.
Seribu kenangan penuh keinginan mengayun di pikirannya. Pikiran
mendungnya melemah.
Dengan ragu, Mellisa mengangguk.
Tyson tersenyum dalam kelegaan, menarik Mellisa dari Cooper ke dalam
lengannya.
Begitu mudah untuk pergi bersamanya. Darah Mellisa mengalir di
nadinya seperti nyala api.

“Ya!” gadis hitam pucat itu mendesis, tersembunyi di dalam toilet, dan
lidah bercabang dari api menerangi wajahnya dengan warna merah. Api yang
muncul cukup keras hingga seseorang mungkin telah akan mendengar, kalau
saja kamar mandi tidak seberisik itu dengan suara-suara mengganggu.
Api surut, gadis itu menarik napas panjang. Kelopak matanya bergetar
sejenak, dan kemudian ditutup lagi. Tangannya menegang sampai-sampai kulit
pucatnya terlihat seperti akan membelah tajam punggung buku-buku
jemarinya. Sosok rampingnya mulai bergetar seolah ia sedang berusaha untuk
mengangkat sebuah gunung. Ketegangan, tekad adalah aura yg hampir terlihat
di sekitarnya.
Tugas sulit seperti apapun yang ia bebankan kepada dirinya, jelas sekali
kalau menyelesaikannya sangat penting baginya lebih daripada apapun .
“Cooper,” desisnya, dan api mengalir keluar dari mulut, hidung, dan
telinganya. Wajahnya bermandikan kobaran api.
Seolah kau bukan siapa-siapa. Seolah kau tak terlihat. Seolah kau tidak
ada! Cooper gemetar karena marah, dan kata-kata di kepalanya menyerap
kemarahannya dan membuatnya mendidih.

Prom Nights from Hell (paranormal prom stories from five extraordinary authors)
Translated by http://heytiva.webs.com

Kau bisa membuat Mellisa memandangmu. Kau bisa menunjukkan Tyson


siapa yang benar-benar bisa disebut pria sejati.
Tanpa disadari, tangan Cooper meraih ke arah tonjolan berat
tersembunyi di balik jaket di bagian belakangnya. Terkaget karena menyadari
pistol yang tepah ia pegang, menyadarkannya dari kemarahannya hingga ia
berekedip cepat, seolah ia baru saja tersadar dari mimpinya.
Bulu kuduknya berdiri di lehernya. Apa yang sedang ia lakukan dengan
senjata di Prom? Apa ia sudah gila?
Sungguh hal yang bodoh, tapi, apa lagi yang bisa ia lakukan ketika
Warren Beeds menagihnya karena membual akan membawa senjata tanpa
memikirkannya masak-masak? Tentu benar kalau pihak keamanan sekolah
benar-benar hanya gurauan, siapapun dapat menyelinapkan apa saya yang
mereka inginkan ke sekolah. Ia telah membuktikannya dengan menyelinapkan
pistol tersebut, bukan? Tapi apakah layak ia menyembunyikan pistol di bagian
punggungnya, hanya untuk memamerkan ke Warren Beeds?
Ia dapat melihat Mellisa, kepala gadis itu bersandar pada bahu atlet
bodoh itu, mata Mellisa terpejam. Apakah ia telah melupakan Cooper
sepenuhnya?
Kemarahannya menggelegak lagi; tangannya bergerak-gerak ke arah
punggungnya.
Cooper menggelengkan kepalanya lebih keras kali ini. Gila. Bukan itu
alasannya membawa pistol ke prom. Hanya untuk lelucon, sebuah lelucon.
Tapi lihatlah Tyson! Lihat senyuman puas dan unggul yang terlukis di
wajahnya. Memangnya dia pikir siapa dia? Ayahnya tidak lebih dari tukang
kebun yang dimuliakan! Tyson tak takut kalau aku akan melakukan sesuatu
karena ia mencuri pasanganku. Ia bahkan tak ingat kalau aku yang mengajak
Mellisa ke prom. Ia tidak takut padaku setelah melakukannya padaku. Dan
Mellisa bahkan tak ingat kalau aku ada.
Cooper menggertakkan giginya, marah lagi. Ia membayangkan wajah
penuh kemenangan Tyson hilang, beralih ke ekspresi ngeri dan takut ketika ia
menatap laras senapannya.
Ketakutan yang dingin kemudian kembali membawa Cooper ke
kenyataan.
Punch. Aku butuh lebih banyak punch. Itu murah, dan agak menjijikan,
tapi setidaknya efeknya kuat. Beberapa gelas punch lagi dan aku akan tahu apa
yg akan kulakukan.
Menarik napas panjang yang menenangkannya, Cooper kembali ke meja
minuman.

Prom Nights from Hell (paranormal prom stories from five extraordinary authors)
Translated by http://heytiva.webs.com

Gadis berkulit gelap di kamar mangi merengut dan menggelengkan


kepalanya dengan jengkel. Ia menarik dua napas panjang dan kemudian
membisikkan kata-kata untuk menenangkan dirinya dalam sebuah suara
dengungan yang serak.
“masih banyak waktu. Sedikit lebih banyak alkohol akan mengabutkan
pikirannya, mengambil..... kesabarannya. Masih ada banyak yang harus diurus
tetap saja, begitu banyak hal-hal kecil lain yang harus kuurus.” Ia
menggertakkan giginya dan kelopak matanya bergetar lagi, kali ini lebih lama.
“Pertama Matt dan Louisa, kemudian Bryan dan Clara,” katanya pada
dirinya sendiri, seolah-olah ia sedang mengerjakan to-do-list nya secara
berurutan. “Ugh, dan kemudian si tukang ikut campur, Gabe! Mengapa ia
belum cukup sengasara?” ia mengambil napas menenangkan lagi. “Sudah
waktunya pembantu kecilku kembali bekerja.”
Ia menekan kepalan tangannya ke pelipis dan memejamkan mata.
“celeste,” tukasnya.

Suara di kepala Celeste tidak terdengar asing baginya, bahkan ia


menyambut baik suara itu. Bahkan pikiran-pikiran terbaiknya muncul seperti
ini akhir-akhir ini. Bukankah Matt dan Louisa terlihat menikmati waktu
mereka?
Celeste menyeringai ke arah pasangan yang dimaksud.
Seseorang menikmati waktunya dengan menyenangkan? Apakah itu bisa
diterima?
“Aku harus pergi...”—Celeste menatap wajah pasangannya, berusaha
mengingat namanya—“Derek.”
Jemari pria itu, menggapai Celeste, ia terpaku kaget.
“Tadi itu menyenangkan.” Celeste berusaha meyakinkan, menggosok
punggung tangan pria itu di mulutnya yang terbuka seolah-olah untuk
menghapus jejaknya. Celeste membebaskan dirinya dari pria itu.
“Tapi Celeste.... kupikir...”
“selamat tinggal.”
Senyum Celeste begitu tajam seperti pisau cukur ketika ia melangkah
menuju Matt Franklin dan teman kencannya, si tikus kecil entah-siapa-
namanya. Untuk beberapa detik, ia tiba-tiba ingat akan pasangan promnya
yang sebenarnya si anak baik-baik, Gabe Christensen—dan ia ingin tertawa. Ia
pasti mengalami waktu yang benar-benar “menyenangkan” malam ini!
Penghinaan yang telah ia berikan kepada Gabe malam ini hampir setimpal
dengan persetujuannya untuk datang ke prom dengan Gabe, meski ia masih

