Anda di halaman 1dari 22

5

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Biofisika

Di dalam Anonim (2007) dikemukakan bahwa biofisika adalah studi tentang


fenomena biologis dengan menggunakan metode-metode dan konsep-konsep fisika,
sedangkan di dalam Anonim (2005) dikemukakan bahwa biofisika adalah studi
interdisipliner tentang fenomena dan problem-problem biologis dengan menggunakan
prinsip-prinsip dan teknik-teknik fisika. Biofisika pada mulanya berkembang sesudah
perang dunia II, yang mempelajari tentang aplikasi fisika nuklir pada sistem-sistem
biologis, yang meliputi penelitian tentang efek-efek radiasi pada mahluk hidup, dan mulai
saat itu biofisika dipandang sebagai bidang ilmiah yang baru. Biofisika bergantung pada
teknik-teknik yang berasal dari ilmu fisika tetapi difokuskan pada problem-problem
biologis.
Mengacu pada definisi yang telah dikemukakan mengenai biofisika, maka dalam
konteks makalah ini khususnya seorang pekerja yang melakukan aktivitas di alam terbuka,
maka biofisika dapat dipandang sebagai studi tentang fenomena biologis pada seorang
pekerja yang berinteraksi dengan lingkungan fisik setempat ketika sedang melakukan
aktivitas kerja dengan menggunakan prinsip, konsep, dan metode fisika. Dalam hal ini
Campbell (1977) menyebut kajian fisika dalam konteks ini sebagai biofisika lingkungan.
Menurut Campbell (1977) perkembangan dalam bidang biofisika lingkungan terutama
terfokus pada dua bidang yaitu:

1) Penggunaan model-model matematis untuk mengkuantifikasi laju transfer panas dan


massa, dan
2) Pengunaan persamaan kontinuitas yang telah mengantar pada analisis neraca energi.

Oleh karena itu dapat dikemukakan bahwa dalam biofisika lingkungan dipelajari
mengenai bagaimana penerapan konsep-konsep fisika pada interaksi antara mahluk hidup
dengan lingkungan fisiknya, sehingga dalam konteks makalah ini dipelajari mengenai

ASPEK BIOFISIKA AKTIVITAS PRAKTIKUM LAPANGAN


MAHASISWA JURUSAN FISIKA FMIPA UNIMA. DR.Rolles Nixon Palilingan, MS
10/21/2008.
6

aplikasi konsep-konsep fisika pada interaksi antara pekerja dan lingkungan fisiknya ketika
melakukan aktivitas di alam terbuka.

2.2 Identifikasi Aspek Biofisika dalam Aktivitas Praktikum Lapangan

Untuk dapat mengidentifikasi aspek-aspek biofisika pada aktivitas praktikum


lapangan, mengacu dari pengertian biofisika sebagaimana yang telah diuraikan pada
bagian 2.1, maka dapat dilakukan melalui kajian teori sekaligus dibaringi dengan
pengamatan langsung di lapangan.
Seseorang yang melakukan aktivitas di alam terbuka, apapun bentuk aktivitas yang
dilakukan akan dipengaruhi oleh lingkungan fisik di sekitarnya. Dalam konteks ini maka
iklim mikro yang terdiri dari: radiasi matahari, suhu udara, kelembaban udara, dan
kecepatan angin yang merupakan unsur lingkungan fisik, menjadi sangat penting sebagai
faktor yang berpengaruh.
Seseorang yang melakukan aktivitas di alam terbuka seperti pada aktivitas
praktikum lapangan, sudah tentu akan menggunakan perlengkapan dan peralatan dalam
rangka mencapai tujuan dilakukannya aktivitas. Perlengkapan yang paling penting
biasanya adalah setelan pakaian, dan perlengkapan lainnya seperti pakaian pelindung diri
(PPD) seperti topi, payung, jas/mantel, dan termasuk di sini adalah sepatu.
Peralatan yang digunakan akan disesuaikan dengan tujan dalam melakukan
aktivitas. Untuk aktivitas praktikum lapangan, sudah pasti peralatan yang digunakan
adalah peralatan-peralatan yang berhubungan dengan aktivitas unit-unit praktikum yang
direncanakan.
Dapat dikemukakan bahwa semua faktor-faktor yang ada di luar diri manusia
(sebagai pelaku aktivitas) termasuk iklim mikro serta perlengkapan dan peralatan yang
digunakan akan memberikan pengaruh terhadap tubuh pelaku aktivitas. Pengaruh tersebut
dapat bermacam-macam, misalnya terhadap: neraca energi panas atau termoregulasi,
kesehatan, kenyamanan, dan lain-lain.
Dalam konteks makalah ini yang menarik adalah proses secara fisik bagaimana
berlangsungnya dan terjadinya pengaruh tersebut. Proses secara fisik berlangsungnya dan
terjadinya pengaruh iklim mikro, perlengkapan dan peralatan yang digunakan terhadap
tubuh si pelaku aktivitas merupakan proses biofisika. Gambar 2.1 menunjukkan kedudukan

ASPEK BIOFISIKA AKTIVITAS PRAKTIKUM LAPANGAN


MAHASISWA JURUSAN FISIKA FMIPA UNIMA. DR.Rolles Nixon Palilingan, MS
10/21/2008.
7

proses biofisika ketika terjadi interaksi antara pelaku aktivitas dengan iklim mikro,
perlengkapan dan peralatan yang digunakan.

Iklim Mikro
(Lingkungan
Fisik)

Pelaku
Aktivitas

Perlengkapan Peralatan yg
yang Digunakan
Digunakan

Gambar 2.1. Proses Biofisika yang Terjadi pada Saat Interaksi Antara Pelaku
Aktivitas dengan Iklim Mikro, Perlengkapan yang Digunakan
dan Peralatan yang Digunakan.

Faktor pelaku aktitvitas yang dipaparkan pada Gambar 2.1, bersama ketiga faktor
yang terlibat dalam interaksi, di mana proses biofisika berlangsung, yaitu iklim mikro,
perlengkapan dan peralatan yang digunakan merupakan faktor-faktor penting dalam suatu
sistem kerja (Corlett and Clark, 1995). Dalam konteks makalah ini proses biofisika yang
dibahas dalam suatu sistem kerja adalah proses yang berkait dengan neraca energi panas
tubuh atau termoregulasi tubuh.

