BAB II
PEMBAHASAN
Oleh karena itu dapat dikemukakan bahwa dalam biofisika lingkungan dipelajari
mengenai bagaimana penerapan konsep-konsep fisika pada interaksi antara mahluk hidup
dengan lingkungan fisiknya, sehingga dalam konteks makalah ini dipelajari mengenai
aplikasi konsep-konsep fisika pada interaksi antara pekerja dan lingkungan fisiknya ketika
melakukan aktivitas di alam terbuka.
proses biofisika ketika terjadi interaksi antara pelaku aktivitas dengan iklim mikro,
perlengkapan dan peralatan yang digunakan.
Iklim Mikro
(Lingkungan
Fisik)
Pelaku
Aktivitas
Perlengkapan Peralatan yg
yang Digunakan
Digunakan
Gambar 2.1. Proses Biofisika yang Terjadi pada Saat Interaksi Antara Pelaku
Aktivitas dengan Iklim Mikro, Perlengkapan yang Digunakan
dan Peralatan yang Digunakan.
Faktor pelaku aktitvitas yang dipaparkan pada Gambar 2.1, bersama ketiga faktor
yang terlibat dalam interaksi, di mana proses biofisika berlangsung, yaitu iklim mikro,
perlengkapan dan peralatan yang digunakan merupakan faktor-faktor penting dalam suatu
sistem kerja (Corlett and Clark, 1995). Dalam konteks makalah ini proses biofisika yang
dibahas dalam suatu sistem kerja adalah proses yang berkait dengan neraca energi panas
tubuh atau termoregulasi tubuh.
Sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 2.1 bahwa manusia sebagai pelaku
aktivitas akan berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya, serta dengan peralatan dan
perlengkapan yang digunakan atau dikenakan pada waktu melakukan aktivitas. Proses
Biofisika terjadi ketika interaksi berlangsung. Dalam hal ini manusia sebagai pekerja dapat
dipandang sebagai suatu sistem. Konsep biofisika yang penting dalam terjadinya proses
biofisika dalam konteks ini adalah hukum kekekalan energi.
Menurut Campbell (1977) konsep kekekalan energi ini, yang juga biasa ditulis
dalam bentuk persamaan kontinuitas, dalam aplikasi lanjut biofisika lingkungan akhirnya
bermuara pada analisis neraca energi.
Analisis Neraca energi dapat dilakukan dengan menggunakan pendakatan sistem.
Dengan memandang tubuh manusia sebagai suatu sistem, Havenith (1999, 2002),
Blazejczyk (2000) dan Epstein and Moran (2006) menuliskan persamaan neraca panas
untuk tubuh manusia sebagaimana pada persamaan berikut,
Panas yang
tersimpan = Produksi Panas Panas yang hilang
(store)
(konduksi + radiasi +
(laju metabolik – kerja
= konveksi + evaporasi + (1)
eksternal)
respirasi)
Bila faktor-faktor dalam persamaan (1) diberi simbol-simbol secara matematis, maka
persamaan (1) dapat dituliskan kembali sebagai,
S = (M W) (C + R + H + E+ Eres) (2)
Dalam hal ini: S, panas yang tersimpan; M, laju metabolik tubuh; W, kerja eksternal; C,
kehilangan panas konduksi; R, kehilangan panas radiasi; H, kehilangan panas konveksi; E,
kehilangan panas evaporasi; dan Eres, kehilangan panas respirasi.
Brake and Bates (2002) menulis persamaan (1) dalam bentuk seperti persamaan (3),
dengan menambahkan faktor F, yaitu kehilangan panas akibat cairan yang dikonsumsi,
dimana Qsk adalah kehilangan panas melalui kulit dan Qres adalah kehilangan panas melalui
respirasi.