Prom Nights from Hell (paranormal prom stories from five extraordinary authors)
Translated by http://heytiva.webs.com

tak bisa membayangkan apa yang waktu itu ia pikirkan sampai-sampai


mengiyakan ajakan Gabe. Celeste menggelengkan kepalanya pada ingatan
menjengkelkan itu. Saat itu, entah bagaimana Gabe memutar bola mata biru
tak berdosanya ke arah Celeste, dan untuk setengah menit Celeste ingin
mengiyakan ajakan Gabe. Ia ingin berpindah agar bisa lebih dekat dengan pria
itu. Pada beberapa detik singkat itu, Celeste sempat berpikir untuk melupakan
skema menggiurkannya dan hanya menikmati prom dengan seorang pria yang
baik.
Wow, Celeste senang karena pikiran-pikiran sok-baik nya telah lenyap.
Celeste tidak pernah bersenang-senang dalam hidupnya seperti yang tengah ia
rasakan sekarang. Ia akan menghancurkan prom bagi setengah dari gadis-gadis
yang ada di ruangan, dan membuat setengah dari pria yang ada setengah mati
memperebutkannya. Semua pria itu sama, dan mereka semua bisa ia ambil.
Benar-benar inspirasi kecil yang hebat untuk mendominasi keseluruhan prom!
“Hey, Matt,” Ucap Celeste lembut, sambil menepuk pundak pria itu.
“Oh, hey,” Jawab Matt, menoleh dari arah pasangannya dengan ekspresi
bingung.
“Bisa aku bicara denganmu sebentar?” Tanya Celeste, memainkan bulu
matanya dan meletakkan pundaknya kembali ke tempat sehingga belahan
dadanya tersorot jelas. “Ada sesuatu yang inginku, err, tungjukkan.” Celeste
menjalankan lidahnya di atas bibirnya
“mm,” Matt menelan ludah dengan keras.
Celeste dapat merasakan mata pasangan terakhirnya, seolah membuat
lubang di punggungnya. Dan itu mengingatkannya kalau pria itu adalah
sahabat Matt. Celeste menahan tawa. Sungguh sempurna.
“Matt?” pasangan kencan Matt menanyakan dengan nada terluka ketika
tangan Matt lepas dari pinggangnya.
“Akua hanya pergi sebentar....... Louissa.”
Ha! Ia nyaris tak mengingat nama pasangannya sendiri! Celeste
melontarkan senyuman memukau.
“Matt?” Louisa memanggilnya lagi, terkejut dan terluka, ketika Matt
meraih tangan Celeste danmengikuti gadis itu ke lantai dansa.
Toilet terjauh di kamar mandi kini gelap. Gadis di dalamnya bersandar di
dinding, menunggu hingga napasnya melambat. Terlepas dari kenyataan
bahwa udara dalam tuangan itu tidak nyaman dan hangat, gadis itu menggigil.
Pertengkaran di kamar mandi telah usai, dan sekumpulan gadis-gadis
lain kini penuh sesak di depan cermin untuk memeriksa riasan wajahnya
Napas apinya menenangkan dirinya, dan kemudian ada percikan merah
lagi di kedua telinganya; semua orang di depan cermin berpaling melihat ke

Prom Nights from Hell (paranormal prom stories from five extraordinary authors)
Translated by http://heytiva.webs.com

arah pintu masuk toilet, sesuai yang diharapkan, ketika gadis dengan gaun
merah merunduk keluar dari stall toilet dan membuka jendela yang ada di
bagian bawah. Tak seorangpun menyadari kalau ia menyelinap keluar melalui
jendela. Mereka tetap menatap ke arah pintu, mencari suara yang telah
membuat mereka menoleh.

Malam Miami yang lengket dan lembab begitu tidak nyaman, seolah-
olah mencoba menyaingi atmosfer di neraka. Dalam balutan gaun kulit yang
tebal, gadis itu tersenyum lega dan menggosokkan tangannya yang tak
memakai apa-apa.
Ia membiarkan tubuhnya rileks bersandar di sisi kotor dekat tong
sampah, dan membungku ke arah yang terbuka dimana bau makanan busuk
membentuk awan tebal. Ia memejamkan matanya, kemudian menarik napas
dalam-dalam dan tersenyum lagi.
Bau lain, yang lebih hina dan tengik, seperti daging yang terbakar tapi
lebih buruk—melayang di udaya yang pengap. Senyum gadis itu melebar ketika
ia menyerap bau baru itu seolah bau itu adalah parfun terlangka.
Kemudian, matanya terjentik terbuka dan tubuhnya langsung terenggut
kaku.
Gelak tawa rendah keluar dari kegelapan yang bagai beludru.
“kangen rumah, Sheeb?” Suara wanita terdengar samar-samar.
Bibri gadis itu berubah menjadi cemberut dan ketika sosok milik si
sumber suara itu terlihat.
Sosok wanita berambut hitam itu tampak tak mengenakan apa-apa
selain kabut hitam yang berputar malas. Kakinya tak terlihat—bahkan mungkin
memang tidak ada kaki pada gadis itu. Di bagian atas, pada dahinya, ada dua
tanduk onyx kecil yang terpoles.
“Chex Jezebel aut Baal-Malphus,” gadis berbaju merah menggeram, “apa
yang kau lakukan disini?”
“Formal sekali, adikku?”
“Peduli apa aku pada saudaraku?”
“Benar. Dan hubungan darah karena memiliki orang tua yang sama
antara kita berdua, juga dibagi kepada ribuan anak lain... Tapi tetap saja itu
berarti berat. Mengapa kau tidak memanggilku Jez, dan aku akan melewati
bagian Chex Sheba aut Baal-Malphus dan langsung memanggilmu Sheeb.”
Sheba mendengus mengejek. “kukira kau ditugaskan ke New York.”

Prom Nights from Hell (paranormal prom stories from five extraordinary authors)
Translated by http://heytiva.webs.com

“Aku hanya sedang istirahat, seperti yang tengah kau lakukan.” Jazebel
memandang tajam ke Sheba yang tengah istirahat di tempatnya. “New York
begitu menakjubkan—hampir sama jahatnya dengan neraka, terimakasih
sudah bertanya—tapi bahkan para pembunuh sedang tidur sekarang. Aku
bosan, jadi aku turun untuk melihat apakah kau sedang bersenang-senang di
prrrrrrrrrrrrrrr-rom.”
Sheba merengut tapi tidak menjawab.
Pikirannya waspada sembari ia terfokus pada seoramg remaja tidak
mencurigakan di dalam hotel ballroom, mencari gangguan. Apakah Jezebel
disini untuk mengacaukan rencana Sheba? Apa lagi? Sebagian besar setan level
menengah akan pergi bermil-mil keluar dari jalan mereka untuk mengacaukan
kami yang berlevel lebih rendah—bahkan mereka akan melakukan perbuatan
yang baik. Balan Lilith Hadad aut Hamon pernah menyamar menjadi seorang
manusia di salah satu SMA yang menjadi tempat Sheba bertugas, sekitar satu
dekade lalu. Sheba tidak mengerti mengapa semua plot sengsara yang ia
ciptakan terus saja berubah menjadi happy ending. Kemudian, ketika ia
menyadari, ia masih tak percaya Lilith—setan itu benar-benar mengatur tiga
pasangan terpisah dan menuntun mereka ke cinta sejati, hanya untuk
membuat pangkat Sheba diturunkan! Beruntung bagi Sheba, ia sempat
menciptakan pengkhianatan pada menit terakhir sehingga dua pasangan
berakhir. Sheba menarik napas dalam-dalam. Kalau saja ia tak menciptakan
pengkhianatan pada detik terakhir itu, ia pasti kini sudah turun jabatan dan
ditugaskan kembali ke sekolah menengah!
Sheba meringis pada kejahatan lezat yang mengambang baru saja. Kalau
saja Sheba punya pekerjaan impian seperti Jezebel—setan dalam hal
pembunuhan! Tak ada yang lebih baik dari itu—Pekerjaannya akan terfokus
pada penganiayaan dan melupak trik-trik kecil yang tengah ia lakukan selama
ini.
Pikiran Sheba berputar bagai asap tak terlihat menembus para penari di
gedung di belakangnya, mencari tanda-tanda pengkhianatan. Tapi semuanya
berjalan sebagaimana semestinya. Kesengsaraan dalam ruangan itu bahkan
telan meningkat. Rasa ketidakbahagiaan manusia memenuhi pikirannya. Lezat.
Jezebel tertawa, memahami apa yang tengah Sheba lakukan.
“Tenang,” kata Jezebel, “Aku tidak disini untuk membuatmu dalam
kesulitan.”
Sheba mendengus. Tentu saja Jezebel ada di sana untuk membuat
masalah. Karena itulah yang setan lakukan.
“Gaun yang bagus.” Ucap Jezebel. “Kulit anjing neraka. Hebat untuk
menghasut nafsu dan iri hati.”