2.3 Konsep Neraca Energi Panas

Sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 2.1 bahwa manusia sebagai pelaku
aktivitas akan berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya, serta dengan peralatan dan
perlengkapan yang digunakan atau dikenakan pada waktu melakukan aktivitas. Proses
Biofisika terjadi ketika interaksi berlangsung. Dalam hal ini manusia sebagai pekerja dapat

ASPEK BIOFISIKA AKTIVITAS PRAKTIKUM LAPANGAN


MAHASISWA JURUSAN FISIKA FMIPA UNIMA. DR.Rolles Nixon Palilingan, MS
10/21/2008.
8

dipandang sebagai suatu sistem. Konsep biofisika yang penting dalam terjadinya proses
biofisika dalam konteks ini adalah hukum kekekalan energi.
Menurut Campbell (1977) konsep kekekalan energi ini, yang juga biasa ditulis
dalam bentuk persamaan kontinuitas, dalam aplikasi lanjut biofisika lingkungan akhirnya
bermuara pada analisis neraca energi.
Analisis Neraca energi dapat dilakukan dengan menggunakan pendakatan sistem.
Dengan memandang tubuh manusia sebagai suatu sistem, Havenith (1999, 2002),
Blazejczyk (2000) dan Epstein and Moran (2006) menuliskan persamaan neraca panas
untuk tubuh manusia sebagaimana pada persamaan berikut,

Panas yang
tersimpan = Produksi Panas Panas yang hilang
(store)

(konduksi + radiasi +
(laju metabolik – kerja
= konveksi + evaporasi + (1)
eksternal)
respirasi)

Bila faktor-faktor dalam persamaan (1) diberi simbol-simbol secara matematis, maka
persamaan (1) dapat dituliskan kembali sebagai,

S = (M W) (C + R + H + E+ Eres) (2)

Dalam hal ini: S, panas yang tersimpan; M, laju metabolik tubuh; W, kerja eksternal; C,
kehilangan panas konduksi; R, kehilangan panas radiasi; H, kehilangan panas konveksi; E,
kehilangan panas evaporasi; dan Eres, kehilangan panas respirasi.
Brake and Bates (2002) menulis persamaan (1) dalam bentuk seperti persamaan (3),
dengan menambahkan faktor F, yaitu kehilangan panas akibat cairan yang dikonsumsi,

(M W) = Qsk + Qres + F + S (3)

dimana Qsk adalah kehilangan panas melalui kulit dan Qres adalah kehilangan panas melalui
respirasi.
Apa yang dituliskan oleh Brake and Bates (2002) sebagai persamaan neraca panas,
sebenarnya sama saja dengan persamaan (2) yang dikemukakan oleh Havenith (1999,

ASPEK BIOFISIKA AKTIVITAS PRAKTIKUM LAPANGAN


MAHASISWA JURUSAN FISIKA FMIPA UNIMA. DR.Rolles Nixon Palilingan, MS
10/21/2008.
9

2002) dengan mengingat bahwa Qsk + Qres = C + R + H + E+ Eres + S, dan dengan


mengabaikan faktor F.
Faktor-faktor yang menyatakan kehilangan panas tubuh sebagaimana yang telah
dinyatakan pada persamaan (2) atau persamaan (3) untuk jalur konduksi, konveksi, dan
radiasi, mengikuti persamaan umum transfer atau perpindahan panas (Havenith, 2004;
Campbell, 1977; Monteith and Unsworth, 1990) yang bentuk umumnya dapat ditulis
seperti persamaan (4),

gradient . luas permukaan


Panas yang hilang = (4)
tahanan

Dari persamaan (4) dapat dikemukakan bahwa untuk tiap jalur; konduksi (C), konveksi (H)
dan radiasi (R), jumlah panas yang ditransfer bergantung pada daya penggerak (driving
force), yaitu gradien suhu dan tekanan uap ( T/ z dan Pv/ z), luas permukaan tubuh
yang terlibat (A) dan tahanan dimana panas mengalir, yaitu dapat berupa insulasi pakaian.
Besaran z pada gradien menyatakan jarak dua titik di mana trasnfer panas atau uap
berlangsung.
Menurut Havenith (1999, 2001, 2002, dan 2004) proses pelepasan panas dan proses
produksi panas dalam neraca energi terarah kepada mempertahankan suhu tubuh normal
sekitar 37 0C. Nilai ini dicapai dengan menyeimbangkan jumlah panas yang dihasilkan
dalam tubuh dengan jumlah panas yang hilang. Gambar 2.2 menunjukkan representasi
skematik jalur bentuk-bentuk energi yang terjadi ketika pekerja melakukan aktivitas di
alam terbuka.
Produksi panas ditentukan oleh aktivitas metabolik. Pada saat sedang istirahat,
panas dihasilkan oleh tubuh untuk fungsi-fungsi dasar tubuh seperti respirasi dan fungsi
jantung dengan memberikan pada sel-sel tubuh oksigen dan makanan (nutrients) yang
dibutuhkan dalam menjalankan fungsi-fungsi dasar tersebut.

ASPEK BIOFISIKA AKTIVITAS PRAKTIKUM LAPANGAN


MAHASISWA JURUSAN FISIKA FMIPA UNIMA. DR.Rolles Nixon Palilingan, MS
10/21/2008.
10

Gambar 2.2. Representasi Skematik Jalur Bentuk-bentuk Energi Ketika Seorang Pekerja
Berinteraksi Dengan Lingkungan Fisik dalam Melakukan Aktivitas.
Diadaptasi dari Havenith (1999, 2002) dan Blazejczyk, 2000) dengan
menggunakan gambar aktual dalam aktivitas praktikum lapangan.

Pada saat melakukan aktivitas pekerjaan, kebutuhan otot-otot aktif terhadap oksigen dan
makanan meningkat, dan sebagai akibatnya aktivitas metabolik juga meningkat. Ketika sel-
sel otot aktif membakar makanan untuk aktivitas mekanis, sebagian energi dibebaskan ke
luar tubuh sebagai kerja eksternal, tetapi sebagian besar dilepaskan ke dalam otot sebagai
panas. Rasio antara kerja eksternal ini dan energi yang dikonsumsi disebut efisiensi
dengan mana tubuh melakukan kerja. Proses ini sama dengan proses yang terjadi pada
mesin sebuah mobil. Sebagian kecil energi bahan bakar digunakan untuk menggerakkan
badan mobil, dan sebagian besar dibebaskan sebagai panas buangan. Tubuh, seperti mesin
sebuah mobil, perlu melepaskan panas ini. Bila panas tidak dilepaskan panas tersebut akan
memanaskan tubuh sampai level yang mematikan.