Apa yang dituliskan oleh Brake and Bates (2002) sebagai persamaan neraca panas,
sebenarnya sama saja dengan persamaan (2) yang dikemukakan oleh Havenith (1999,
Dari persamaan (4) dapat dikemukakan bahwa untuk tiap jalur; konduksi (C), konveksi (H)
dan radiasi (R), jumlah panas yang ditransfer bergantung pada daya penggerak (driving
force), yaitu gradien suhu dan tekanan uap ( T/ z dan Pv/ z), luas permukaan tubuh
yang terlibat (A) dan tahanan dimana panas mengalir, yaitu dapat berupa insulasi pakaian.
Besaran z pada gradien menyatakan jarak dua titik di mana trasnfer panas atau uap
berlangsung.
Menurut Havenith (1999, 2001, 2002, dan 2004) proses pelepasan panas dan proses
produksi panas dalam neraca energi terarah kepada mempertahankan suhu tubuh normal
sekitar 37 0C. Nilai ini dicapai dengan menyeimbangkan jumlah panas yang dihasilkan
dalam tubuh dengan jumlah panas yang hilang. Gambar 2.2 menunjukkan representasi
skematik jalur bentuk-bentuk energi yang terjadi ketika pekerja melakukan aktivitas di
alam terbuka.
Produksi panas ditentukan oleh aktivitas metabolik. Pada saat sedang istirahat,
panas dihasilkan oleh tubuh untuk fungsi-fungsi dasar tubuh seperti respirasi dan fungsi
jantung dengan memberikan pada sel-sel tubuh oksigen dan makanan (nutrients) yang
dibutuhkan dalam menjalankan fungsi-fungsi dasar tersebut.
Gambar 2.2. Representasi Skematik Jalur Bentuk-bentuk Energi Ketika Seorang Pekerja
Berinteraksi Dengan Lingkungan Fisik dalam Melakukan Aktivitas.
Diadaptasi dari Havenith (1999, 2002) dan Blazejczyk, 2000) dengan
menggunakan gambar aktual dalam aktivitas praktikum lapangan.
Pada saat melakukan aktivitas pekerjaan, kebutuhan otot-otot aktif terhadap oksigen dan
makanan meningkat, dan sebagai akibatnya aktivitas metabolik juga meningkat. Ketika sel-
sel otot aktif membakar makanan untuk aktivitas mekanis, sebagian energi dibebaskan ke
luar tubuh sebagai kerja eksternal, tetapi sebagian besar dilepaskan ke dalam otot sebagai
panas. Rasio antara kerja eksternal ini dan energi yang dikonsumsi disebut efisiensi
dengan mana tubuh melakukan kerja. Proses ini sama dengan proses yang terjadi pada
mesin sebuah mobil. Sebagian kecil energi bahan bakar digunakan untuk menggerakkan
badan mobil, dan sebagian besar dibebaskan sebagai panas buangan. Tubuh, seperti mesin
sebuah mobil, perlu melepaskan panas ini. Bila panas tidak dilepaskan panas tersebut akan
memanaskan tubuh sampai level yang mematikan.
Fox, Bowers dan Foss (1988) melukiskan secara lebih terperinci jalur-jalur transfer
panas yang dimulai dari produksi panas dalam aktivitas sampai pada pelepasan panas ke
luar tubuh dalam interaksi dengan lingkungan fisik (iklim mikro) di sekitar tubuh. Hal
tersebut ditunjukkan dalam Gambar 2.3.
Lebih jauh Havenith (1999, 2002) mengemukakan, untuk kebanyakan tugas, seperti
berjalan pada suatu level, nilai untuk efesiensi (dalam definisi fisikanya) mendekati nol.
Hanya panas yang dilepaskan melalui pergesekan sepatu dan lain sebagainya yang
dilepaskan ke luar tubuh, sedangkan sebagian besar energi lainnya digunakan oleh otot-
otot yang pada akhirnya menjadi panas dalam tubuh.
Untuk panas yang hilang dari tubuh, terdapat beberapa jalur. Jalur yang berperan
sedikit adalah konduksi. Konduksi hanya menjadi faktor penting untuk orang yang bekerja
di dalam air, atau orang yang bekerja untuk penanganan produk-produk dingin atau bekerja
dalam posisi terlentang dimana tubuh bersentuan dengan medium transfer panas.
