Anda di halaman 1dari 8

Chikungunya, Cerita di Negeriku Sayang Negeriku Malang

Oleh :
Eka Fitriani
BP : 07120036
Mahasiswa Fakultas Kedokteran
Universitas Andalas Padang

Indonesia, terletak di khatulistiwa. Berjajar menjadi salah satu negara di


wilayah tropis dengan berjuta pesona yang tersohor hingga berbagai belahan
dunia. Kekayaan alam, keramahtamahan, udara yang sejuk dan lainnya yang
merupakan khas dari negeri tercinta ini. Negeriku yang indah seolah mulai
memudar pesonamu. Sekarang kita memang kaya, kaya dengan masalah. Nyamuk
yang kecilpun bisa menjadi pencetus masalah. Karena nyamuk, masalah
Chikungunya mulai menghiasi negeriku ini.

Sebelum saya ungkapkan lebih jauh, sebaiknya kita tahu dulu apa itu
Chikungunya. Chikungunya merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus
Chikungunya yang disebarkan ke manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti.
Selain itu nyamuk ini juga berperan sebagai penyebar penyakit Demam Berdarah
Dengue.

Menilik sejarah mengenai penyakit ini, Chikungunya berasal dari virus


yang hidup pada hewan primata di tengah hutan atau savana di tanah Afrika kira-
kira 200-300 tahun lalu. Setelah beberapa lama, tingkah laku virus chikungunya
yang semula bersiklus dari satwa primata-nyamuk-satwa primata, dapat pula
bersiklus manusia-nyamuk-manusia. Di daerah permukiman (urban cycle), siklus
virus chikungunya dibantu oleh nyamuk Aedes aegypti.

Adanya pembuktian secara ilmiah yang mencangkup isolasi dan


identifikasi virus baru berhasil dilakukan ketika terjadi wabah di Tanzania 1952-
1953. Baik virus maupun penyakitnya kemudian diberi nama sesuai bahasa

|1
setempat (Swahili), berdasarkan gejala pada penderita. Maka hadirlah
chikungunya yang berarti posisi tubuh meliuk atau melengkung.

Beberapa negara di Afrika yang dilaporkan telah terserang virus


chikungunya adalah Zimbabwe, Kongo, Burundi, Angola, Gabon, Guinea Bissau,
Kenya, Uganda, Nigeria, Senegal, Central Afrika, dan Bostwana. Sesudah Afrika,
virus chikungunya dilaporkan di Bangkok (1958), Kamboja, Vietnam, India dan
Sri Lanka (1964), Filipina dan Indonesia (1973). Chikungunya juga pernah
dilaporkan menyerang tiga korp sukarelawan perdamaian Amerika (US Peace
Corp Volunteers) yang bertugas di Filipina, 1968. Tidak diketahui pasti
bagaimana virus tersebut menyebar antar negara. Mengingat penyebaran virus
antar negara relatif pelan, kemungkinan penyebaran ini terjadi seiring dengan
perpindahan nyamuk.

Chikungunya telah cukup lama berkembang di negeri kita ini. Bila kita
review kembali pertama kali dilaporkan di Samarinda sekitar tahun 1973.
Kemudian muncul serentetan kasus Chikungunya di tempat dan tahun yang
berbeda. Pada tahun 1980 di Kuala Tungkak, Jambi. Tiga tahun setelah itu
merebak di beberapa tempat seperti di Martapura, Ternate dan Yogyakarta.
Perkembangan kasus Chikungunya sempat mengalami kevakuman selama 20
tahun. Tapi di tahun 2001 sungguh mengejutkan kasus Chikungunya ditetapkan
sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB) di Muara Enim, Sumatera Selatan dan Aceh.
Hingga 3 tahun terakhir masih muncul letupan KLB di beberapa daerah di
Indonesia. Walaupun begitu penanganan Chikungunya masih belum menjadi
prioritas dalam upaya penyakit menular di Indonesia. Dalam hal penanganan
kasus Chikungunya masih menjadi komponen dalam upaya pemberantasan
Demam Berdarah Dengue. Jadi tindakan pemberantasan Chikungunya sama
dengan Demam Berdarah Dengue. Bila tidak diberantas, dua penyakit ini bisa
menjadi masalah yang klasik untuk dihadapi.

Kejadian Luar Biasa (KLB) merupakan status yang diterapkan di


Indonesia untuk mengklarifikasikan peristiwa merebaknya suatu wabah penyakit.
Status mengenai diatur oleh Peraturan Menteri Kesehatan RI
No.949/MENKES/SK/VII/2004. Sedangkan kriteria mengenai kejadian luar biasa
pada Keputusan Dirjen No.451/91 tentang pedoman penyelidikan dan
penanggulangan kejadian luar biasa. Berdasarkan hal ini Chikungunya ditetapkan
dalam sebagai suatu kasus luar biasa.