ASPEK BIOFISIKA AKTIVITAS PRAKTIKUM LAPANGAN


MAHASISWA JURUSAN FISIKA FMIPA UNIMA. DR.Rolles Nixon Palilingan, MS
10/21/2008.
11

Fox, Bowers dan Foss (1988) melukiskan secara lebih terperinci jalur-jalur transfer
panas yang dimulai dari produksi panas dalam aktivitas sampai pada pelepasan panas ke
luar tubuh dalam interaksi dengan lingkungan fisik (iklim mikro) di sekitar tubuh. Hal
tersebut ditunjukkan dalam Gambar 2.3.
Lebih jauh Havenith (1999, 2002) mengemukakan, untuk kebanyakan tugas, seperti
berjalan pada suatu level, nilai untuk efesiensi (dalam definisi fisikanya) mendekati nol.
Hanya panas yang dilepaskan melalui pergesekan sepatu dan lain sebagainya yang
dilepaskan ke luar tubuh, sedangkan sebagian besar energi lainnya digunakan oleh otot-
otot yang pada akhirnya menjadi panas dalam tubuh.
Untuk panas yang hilang dari tubuh, terdapat beberapa jalur. Jalur yang berperan
sedikit adalah konduksi. Konduksi hanya menjadi faktor penting untuk orang yang bekerja
di dalam air, atau orang yang bekerja untuk penanganan produk-produk dingin atau bekerja
dalam posisi terlentang dimana tubuh bersentuan dengan medium transfer panas.
Jalur yang lebih penting untuk pelepasan panas adalah konveksi, ketika udara yang
lebih dingin mengalir sepanjang permukaan kulit. Oleh karena itu panas akan ditransfer
dari kulit ke udara di sekitarnya.
Panas juga akan ditransfer dalam bentuk radiasi elektromagnetik atau yang juga
disebut radiasi gelombang panjang. Ketiga ada perbedaan antara suhu permukaan tubuh
dan suhu permukaan objek atau benda-benda yang ada di sekitarnya maka akan terjadi
transfer panas melalui radiasi.
Akhirnya, tubuh juga memiliki jalur lain untuk pelepasan panas ke luar tubuh, yaitu
panas yang hilang melalui evaporasi. Karena kemampuan tubuh untuk berkeringat, uap air
yang muncul di permukaan kulit melalui pori-pori kulit dapat berevaporasi, dengan mana
sejumlah panas dilepaskan ke luar dari tubuh.
Selain kehilangan panas konvektif dan evaporatif dari kulit, tipe kehilangan panas
tersebut terjadi dari paru-paru melalui respirasi. Karena udara yang keluar dari paru-paru
biasanya lebih dingin dan lebih kering dari pada permukaan dalam paru-paru. Melalui
proses respirasi tubuh kehilangan sejumlah panas yang dapat mencapai 10% dari total
panas yang diproduksi tubuh.

ASPEK BIOFISIKA AKTIVITAS PRAKTIKUM LAPANGAN


MAHASISWA JURUSAN FISIKA FMIPA UNIMA. DR.Rolles Nixon Palilingan, MS
10/21/2008.
12

Pv

Shell (jaringan di
bawah permukaan
kulit).

Gambar 2.3. Jalur-jalur transfer panas. Secara internal, transfer panas terjadi dari inti ke shell ke kulit dan dari otot ke shell ke kulit.
Secara eksternal, terjadi radiasi, konveksi, dan konduksi. Di lukis kembali dari sumber Fox, Bowers and Foss (1988).

ASPEK BIOFISIKA AKTIVITAS PRAKTIKUM LAPANGAN


MAHASISWA JURUSAN FISIKA FMIPA UNIMA. DR.Rolles Nixon Palilingan, MS
10/21/2008.
13

Agar tubuh stabil, panas yang hilang harus seimbang dengan panas yang
diproduksi. Jika tidak demikian, kandungan panas tubuh akan berubah, yang menyebabkan
suhu tubuh naik atau turun. Keseimbangan ini dapat ditulis sebagaimana pada persamaan
(1) atau persamaan (2). Jadi jika produksi panas melalui laju metabolik lebih tinggi
daripada jumlah semua panas yang hilang, panas yang tersimpan akan bertanda positif
(surplus), yang berarti kandungan panas tubuh meningkat dan suhu tubuh akan meningkat.
Jika panas yang tersimpan bertanda negatif (defisit), panas yang hilang lebih besar
daripada panas yang diproduksi. Tubuh menjadi dingin, dan suhu tubuh akan turun.

2.4 Metabolisme

Menurut Soegiardo (1993) pengertian metabolisme ialah "change" atau


perubahan/pergantian. Penyusunan substansi sel, dan penyusunan bahan yang kemudian
dioksidasi disebut anabolisme, sedangkan pemecahan zat makanan yang telah diserap dan
ditimbun disebut katabolisme. Anabolisme dan katabolisme ini disebut metabolisme.
Anabolisme ialah suatu proses sintesa untuk disimpan, sedang katabolisme ialah proses
pembongkaran zat-zat makanan untuk diubah menjadi bentuk lain untuk mendapatkan
energi. Pulat (1992) mengemukakan bahwa metabolisme mensuplai energi yang
diperlukan untuk sistim muskuloskeletal. Metabolisme adalah proses kimia yang
mengkonversi makanan menjadi kerja mekanik dan panas. Sedangkan menurut Kroemer
dan Granjean (2000) metabolisme adalah suatu proses biologis dasar untuk menyerap
nutrisi dalam bentuk makanan dan minuman dan mengubah energi kimia yang terkandung
menjadi energi mekanis dan panas.
Ganong (1983) mengemukakan bahwa jumlah energi yang dibebaskan oleh
katabolisme zat makanan dalam tubuh sama dengan jumlah yang dibebaskan bila zat
makanan tersebut dibakar di luar tubuh. Energi yang dihasilkan oleh proses katabolisme
dalam tubuh berbentuk kerja luar, panas dan simpanan energi (representasi lain dari
persamaan 1):
Energi Simpanan
= Kerja luar + + Panas (5)
Output energi

ASPEK BIOFISIKA AKTIVITAS PRAKTIKUM LAPANGAN


MAHASISWA JURUSAN FISIKA FMIPA UNIMA. DR.Rolles Nixon Palilingan, MS
10/21/2008.
14

Jumlah energi yang dibebaskan per satuan waktu, disebut laju metabolisme. Kontraksi
otot isotonis menunjukkan kerja dengan efisiensi kira-kira 50%. Persamaan efisiensi kerja
adalah,
Kerja yang dilakukan
Efisiensi = (6)
Jumlah energi yang digunakan