Jalur yang lebih penting untuk pelepasan panas adalah konveksi, ketika udara yang
lebih dingin mengalir sepanjang permukaan kulit. Oleh karena itu panas akan ditransfer
dari kulit ke udara di sekitarnya.
Panas juga akan ditransfer dalam bentuk radiasi elektromagnetik atau yang juga
disebut radiasi gelombang panjang. Ketiga ada perbedaan antara suhu permukaan tubuh
dan suhu permukaan objek atau benda-benda yang ada di sekitarnya maka akan terjadi
transfer panas melalui radiasi.
Akhirnya, tubuh juga memiliki jalur lain untuk pelepasan panas ke luar tubuh, yaitu
panas yang hilang melalui evaporasi. Karena kemampuan tubuh untuk berkeringat, uap air
yang muncul di permukaan kulit melalui pori-pori kulit dapat berevaporasi, dengan mana
sejumlah panas dilepaskan ke luar dari tubuh.
Selain kehilangan panas konvektif dan evaporatif dari kulit, tipe kehilangan panas
tersebut terjadi dari paru-paru melalui respirasi. Karena udara yang keluar dari paru-paru
biasanya lebih dingin dan lebih kering dari pada permukaan dalam paru-paru. Melalui
proses respirasi tubuh kehilangan sejumlah panas yang dapat mencapai 10% dari total
panas yang diproduksi tubuh.
Pv
Shell (jaringan di
bawah permukaan
kulit).
Gambar 2.3. Jalur-jalur transfer panas. Secara internal, transfer panas terjadi dari inti ke shell ke kulit dan dari otot ke shell ke kulit.
Secara eksternal, terjadi radiasi, konveksi, dan konduksi. Di lukis kembali dari sumber Fox, Bowers and Foss (1988).
Agar tubuh stabil, panas yang hilang harus seimbang dengan panas yang
diproduksi. Jika tidak demikian, kandungan panas tubuh akan berubah, yang menyebabkan
suhu tubuh naik atau turun. Keseimbangan ini dapat ditulis sebagaimana pada persamaan
(1) atau persamaan (2). Jadi jika produksi panas melalui laju metabolik lebih tinggi
daripada jumlah semua panas yang hilang, panas yang tersimpan akan bertanda positif
(surplus), yang berarti kandungan panas tubuh meningkat dan suhu tubuh akan meningkat.
Jika panas yang tersimpan bertanda negatif (defisit), panas yang hilang lebih besar
daripada panas yang diproduksi. Tubuh menjadi dingin, dan suhu tubuh akan turun.
2.4 Metabolisme
Jumlah energi yang dibebaskan per satuan waktu, disebut laju metabolisme. Kontraksi
otot isotonis menunjukkan kerja dengan efisiensi kira-kira 50%. Persamaan efisiensi kerja
adalah,
Kerja yang dilakukan
Efisiensi = (6)
Jumlah energi yang digunakan
Pada hakekatnya seluruh energi dalam kontraksi otot isometrik akan berbentuk panas,
karena kerja luar yang dilakukan sangat kecil atau bahkan sama sekali tidak ada. Kerja
luar dirumuskan sebagai berikut:
kerja luar = gaya x jarak yang dihasilkan oleh gaya tersebut (7)
Kerja luar (kerja mekanik) menurut Soegiardo (1993) adalah usaha manusia untuk
memindahkan berat badannya ke tempat lain ataupun mengangkat barang ke tempat lain.
Selanjutnya lebih jauh Ganong (1983) menjelaskan energi disimpan dalam bentuk
senyawa-senyawa berenergi tinggi. Jumlah simpanan energi bisa berubah-ubah, dan pada
orang-orang yang berpuasa dapat mencapai nol atau bahkan negatif. Oleh karena itu pada
orang-orang yang tidak melakukan gerak, atau tidak makan, pada hakekatnya seluruh
energi output akan berbentuk panas.