Prom Nights from Hell (paranormal prom stories from five extraordinary authors)
Translated by http://heytiva.webs.com

“aku tahu bagaimana harus melakukan pekerjaanku.”


Jezebel tertawa lagi, dan Sheba mendekatkan dirinya secara naluriah
untuk menangkap rasa belerang di napasnya.
“Kasihan Sheeb, masih terkurung dalam sosok setengah manusia,” goda
Jezebel, “aku ingat bagaimana semuanya tercium begitu baik sepanjang waktu.
Ugh! Dan temperaturnya! Apakah manusia harus selalu mendinginkan
semuanya dengan AC mereka?”
Wajah Sheba sekarang tenang, dikendalikan. “aku menyesuaikan. Ada
banyak penderitaan yang bisa dinikmati.”
“itu baru semangat! Hanya beberapa abad dan kau akan menikmati
waktu—besar bersamaku.”
Bibir Sheba mencibir menyeringai. “Atau mungkin tak begitu lama lagi.”
Atu alis hitam melengkung tinggi pada dahi putih Jezebel, mengangkat
hampir ke tanduknya.
“Benarkah begitu? Apa kau punya rencana yang jahat untuk kau
keluarkan, adikku?”
Sheba tidak menjawab, menegang lagi ketika Jezebel mengirimkan
pikirannya sendiri, mengular tak terlihat melalui kerumunan dalam ruang
dansa. Sheba mengunci rahangnya, siap menyerang kembali kalau-kalau
Jezebel berusaha membatalkan apapun skema sengsara yang telah ia buat.
Tapi Jezebel hanya memandang, tanpa menyentuh apapun.
“Hmm,” Jezebel bergumam ke dirinya sendiri. “Hmm.”
Tinju Sheba terkepal keras ketika pikiran Jezebel menemui Cooper
Silverdale, tapi sekali lagi, Jezebel hanya mengamati.
“Wah, wah,” gumam setan bertanduk itu. “wow. Sheeb, aku harus
mengatakan kalau kau terkesan. Ia punya pistol di dalam disana. Dan tangan
yang termotivasi penuh akan alkohol untuk melemahkan kehendak bebasnya!”
setan yang lebih tua itu tersenyum yang anehnya, telihat seperti ketulusan. “ini
benar-benar jahat. Maksudku, benar sekali kalau iblis level menengah yang
bekerja dalam hal pembunuhan atau penganiyaan atau mungkin kerusuhan
dapat menetapkan sesuatu seperti ini di prom, tapi seseorang dalam bentuk
manusia? Apa kau, dua, atau tiga ratus?”
“hanya seratus delapan enak pada hari terkahir bertelur.” Jawab Sheba
kasar, masih waspada.
Jezebel menyiulkan lidah api melalui bibirnya. “Sangat terkesan. Dan aku
dapat melihat kalau kau tak mengabaikan tugasmu juga. Disana benar-benar
segerombolan oran sengsara.” Jezebel tertawa. “kau telah menghancurkan
hampir semua pasangan yang menjanjikan, merusak beberapa lusin
persahabatan seumur hidup, membuat musuh-musuh baru... 3, 4, 5

Prom Nights from Hell (paranormal prom stories from five extraordinary authors)
Translated by http://heytiva.webs.com

pertarungan berlangsung.” Jezebel menghitung, pikirannya melihat ke


manusia-manusia di dalam. “Kau bahkan membuat dj-nya mendengarkanmu!
Benar-benar memperhatikan hingga ke detilnya. Ha-ha! Aku bisa menghitung
dengan satu tangan berapa manusia yang tidak sepenuhnya celaka.”
Sheba tersenyum muram. “aku akan mengurus mereka.”
“Mengerikan, Sheeb. Benar-benar jahat. Kau membanggakan kaum
kami. Jika setiap prom memiliki setan sepertimu yang terlibat, kita bisa
menguasai dunia.”
“Ah, Jez, kau membuatku malu.” Kata Sheba dengan sarkasme yang
berat.
Jezebel tertawa, “Tentu saja, kau mendapat sedikit bantuan.”
Pikiran Jezebel berputar dalam lingkaran di sekitar Celeste, yang baru
saja memutar dirinya sendiri di sekitar anak laki-laki baru. Gadis-gadis yang
dicampakkan pasangannya menangis, sementara anak laki-laki yang dengan
sembarangan Celeste campakkan saling bersiap untuk meninju dan
memelototi dengan murka dalam persaingan mereka; terbakar dengan nafsu,
masing-masing menginginkan Celeste untuk bersama mereka di sisa waktu
malam prom.
“Aku menggunakan alat-alat yang tesedia.” Kata Sheba.
“Benar-benar nama yang ironis! Benar-benar pikiran yang jahat! Apa ia
sepenuhnya manusia?”
“Aku berpapasang dengannya di lorong, hanya untuk memeriksa.” Sheba
mengakui. “murni, bersih, bau manusia. Menjijikan.”
“Hah. Aku bernai sumpah ia punya keturunan setan dalam dirinya.
Penemuan yang bagus. Tapi, Sheba, mengajak seseorang sebagai pasangan?
Itu benar-benar amatir, bagaimana kau melibatkan secara fisik seperti itu.”
Dagu Sheba menusuk keatas, membela diri, tapi ia tak menjawab.
Jezebel benar; begitu mentah dan memakan waktu untuk menggunakan salah
satu bentuk manusia daripada pikiran iblis seseorang. Bagaimanapun juga, itu
termasuk hasil yang bisa dihitung. Keikut campuran Sheba telah menjauhkan
Logan dari menemukan cinta sejatinya.
“ya, itu sama sekali tak mengurangi apa yang telah kau raih malam ini.”
Nada suara Jezebel mendamaikan. “kau tarik satu ini, dan mereka akan
menempatkan namamu pada buku pelajaran anak-anak iblis.”
“Terimakasih.” Bentak Sheba. Apa Jezebel benar-benar berpikir ia dapat
menyanjung Sheba sehingga kewaspadaannya turun?
Jezebel tersenyum, dan kabutnya memutar di tepi-tepi, mencermikan
suatu ekspresi.

Prom Nights from Hell (paranormal prom stories from five extraordinary authors)
Translated by http://heytiva.webs.com

“sebuah tips dariku, Sheba. Tetap buat mereka yang didalam bingung.
Kalau kau bisa membuat Cooper menarik pelatuk senapannya, maka kau
mungkin akan membuat beberapa gangster-wannabe yang berpikir kalau
mereka di bawah api.” Jezebel menggelengkan kepala kagum. “Kau punya
begitu banyak potensi kekacauan disini. Tentu saja, mereka akan
mendatangkan setan kerusuhan kalau disini menjadi benar-benar panas... tapi
kau tetap mendapat kredit karena telah memanaskan situasi disini.”
Sheba meringis, cahaya kemerahan melintas di telinganya. Apa yang
Jezebel lakukan? Mana tipu dayanya? Pikiran Sheba berjalan memperhatikan
setiap manusia yang ia tugaskan untuk menyiksa, tapi ia tak dapat menemukan
jejak belerang Jezebel di ruangan dansa. Tak ada apapun selain kesengsaraan
yang Sheba tanamkan sendiri, dan beberapa kantung kecil penolak
kebahagiaan yang akan Sheba datangi nanti.
“Kau benar-benar membantu malam ini.” Kata Sheba, sengaja menghina.
Jezebel menghela napas, dan ada sesuatu mengenai cara kabutnya
bergulir kembali pada dirinya yang membuatnya tampak... malu. Untuk
pertama kalinya, Sheba merasakan sedikit keraguan akan asumsinya. Tapi
motif Jezebel pasti jahat. Itu satu-satunya jenis motif yang dimiliki oleh setan.
Dengan ekspresi sedih di wajahnya, Jezebel bertanya pelan, “apakah
begitu sulit untuk percaya bahwa aku mungkin ingin kau dipromosikan?”
“Ya.”
Jezebel mendesah lagi. Dan lagi, cara kabutnya menggeliat membuat
Sheba tidak yakin.
“Kenapa?” Tuntut Sheba. “apa yang kau dapatkan dari ini semua?”
“Aku tahu itu salah—atau mungkin benar—bagiku untuk memberikan
nasihat padamu dalam bekerja. Tak terlalu jahat untukku.”
Sheba mengangguk hati-hati.
“sudah alamiah bagi kaum kita untuk menjahati semuanya baik setan,
manusia, atau bahkan malaikat, jika ada kesempatan. Kita jahat. Biasanya, kita
menusuk dari belakang, tak peduli apakah itu menyakiti pihak kita atau tidak.
Kati tak akan disebut setan kalau tidak membiarkan iri hati, keserakahan, nafsu
dan murka mengeuasai kita.” Jezebel terkekeh. “aku ingat—berapa tahun yang
lalu itu?—Lilith hampir membuatmu turun beberapa tingkat, bukan?”
Api membara di mata Sheba dengan kenangan itu. “Hampir.”
“Kau menanganinya lebih baik dari kebanyakan. Kau salah satu dari yang
paling buruk yang bekerja dalam bidang kesengsaraan sekarang, asal kau
tahu.”
Sanjungan lagi? Sheba menegang.

