Tantangan pembangunan daerah makin kompeks. Semenjak otonomi daerah dan
desentralisasi (melalui Undang-Undang No. 22/1999 lalu Undang-Undang No. 32/2004) dijalankan dalam rentang sebelas tahun terakhir ini, dinamika pembangunan daerah makin terasa menarik. Aroma demokrasi makin mencuat, tak terelakkan perubahan ekonomi politik terus berlangsung. Meningkatnya partisipasi warga dan keterlibatan organisasi politik masyarakat, paling tidak telah mampu secara perlahan menggerakkan roda demokrasi lokal. Pencapaian pertumbuhan ekonomi, akselerasi pelaksanaan pembangunan, pembenahan tata pemerintahan, serta inisiasi masyarakat sipil untuk meningkatkan kapasitas dirinya makin marak. Fakta-fakta semacam itu dapat dianggap sebagai jejak-jejak positif yang bakal berdampak pada kemajuan daerah. Apalagi, sejumlah inovasi lokal berkenaan dengan kebijakan sosial dan ekonomi kian bermunculan, berlomba satu daerah dengan daerah lainnya. Meskipun demikian, tak sedikit pula ditemukan mengenai berbagai keterbatasan dan kesulitan menjalankan perubahan tersebut secara optimal. Kita bisa sebut satu persatu. Meningkatnya pendapatan asli daerah (PAD) sebagai basis penciptaan pertumbuhan ekonomi, tak jarang belum mampu mengatasi pembengkakan kemiskinan. Maraknya langkah-langkah untuk mendorong pemerintahan yang baik dan bersih (clean goverment dan good governance), toh ternyata belum dibarengi keseriusan pemerintah melakukan reformasi birokrasi, termasuk meningkatkan kapasitas kelembagaan dalam membangun pemerintahan yang efektif dalam hal pelayanan publik. Intensitas penyelenggaraan pendidikan dasar sampai perguruan tinggi, belum pula diimbangi dengan pembukaan lapangan kerja secara memadai. Demikian halnya, penegakan hukum belum berkorelasi positif pada lahirnya tertib sosial. Masalah-masalah trersebut tentu menjadi bagian agenda utama yang harus dipikirkan ke depan. Untuk turut serta mempercepat pembenahan daerah, khususnya mengatasi beban dan masalah yang dihadapi daerah, momentum reformasi dan demokrasi diarus lokal yang berlangsung selama ini semestinya perlu dimanfaatkan secara lebih baik. Pertanyaannya adalah, apa yang mesti diperhatikan dan direspon oleh kaum muda dalam tantangan itu semua? Dalam bentuk apa peran itu dilakukan dan diformulasikan? Rentang sejarah Indonesaia, tak terelakkan di dalamnya berisi peran kaum muda yang menjadi bagian kekuatan perubahan. Sebagaimana pengalaman sejauh ini, gerak dan dinamika sosial politik lokal dan nasional, partisipasi aktif kaum muda terwujud berupa inisiatif menciptakan inovasi dan daya kreasi termasuk di dalamnya menyangkut proses pembangunan. Konstruksi politik yang menandaskan bahwa kaum muda merupakan kelompok motor pembaharu, yang di dalam terkandung perangkat idealisme, ragam teori yang diserapnya diberbagai lahan sekolah dan perkuliahan, serta pengalaman dan sepak terjang berorganisasi, menjadikan dirinya senantiasa terlekati predikat positif. Bahwa kaum muda adalah golongan menengah pencipta gagasan bagi perbaikan keadaan. Patut menjadi catatan adalah, tiap fase sejarah yang diukir dan dilaluinya itu, jelas memiliki konteksnya, sehingga peran kaum muda juga beragam. Dalam konteks itulah, kaum muda dituntut agar senantiasa memahami realitas yang dinamis itu secara kritis. Paling tidak, kemampuan kaum muda memahami peta permasalahan yang dapat dijadikan sebagai bahan dasar bagi dirinya untuk bersikap, merespon secara konstruktif atas realitas yang terjadi dan berkembang. Bagi kaum muda, kata kunci untuk merespon dan bersikap ada tiga hal : (1) keberpihakan pada nurani untuk membela kebenaran demi keadilan; (2) membangun kecerdasan diri dan kematangan sebagai karakter pemimpin; (3) mengasah kepekaan dan daya imajinasi yang berjiwa berani mengambil inisiatif. Dengan demikian, karakter kaum muda sebenarnya tak melulu bergaya reaksioner, komplain atau pesimis. Sebaliknya, dituntut untuk responsif, inisiatif, kritis serta optimis. Agenda penting yang