Pada hakekatnya seluruh energi dalam kontraksi otot isometrik akan berbentuk panas,
karena kerja luar yang dilakukan sangat kecil atau bahkan sama sekali tidak ada. Kerja
luar dirumuskan sebagai berikut:

kerja luar = gaya x jarak yang dihasilkan oleh gaya tersebut (7)

Kerja luar (kerja mekanik) menurut Soegiardo (1993) adalah usaha manusia untuk
memindahkan berat badannya ke tempat lain ataupun mengangkat barang ke tempat lain.
Selanjutnya lebih jauh Ganong (1983) menjelaskan energi disimpan dalam bentuk
senyawa-senyawa berenergi tinggi. Jumlah simpanan energi bisa berubah-ubah, dan pada
orang-orang yang berpuasa dapat mencapai nol atau bahkan negatif. Oleh karena itu pada
orang-orang yang tidak melakukan gerak, atau tidak makan, pada hakekatnya seluruh
energi output akan berbentuk panas.
Menurut Pulat (1992) sumber energi dasar untuk kontraksi otot adalah glikogen
atau glukosa dalam darah. Tetapi ini bukanlah sumber energi awal. Pada permulaan
aktivitas otot (3 sampai 5 detik pertama), Adenosin tripospat (ATP), suatu senyawa
(compound) pospat berenergi tinggi yang terdapat dalam jaringan otot, dikerahkan
(mobilized) sebagaimana digambarkan secara ringkas pada persamaman (8).

ATP ADP + P + energi bebas


(8a)
(Membangkitkan energi)

Kreatin pospat + ADP Kreatin + ATP


(8b)
(Membentuk Kembali ATP)

Glukosa + 2 Pospat + 2 ADP 2 laktat + 2 ATP


(8c)
(Kerja aerobik)

ASPEK BIOFISIKA AKTIVITAS PRAKTIKUM LAPANGAN


MAHASISWA JURUSAN FISIKA FMIPA UNIMA. DR.Rolles Nixon Palilingan, MS
10/21/2008.
15

Glukosa + 38 Pospat + 38 ADP + 6O2 6CO2+44H2O+38ATP


(8d)
(Kerja anaerobik)

ATP terpecah kedalam adenosin dipospat (ADP) (Armstrong, 2006) dan


melepaskan sejumlah energi untuk kelanjutan aktivitas otot. ATP harus dibangkitkan
kembali. Sumber energi pertama untuk pembentukan kembali ATP adalah kreatin pospat
(creatine phosphate), suatu compound pospat lain yang tinggi energi, telah ada dalam jaringan
otot dalam jumlah yang sedikit. Reaksi kreatin pospat dengan ADP bebas melepaskan
(membebaskan) kreatin (creatine) dan ATP. Sesudah deplesi (pengurasan) kreatin pospat (15
detik), jika aktivitas terus berlanjut, glukosa darah atau glikogen dikerahkan. Glukosa, suatu
gula darah yang penting, disirkulasi ke jaringan otot melalui struktur kapiler permeabel.
Glukosa diubah melalui berbagai fase pertama kedalam asam piruvik (pyruvic acid).
Selanjutnya pemecahan dapat melalui dua rute/jalur yang mungkin, yaitu kerja anaerobik dan
aerobik, atau menurut Armstrong (2006), metabolisme anaerobik dan metabolisme aerobik
(Gambar 2.4). Selanjutnya dijelaskan oleh Pulat (1992):

1) Kerja anaerobik (Anaerobic work). Jika oksigen yang cukup tidak disuplay ke
dalam jaringan otot, asam piruvik diubah ke dalam asam laktat (lactic acid)
sementara ATP diregenerasi (dibangkitkan kembali). Akumulasi asam laktat
di antara serat-serat otot menyebabkan kelelahan otot dan berkembangnya rasa
sakit.

2) Kerja Aerobik (Aerobic work). Dengan suplay oksigen yang cukup, asam piruvik
dipecah kedalam air dan CO2, sambil melepas sejumlah besar ATP. Ini adalah
reaksi yang lebih efisien dari pada reaksi dalam kerja anaerobik.

Oksigen adalah kunci untuk kerja yang efisien. Suplay oksigen ke serat-serat otot
menghendaki bahwa lebih banyak darah per satuan waktu dipompa ke dalam otot, juga udara
pernafasan lebih banyak untuk dapat meng-oxygenate lebih banyak darah melalui sistim
pernafasan.

2.5 Termoregulasi Tubuh

ASPEK BIOFISIKA AKTIVITAS PRAKTIKUM LAPANGAN


MAHASISWA JURUSAN FISIKA FMIPA UNIMA. DR.Rolles Nixon Palilingan, MS
10/21/2008.
16

Seperti yang telah dijelaskan dalam bagian 2.3, lebih khusus yang dapat dilihat
pada persamaan (1), (2) atau persamaan (3), aplikasi prinsip neraca energi panas dalam
sistem tubuh manusia menunjukkan bahwa keseimbangan antara panas yang diproduksi
dan panas yang dilepaskan tubuh akan menentukan naik atau turunnya suhu tubuh.

ATP
Metabolisme Asam Laktat
Anaerobik Panas

Acetyl CoA

Makanan : Karbohidrat ATP


Lemak CO2
Protein H2O
Metabolisme
Aerobik Nitrogen
Respirasi : O2
Panas

Gambar 2.4. Sumber Energi dan Jalur Metabolisme (Armstrong, 2006)

Dalam mencermati aplikasi prinsip-prinsip biofisika lingkungan untuk pekerja yang


melakukan aktivitas di alam terbuka, seperti aktivitas praktikum lapangan, perubahan suhu
tubuh merupakan parameter yang sangat penting untuk mengevaluasi mengenai pekerjaan
yang dilakukan.
Perubahan suhu tubuh, selain ditentukan oleh faktor-faktor lingkungan ketika
seorang pekerja berinteraksi dengan lingkungan fisiknya, akan tetapi secara fisiologis
terdapat mekanisme tertentu untuk pengaturan suhu tubuh. Mekanisme tersebut disebut
termoregulasi tubuh.
Menurut Fox, Bowers and Foss (1988), fungsi utama sistem termoregulatori adalah
untuk mempertahankan suhu tubuh (core temperature = suhu inti) agar tetap pada set point
(37 0C). Untuk melaksanakan fungsi termoregulatori digunakan komponen-komponen
dasar:
3) reseptor atau sensor termal: yaitu organ- organ yang peka terhadap rangsangan termal
(dingin, panas),

ASPEK BIOFISIKA AKTIVITAS PRAKTIKUM LAPANGAN


MAHASISWA JURUSAN FISIKA FMIPA UNIMA. DR.Rolles Nixon Palilingan, MS
10/21/2008.
17

4) efektor termal: yaitu organ-organ yang merespon terhadap rangsangan yang dikirim
oleh reseptor dan yang menghasilkan regulatori atau pengaturan-pengaturan untuk
perbaikan, dan
5) pusat termoregulatori yang terletak di pusat sistim saraf yang mengatur
(mengkoordiner) informasi yang datang dari reseptor dengan aksi regulatori organ-
organ efektor.