Prom Nights from Hell (paranormal prom stories from five extraordinary authors)
Translated by http://heytiva.webs.com

Jezebel memutar kabutnya dengan jari, dan kemudian memutar jarinya


sehingga kabut itu membentuk bola berasap di langit malam.
“Ada gambaran yang lebih besar, Sheba. Setan seperti Lilith tak dapat
melihat masa lalu yang jahat di tangannya. Tapi, seluruh dunia di luar sana,
penuh dengan jutaan manusia yang membuat keputusan setiap menitnya baik
siang dan malam. Kita hanya bisa berada disana untuk menggoyahkan
sebagian kecil dari keputusan tersebut. Dan kadang-kadang, yah, dari
tempatku berdiri, rasanya seperti para malaikat mendahului...”
“tapi Jezebel!” Sheba terkesiap, rasa terkejut menghilangkan
kecurigaannya. “Kita menang. Lihat saja berita—jelas-jelas kita menang.”
“Aku tahu, aku tahu. Tapi bahkan dengan semua perang dan
kehancuran... sungguh aneh, Sheba. Masih ada begitu banyak kebahagiaan di
luar sana. Untuk setiap perampokan yang kuubah menjadi pembunuhan, di
seberang kota beberapa malaikat memiliki pengamat yang melompati
perampok lain. Atau meyakinkan perampok untuk menghentikan cara jahat
mereka! Uhj. Kita kehilangan kekuasaan.”
“tapi para malaikat lemah, Jezebel. Semua orang tahu itu. Mereka begitu
penuh kasih sampai-sampai mereka tak bisa berkonsentrasi. Hampir setiap
waktu, para otak burung bodoh itu jatuh cinta pada manusia dan menukar
sayap mereka untuk tubuh manusia. Mengapa bahkan malaikat yang bodoh
mau melakukannya coba?” Sheba memandang marah menyusuri panjang
bentuk manusianya. Benar-benar sosok yang terbatas. “aku tak pernah benar-
benar memahami tujuan harus menggunakan sosok ini untuk setengah
milenium. Aku kira mungkin ini hanya untuk menyiksa kita, bukan? Tuan
kegelapan pasti menikmati menonton kita menggeliat di sosok ini.”
“Ini lebih dari itu. Terkurung di sosok ini membuat kita semakin
membenci mereka. Manusia, maksudku.”
Sheba menatapnya. “Kenapa aku butuh alasan? Benci adalah apa yang
kulakukan.”
“Ini pernah terjadi, asal kau tahu.” Kata Jezebel perlahan. “para malaikat
bukan satu-satunya yang memberikan semuanya. Ada setan yang menukarkan
tanduk mereka untuk menjadi manusia.”
“Tidak!” Sheba terbelalak, lalu menyipit tak percaya. “sekarang dan
sampai kapanpun, setan tinggal dengan manusia, tapi itu hanya untuk
menyiksa mereka. Hanya sedikit kesenangan yang berbahaya.”
Jezebel mengernyit, mendesiskan kabutnya ke bentuk delapan, tapi ia
tak membantah. Itu yang membuat Sheba menyadari kalau ia serius.
Sheba menelan luda. “Wow.”

Prom Nights from Hell (paranormal prom stories from five extraordinary authors)
Translated by http://heytiva.webs.com

Ia tak dapat membayangkannya. Mengambil semua kejahatan yang lezat


dan membuangnya. Menyerahkan tanduk yang sulit didapat itu—tanduk yang
Sheba rela menghancurkan apapun sekarang untuk mendapatkannya—dan
memilih untuk terjebak dengan tubuh lemah yang fana sepenuhnya kembali.
Sheba meperhatikan tanduk Onyx berkilauan milik Jezebel dan
mengerutkan kening. “Aku tak mengerti bagaima bisa ia melakukannya.”
“Ingat apa yang kau katakan mengenai para malaikat? Dialihkan oleh
cinta?” Jezebel bertanya. “Yah, benci dapat mengalihkan pula. Lihatlah Lilith
dan perbuatan baik dengkinya. Mungkin dimulai dengan mengganggu setan-
setan yang lebih kecil, tapi siapa tahu dimana ini akan berakhir? Merusak
kebajikan.”
“Aku tak percaya beberapa trik melawan iblis lain dapat membuatmu
sebodoh para otak burung itu.”
Sheba bergumam pelan.
“Sheba, jangan meremehkan malaikat.” Kritik Jezebel. “jangan main-
main dengan mereka—dengar? Bahkan iblis menengah yang lebih kuat
sepertiku tahu lebih baik daripada mengunci tanduk dengan bulu-belakang.
Mereka jauh-jauh dari kaum kita, dan kaum kita juga jauh-jauh dair mereka.
Biarkan si tuan kegelapan yang berurusan dengan para malaikat.”
“Aku tahu itu, Jezebel. Aku tak baru lahir dekade ini.”
“Maaf. Aku sedang membantumu lagi.” Ia bergidik. “Aku kadang-kadang
sangat frustasi, kebaikan dan cahaya di tiap sisi!”
Sheba menggeleng. “Aku tak melihat itu. Kesengsaraan dimana-mana.”
“Begitu pula kebahagiaan, saudaraku. Ada dimana-mana.” Kata Jezebel
sedih.
Hening beberapa saat ketika kata-kata Jezebel tertinggal di udara. Udara
dingin yang lengket menggosok kulit Sheba. Miami tak ada apa-apanya
dibanding neraka, tapi paling tidak, cukup nyaman.
“Tapi tidak di promku!” Tiba-tiba Sheba menjawab dengan ganas.
Jezebel tersenyum lebar—giginya hitam seperti langit malam. “maka
dari itu—itu sebabnya aku begitu membantumu. Karena kita perlu setan
sepertimu diluar sana. Kita membutuhkan semua yang paling buruk yang bisa
didapat di garis depan. Biarkan Lilith dari neraka itu pusing memikirkan trik-trik
kecilnya. Tapi, kita butuh Sheba dipihak kita. Kita bahkan butuh 1000 Sheba.
Kita akan memenangkan pertarungan ini, sekali dan untuk semua!”
Sheba menimbang-nimbangnya sejenak, memikirkan tujuan di suara
sengit Jezebel. “itu jahat dengan cara yang aneh. Hampir terdengar baik.”
“Berputar-putar, aku tahu.”
Mereka berdua tertawa bersama untuk pertama kalinya.

Prom Nights from Hell (paranormal prom stories from five extraordinary authors)
Translated by http://heytiva.webs.com

“Well, kembalilah kesana dan hancurkan prom itu.”