Menurut Pulat (1992) sumber energi dasar untuk kontraksi otot adalah glikogen
atau glukosa dalam darah. Tetapi ini bukanlah sumber energi awal. Pada permulaan
aktivitas otot (3 sampai 5 detik pertama), Adenosin tripospat (ATP), suatu senyawa
(compound) pospat berenergi tinggi yang terdapat dalam jaringan otot, dikerahkan
(mobilized) sebagaimana digambarkan secara ringkas pada persamaman (8).
1) Kerja anaerobik (Anaerobic work). Jika oksigen yang cukup tidak disuplay ke
dalam jaringan otot, asam piruvik diubah ke dalam asam laktat (lactic acid)
sementara ATP diregenerasi (dibangkitkan kembali). Akumulasi asam laktat
di antara serat-serat otot menyebabkan kelelahan otot dan berkembangnya rasa
sakit.
2) Kerja Aerobik (Aerobic work). Dengan suplay oksigen yang cukup, asam piruvik
dipecah kedalam air dan CO2, sambil melepas sejumlah besar ATP. Ini adalah
reaksi yang lebih efisien dari pada reaksi dalam kerja anaerobik.
Oksigen adalah kunci untuk kerja yang efisien. Suplay oksigen ke serat-serat otot
menghendaki bahwa lebih banyak darah per satuan waktu dipompa ke dalam otot, juga udara
pernafasan lebih banyak untuk dapat meng-oxygenate lebih banyak darah melalui sistim
pernafasan.
Seperti yang telah dijelaskan dalam bagian 2.3, lebih khusus yang dapat dilihat
pada persamaan (1), (2) atau persamaan (3), aplikasi prinsip neraca energi panas dalam
sistem tubuh manusia menunjukkan bahwa keseimbangan antara panas yang diproduksi
dan panas yang dilepaskan tubuh akan menentukan naik atau turunnya suhu tubuh.
ATP
Metabolisme Asam Laktat
Anaerobik Panas
Acetyl CoA
4) efektor termal: yaitu organ-organ yang merespon terhadap rangsangan yang dikirim
oleh reseptor dan yang menghasilkan regulatori atau pengaturan-pengaturan untuk
perbaikan, dan
5) pusat termoregulatori yang terletak di pusat sistim saraf yang mengatur
(mengkoordiner) informasi yang datang dari reseptor dengan aksi regulatori organ-
organ efektor.
Tubuh manusia memiliki paling kurang dua daerah reseptor termal utama; satu
terletak dalam hypothalamus otak (reseptror pusat), yang lain dalam kulit (reseptor tepi)
(Fox, Bowers dan Foss, 1988). Kedua daerah reseptor mengandung dua tipe sensor, satu
sensitif terhadap panas dan yang lain sensitif terhadap dingin. Reseptor dalam
hypothalamus sensitif terhadap fluktuasi suhu yang sempit ( antara 0,2 sampai 0,5 0C).
Reseptor-reseptor dalam kulit, baik yang sensitif terhadap panas maupun dingin
terutama terdiri ujung-ujung saraf bebas. Reseptor-reseptor tersebut terletak di seluruh
permukaanm tubuh, dan biasanya reseptor-reseptor peka dingin lebih banyak daripada
yang peka panas.
Reseptor-reseptor pusat dan tepi terhubung dengan saraf ke cortex dan juga ke
pusat regulatori dalam hypothalamus. Hubungan-hubungan cortical, dimana dari
hubungan-hubungan tersebut manusia secara sadar menerima sensasi-sensasi panas atau
dingin, mendorong manusia untuk pengaturan secara sukarela (voluntary regulation),
seperti: mencari daerah ternaungi atau yang kena sinar matahari, memulai atau
menghindari aktivitas fisik, mengenakan atau melepaskan pakaian, dan merentangkan diri
(stretching out) dalam lingkungan panas atau melekukan diri (curling up) dalam
lingkungan dingin. Regulasi yang dimulai dari hypothalamus bersifat reflex dan oleh
karena itu tanpa sengaja (involuntary).