2.5.1 Reseptor termal

Tubuh manusia memiliki paling kurang dua daerah reseptor termal utama; satu
terletak dalam hypothalamus otak (reseptror pusat), yang lain dalam kulit (reseptor tepi)
(Fox, Bowers dan Foss, 1988). Kedua daerah reseptor mengandung dua tipe sensor, satu
sensitif terhadap panas dan yang lain sensitif terhadap dingin. Reseptor dalam
hypothalamus sensitif terhadap fluktuasi suhu yang sempit ( antara 0,2 sampai 0,5 0C).
Reseptor-reseptor dalam kulit, baik yang sensitif terhadap panas maupun dingin
terutama terdiri ujung-ujung saraf bebas. Reseptor-reseptor tersebut terletak di seluruh
permukaanm tubuh, dan biasanya reseptor-reseptor peka dingin lebih banyak daripada
yang peka panas.
Reseptor-reseptor pusat dan tepi terhubung dengan saraf ke cortex dan juga ke
pusat regulatori dalam hypothalamus. Hubungan-hubungan cortical, dimana dari
hubungan-hubungan tersebut manusia secara sadar menerima sensasi-sensasi panas atau
dingin, mendorong manusia untuk pengaturan secara sukarela (voluntary regulation),
seperti: mencari daerah ternaungi atau yang kena sinar matahari, memulai atau
menghindari aktivitas fisik, mengenakan atau melepaskan pakaian, dan merentangkan diri
(stretching out) dalam lingkungan panas atau melekukan diri (curling up) dalam
lingkungan dingin. Regulasi yang dimulai dari hypothalamus bersifat reflex dan oleh
karena itu tanpa sengaja (involuntary).

2.5.2 Efektor termal

Organ-orgam efektor termal adalah: otot-otot rangka (skeletal muscles), otot-otot


halus yang melingkari arterioles (cabang-cabang arteri kecil) yang mensuplai darah ke
kulit, kelenjar keringat, dan kelenjar endokrin (Fox, Bowers dan Foss, 1988). Dalam

ASPEK BIOFISIKA AKTIVITAS PRAKTIKUM LAPANGAN


MAHASISWA JURUSAN FISIKA FMIPA UNIMA. DR.Rolles Nixon Palilingan, MS
10/21/2008.
18

lingkungan dingin, otot-otot mempengaruhi menggigil (shivering), yang menaikan


produksi panas metabolik; pada saat yang sama, arterioles yang mensuplai darah ke kulit
mengerut (constrict, cutaneous vasoconstriction). Sebaliknya, dalam lingkungan hangat
atau panas, terjadi pelebaran arteioles (cutaneous vasodilation) dan keringat terjadi.
Pentingnya kontrol vasomotor (dengan pengerutan dan pelebaran) oleh arterioles
yang mensuplai darah ke kulit berasal dari kenyataan bahwa panas dari pusat tubuh harus
pertama kali ditransport melalui konveksi dan konduksi sirkulatori ke permukaan
sebelum panas dapat dilepaskan ke lingkungan melalui konduksi, konveksi, radiasi, dan
evaporasi.
Sebagai contoh, dengan pengerutan arterioles, aliran darah kulit menurun dan oleh
karena itu sebagai akibatnya tansfer panas dari pusat tubuh juga menurun. Sebaliknya,
dengan pelebaran arterioles, peningkatan aliran darah memungkinkan disipasi (pelepasan)
panas inti tubuh ke lingkungan lebih cepat. Sekresi keringat, begitu penting dalam
mencegah pemanasan yang berlebihan pada tubuh manusia karena sekresi keringat pada
akhirnya akan dievaporasikan, dan sekresi tersebut berasal dari kira-kira 2.500.000
kelenjar keringat. Kelenjar-kelenjar keringat ini tersebar secara luas pada seluruh
permukaan tubuh, tetapi sebagian besar terkonsentrasi pada telapak tangan, tapak kaki,
leher dan badan.
Kelenjar-kelenjar endokrin yang terlibat dalam regulasi suhu adalah thyroid dan
adrenal medulla. Lebih dari beberapa minggu terpapar dingin, produksi panas metabolik
meningkat akibat peningkatan output thyroxin dan kelencar thyroid. Juga selama terpapar
dingin, peningkatan tingkat-tingkat epinephrine dan nonrepinephrine dari adrenal medulla
menyebabkan peningkatan produksi panas sepanjang peningkatan konservasi panas
melalui cutaneous vasoconstriction.

2.5.3 Pusat termoregulatori

Berbagai respons yang telah digambarkan dikoordinasi oleh pusat pengaturan


termal yang terdapat dalam hypothalamus (Fox, Bowers dan Foss, 1988; Christopherson,
2005). Peran pusat ini agak mirip dengan peran suatu termostat dalam rumah. Suhu
ruangan (dapat disamakan dengan suhu internal tubuh) diukur oleh suatu termometer
(dapat disamakan dengan organ-organ reseptor) dan dibandingkan dengan set point (suhu

ASPEK BIOFISIKA AKTIVITAS PRAKTIKUM LAPANGAN


MAHASISWA JURUSAN FISIKA FMIPA UNIMA. DR.Rolles Nixon Palilingan, MS
10/21/2008.
19

acuan), termostat (dapat disamakan dengan pusat hypothalamic) secara otomatis


menyampaikan informasi ke sistem-sistem pemanas atau pendingin (disamakan dengan
efektor), yang memperbaiki suhu sesuai dengan nilai set point melalui mekanisme-
mekanisme sebagaimana yang telah dijelaskan. Pengembalian ke nilai set point kemudian
secara otomatis menghentikan sistem efektor.
Reseptor-reseptor termal mengawali aksi efektor yang sesuai sesudah suhu tubuh
internal dibandingkan dengan suhu set point yang biasanya 37 0C atau 98,6 oF, Akan tetapi,
set point dapat diubah dan ini dipahami sebagai peran utama reseptor-reseptor tepi dalam
regulasi suhu. Sebagai contoh, ketika kulit dipanaskan, set point turun atau berkurang.
Akibatnya, hal ini menyebabkan tubuh berkeringat dan terjadi cutaneous vasodilation dan
oleh karena itu pendinginan tubuh lebih cepat terjadi. Sebaliknya ketika kulit terpapar
dingin; yaitu, set point bertambah atau naik dan lebih cepat meningkatkan konservasi dan
produksi panas.