Gejala dari Chikungunya memang mirip dengan Demam Berdarah Dengue


yaitu demam tinggi, menggigil, sakit kepala, mual, muntah, sakit perut, nyeri
sendi dan otot serta bintik-bintik merah pada kulit terutama badan dan lengan.
Bila kita bandingkan dengan Demam Berdarah Dengue, pada Chikungunya tidak
ada perdarahan hebat, renjatan (Shock) maupun kematian. Masa inkubasi dari
demam Chikungunya dua sampai empat hari. Manifestasi penyakit berlangsung
tiga sampai sepuluh hari. Virus ini termasuk “Self Limiting Disease” yang berarti
hilang dengan sendirinya. Biasanya menyerang persendian yang menimbulkan
rasa nyeri yang bisa tertinggal dalam hitungan minggu sampai bulan. Hal ini
sering menyebabkan penderita seperti mengalami kelumpuhan. Jadi, ada
paradigma masyarakat yang menyatakan Chikungunya menyebabkan mereka jadi
lumpuh.

Dalam hal ini bukan berarti saya menganggap hanya Chikungunya ini
paling penting dalam hal pemberantasan. Semua penyakit lain juga sangat perlu
untuk ditanggulangi segera. Cuma saya ingin kita semua tidak menganggap
masalah ini hanya sebelah mata. Dalam hal penanganan melibatkan semua aspek
dalam tatanan dari negeri ini. Bisa kita bayangkan bila peraturan yang tidak
diindahkan oleh masyarakat. Untuk apa peraturan-peraturan itu dibuat antara
pihak legislatif sebagai penyambung lidah rakyat dan pemerintah sebagai
pengemban amanat rakyat? Kalau hanya terbuang seperti “sampah” saja.
Bukankah suatu kesia-siaan itu tidak baik? Begitu juga sebaliknya bila aksi yang
dilakukan masyarakat tidak ada dukungan dari pemerintah. Sama saja kita
berteriak di depan tebing. Hanya gema-gema suara yang kita dengar, akan tetapi
hal yang diharapkan tidak terlaksana sesuai harapan. Oleh karena itu penting
adanya kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat dalam menangani masalah

|3
yang berkecamuk di negeri ini.

Walaupun masih “bersaudara” dengan Demam Berdarah, Chikungunya


memang tidak menyebabkan kematian. Akan tetapi bagi sebagian orang masih
menganggap Chikungunya merupakan penyakit yang berbahaya. Karena bisa
menyebabkan kelumpuhan. Bila hal ini berlangsung dalam waktu yang cukup
lama, akan banyak hal yang merugikan akan terjadi. Coba bayangkan saja bila hal
ini mengenai seorang yang penghidupannya pas-pasan dan punya banyak anak.
Karena sakit, tidak bekerja. Tidak bekerja berarti tidak ada uang. Tidak ada uang
akan mengakibatkan himpitan ekonomi semakin menindas. Anak-anak menjadi
putus sekolah. Mau jadi apa negeri ini? Kita tahu pendidikan merupakan sesuatu
yang sangat penting bagi kemajuan negeri ini.

Tempo Interaktif tahun 2010 mensinyalir bahwa sepanjang Januari-


Februari 2010, sebanyak 668 warga di enam kecamatan di Kabupaten Malang,
Jawa Timur, menderita demam Chikungunya. Pejabat sementara Kepala Dinas
Kesehatan Malang, menyatakan jumlah penderita itu mendekati mendekati jumlah
penderita pada tahun 2009 (860 orang), tapi jauh tinggi daripada angka penderita
pada tahun 2008 (243 orang) dan 2007 (428 orang). Diperkirakan jumlah
penderita akan terus bertambah.

Dari kenyataan diatas, kita bisa melihat belum genap triwulan awal angka
kejadian Chikungunya cukup fantastis meningkat bila dibanding tahun
sebelumnya. Bila hal ini tidak ditanggulangi secara baik maka penyebaran
penyakit ini akan semakin luas. Semakin cepat penanganan terhadap Chikungunya
semakin baik hasil yang diperoleh. Sering dilakukan fogging oleh Dinas
Kesehatan untuk melokalisir lokasi penyebaran penyakit ini.

Di beberapa negara, Chikungunya dianggap sebagai penyakit “Emerging”


dan “Reemerging”. Kita ambil contoh Malaysia dan Thailand. Masuknya penyakit
Chikungunya di Malaysia diduga berkaitan dengan kedatangan para pekerja ke
Malaysia yang berasal dari daerah endemik Chikungunya. Di Thailand, wabah ini
sering muncul pada saat musim hujan. Selain itu travel bisa merupakan jalan
masuk penyakit ini ke suatu daerah. Ternyata bukan hanya negeri ini yang
bermasalah.