2.6.1 Temperatur
Makin tinggi suhu udara, makin sedikit panas tubuh dapat dilepaskan melalui
konveksi, konduksi dan radiasi. Jika suhu lingkungan meningkat di atas suhu kulit, tubuh
akan memperoleh panas dari lingkungan daripada melepaskan panas ke lingkungan
(Havenith, 1999, 2002, 2004). Ada tiga suhu yang relevan.
dijelaskan oleh persamaan transfer panas, sebagaimana yang dinyatakan pada persamaan
(4), dimana panas selalu mengalir dari titik yang bersuhu tinggi ke titik yang bersuhu lebih
rendah (Christopherson, 2005; Havenith, 1999; Campbell, 1977; Fox, Bowers and Foss,
1988).
Besarnya panas yang mengalir bergantung pada perbedaan suhu T atau gradien
suhu ( T/ z) antara udara dengan permukaan tubuh sebagai daya penggerak (driving
force). Jadi bila suhu permukaan tubuh lebih tinggi dari suhu udara maka panas konveksi
akan mengalir dari permukaan tubuh ke udara. Jika terjadi sebaliknya, permukaan tubuh
akan memperoleh tambahan panas konvektif dari udara yang mengalir dengan arah
sebaliknya, tetapi hal ini hanya terjadi di permukaan tubuh yang dapat menyebabkan
respons fisiologis, misalnya melalui berkeringat karena proses termoregulasi sebagaimana
yang dijelaskan oleh Fox, Bowers and Foss (1988) dan Christopherson (2005).
Akan tetapi asas penting yang harus selalu diingat menurut Christopherson (2005)
adalah bahwa kecuali pada benda mati, pada tubuh manusia panas selalu mengalir dari
dalam tubuh ke luar dan tidak pernah sebaliknya, karena bila terjadi sebaliknya itu berarti
kematian. Oleh karena itu manusia tidak dapat hidup di daerah atau ruangan dengan suhu
melebihi suhu inti tubuh (370C) kecuali dalam waktu yang sangat singkat.
Suhu pancaran adalah suhu semua benda atau objek yang berada di sekitar tubuh
yang sedang melakukan suatu aktivitas. Suhu ini akan menentukan tingkat trasfer panas
atau pertukaran panas radiasi antara tubuh dengan lingkungan sekitarnya. Di tempat-
tempat dengan objek-objek panas seperti dalam pabrik baja atau ketika bekerja di lapangan
dalam keadaan terik matahari, suhu pancaran dapat melampaui suhu kulit dan akibatnya
terjadi trasnfer panas pancaran dari lingkungan ke kulit (Havenith, 1999, 2002).
Azas mengenai transfer panas yang telah dijelaskan pada bagian 2.6.1.1 juga tetap
berlaku dalam transfer panas radiasi. Dalam konteks aktivitas yang dilakukan di alam
terbuka seperti aktivitas praktikum lapangan menurut Campbell (1977) dan Monteith and
Unsworth (1990), udara dan semua objek di sekitar termasuk vegetasi dan dan permukaan
tanah dapat menjadi sumber radiasi gelombang panjang (radiasi termal). Oleh karena itu
suhu udara juga menjadi suhu pancaran yang menentukan.
Berkeringat
Aliran darah tepi Suhu Inti Tubuh
Suhu Kulit
Berat &
Tinggi
Faktor yang
Simpanan mengubah:
Panas
Neto
Sirkulasi
atmosfir
Pakaian
Faktor iklim
regional
Pertukatan panas pada Pertukatan panas
permukaan tubuh: respiratori
- Konveksi Faktor iklim
- Radiasi lokal
- Evaporasi
Radiasi matahari
Suhu permukaan selain menyebabkan risiko-risiko seperti kulit terbakar dan sakit
pada kulit (suhu permukaan di atas 450C), atau di tempat dingin risiko radang dingin
(frostbite) pada hidung, jari-jari tangan dan kaki dan sakit lainnya akibat dingin, suhu
permukaan yang berkontak dengan tubuh menentukan pertukaran panas konduktif. Selain
suhu, sifat-sifat permukaan, seperti, konduktivitas, panas spesifik, kapasitas panas juga
penting dan menentukan pertukaran panas konduktif (Havenith, 1999, 2002).