2.6 Faktor-faktor yang Berpengaruh Terhadap Termoregulasi

Secara umum faktor-faktor yang berpengaruh terhadap termoregulasi tubuh,


digambarkan dengan jelas oleh Blazejczyk (2000) seperti yang ditunjukkan dalam Gambar
2.5. Menurut Havenith (1999, 2002), kapasitas tubuh untuk menahan atau melepaskan
panas ke lingkungan sangat bergantung pada sejumlah parameter-parameter eksternal,
yang terutama adalah: suhu, kelembaban udara, kecepatan angin, dan insulasi pakaian.

2.6.1 Temperatur

Makin tinggi suhu udara, makin sedikit panas tubuh dapat dilepaskan melalui
konveksi, konduksi dan radiasi. Jika suhu lingkungan meningkat di atas suhu kulit, tubuh
akan memperoleh panas dari lingkungan daripada melepaskan panas ke lingkungan
(Havenith, 1999, 2002, 2004). Ada tiga suhu yang relevan.

2.6.1.1 Suhu udara

Suhu udara menentukan tingkat kehilangan panas konvektif dari kulit ke


lingkungan, atau sebaliknya jika suhu udara melebihi suhu kulit. Kenyataan tersebut telah

ASPEK BIOFISIKA AKTIVITAS PRAKTIKUM LAPANGAN


MAHASISWA JURUSAN FISIKA FMIPA UNIMA. DR.Rolles Nixon Palilingan, MS
10/21/2008.
20

dijelaskan oleh persamaan transfer panas, sebagaimana yang dinyatakan pada persamaan
(4), dimana panas selalu mengalir dari titik yang bersuhu tinggi ke titik yang bersuhu lebih
rendah (Christopherson, 2005; Havenith, 1999; Campbell, 1977; Fox, Bowers and Foss,
1988).
Besarnya panas yang mengalir bergantung pada perbedaan suhu T atau gradien
suhu ( T/ z) antara udara dengan permukaan tubuh sebagai daya penggerak (driving
force). Jadi bila suhu permukaan tubuh lebih tinggi dari suhu udara maka panas konveksi
akan mengalir dari permukaan tubuh ke udara. Jika terjadi sebaliknya, permukaan tubuh
akan memperoleh tambahan panas konvektif dari udara yang mengalir dengan arah
sebaliknya, tetapi hal ini hanya terjadi di permukaan tubuh yang dapat menyebabkan
respons fisiologis, misalnya melalui berkeringat karena proses termoregulasi sebagaimana
yang dijelaskan oleh Fox, Bowers and Foss (1988) dan Christopherson (2005).
Akan tetapi asas penting yang harus selalu diingat menurut Christopherson (2005)
adalah bahwa kecuali pada benda mati, pada tubuh manusia panas selalu mengalir dari
dalam tubuh ke luar dan tidak pernah sebaliknya, karena bila terjadi sebaliknya itu berarti
kematian. Oleh karena itu manusia tidak dapat hidup di daerah atau ruangan dengan suhu
melebihi suhu inti tubuh (370C) kecuali dalam waktu yang sangat singkat.

2.6.1.2 Suhu pancaran (radiant temperature)

Suhu pancaran adalah suhu semua benda atau objek yang berada di sekitar tubuh
yang sedang melakukan suatu aktivitas. Suhu ini akan menentukan tingkat trasfer panas
atau pertukaran panas radiasi antara tubuh dengan lingkungan sekitarnya. Di tempat-
tempat dengan objek-objek panas seperti dalam pabrik baja atau ketika bekerja di lapangan
dalam keadaan terik matahari, suhu pancaran dapat melampaui suhu kulit dan akibatnya
terjadi trasnfer panas pancaran dari lingkungan ke kulit (Havenith, 1999, 2002).
Azas mengenai transfer panas yang telah dijelaskan pada bagian 2.6.1.1 juga tetap
berlaku dalam transfer panas radiasi. Dalam konteks aktivitas yang dilakukan di alam
terbuka seperti aktivitas praktikum lapangan menurut Campbell (1977) dan Monteith and
Unsworth (1990), udara dan semua objek di sekitar termasuk vegetasi dan dan permukaan
tanah dapat menjadi sumber radiasi gelombang panjang (radiasi termal). Oleh karena itu
suhu udara juga menjadi suhu pancaran yang menentukan.

ASPEK BIOFISIKA AKTIVITAS PRAKTIKUM LAPANGAN


MAHASISWA JURUSAN FISIKA FMIPA UNIMA. DR.Rolles Nixon Palilingan, MS
10/21/2008.
21

Berkeringat
Aliran darah tepi Suhu Inti Tubuh

Suhu Kulit
Berat &
Tinggi

Radiasi matahari diserap Kerja

Perolehan panas total (Gain)

Faktor yang
Simpanan mengubah:
Panas
Neto
Sirkulasi
atmosfir

Pelepasan panas total (Loss)


Musim
iklim

Pakaian
Faktor iklim
regional
Pertukatan panas pada Pertukatan panas
permukaan tubuh: respiratori
- Konveksi Faktor iklim
- Radiasi lokal
- Evaporasi

Parameter lingkungan fisik:


- Suhu udara
- Suhu permukaan (ground)
- Kelembaban udara
- Kecepatan angin

Radiasi matahari

Gambar 2.5. Parameter-parameter Fisiologis dan Lingkungan Fisik yang


Berpengaruh dan Terkait dengan pertukaran Panas Tubuh
Manusia Lingkungan (Blazejczyk, 2000).