“tenang saja. Pergilah ke neraka, Jezebel.”
“terima kasih, Sheeb. Kau juga.”
Jezebel mengedipkan matanya sekali, dan tersenyum lebar hingga gigi
hitamnya tampak menyelimuti seluruh wajahnya. Ia menguap dalam malam.
Sheba diam sejenak di gang kotor itu hingga aroma memikat belerang
dari Jezebel benar-benar hilang, yang berarti waktu istirahatnya telah selesai.
Merasa segar kembali karena gagasan Jezebel mengenai dirinya bergabung di
garis depan, Sheba bergegas kembali ke kesengsaraannya.
Prom itu berjalan lancar, dan semua jatuh sesuai rencana.
Celeste meraih nilai tinggi dalam permainan keji buatannya, ia
meberikan dirinya poin untuk setiap gadis yang berhasil ia tangisi di sudut
gelap ruang dansa. Dua poin untuk setiap anak laki-laki yang melemparkan
pukulan pada pesaingnya.
Sepanjang ruangan, benih yang telah ditanam Sheba mulai berbunga.
Rasa benci mekar bersamaan dengan nafsu, kemarahan, dan putus asa.
Sebuah taman langsung dari neraka.
Sheba menikmati semuanya di balik pot pohon palem.
Tidak, ia tak bisa memaksa manusia untuk melakukan apapun. Mereka
memiliki keinginan dan pikiran bebas mereka sendiri, jadi Sheba hanya dapat
memanaskan, dan hanya memberi saran-saran ke pikiran merka. Beberapa hal
kecil—hak tinggi, lapisan otot, kelompok minor—bisa ia manipulasi secara fisik,
tapi ia tak pernah bisa memaksakan pikiran mereka. Mereka harus
mendengarkan Sheba dan menjalankan sarannya atas keinginan mereka
sendiri. Dan malam ini, mereka melakukannya.
Sheba sedang berjaya, dan ia tak menginginkan sedikitpun kelonggaran
berakhir, jadi sebelum ia berbalik kembali kepada skema paling ambisiusnya—
Cooper kini terlihat sedang mabuk, siap untuk mendengarkan saran dan
petunjuk Sheba—ia mengirimkan pikirannya untuk mencar di kerumunan
orang-orang, gelembung kecil kebahagiaan yang mengganggu.
Tak seorangpun keluar dari prom ini tanpa cedera. Tidak ketika Sheba
memiliki percikan api dalam tubuhnya.
Disana—apa itu? Bryan Walker dan Clara Hurst saling menatap,
menerawang mata masing-masing, sama sekali tak menyadari kemarahan,
putus asa dan musik buruk disekitar mereka, hanya menikmati kebersamaan
satu sama lain.
Sheba menimbang pilihannya dan memutuskan untuk membiarkan
Celeste ikut campur. Celeste pasti akan menikmatinya—tak ada yang lebih keji-
menyenangkan dari memamerkan kekuatan di atas cinta murni. Selain itu,

Prom Nights from Hell (paranormal prom stories from five extraordinary authors)
Translated by http://heytiva.webs.com

Celeste mendengar setiap saran yang Sheba berikan, benar-benar setuju pada
semua skema setan buatannya.
Sheba kembali dengan evaluasinya sebelum bertindak.
Tidak terlalu jauh, Sheba menemukan bahwa ia meninggalkan pesta
dansa tidak dengan cara yang benar. Bukankah itu pasangannya sendiri, Logan,
yang tengah menikmati waktunya? Mustahil. Jadi, ia menemukan Libby
setelah semuanya dan mereka berdua kini bahagia yang mana tak bisa
diterima. Nah, akan cukup mudah untuk diperbaiki. Ia akan kembali untuk
mengklaim kalau Logan itu pasangannya dan Libby akan berlari dengan air
mata. Memang amatir dan mentah untuk ikut campur secara fisik... tapi, lebih
baik daripada membiarkan kebahagiaan bahkan memenangkan satu
pertempuran kecil.
Penilaian Sheba hampir selesai. Hanya tersisa satu kantung kecil
kedamaian—bukan pasangan kali ini; ada seorang pria sendirian yang
mengembara sendirian di ujung ruangan aula. Gabe Christensen yang
menyebalkan.
Sheba memandang marah ke arahnya. Apa y ang membuatnya tetap
senang? Ia ditolak dan sendirian. Pasangan kencannya adalah bencana prom.
Seorang anak laki-laki yang normal pasti akan penuh kemarahan atau rasa sakit
sekarang. Tapi ia bersikeras membuat lebih banyak pekerjaan untuk Sheba!
Sheba meneliti pikiran Gabe lebih keras. Hmm. Gabe tidak benar-benar
bahagia. Bahkan, ia sedang sangat mengkhawatirkan sesuatu saat ini, mencari
seseorang. Celeste cukup jelas dalam pandangannya, gadis itu tengah
menggeliat dalam lagu lambat bersama Rob Carlton (Pamela Green menonton
dengan mata kaget, putus asa merembes ke udara di sekitarnya dengan
lezatnya), tapi ia bukan sumber kekhawatiran Gabe. Ada orang lain yang ingin
ia temukan.
Jadi, ia tak bahagia—itu bukan sensasi yang dirasakan Sheba di
atmosfernya yang penuh penderitaan. Tapi, kebaikan yang memancar dari
anak ini. Bahkan lebih buruk.
Sheba merunduk di belakang palem dan mendorong keluar pikirannya.
Asap mengalir dari hidungnya.
“Gabe.”
Gabe menggeleng tanpa sadar dan melanjutkan pencariannya.
Ia menunggu setengah jam ketika kerumunan gadis-gadis meninggalkan
kamar mandi bergantian. Disana-sini Gabe merasakan adanya tarikan lemah,
tapi tak sama sekali seperti gadis itu mengamuk, hampir mencekik.
Ketika tiga kelompok terpisah telah masuk dan keluar, Gabe
menghentikan Jill Stein dan bertanya soal gadis yang ia car.

Prom Nights from Hell (paranormal prom stories from five extraordinary authors)
Translated by http://heytiva.webs.com

“Rambut hitam dan baju merak? Tidak, aku tak melihat orang seperti itu
di dalam. Aku pikir kamar mandi telah kosong.”
Gadis itu pasti telah menyelinap atau entah bagaimana caranya.
Gabe baru saja kembali ke lantai dansa, merenungi gadis misterius itu.
Setidaknya Bryan dan Clara dan Logan dan Libby sedang bersenang-senang. Itu
bagus. Sisany terlihat memiliki malam yang buruk.
Dan kemudian, muncul lagi. Kepala Gabe tersentak, merasakan rasa
depresi yang daritadi ia cari-cari. Dimana gadis itu?
Sheba mendesis frustasi. Pikiran anak itu sepenuhnya sadar dan benar-
benar tertutup dari suara-suara bisikan Sheba. Yah, itu takkan
menghentikannya. Ia memiliki alat-alat lain.
“Celeste.”
Ini saatnya gadis jahat itu menyiksa pasangannya sendiri.
Sheba bersandar ringan ke Celeste, menyarankan rencananya.
Bagaimanapun juga, Gabe cukup menarik untuk ukuran manusia. Gabe tinggi,
berotot halus, dengan rambut gelap dan fitur simetris. Ia memiliki mata biru
pucar yang secara pribadi menurut Sheba sedikit menjijikan—mereka begitu
jelas tak terkutuk, hampir begitu surgawi, ugh!—tapi menarik bagi para gadis
mortal. Karena melihat kepada mata jernih itulah yang membuat Celeste
mengatakan ya untuk undangan-bersih baik hatinya.
Undangan baik—memang. Sheba menyipitkan matanya. Gabe sudah ada
pad daftarnya sebelum ia bersikeras mengabaikannya disini, di prom. Ini
adalah anak yang dengan sangat telah merusak rencananya untuk guru
matematika—hanya untuk sedikit bersenang-senang sebelum prom yang telah
direncanakan Sheba untuk memastikan bahwa setiap orang persis membawa
pasangan yang salah ke prom. Jika Gabe tak dihadpkan Mr.Reese pada saat
titik krisis godaan... Sheba menggertakkan gigi dan bunga api menyala keluar
dari telinganya. Ia akan menghancurkan orang dan gadis tak bersalah, juga.
Bukan berarti Mr.Reese telah gagal untuk dijatuhkan, tapi itu akan menjadi
sebuah skandal fantastis. Dan sekarang, gueu matematika bersikap sangat hati-
hati, dibuat waspada oleh mata biru yang sama. Merasa bersalah, bahkan.
Menimbang-nimbang untuk menyediakan konseling bagi masalahnya. Ugh!
Gabe Christensen berutang Sheba beberapa kesengsaraan. Ia akan
mendapatkan haknya.
Sheba memelototi Celeste, bertanya-tanya mengapa gadis itu tak
bergerak ke pasangan kencannya. Celeste masih terbungkus di sekitar Rob,
menikmati rasa sakit Pamela. Sudah cukup senang-senangnya! Ada malapetaka
yang harus ditimbulkan. Sheba membisikkan saran ke pikiran Celeste,
mendorongnya ke arah Gabe.