Berdasarkan hasil penelitian epidemiologi penyakit Chikungunya di


Bangkok (Thailand) dan Vellore, Madras (India) menunjukkan bahwa telah terjadi
gelombang epidemik dalam interval 30 tahun. Gelombang epidemi ini berkaitan
dengan populasi dari nyamuk yang berperan sebagai vektor penyakit ini dan status
kekebalan penduduk. Bila kita hubungkan, pada penderita yang sudah pernah
terkena penyakit ini akan kecil kemungkinan akan terkena lagi di kemudian
harinya. Hal ini dikarenakan tubuh penderita akan membentuk antibodi yang
berperan sebagai bentuk kekebalan terhadap penyakit ini.

Bila lebih kita cermati lagi memang masalah Chikungunya tidak bisa
dipandang sebelah mata. Seperti bom waktu yang bisa meledak kapan saja, kasus
ini mungkin bisa menyaingi kepopuleran penyakit yang telah menjadi trend-
centre perhatian praktisi kesehatan. Meski tidak menyebabkan kematian,
hendaknya kita tetap perlu mewaspadai penyebaran virus ini. Penanganan kasus
ini harus dilakukan secara komprehensif. Kalau tidak, cepat atau lambat hal ini
akan menjadi suatu ancaman bagi kita semua.

Berbicara mengenai penanganan secara komprehensif sangat erat kaitan


dengan anggaran kesehatan yang disediakan oleh Pemerintah. Ketika saya telusuri
ternyata pemerintah menargetkan alokasi sektor kesehatan naik dari sebelumnya
2,3 persen hingga 2,4 persen menjadi 5 persen dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) 2011. Mengutip penyataan dari Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono saat membuka acara temu Ilmiah di Fakultas Kedokteran UI beberapa
waktu yang lalu menyatakan bahwa peningkatan alokasi anggaran kesehatan
diantaranya akan dialokasikan untuk menjalankan aksi promotif, preventif, kuratif
dan rehabilitatif di sektor kesehatan. Ternyata pemerintah pun mengharap lebih
terhadap sektor kesehatan di Indonesia. Pemerintah ingin negeri ini sehat. Rakyat
yang sehat merupakan investasi yang sangat berharga bagi negeri ini.

Terlebih lagi adanya tuntutan perubahan di tingkat global termasuk

|5
Indonesia untuk memajukan ketatakeloloan yang baik di semua lini termasuk
sektor kesehatan. Isu kesehatan yang menjadi perhatian utama yakni pencapaian
target Millenium Development Goals (MDG) pada tahun 2015. Menteri Kesehatan
Dr. Endang Rahayu Sedyaningsih, MPH, DR. PH saat berpidato di IPB bulan
April lalu mengatakan bahwa perlu adanya peningkatan dan kesinambungan
investasi agar dihasilkan percepatan momentum MDG. Sudah jelas bahwa prinsip
“health is an investment, not a cost” harus menjadi titik tolak dalam kebijakan
kesehatan. Saya pun sependapat hendaknya kita mengubah mindset mengenai
kesehatan itu sendiri. Kesehatan bukan sesuatu hal yang percuma akan tetapi
merupakan sebuah investasi yang sangat berharga dalam kehidupan kita. Tanpa
adanya kesehatan, hidup tidak ada artinya apa-apa. Dengan memiliki tubuh yang
sehat kita bisa menjalani hidup lebih baik lagi dan menjadi seseorang yang
berguna.

Bagaimanapun juga penanganan yang segera merupakan kunci untuk


mencegah penyebaran yang lebih luas dari penyakit ini. Upaya pencegahan dan
pemberantasan penyakit ini merupakan tanggung jawab kita bersama. Upaya
penanggulangan KLB Chikungunya adalah kolaborasi yang harmonis antara
kegiatan penyelidikan, pengobatan, pencegahan dan surveilans ketat.

Memutus rantai kehidupan virus dengan membasmi nyamuk merupakan


pilihan yang solutif. Hal ini senada dengan cara pemberantasan penyakit Demam
Berdarah Dengue. Akan tetapi fogging memiliki titik lemah tersendiri. Fogging
cukup baik tapi ini hanya efektif untuk membasmi nyamuk dewasa.

