Menurut Rizal Ramli, kebijakan mafia ekonom Orde Baru yang didukung
oleh IMF dengan mengandalkan utang ketimbang investasi dalam
pembangunan telah menjerat ekonomi Indonesia ke jebakan utang (debt
trap) yang lebih dalam. Akibat resep-resep IMF yang salah dan dipaksakan
kepada Indonesia, negara mengambil alih sebagian besar utang tambahan,
termasuk mengambil alih beban yang seharusnya dipikul oleh sektor swasta
akibat kebijakan BLBI yang mencapai Rp 144 triliun maupun rekapitalisasi
perbankan.
Meski begitu, sejumlah ekonom dan pendukung Mafia Berkeley terus menerus
menghembuskan mitos untuk tetap mempertahankan ketergantungan
Indonesia kepada IMF. Akibat terjerat krisis berkepanjangan, mau tidak
mau perekonomian Indonesia tergantung pada IMF. Mitos pertama adalah
bahwa IMF akan menarik dan meningkatkan kepercayaan investor terhadap
Indonesia.
Kenyataannya, setelah belasan kali Letter of Intent (LoI) dan sepuluh tahun
di bawah pengawasan IMF, termasuk post program monitoring, tingkat
kepercayaan investor terhadap Indonesia belum juga pulih. “Hambatan
utama investasi bukan terletak pada ada atau tidaknya IMF, tetapi lebih
pada ketidakstabilan politik, tiadanya penegakan hukum, prosedur pajak,
dan jejaring birokrasi yang ruwet,” kata Rizal Ramli. Nah, jika hal-hal
tersebut dipenuhi dan dibenahi, kepercayaan investor pasti akan meningkat
tanpa perlu melibatkan IMF.
Mitos kedua adalah bahwa utang kepada IMF akan segera diikuti oleh
Mitos ketiga adalah bahwa IMF akan mampu menstabilkan nilai tukar rupiah.
“mitos tersebut benar-benar telah menjadi bahan lelucon karena rupiah tetap
gonjang-ganjing, terutama karena perubahan faktor eksternal dan dinamika
politik dalam negeri,” kata Rizal Ramli. Yang terjadi justru sebaliknya, sejak
Oktober 1997, setiap kali tim IMF datang ke Jakarta, nilai rupiah terus
menerus merosot. Dalam kesempatan seperti itu, Bank Indonesia terpaksa
melakukan intervensi puluhan juta dolar AS untuk memperkuat rupiah. Atau
terpaksa mengerek naik tingkat bunga.
LoI penuh berisi perintah yang cenderung mendikte. Indonesia tidak punya
pilihan lain, kecuali melaksanakan semua hal yang tercantum dalam LoI
dengan baik dan benar. Sekali sang tuan tidak berkenan, maka pencairan
pinjaman yang dijanjikan akan ditunda. Jika ini terjadi, menurut mitos yang
disebarkan Mafia Berkeley, akibatnya akan sangat mengerikan. Dunia
internasional akan menangkap sikap IMF itu sebagai sinyal negatif.
Kena Batunya
Dana Moneter Internasional (IMF) kena batunya ketika Rizal Ramli ditunjuk
menjadi Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian. Sebagai
orang yang kritis dan paham dengan sepak terjang IMF di Indonesia, Rizal
Sesaat Anoop Singh kaget mendengar ucapan itu. Bukankah selama ini
LoI selalu dibuatkan oleh IMF, dan pemerintah Indonesia –- yang diwakili
oleh Menko Perekonomian – tinggal meneken. Tapi karena Anoop Singh
tahu reputasi Rizal Ramli sebagai ekonom nomor satu yang sangat kritis
terhadap IMF di Indonesia, ia cuma manggut-manggut saja.
“Mister Anoop Singh kami persilakan kembali saja ke Hotel Grand Hyatt.
Nanti kalau draf LoI sudah selesai kami buat, akan kami antarkan ke kamar
Anda,” kata Rizal Ramli. Ia memaparkan alasan yang melandasainya: LoI
itu kelak akan dilaksanakan oleh Indonesia. Jadi, pemerintah dan rakyat
Indonesialah yang paling mengetahui kebutuhan negeri ini. Selain itu, dan
ini yang lebih penting lagi, kinilah saatnya duduk sejajar dengan pihak
asing, setelah sekian lama selalu menjadi subordinat kepentingan asing
lewat IMF.
Anoop Singh mulai keder. “Silakan draf LoI dibuat, tapi kita bantu rumuskan
konsepnya. Biasanya juga seperti itu,” ujarnya.