Prom Nights from Hell (paranormal prom stories from five extraordinary authors)
Translated by http://heytiva.webs.com

Celeste menjauhkan bahunya dari Rob dan melirik Gabe, yang masih
menyisir melalui kerumunan dengan tatapannya. Mata cokelatnya terpaku
pada biru itu untuk sejenak, dan kemudian pindah, meringis sebentar, dan
kembali ke pelukan Rob.
Aneh. Cahaya mata Gabe tampak hampir seperti penolak ke si setan
pirang itu seperti bagaimana mata itu tampak ke Sheba.
Sheba mendekatkan pikirannya ke Celeste lagi, tapi ia—untuk sekali—
mengguncangnya, berusaha mengalihkan diri dari pikiran akan Gabe dengan
bibir bersemangat Rob.
Bingung, Sheba mencari-cari jalan lain untuk menghancurkan anak
menjengkelkan itu, tapi a terganggu oleh sesuatu yang jauh lebih penting dari
satu manusia baik.
Cooper Silverdale hanya bergetar karena marah pada satu sisi lantai
dansa, menatap tajam Melissa dan Tyson. Kepala Melissa di bahu Tyson
sehingga ia sama sekali tak menyadari seringai sombong yang Tyson tujukan
pada Cooper.
Sudah waktunya untuk bertindak. Cooper mempertimbangkan segelas
punch untuk menenggelamkan rasa sakitnya, dan ia benar-benar hampir
pingsan sehingga Sheba tak memperbolehkannya minum lagi. Sheba fokus
pada pria itu, asap keluar dari telinganya, dan Cooper yang datar menyadari
kalau punch hijau itu menjijikan. Ia tak tahan lagi. Ia melempar cangkir
setengah kosong ke lantai dan kembali memelototi Tyson.
Ia pikir aku menyedihkan, kata suara di kepala Cooper. Tidak, ia bahkan
tak memikirkanku sama sekali. Tapi aku bisa membuatnya justru tak dapat
melupakanku sama sekali..
Kepalanya tebal dengan alkohol, Cooper mengulurkan tangannya dan
membelai sepanjang laras pistol di balik jaketnya.
Sheba menahan napas. Percikan terbang dari telinganya.
Dan kemudian, untuk beberapa detik yang menentukan itu, Sheba
terganggu karena menyadari seseorang tengah memperhatikan wajahnya
dalam-dalam.

Disini, di ruang dansa, kebutuhan mengisap yang sama, menariknya—


seseorang tengah tenggelam, menjerit-jerit meminta bantuan. Ini pasti dari
gadis yang sama. Gabe belum pernah merasa begitu penting dalam hidupnya.
Matanya meraup putus asa pada pasangan-pasangan di lantai dansa,
tapi ia tak dapat menemukannya. Ia mondar-mandir di tepi lantai, mencari
wajah orang di sela-sela. Ia tak ada disana, baiklah.

Prom Nights from Hell (paranormal prom stories from five extraordinary authors)
Translated by http://heytiva.webs.com

Ia melihat Celeste dengan anak lain, tapi matanya tak berhenti mencari.
Jika Celeste tak mengklaim tumpangan pulangnya nanti, maka tak banyak yang
dapat ia lakukan. Ada orang lain yang jauh lebih membutuhkannya.
Rasa kebutuhkan itu menariknya lagi, menarik keras, dan sesaat, Gabe
bertanya-tanya apakah ia mungkin akan gila. Mungkin ia hanya
membayangkan gadis yang tadi dilihatnya dalam pakaian api. Mungkin
perasaan kalau ada yang begitu membutuhkannya ini hanya permulaan
beberapa delusi.
Pada saat itu, mata Gabe menemukan apa yang ia cari.
Melewati badan besar Heath McKenzie, mata Gabe terkunci pada
kedipan merah yang kecil tapi brilian. Disanalah gadis itu—setengah
tersembunyi di balik pohon palsu, antingnya berkilau seperti sparkler lagi—
gadis dengan baju merah. Matanya yang hitam, sedalam kolam yang ia
bayangkan gadis itu tenggelam disana, bertemu dengan matanya. Rasa
kebutuhan itu terasa berupa aura yang mengelilingi gadis itu. Gabe bahkan tak
perlu berpikir untuk bergerak mendekatinya. Ia bahkan tak bisa menghentikan
dirinya sendiri kalaupun ia mau.
Ia yakin kalau ia belum pernah melihat gadis ini sebelumnya malam ini,
ia benar-benar asing.
Mata gelap berbentuk almondnya benar-benar di rancang dan behati-
hati, tapi pada saat yang sama kedua mata itu terasa menangis kepada Gabe.
Mereka adalah fokus utama rasa membutuhkan yang dirasakan Gabe. Ia
benar-benar tak bisa lagi menolak permohonan yang dirasakannya, seperti
bagaimana ia tak bisa menghentikan detak jantungnya.
Gadis itu membutuhkannya.

Sheba melihat dengan tak percaya ketika Gabe Christensen berjalan


lurus ke arhnya. Ia melihat wajahnya sendiri di kepala pria itu dan menyadari
kalau orang yang daritadi sedang Gabe cari adalah....Sheba.
Ia membiarkan gangguan singkat—mengetahui kalau Cooper telah
sepenuhnya miliknya dan beberapa menit tak akan menyelamatkannya
sekarang—dan bersenang-senang dalam ironi yang lezat. Jadi Gabe ingin
dihancurkan oleh Sheba secara pribadi? Well, dia akan mendapatkannya. Ini
akan membuat penderitaannya bahkan lebih manis karena ia yang telah
memilih sendiri. Ia berdiri tegak dalam gaun anjing nerakanya, membiarkan
gaunnya membentuk badannya sendiri. Dia tahu apa yang pasti dirasakan oleh
anak laki-laki manusia ketika melihat gaunnya.
Tapi, anak menjengkelkan itu fokus pada matanya.

Prom Nights from Hell (paranormal prom stories from five extraordinary authors)
Translated by http://heytiva.webs.com

Bahaya untuk melihat langsung ke mata seorang setan. Manusia yang


tak berpaling cepat dapat terperangkap disana. Dan kemudian mereka
terjebak, benar-benar merana akan setan tersebut, dan terbakar untuknya...
Sambil menggigit menahan senyum , Sheba membalas tatapannya,
menatap jauh ke mata berwarna langitnya. Manusia bodoh.

Gebe berhenti beberapa kaki dari gadis itu, cukup dekat sehingga ia tak
akan perlu berteriak karena musik keras yang diputar. Ia tahu ia sedang
menatap terlalu serius—gadis itu mungkin akan berpikir kalau Gabe kasar, atau
mungkin Gabe adalah sejenis orang-orang yang aneh. Tapi gadis itu
menatapnya balik, dengan keseriusan yang sama, mata dalamnya
memperhatikan matanya.
Ia membuka mulut untuk memperkenalkan diri, ketika tiba-tiba ekspresi
hati-hati gadis itu meleleh menjadi terkejut. Terkejut? Atau ketakutan? Bibir
pucatnya terbuka, dan Gabe dapat mendengar beberapa helaan napas keluar
melalui bibirnya. Postur kakunya hilang, dan gadis itu mulai pingsan.
Gabe melompat ke arahnya dan menangkapnya dalam lengannya
sebelum gadis itu jatuh.

Lutut Sheba tertekuk ketika api dalam dirinya padam. Nyala internalnya
telah lenyap, terhisap hingga kering, habis seperti lilin dalam ruang hampa.
Tuangan itu tak begitu dingin lagi, dan ia tak dapat mencium apa-apa lagi
selain bau keringat, cologne, dan udara AC. Ia tak bisa lagi merasakan
penderitaan lezat yang ia ciptakan. Ia tak bisa merasakan apa-apa tapi mulut
keringnya sendiri.
Tapi ia bisa merasakan tangan kuat Gabe Christensen memegangnya.