ASPEK BIOFISIKA AKTIVITAS PRAKTIKUM LAPANGAN


MAHASISWA JURUSAN FISIKA FMIPA UNIMA. DR.Rolles Nixon Palilingan, MS
10/21/2008.
22

2.6.1.3 Suhu Permukaan

Suhu permukaan selain menyebabkan risiko-risiko seperti kulit terbakar dan sakit
pada kulit (suhu permukaan di atas 450C), atau di tempat dingin risiko radang dingin
(frostbite) pada hidung, jari-jari tangan dan kaki dan sakit lainnya akibat dingin, suhu
permukaan yang berkontak dengan tubuh menentukan pertukaran panas konduktif. Selain
suhu, sifat-sifat permukaan, seperti, konduktivitas, panas spesifik, kapasitas panas juga
penting dan menentukan pertukaran panas konduktif (Havenith, 1999, 2002).
Menurut Havenith (1999) dan juga Fox, Bowers and Foss (1988) pertukaran panas
konduksi hanya penting pada pekerjaan-pekerjaan yang berhubungan dengan benda-benda
panas. Akan tetapi, dalam konteks aktivitas praktikum lapangan suhu udara tetap menjadi
faktor penting, karena menurut Holman (1986) sekalipun jalur transfer yang dominan
dalam konteks ini adalah radiasi dan konveksi, akan tetapi pada lapisan udara yang sangat
tipis pada permukaan tubuh, transfer panas pada mulanya terjadi secara konduksi antara
molekul-molekul kulit tubuh atau pakaian dengan molekul-molekul udara, yang kemudian
dilanjutkan melalui proses konveksi.

2.6.2 Kelembaban Udara

Jumlah air yang ada di udara lingkungan sekitar dalam bentuk uap (konsentrasi
uap) menentukan apakah air (atau keringat) dalam bentuk uap mengalir dari kulit ke
lingkungan sekitar atau sebaliknya. Pada umumnya konsentrasi air dalam bentuk uap pada
kulit akan lebih tinggi daripada dalam lingkungan, yang memungkinkan kehilangan panas
evaporatif dari kulit ke lingkungan terjadi. Seperti telah dikemukakan, dalam bentuk
panas, evaporasi keringan adalah jalur yang sangat penting bagi tubuh untuk melepaskan
surplus panas ke lingkungan sekitar. Oleh karena itu situasi-situasi dimana gradien
terbalik (konsentrasi uap air pada lingkungan lebih tinggi dari konsentrasi pada kulit)
adalah sangat mencekam/menegangkan (stressful) dan hanya mungkin bila terpapar dalam
waktu yang singkat (Havenith, 1999, 2002).
Harus dicatat bahwa konsentrasi uap, bukan kelembaban relatif adalah faktor yang
menentukan. Udara yang memiliki kelembaban relatif 100% dapat mengandung jumlah
uap yang berbeda bergantung pada suhu udara pada suatu saat. Makin tingi suhu udara

ASPEK BIOFISIKA AKTIVITAS PRAKTIKUM LAPANGAN


MAHASISWA JURUSAN FISIKA FMIPA UNIMA. DR.Rolles Nixon Palilingan, MS
10/21/2008.
23

makin tinggi kandungan uap air pada kelembaban relatif yang sama. Apa yang
dikemukakan oleh Havenith (1999, 2002), dapat dilihat dengan jelas pada Gambar 2.6,
yang diringkaskan dari penjelasan yang diberikan oleh Snyder (2001), Campbell (1977)
dan Monteith and Unsworth (1990).

RH =
÷ P
x 100% = v x 100% = 217Pv
÷s Pvs T

s ( s, T)

B> A dan juga TB>TA

( , Td) P( , T) s(T)

A = 217Pvs
s
(T) T

TA Td TB T

Gambar 2.6. Representasi Grafik Tekanan Uap Jenuh Udara. Juga


menunjukkan Arti Secara Fisi Dari Kelembaban Relatif.
Disarikan dari Snyder (2001), Campbell (1977) dan Monteith
and Unsworth (1990).

Garis biru pada Gambar 2.6 menyatakan konsentrasi uap jenuh sebagai fungsi suhu
udara, yang menurut Snyder (2001) dapat dinyatakan secara matematis dengan berbagai
bentuk. Pada setiap titik dalam garis tersebut,udara jenuh dengan uap air, sehingga pada
kondisi ini kelembaban relatif udara RH=100%. Jadi titik A, dan B dan titik-titik lain
dalam garis tersebut menyatakan kondisi dengan RH 100% tetapi dalam hal ini:
konsentrasi upa B> A dan juga TB>TA. Oleh karena itu untuk transfer uap melalui proses
evaporasi, menurut Fox, Bowers and Foss (1988), Campbell (1977) dan Monteith and
Unsworth (1990), yang menjadi daya penggerak (driving force) transfer adalah perbedaan
tekanan uap Pv atau gradien tekanan uap ( Pv/ z). Jadi makin besar perbedaan tekanan

ASPEK BIOFISIKA AKTIVITAS PRAKTIKUM LAPANGAN


MAHASISWA JURUSAN FISIKA FMIPA UNIMA. DR.Rolles Nixon Palilingan, MS
10/21/2008.
24

uap antara permukaan tubuh dengan tekanan uap di udara, laju transfer uap melalui
evaporasi semakin besar.

2.6.3 Kecepatan Angin

Besar gerakan udara (kecepatan angin) mempengaruhi kehilangan panas konvektif


dan evaporatif. Untuk kedua jalur ini pertukaran panas meningkat dengan meningkatnya
kecepatan angin. Jadi dalam suatu lingkungan dingin tubuh mendingin lebih cepat dengan
adanya angin: dalam suatu lingkungan panas ekstrim atau hangat, tubuh menjadi lebih
cepat panas (Havenith, 1999, 2002). Karena pentingnya peran angin pada termoregulasi
tubuh, terutama untuk aktivitas di luar ruangan (alam terbuka), maka pada kebanyakan
indeks yang berhubungan dengan sensasi termal, parameter angin selalu diperhitungkan
(Holmer, Nilsson, Havenith, and Parsons, 1999; Havenith, 2001).

2.6.4 Insulasi Pakaian

Pakaian berfungsi sebagai tahanan terhadap transfer panas dan uap antara kulit dan
lingkungan sekitar. Dengan cara ini pakaian akan memprotek terhadap panas dan dingin
yang ekstrim, tetapi sebaliknya pakaian dapat menghambat atau merintangi kehilangan
produksi panas yang berlebihan pada saat melakukan aktivitas fisik (Havenith, 1999, 2002;
Roberts, Waller, and Caine, 2007). Bila seseorang harus melakukan kerja keras dengan
mengenakan pakaian cuaca dingin, panas akan terakumulasi dengan cepat dalam tubuh
akibat tahanan yang tinggi dari pakaian terhadap transfer (transport) panas atau uap air.
Sebagaimana yang telah dikemukakan pada persamaan laju transfer panas, selain
ditentukan oleh perbedaan suhu ( T) atau gradien suhu ( T/ z) sebagai daya penggerak,
transfer pans juga ditentukan oleh kemampuan medium (dalam hal ini bahan pakaian)
untuk mentransfer panas (Havenith, 2004) yang disebut dengan konduktivitas termal
(Watt.m-2.0C-1). Oleh karena itu pilihan atas jenis bahan pakaian juga harus disesuaikan
dengan nilai konduktivitas termal. Bila dikehendaki pakaian yang lebih cepat melepaskan
panas tubuh, maka lebih tepat memilih bahan dengan konduktivitas termal lebih tinggi,
misalnya katun dengan konduktivitas termal 0,29 Watt.m-2.0C-1. Bila dikehendaki
sebaliknya dapat dipilih bahan dengan konduktivitas termal yang lebih rendah, misalnya
polyester dengan konduktivitas termal 0,18 Watt.m-2.0C-1.