Menurut Havenith (1999) dan juga Fox, Bowers and Foss (1988) pertukaran panas
konduksi hanya penting pada pekerjaan-pekerjaan yang berhubungan dengan benda-benda
panas. Akan tetapi, dalam konteks aktivitas praktikum lapangan suhu udara tetap menjadi
faktor penting, karena menurut Holman (1986) sekalipun jalur transfer yang dominan
dalam konteks ini adalah radiasi dan konveksi, akan tetapi pada lapisan udara yang sangat
tipis pada permukaan tubuh, transfer panas pada mulanya terjadi secara konduksi antara
molekul-molekul kulit tubuh atau pakaian dengan molekul-molekul udara, yang kemudian
dilanjutkan melalui proses konveksi.
Jumlah air yang ada di udara lingkungan sekitar dalam bentuk uap (konsentrasi
uap) menentukan apakah air (atau keringat) dalam bentuk uap mengalir dari kulit ke
lingkungan sekitar atau sebaliknya. Pada umumnya konsentrasi air dalam bentuk uap pada
kulit akan lebih tinggi daripada dalam lingkungan, yang memungkinkan kehilangan panas
evaporatif dari kulit ke lingkungan terjadi. Seperti telah dikemukakan, dalam bentuk
panas, evaporasi keringan adalah jalur yang sangat penting bagi tubuh untuk melepaskan
surplus panas ke lingkungan sekitar. Oleh karena itu situasi-situasi dimana gradien
terbalik (konsentrasi uap air pada lingkungan lebih tinggi dari konsentrasi pada kulit)
adalah sangat mencekam/menegangkan (stressful) dan hanya mungkin bila terpapar dalam
waktu yang singkat (Havenith, 1999, 2002).
Harus dicatat bahwa konsentrasi uap, bukan kelembaban relatif adalah faktor yang
menentukan. Udara yang memiliki kelembaban relatif 100% dapat mengandung jumlah
uap yang berbeda bergantung pada suhu udara pada suatu saat. Makin tingi suhu udara
makin tinggi kandungan uap air pada kelembaban relatif yang sama. Apa yang
dikemukakan oleh Havenith (1999, 2002), dapat dilihat dengan jelas pada Gambar 2.6,
yang diringkaskan dari penjelasan yang diberikan oleh Snyder (2001), Campbell (1977)
dan Monteith and Unsworth (1990).
RH =
÷ P
x 100% = v x 100% = 217Pv
÷s Pvs T
s ( s, T)
( , Td) P( , T) s(T)
A = 217Pvs
s
(T) T
TA Td TB T
Garis biru pada Gambar 2.6 menyatakan konsentrasi uap jenuh sebagai fungsi suhu
udara, yang menurut Snyder (2001) dapat dinyatakan secara matematis dengan berbagai
bentuk. Pada setiap titik dalam garis tersebut,udara jenuh dengan uap air, sehingga pada
kondisi ini kelembaban relatif udara RH=100%. Jadi titik A, dan B dan titik-titik lain
dalam garis tersebut menyatakan kondisi dengan RH 100% tetapi dalam hal ini:
konsentrasi upa B> A dan juga TB>TA. Oleh karena itu untuk transfer uap melalui proses
evaporasi, menurut Fox, Bowers and Foss (1988), Campbell (1977) dan Monteith and
Unsworth (1990), yang menjadi daya penggerak (driving force) transfer adalah perbedaan
tekanan uap Pv atau gradien tekanan uap ( Pv/ z). Jadi makin besar perbedaan tekanan
uap antara permukaan tubuh dengan tekanan uap di udara, laju transfer uap melalui
evaporasi semakin besar.
Pakaian berfungsi sebagai tahanan terhadap transfer panas dan uap antara kulit dan
lingkungan sekitar. Dengan cara ini pakaian akan memprotek terhadap panas dan dingin
yang ekstrim, tetapi sebaliknya pakaian dapat menghambat atau merintangi kehilangan
produksi panas yang berlebihan pada saat melakukan aktivitas fisik (Havenith, 1999, 2002;
Roberts, Waller, and Caine, 2007). Bila seseorang harus melakukan kerja keras dengan
mengenakan pakaian cuaca dingin, panas akan terakumulasi dengan cepat dalam tubuh
akibat tahanan yang tinggi dari pakaian terhadap transfer (transport) panas atau uap air.
