Anda di halaman 1dari 2

DUNIA KITA SEKOLAH KITA

Di sebuah sekolah yang cukup ternama di Cimahi (dan mungkin di banyak sekolah
lainnya), berlaku peraturan yang cukup dramatis. Peraturan pendidikan seolah
hanya berlaku bagi siswa dan orang tua yang terlibat tetapi tidak mengikat pejabat.
Logika dan nilai pendidikan hanya dilihat dari kebutuhan pengelola sekolah. Banyak
standar ganda dan dualisme pandangan yang memposisikan siswa atau tenaga
pendidik (sesungguhnya) sebagai pengungsi di sekolah sendiri.

Saat ini banyak sekolah yang mengaku diri sebagai pelaksana pendekatan
“multipple intelegences”. Segala aktivitas diakui sebagi bagian dari pendekatan
pendidikan. Kegiatan libur, pulang lebih awal, karya wisata, dan sebagainya diakui
sebagai bagiannya. Tetapi lagi-lagi, penilian itu muncul manakala sesuai dengan
pandangan pemegang kebijakan. Lalu bagaimana jika tidak sesuai atau bahkan
bertentangan dengan pemegang kebijakan? Apakah ada celah pertimbangan?

Suatu waktu ada seorang yang bertanya tentang SD Juara. Dia merasa heran,
mengapa di SD Juara banyak kegiatan-kegiatan keluar sekolah (field trip, outbond,
kemping) di jam efektif belajar? Bukakah hal itu akan mengurangi hak anak untuk
belajar di sekolah? Sementara di sekolahnya, acara-acara seperti itu tidak boleh
mengganggu jam efektif belajar. Benarkah? Bukankah harpitnas sering terjadi?
Bukankah pulang awal karena rapat sering terjadi? Bukankah libur karena hajatan
sering terjadi?

Saya mulai terpikir, jangan-jangan hukum yang dipakai di sekolah itu adalah hukum
pengungsian perang. Semua yang dilakukan oleh petugas pengungsian adalah
untuk menyelamatkan pengungsi. Tetapi manakala pengungsi memiliki cara sendiri
untuk mengamankan diri, hal itu dinilai sebagai kegiatan yang membahayakan.
Bukankah ada banyak cara untuk menyelamatkan diri? Bukankah ada banyak cara
untuk proses pendidikan dan pembelajaran?

Saya sangat merasa beruntung berada di lingkungan SD Juara Cimahi, ketika semua
kegiatan pendidikan diizinkan karena memang dilalui dengan pendekatan MI dan
Life Skill. Field trip, outbond, AMT, perkemahan dan sebagainya digelar tanpa
terlalu dibatasi dengan jam efektif belajar. Bahkan Kemah Juara di SD Juara Cimahi
dan Bandung pun bisa dilakukan di jam efektif awal semester, walau memang
sekolah yang lain belum mulai pembelajaran. Karena semua aktivitas adalah
kegiatan belajar, dan karena semua kegiatan bertujuan untuk belajar. Barangkali
kita semua sepakat bahwa jangankan jam pelajaran, belajar saja sangat mungkin
untuk diefektifkan. (Terima kasih untuk RJI)

Saya pun teringat dengan “Sekolah Alam Bandung”. Semua ini meyakinan kita
bahwa sekolah adalah lingkungan pendidikan. Tetapi sekolah hanya satu dari
sekian banyak, dan bukan satu-satunya. Rumah adalah tempat belajar, lapangan
tempat belajar, kebun tempat belajar dan bahkan setiap tempat adalah lingkungan
belajar. Anak diberikan kebebasan untuk memilih, berespresi dan berapresiasi.
Sebagaimana guru diberikan kebebasan untuk menentukan metode dan cara
pembelajaran yang tepat untuk menunaikan tugasnya. Hanya tugas kita adalah
bagaimana menjamin agar setiap proses itu adalah bagian dari penunaian amanah
dan proses pembelajaran???

Maaf, saya hanya sedang belajar menulis … (eh mengetik) ide-ide liar!

Anda mungkin juga menyukai