Gaun gadis itu terasa lembut dan hangat. Mungkin itu masalahnya, pikir
Gabe sambil menariknya ke arahnya. Mungkin panas dari ruangan yang penuh
sesak itu menjadi terlalu banyak karena dikombinasikan dengan gaunnya yang
berat. Cemas, Gabe menyikat rambut sutra dari wajah gadis itu. Dahi gadis itu
cukup fingin dan kulit lembutnya tidak lengket dengan keringat. Sementara itu,
mata terkejutnya tak pernah tampak pergi dari mata Gabe.
“Apa kau baik-baik saja? Bisakah kau beridiri? Maaf, aku tak tahu siapa
namamu.”
“Aku baik-baik saja,” kata gadis itu dengan suara rendah, seperti
mendengkur. Biarpun terdengar seperti dengkuran, tapi suaranya terdengar
terkejut sama seperti kedua matanya. “A-aku bisa berdiri.”

Prom Nights from Hell (paranormal prom stories from five extraordinary authors)
Translated by http://heytiva.webs.com

Ia berdiri tegak, namun Gabe tak membiarkannya pergi. Gabe tak ingin
Sheba pergi. Dan Shebapun tak menarik diri. Tangan kecilnya merayap untuk
beristirahat di pundak Gabe, seolah-olah mereka sedang menari bersama.
“Siapa kau?” Ia bertanya dengan suara serak.
“Gabe—Gabe Michael Christensen,” tegasnya sambil tersenyum. “Dan
kau?”
“Sheba,” katanya, mata gelapnya melebar. “Sheba... Smith.”
“Well, apa kau mau menari denganku, Sheba Smith? Kalau kau sudah
merasa cukup sehat.”
“Ya,” desahnya pada dirinya sendiri. “ya, kenapa tidak?”
Matanya tak pernah lepas dari mata Gabe.
Tak berpindah dari tempat mereka, Gabe dan Sheba mulai bergoyang
mengikuti irama lain musik yang celaka itu. Kali ini, musik mengerikan itu tidak
terlalu mengganggu bagi Gabe.
Gabe menjalankannya dengan baik. Gadis baru. Gaun menakjubkan.
Sheba. Gadis ini adalah pasangan prom Logan, ia yang mengajak Logan ke
prom namun lalu tak ingin melakukan apapun dengan Logan. Selama setengah
detik, Gabe khawatir apakah yang ia tengah lakukan, ikut campur dengan
pasangan kencan temannya adalah hal yang salah. Namun, kekhawatirannya
berlalu dengan cepat.
Untuk satu hal, Logan sedang bersenang-senang dengan Libby. Tidak ada
sedikitpun ikut campur pada sesuatu yang sudah seharusnya terjadi.
Untuk yang lain, Logan dan Sheba tidak ditakdirkan untuk terjadi.
Gabe selalu memiliki naluri yang baik untuk itu—untuk kepribadian yang
cocok untuk bersama, untuk sifat kompatibel yang akan bekerja sama secara
harmonis. Ia sering dijadikan bahan lelucon mengenaik mak comblang, tapi ia
tak keberatan. Gabe senang kalau orang-orang lain merasa senang.
Dan gadis dengan mata dalam ini, tidak ditakdirkan untuk bersama
Logan.
Rasa depresi akan kebutuhan pada gadis itu mereda ketika Gabe
menyentuhnya. Gabe merasa jauh lebih baik dengan keberadaan gadis itu di
tangannya—memegangnya terasa begitu melembutkan panggilan aneh yang
sebelumnya ia rasakan. Ia aman disini, tak lagi tenggelam, tak lagi tersesat.
Gabe takut untuk melepaskannya, takut kalau-kalau kebutuhan yang terasa
membakar tadi kembali lagi.
Ini pertama kalinya Gabe merasa aneh seperti ini, merasa kalau ia
berada di tempat yang tepat, menjadi satu-satunya yang memang seharusnya
berada disana. Bukannya Gabe tak pernah memiliki pacar sebelunnya—para
anak perempuan menyukai Gabe, dan ia pernah memiliki beberapa hubungan

Prom Nights from Hell (paranormal prom stories from five extraordinary authors)
Translated by http://heytiva.webs.com

seperti yang lainnya. Tapi tak pernah bertahan lama. Selalu saja ada orang lain
yang para gadis itu seharusnya bersama, bukan dengan Gabe. Tak satupun dari
mereka benar-benar membutuhkan Gabe, selain sebagai teman. Dan mereka
selalu menjadi teman yang baik.
Tak pernah seperti ini sebelumnya. Apakah disini tempat seharusnya
Gabe berada? Melindungi gadis lemah ini, memeganginya di lengannya?
Bodoh untuk berpikir terlalu pasrah. Gabe berusaha berlaku biasa saja.
“kau baru di Reed River, ya?” Tanya Gabe padanya.
“aku baru disini selama beberapa minggu.” Jawabnya.
“aku pikir kita tak punya kelas yang sama sekalipun.”
“tidak, aku pasti ingat kalau aku pernah dekat denganmu sebelumnya.”
Cara yang aneh menyebutnya seperti itu. Gadis itu menatap matanya,
tangannya berpegang lembut pada pundaknya. Tanpa sadar, Gabe menariknya
mendekat.
“Apa kau memiliki waktu yang menyenangkan malam ini?” Tanya Gabe.
Ia menghela napas, helaan yang dalam dari keberadaannya saat itu. “aku
kini sedang memiliiki waktu yang menyenangkan.” Ucapnya, aneh dan sedih.
“waktu yang sangat menyenangkan.”

Terjebak! Seperti orang bodoh, seperti iblis baru saja dilahirkan, seperti
pemula, seperti pelonco!
Ia menyandar pada Gabe, tak mampu menolak. Ia menatap pada mata
surgawi Gabe dan merasakan desakan paling konyol untuk menghela napas.
Bagaimana bisa ia tak melihat tanda-tandanya?
Bagaimana kebaikan menyelimuti orang ini seperti perisai. Bagaimana
saran-saran jahatnya melontar keluar dari orang ini begitu saja. Bagaimana
satu-satunya yang tidak terkontaminasi pikiran setan Sheba—gelembung kecil
kebahagiaan yang diluar kendali Sheba—adalah orang-orang yang Gabe sentuh
dan ajak bicara, teman-teman Gabe.
Bahkan mata pria ini seharusnya sudah menjadi peringatan buatnya!
Celeste lebih cerdas dari Sheba. Setidaknya, instingnya menjauhkannya
dari pria berbahaya ini. Sekalinya ia telah bebas dari pandangan dalam Gabe, ia
menjauhkan diri darinya. Mengapa Sheba tadi tidak mengerti alasan dibalik
semua ini? Dan alasan Gabe telah memilih Celeste dari pertama kali. Tentu saja
ia sudah tertarik pada Celeste! Semua masuk akal sekarang.
Sheba bergoyang mengikuti irama musik di udara, merasakan rasa aman
karena tubuh Gabe di sekitarnya, melindunginya. Sulur asing kecil
kebahagiaan, berputar masuk ke inti hatinya yang kosong.

Prom Nights from Hell (paranormal prom stories from five extraordinary authors)
Translated by http://heytiva.webs.com

Tidak-jangan itu! Jangan kebahagiaan!