Sebagaimana yang telah dikemukakan pada persamaan laju transfer panas, selain
ditentukan oleh perbedaan suhu ( T) atau gradien suhu ( T/ z) sebagai daya penggerak,
transfer pans juga ditentukan oleh kemampuan medium (dalam hal ini bahan pakaian)
untuk mentransfer panas (Havenith, 2004) yang disebut dengan konduktivitas termal
(Watt.m-2.0C-1). Oleh karena itu pilihan atas jenis bahan pakaian juga harus disesuaikan
dengan nilai konduktivitas termal. Bila dikehendaki pakaian yang lebih cepat melepaskan
panas tubuh, maka lebih tepat memilih bahan dengan konduktivitas termal lebih tinggi,
misalnya katun dengan konduktivitas termal 0,29 Watt.m-2.0C-1. Bila dikehendaki
sebaliknya dapat dipilih bahan dengan konduktivitas termal yang lebih rendah, misalnya
polyester dengan konduktivitas termal 0,18 Watt.m-2.0C-1.
Selain dua hal yang telah dikemukakan di atas masih ada lagi variabel dari pakaian
yang dapat mempengaruhi laju transfer panas dan uap, yaitu: ketebalan dan susunan atau
struktur bahan pakaian atau kain (Havenith, 2002). Ketebalan berhubungan dengan
tahanan terhadap transfer panas dan uap. Pada umumnya makin tebal bahan pakaian
makin besar tahanan (insulasi) dan makin kecil laju transfer.
Palilingan dan Pungus (2007) melalui penelitian yang mengevaluasi sistem kerja
aktivitas praktikum lapangan, mendapatkan bahwa ternyata sistem kerja aktivitas
praktikum lapangan yang dilakukan selama ini dalam rangka implementasi kurikulum
akademik Jurusan Fisika FMIPA Unima dan dalam rangka kerjasama dengan BMG
Jakarta, belum dapat dikatakan ergonomis. Kenyataan tersebut juga didukung oleh hasil
yang diperoleh oleh Pungus dan Palilingan (2007) yang menunjuukan bahwa pelaksanaan
aktivitas praktikum lapangan menyebabkan mahasiswa mengalami strain fisiologis yang
semakin meningkat, sehingga bila aktivitas diperpanjang lebih lama, akan sangat
merugikan dan membahayakan mahasiswa.
Oleh karena itu dikemukakan bahwa perlu diadakan perbaikan-perbaikan dalam
sistem kerja aktivitas praktikum lapangan melalui serangkaian rencana intervensi yang
diperlukan agar tercipta sistem kerja yang benar-benar ergonomis. Dengan sistem kerja
seperti itu, diharapkan mahasiswa dapat melakukan aktivitas dengan respons fisiologis
yang lebih baik dan dengan tidak adanya strain fisiologis yang berarti, dan pada akhirnya
mahasiswa akan mencapai kinerja yang diharapkan sesuai tuntutan kurikulum akademik.
Dengan menggunakan pendekatan ergonomi total, Palilingan (2007) telah
merencanakan serangkaian intervensi terhadap sistem kerja aktivitas praktikum lapangan.
Rangkaian rencana intervensi tersebut terdiri dari: (1) mahasiswa mengenakan setelan
pakaian ergonomis; (2) ada suplesi gizi di antara unit praktikum; (3) perbaikan sikap kerja;
(4) penyesuaian posisi titik ukur dengan antropometri tubuh; (5) penggunaan perlengkapan
pelindung; (6) pemberian waktu istirahat; (7) pemberian motivasi (dorongan); (8)
melaksanakan komunikasi dua arah yang simpatik dan empatik; (9) perbaikan informasi;
dan (10) penggunaan alat bantu.