ASPEK BIOFISIKA AKTIVITAS PRAKTIKUM LAPANGAN


MAHASISWA JURUSAN FISIKA FMIPA UNIMA. DR.Rolles Nixon Palilingan, MS
10/21/2008.
25

Selain dua hal yang telah dikemukakan di atas masih ada lagi variabel dari pakaian
yang dapat mempengaruhi laju transfer panas dan uap, yaitu: ketebalan dan susunan atau
struktur bahan pakaian atau kain (Havenith, 2002). Ketebalan berhubungan dengan
tahanan terhadap transfer panas dan uap. Pada umumnya makin tebal bahan pakaian
makin besar tahanan (insulasi) dan makin kecil laju transfer.

2.7 Intervensi yang Mungkin Berdasarkan Aspek Biofisika

Palilingan dan Pungus (2007) melalui penelitian yang mengevaluasi sistem kerja
aktivitas praktikum lapangan, mendapatkan bahwa ternyata sistem kerja aktivitas
praktikum lapangan yang dilakukan selama ini dalam rangka implementasi kurikulum
akademik Jurusan Fisika FMIPA Unima dan dalam rangka kerjasama dengan BMG
Jakarta, belum dapat dikatakan ergonomis. Kenyataan tersebut juga didukung oleh hasil
yang diperoleh oleh Pungus dan Palilingan (2007) yang menunjuukan bahwa pelaksanaan
aktivitas praktikum lapangan menyebabkan mahasiswa mengalami strain fisiologis yang
semakin meningkat, sehingga bila aktivitas diperpanjang lebih lama, akan sangat
merugikan dan membahayakan mahasiswa.
Oleh karena itu dikemukakan bahwa perlu diadakan perbaikan-perbaikan dalam
sistem kerja aktivitas praktikum lapangan melalui serangkaian rencana intervensi yang
diperlukan agar tercipta sistem kerja yang benar-benar ergonomis. Dengan sistem kerja
seperti itu, diharapkan mahasiswa dapat melakukan aktivitas dengan respons fisiologis
yang lebih baik dan dengan tidak adanya strain fisiologis yang berarti, dan pada akhirnya
mahasiswa akan mencapai kinerja yang diharapkan sesuai tuntutan kurikulum akademik.
Dengan menggunakan pendekatan ergonomi total, Palilingan (2007) telah
merencanakan serangkaian intervensi terhadap sistem kerja aktivitas praktikum lapangan.
Rangkaian rencana intervensi tersebut terdiri dari: (1) mahasiswa mengenakan setelan
pakaian ergonomis; (2) ada suplesi gizi di antara unit praktikum; (3) perbaikan sikap kerja;
(4) penyesuaian posisi titik ukur dengan antropometri tubuh; (5) penggunaan perlengkapan
pelindung; (6) pemberian waktu istirahat; (7) pemberian motivasi (dorongan); (8)
melaksanakan komunikasi dua arah yang simpatik dan empatik; (9) perbaikan informasi;
dan (10) penggunaan alat bantu.

ASPEK BIOFISIKA AKTIVITAS PRAKTIKUM LAPANGAN


MAHASISWA JURUSAN FISIKA FMIPA UNIMA. DR.Rolles Nixon Palilingan, MS
10/21/2008.
26

Dari kesepuluh rencana intervensi yang hendak dilakukan dalam aktivitas


praktikum lapangan, pada umumnya terkait dengan konsep-konsep biofisika yang telah
dipaparkan pada bagian-bagian sebelumnya, akan tetapi yang langsung terkait dalah:

1) mahasiswa mengenakan setelan pakaian ergonomis;


2) ada suplesi gizi di antara unit praktikum;
3) perbaikan sikap kerja;
4) penyesuaian posisi titik ukur dengan antropometri tubuh;
5) penggunaan perlengkapan pelindung;
6) pemberian waktu istirahat; dan
7) penggunaan alat bantu.

Dengan demikian dalam melaksanakan intervensi berdasarkan pertimbangan


konsep biofisika, pembahasan pada bagian-bagian sebelumnya mengenai konsep-konsep
biofisika benar-benar memberikan kontribusi terhadap semua rencana untuk mengadakan
perbaikan. Schafer (1997) mengemukakan bahwa semakin banyak konsep biofisika yang
dipahami dalam suatu sistem kerja, akan lebih banyak permasalahan yang dapat dikenali
dan dihindari, serta kinerja akan meningkat.
Secara singkat dapat dikemukakan bahwa semua rencana intervensi untuk
perbaikan pada sistem kerja aktivitas praktikum lapangan hanya dapat berhasil bila
intervensi-intervensi tersebut akan menyebabkan terjadinya keseimbangan termal pada
tubuh mahasiswa selama melakukan aktivitas praktikum lapangan. Keseimbangan termal
terjadi bila simpanan panas dalam tubuh mendekati nol, atau dengan kata lain suhu inti
tubuh akan berkisar pada nilai set point (acuan) yaitu sebesar 370C. Demikian juga; denyut
nadi mahasiswa tidak akan berubah terlalu tinggi selama berkerja; strain fisiologis yang
dialami rendah; dan skor kelelahan juga rendah. Apabila hal-hal ini terjadi, maka dapat
dikatakan bahwa intervensi berdasarkan aspek biofisika terhadap sistem aktivitas
praktikum lapangan berhasil, dan dapat dipastikan bahwa mahasiswa akan mencapai
kinerja yang diharapkan.

ASPEK BIOFISIKA AKTIVITAS PRAKTIKUM LAPANGAN


MAHASISWA JURUSAN FISIKA FMIPA UNIMA. DR.Rolles Nixon Palilingan, MS
10/21/2008.

Anda mungkin juga menyukai