Rizal Ramli tersenyum, meski dalam hatinya terasa agak kesal karena
ia disamakan dengan Menko pendahulunya yang selalu mengekor pada
kehendak IMF. “Begini saja, poin-poin apa yang harus masuk dalam LoI
Rizal Ramli tentu saja tidak mau termakan oleh strategi memecah belah Tim
Ekonomi oleh IMF. Karena itu, sebelum bertemu dengan IMF, kepada para
menteri bidang ekonomi Rizal Ramli menekankan: “Kita berunding dengan
IMF sebagai satu tim yang solid. Jangan mau kalau IMF minta bertemu
secara terpisah.”
Maka perundingan pun segera dimulai antara tim IMF dengan tim ekonomi
Indonesia. Yang duduk di meja perundingan bukan hanya dengan para
menteri, melainkan juga dengan para dirjen dan pejabat eselon satu.
“Mereka menguasai teknis. Mereka juga doktor lulusan luar negeri. Kita beri
kepercayaan kepada mereka,” kata Rizal Ramli.
Para dirjen dan pejabat eselon satu itu tetu saja sangat senang mendapat
kepercayaan seperti itu. Semangat mereka menyala-nyala. Pertemuan
Anoop Singh terus memantau dari kamar hotelnya. Sehari empat hingga lima
kali dia menelepon Menko Perekonomian Rizal Ramli untuk menanyakan
perkembangan pembuatan draf LoI.
“Tapi, tim Anda terus memreteli usulan dan program yang sudah disusun
oleh IMF,” kata Anoop Singh dengan suara khawatir. Betapa tidak? LoI
harus ditandatangani hari Senin, sementara sampai hari Sabtu perundingan
masih sangat alot.
Titipan Asing
Rizal Ramli tersenyum. Ia memang meminta para dirjen menolak materi LoI
jika usulan yang dibawa oleh IMF itu berupa titipan dari pihak lain di Amerika
Serikat dan negara-negara Eropa. Keberadaan hypermarket, misalnya,
IMF minta tidak dibatasi lokasinya di Indonesia. Boleh berdiri di mana saja.
Usulan seperti itu tentu saja ditentang karena tidak masuk akal. Di Amerika
Serikat dan Eropa, hypermarket biasanya hanya beroperasi di pinggiran
kota. Masak di Indonesia boleh berdiri di mana saja tanpa batasan sama
sekali. Usulan yang berbau titipan itu akhirnya didrop, tetapi sayangnya
disetujui kembali oleh pemerintahan berikutnya.
Ada juga permintaan IMF untuk mengaudit TNI. Pada prinsipnya Rizal Ramli
setuju TNI harus diaudit. “Saya senang jika TNI diaudit. Dengan demikian
ada transparansi dan akuntabilitas lembaga ini terhadap publik,” ujarnya.
Namun dia tidak setuju bila audit itu dilakukan IMF atau lembaga asing yang
ditunjuk. Sebagai institusi yang bertanggung jawab terhadap pertahanan
Maka, dari sekitar 120-an prakondisi yang diajukan IMF untuk masuk ke
dalam LoI, akhirnya tinggal sekitar 60 – 80 butir saja yang tersisa. Yang
lainnya, masuk ke keranjang sampah!
“Jangan, tidak usah. Saya percaya sama Anda,” kata Singh buru-buru.
Rizal Ramli tertawa geli. Tentu saja Anoop Singh akan ketakutan jika dia
menelepon Fisher karena pekerjaannya akan dinilai lamban dan tidak
beres.
Senin pagi, sekitar pukul enam, draf LoI itu diantarkan oleh staf Kantor Menko
Perekonomian dengan menggunakan sepeda motor ke kamar Anoop Singh. “Katanya
dia menerima draf itu masih memakai piyama,” kata Rizal Ramli sambi tergelak. Ia
bisa membayangkan, tim IMF tidak punya banyak waktu untuk mempelajarinya.
Diskusi tidak bisa dilakukan secara panjang lebar karena pukul 12.00 WIB LoI itu
mesti diteken oleh kedua belah pihak. Apalagi mereka juga dikejar waktu untuk segera
kembali ke Washington.
Begitulah, draf LoI baru pertama kali dibuat oleh bangsa sendiri. Bukan oleh IMF
sebagaimana kebiasaan sebelumnya. Walhasil, jika dalam pembuatan LoI biasanya
IMF yang memegang kendali dan mendikte pemerintah Indonesia. Saat itu kondisinya
terbalik: Tim Ekonomi Indonesia berhasil mendikte IMF, termasuk menggolkan 10
Program Percepatan Pemulihan Ekonomi sebagai bagian dari LoI. Dan yang lebih
penting lagi ini: harkat dan martabat Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat tidak
lagi diinjak-injak pihak asing.
Belakangan ini, banyak pihak yang berpendapat, bahwa IMF selama ini kerap