Jika ia sudah merasa bahagia, maka hal-hal yang lebih baik tidak akan
jauh di belakang. Apa tak ada jalan untuk menghindari cinta yang mengerikan
ini?
Sepertinya tidak, begitu kau jatuh ke lengan malaikat.
Bukan malaikat sepenuhnya, Gabe tak memiliki sayap, ia tak pernah
memilikinya—ia bukan otak burung bodoh yang pernah menukar sayap
mereka demi menjadi manusia, tapi salah satu dari orang tuanya pernah.
Gabe adalah setengah malaikat, walaupun dirinya sendiri tak
menyadarinya. Kalau Gabe tahu ia setengah malaikat, Sheba pasti sudah
membacanya di pikiran Gabe dan melarikan diri dari kengerian ini. Sekarang
terlalu jelas bagi Sheba—sedekat ini, ia dapat mencium bau asphodel yang
menempel di kulitnya. Dan jelas sekali, ia mewarisi mata malaikat dari orang
tuanya. Mata langit biru yang seharusnya merupakan pemberian sia-sia,kalau
saja Sheba tak terlalu terbungkus dengan rencana jahatnya.
Ada alasan mengapa bahkan setan berpengalaman seperti Jezebel
begitu waspada pada malaikat. Kalau sangat berbahaya bagi manusia menatap
ke mata iblis, maka bahaya dua kali lipat bagi setan yang terkunci pada mata
malaikat. Kalau seorang setan menatap mata malaikat terlalu lama, pffft!-api
nerakanya pergi keluar dari setan itu hingga malaikat itu memutuskan untuk
menyerah menyelamatkannya.
Karena itulah yang dilakukan malaikat, menyelamatkan.
Sheba adalah makhluk yang kekal, ia akan terjebak selamanya hingga
Gabe memutuskan melepaskannya.
Malaikat sepenuhnya pasti akan tahu siapa Sheba dalam sekali lihat, dan
mendorongnya keluar bila ia cukup kuat, atau menidurkannya lama bila ia
tidak cukup kuat. Tapi Sheba dapat membayangkan bagaimana keberadaannya
akan dirasakan oleh insting Gabe untuk menyelamatkan. Pengetahuan tak
berdosanya yang ia perlu mengerti, keberadaan Sheba pasti terasa seperti
panggilan sirine bagi Gabe.
Ia menatap tak berdaya pada wajah indah Gabe, tubuhnya dipenuhi
kebahagiaan, dan bertanya-tanya hingga kapan siksaannya akan usai.
Sudah terlalu lama untuk menyelamatkan prom sempurna buatannya.
Tanpa api nerakanya, Sheba tak lagi memiliki pengaruh pada manusia-
manusia disini. Tapi ia masih menyadari sepenuhnya, menonton tak berdaya
dan secara menjijikan kebahagiaan, karena rencananya telah berjatuhan.
Cooper Silverdale tersigap ngeri melihat senjata berkilauan gemetar di
tangannya. Apa yang tengah ia pikirkan? Ia mengembalikan senjata itu ke

Prom Nights from Hell (paranormal prom stories from five extraordinary authors)
Translated by http://heytiva.webs.com

tempatnya dan setengah berlari ke kamar mandi, dimana ia secara brutal


memuntahkan punch yang telah ia minum ke wastafel.
Masalah perut Cooper mengganggu pertarungan sengit Matt dan Derek
yang sedang memanas di kamar mandi. Keduanya menyipitkan mata bengkak
mereka satu sama lain. Kenapa mereka berkelahi? Memperebutkan seorang
gadis yang bahkan tak satupun dari mereka sukai? Sungguh bodoh! Tiba-tiba,
mereka menyela satu sama lain untuk meminta maaf. Dengan senyuman yang
memecah bibir mereka, dan lengan di masing-masing pundak, mereka berdua
berjalan berdampingan ke ruang dansa.
David Alvarado telah membatalkan rencananya untuk menyerang Heath
seusai pesta dansa, karena Evie telah memaafkannya setelah menghilang
dengan Celeste. Pipinya lembut dan hangat menekan di pipi David ketika
keduanya berdansa mengikuti irama musik lambat, dan tak mungkin David
akan menyakiti gadis itu lagi dengan menghilang lagi, dengan alasan apapun.
David bukan satu-satunya yang merasa demikian. Seolah-olah lagu baru
yang diputar lebih ajaib daripada cabar, setiap penari di pesta dansa besar itu
bergerak secara naluriah ke orang-orang yang harusnya mereka datangi
pertama kali, orang-orang yang akan mengubah malam mengerikan ini
menjadi kebahagiaan.
Pelatih Lauder, kesepian dan depresi, mengalihkan pandangan dari kue-
kue tak menggugah selera, ke arah mata sedih wakil kepala sekolah Frinkle. Ia
juga terlihat kesepian. Pelatih itu mendekatinya, tersenyum ragu-ragu.
Menggelengkan kepalanya dan mengedipkan matanya seolah baru
bangun dari mimpi buruk, Melissa Harris menarik diri dari Tyson dan berlari
keluar. Ia akan menemukan taksi untuk pulang...
Seperti karet gelang yang telah diregangkan terlalu jauh, suasana di
prom River Reed kini kembali sepenuhnya. Jika Sheba kini menjadi dirinya
sendiri, ia pasti menarik karet itu hingga menjadi kepingan. Tapi kini,
kesengsaraan, murka dan benci telah lenyap. Pikiran-pikiran manusia itu telah
terjebak dalam cengkeraman mereka sendiri terlalu lama. Dengan kelegaan,
semua orang di prom bersantai ke kebahagiaan, berpegangan dengan kedua
tangan mereka kepada cinta.
Bahkan Celeste telah lelah pada kekacauan. Ia menetap pada lengan
Rob, bergidik sejenak pada kenangan akan mata biru sempurna itu, ketika satu
lagu lambat meleleh berganti ke lagu selanjutnya.
Tidak Sheba maupun Gabe menyadari kalau lagu telah berganti.
Semua rasa sakit dan kesengsaraan yang lezat telah lenyap! Bahkan
kalau Sheba telah bebas nanti, ia pasti akan ditugaskan kembali ke sekolah
menengah! Dimana ketidakadilan?

Prom Nights from Hell (paranormal prom stories from five extraordinary authors)
Translated by http://heytiva.webs.com

Dan Jezebel! Apakah ia telah merencanakan ini? Berusaha mengalihkan


Sheba kalau sosok setengah malaikat berbahaya ada di prom ini? Atau ia akan
kecewa mendengar kabar ini? Apakah ia benar-benar disana untuk
mendukungnya? Sheba tak bisa mencari tahu kebenarannya. Ia bahkan tak
akan bisa melihat Jezebel sekarang—entah setan itu sedang tertawa atau
justru kecewa—karena api nerakanya telah lenyap!
Merasa jijik dengan dirinya sendiri, Sheba menghela napas dalam
kebahagiaan.
Gabe benar-benar baik, dan dalam lengannya, ia merasa baik juga. Ia
merasa menakjubkan!
Sheba harus membebaskan dirinya sebelum kebahagiaan dan cinta
menghancurkannya! Apa ia akan terjebak pada keturunan makhluk surga
dengan bulu-bulu di punggungnya selamanya?
Gabe tersenyum kepadanya, dan Sheba menghela napas lagi.
Sheba tahu apa yang kini tengah Gabe rasakan sekarang. Malaikat tak
pernah merasa lebih bahagia ketika mereka membuat orang lain senang, dan
semakin besar mereka mengangkat roh lain, semakin senang mereka. Karena
betapa hancur dan terkutuknya Sheba sebelumnya, Gabe pasti merasa benar-
benar terbang sekarang—pasti rasanya sesenang memiliki sayap. Ia pasti
takkan membiarkan Sheba pergi.
Hanya ada satu kesempatan terakhir bagi Sheba, hanya satu cara untuk
kembali ke rumah bau, sengsara dan terbakarnya.
Gabe harus memerintahkannya kesana.
Memikirkan kesempatan ini, Sheba merasa lebih buruk, ia merasak
sambutan selamat datang dari kesengsaraan lamanya. Gabe mengencangkan
pegangannya pada Sheba ketika ia merasakan gadis itu akan jatuh, dan
kesengsaraannya tenggelam dalam kepuasan, tapi Sheba masih berharap.
Ia menatap ke atas ke mata-penuh-cinta malaikat itu dan tersenyum
dalam-dalam.
Kau penjelma yang jahat, Sheba bicara pada dirinya sendiri. Kau memiliki
bakat sesungguhnya pada kesengsaraan. Kau tau penderitaan, baik dalam dan
luar.
Kau dapat membebaskan dirimu sendiri dari jebakan ini dan semuanya
akan kembali ke bagaimana seharusnya.
Bagaimanapun juga, dengan banyaknya nyeri dan malapetaka yang
dapat Sheba ciptakan, seberapa sulitkah bagi Sheba untuk meminta malaikat
ini untuk menyuruhnya untuk pergi ke neraka?

Prom Nights from Hell (paranormal prom stories from five extraordinary authors)

Anda mungkin juga menyukai