perlu disikapi kaum muda atas perubahan dan perkembangan yang terjadi di arus lokal adalah memastikan agar otonomi daerah, desentralisasi dan demokratisasi agar dapat berjalan efektif. Mandat reformasi ’98 pasca politik otoriter adalah agar tercipta demokrasi politik dan ekonomi, yang tentu saja tak berhenti pada arus prosedural dan formalitas semata. Akan tetapi, lebih jauh dari itu adalah perwujudan demokrasi dengan orientasi pencapaian substansi, yakni keadilan sosial, pemerataan pembangunan, kesejahteraan ekonomi, serta kematangan sikap aparat dan masyarakatnya yang menjaga aturan main secara konsisten dan elegan. Demokrasi politik yess! Kesejahteraan ekonomi yess! Perpaduan cara pandang dan perspektif antara pembangunan politik dan ketercukupan hak-hak dasar (kesejahteraan) warga negara, menjadi jalan utama keberlanjutan pelembagaan demokrasi dan pembangunan. Disinilah, kaum muda perlu melakukan pengawalan. Selama ini, kendatipun demokaritasasi berlangsung, namun terjadi defisit; ketidakberimbangan antara perubahan- perubahan yang formal prosedural dengan capaian tujuan pembangunan demokrasi. Wajar saja, jika masyarakat memiliki tafsir dan penilaian yang miring, bahkan distrust atas perubahan yang terjadi. Karena selama satu dekade reformasi, capaian perubahan tidak optimal sebagaimana harapan reformasi. Di sini, poin penting yang perlu digagas kaum muda adalah mencegah agar masyarakat tidak frustrasi gara-gara arah perubahan yang carut-marut, bahkan terjadi disorientasi. Menyaksikan kondisi ekonomi politik yang berlangsung tidak memuaskan tersebut, kaum muda jangan sampai terjebak untuk larut dalam pragmatisme apalagi konservatif. Jika larut dalam pesimis dan “menyerah” dengan model pragmatis, itu menjadi babak awal “penuaan diri”. Oleh karena itu, saatnya kaum muda terus menerus meng-update, menempa dan mengolah kemampuan kritisnya. Belajar dari pengalaman masa lalu, kemampuan berteriak keras dan keberanian (radikal) kaum muda, harus diimbangi pula kecerdasan dalam menggunakan logika dan data sebagai bahan pendukung saat mempengaruhi kebijakan serta menyikapi perkembangan. Itulah, perlunya strategi kaum muda agar memilih kombinasi, antara kemampuan konseptual-ideal, keberanian, data dan cara diplomasi yang elegan. Secara spesifik, kaum muda dituntut untuk membuat rancangan strategis gerakan; baik itu substansi yang diperjuangkan, serta strategi yang dipakai untuk mencapainya. Kemampuan kaum muda, baik yang bergerak dikampus maupun organisasi-organisasi sosial kemasyarakatan serta para organizer di grassroot perlu melakukan konsolidasi diri agar peran yang dilakukan lebih efektif. Salah satu modal dan jalan penting yang perlu dilakukan adalah mempererat sekutu dan jaringan antar kelompok (pihak). Tak cukup kerjasama antar kaum muda dikampus semata, namun lebih dari itu harus bersama lembaga swadaya masyarakat (LSM), ormas, media massa, intelektual kampus serta politisi-politisi yang masih memilki idealisme dan kemampuan akses pada kekuasaan. Atas dasar itu pula kaum muda diharapkan merumuskan peta jalan (road map) perubahan yang lebih tersistematik. Arah dan target perubahan baik di masing-masing sektoral maupun level kebijakan. Mengapa ini penting? Sebagaimana kita tahu, kelompok-kelompok strategis seperti parlemen, parpol maupun pemerintah yang semestinya bertanggung jawab mengatasi masalah itu, tak mungkin secara otomatis menjawab kebutuhan dan harapan masyarakat. Padahal masyarakat sangat menunggu dan membutuhkan perubahan ke arah yang lebih baik secara konsisten dan berkelanjutan. Jika kaum muda dengan berbagai jaringan atau sekutunya memberi jalan alternatif, sekecil apapun, manfaatnya pasti akan direspon positif oleh berbagai pihak. Harapannya, dinamika lokal yang diisi terobosan-terobosan alternatif, seperti halnya gagasan inovatif untuk memajukan daerah, jelas akan punya makna yang nyata bagi masyarakat lokal.
* Keluarga Alumni Pascasarjana Universitas Gadjah Mada