Rakyat tak perlu pesimis. Sebenarnya, ada banyak cara pencegahan selain
fogging. Cara ini dinilai efektif sekali cukup dengan melakukan Gerakan
Serentak Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dengan metode 3 M Plus.
Pertama, cukup dengan menguras tempat penampungan air minimal seminggu
sekali atau menaburinya dengan bubuk abate untuk membunuh jentik nyamuk
Aedes Aegypti. Kedua, menutup rapat tempat penampungan air agar nyamuk tidak
bisa bertelur disana. Ketiga, dengan mengubur atau membuang pada tempatnya
barang-barang bekas seperti ban bekas yang dapat menampung air hujan.

Gerakan abatisasi dalam 3 M Plus memang sangat bagus. Namun,


sejumlah orang yang mengaku petugas kesehatan mengambil keuntungan di Kota
Denpasar dengan menjual bubuk abate palsu ke tiap rumah seharga Rp 10 ribu
untuk 5 bungkus. Kasus penipuan ini langsung mendapat perhatian Dinas
Kesehatan Kota Denpasar. Hal ini lantara praktik penipuan seperti itu setiap tahun
selalu terulang. Menurut Kepala Dinas Kesehatan Denpasar, Ni Putu Sriarmiti,
Sabtu (20/2), bubuk abate palsu memiliki ciri, bungkusnya terbuat dari kertas dan
isinya sekilas mirip pasir pantai dicampur garam. Sedangkan bubuk abate asli
bungkusnya terbuat dari alumunium foil. Isinya mengandung larvasida atau
pembasmi jentik nyamuk. Bubuk abate tidak pernah diperjual belikan.
(www.liputan6.com)

Melihat kondisi negeri yang seperti saat ini, sebenarnya tidak jauh berbeda
dengan acara komedi yang lagi laris manis. Ngawur, tanpa skenario yang jelas,
kadang lucu serta menghibur. Negeri ini memang penuh bermacam cerita. Saat
bencana melanda malah dimanfaatkan oleh sebagian orang sebagai mesin uang
demi kepentingan pribadi. Dimana hati nurani ini? Apa karena perlu uang segala
cara seolah menjadi halal untuk dilakukan? Sungguh kasihan sekali negeri ini.

Kita semua pasti masih ingat Gempa 30 September 2009. Gempa yang
telah memporak-porandakan tatanan kehidupan terutama di wilayah Padang,
Pariaman dan sekitarnya. Hidup di bawah tenda bagi para korban mungkin
merupakan hal yang sangat memprihatinkan. Dengan berbekal bantuan seadanya,
hidup harus terus tetap berjalan. Hujan panas seolah merupakan hal yang sudah
mulai terbiasa. Sebut saja, buk Ani, beliau merupakan salah satu korban gempa di
Lubuk Basung. Waktu itu saya ikut dalam tim medis dalam bantuan pengobatan
yang berkerjasama dengan Ikatan Remaja Mesjid di Yogyakarta. Beliau bertutur
banyak warga menderita ngilu-ngilu di sendi serta badan mereka demam. Diduga
mereka mengalami Chikungunya. Apa mungkin hal ini terjadi akibat alam tidak
lagi bersahabat dengan manusia. Benarkah memang begitu yang terjadi di negeri

|7
ini?

Hukum rimba berlaku di negeri ini. Siapa yang berkuasa dialah yang
menang. Tak peduli di wilayah manapun. Tak peduli apakah itu menyangkut
nyawa manusia. Yang masih punya hati tersingkiri. Yang punya nurani ditertawai.
Dunia ini adalah sebuah panggung, dimana semua arogansi menjadi mutlak untuk
mendapat materi. Benarkah begitu? Benarkah jiwa kemanusiaan kita telah mati?
Seakan penderitaan orang lain tiada lagi berarti? Sepenuhnya saya tidak
sependapat dengan hal ini karena masih banyak kepedulian yang masih tampak.
Masih banyak uluran-uluran tangan manusia berhati malaikat di negeri ini.
Penanganan Chikungunya ini merupakan tugas kita semua. Masih ada bentuk
kepedulian anak negeri di Belitung dalam “Aksi 1000 Kaki Berantas
Chikungunya”. Mungkin masih banyak bentuk kepedulian lain dari negeri ini lagi
yang belum banyak terdokumentasi oleh media massa.

Negeriku ini memang penuh dengan banyak cerita. Penuh masalah yang
mungkin tak kunjung habisnya. Tapi, masih ada secercah sinar harapan agar
negeri ini menjadi lebih baik. Untuk mewujudkan hal tersebut perlu adanya
kerjasama di segala komponen dalam negeri ini. Agar cerita ini bisa membuat
anak bangsa tersenyum saat mengenangnya untuk masa sekarang maupun nanti.
Semoga mimpi ini tak hanya sekadar mimpi belaka. Pastinya berakhir dengan
kenyataan yang indah.

Anda mungkin juga menyukai