Anda di halaman 1dari 4

Kriiing… Kriiiiiinggg… hanya sempat dua kali berdering di pagi buta, telfon itu segera diangkat.

“Hey.., Ryan… jangan keras-keras donk.!” Kata si pengangkat telefon itu sembari celingukan kiri-kanan.
Sepertinya pengangkat telefon tadi menyalahkan si penelfon yang menyebabkan pesawat telfon itu
bersuara keras. Padahal dering kuat itu karena setelan volume dering yang dimaksimalkan. Lalu sambil
cekikikan pelan ia menyambung “Ntar kedengeran sama si beruang besar, mampus gue…” dan setelah
beberapa menit berhaha-hihi dan bla-bla-bla sana-sini, akhirnya keluar juga kata penutup percakapan
pagi itu “oke dehh… sampai jumpa nanti yaaa.., bye…”

“Ada apa Bik..?” tiba-tiba seorang gadis remaja berbusana tidur mendekat dari arah belakang. Hmm..,
mungkin inilah si beruang besar itu, ah tidak, bisa jadi ini beruang kecilnya. “eh… enggak Non, anu…
salah sambung” jawab yang ditanya sambil menunduk malu tapi mulutnya klecam-klecem. Beruang
mengantuk itu percaya saja, sepertinya ia hanya menaruh celana dalam kotor di keranjang cucian,
membuang bekas pembalut lalu kembali ke kamarnya.

Pagi yang sebenarnya pun dimulai. Bedinde bernama Mary itu menunaikan segenap tugas dan
kewajibannya pagi ini dengan penuh semangat. Sang Nyonya yang keluar kamar agak kesiangan, kagum
dengan kinerja Mary pagi ini. Rumah telah bersih dan rapi, air panas untuk mandi sang suami dan si
Nona yang masih mendengkur juga sudah ada. Kopi, roti, selai dan mentega tersedia di meja. Halaman
telah tersapu bersih, tanaman juga sudah basah kuyup disemprot air, padahal pak Min belum datang.

Jam enam pak Min datang, Mary langsung menyajikan teh hangat dan roti. Pak Min tahu sebagian
tugasnya telah diselesaikan oleh Mary, kini ia tinggal berurusan dengan kedua mobil majikannya.

“Mimpi apa aku.. kok tumben kamu baik hati pagi ini…” kata pak Min sambil membuka pintu garasi,

“mau kemana to Nduk.., pagi-pagi kok sudah moblong-moblong begitu…?”

“Alaaaah.., pak lek ini mau tahu aja urusan anak muda…” jawab Mary sambil senyum-senyum.

Jam tujuh si Tuan berpamitan pada isterinya untuk berangkat kerja. “Sepertinya Mama belum sembuh
benar, kalo gitu nggak usah dipaksakan datang, istirahat di rumah aja ya Ma…” si Nyonya menangguk.
Dan anggukan itulah yang membuat Mary tiba-tiba lemas. Sebuah rencana telah hancur berantakan. Ia
menutup gerbang depan dengan bibir monyong beberapa sentimeter, dan bibir itu tetap monyong
walau pak Min menyapa dengan klaksonnya… tiin-tiiin…
Jam setengah sepuluh. Si Nona telah berangkat kuliah, dan Nyonya agak gemuk yang batal pergi itu
memilih berleha-leha sambil memelototi telenovela. Ketika gerbang depan berbunyi tek-tek-tek dan
terdengar siulan suiiit, suiiiit, Mary segera berlari ke depan. Lalu sambil clingak-clinguk kiri-kanan ia
berbisik “Aduh sori yaa, hari ini nggak bisa, beruang besar sialan itu gak jadi pergi. Besok aja ya..”

********

Lima bulan lalu. Itulah awal mula wanita itu berdinas di belantara ibukota. Bermukim di perumahan
kelas menengah, namun cukup mentereng, membuat dia banyak bergaul dengan kalangan yang maju,
berpendidikan dan kehidupan yang cukup-cukup mapan.

Suatu pagi ia tiba-tiba lari sekencang-kencangnya mirip orang dikejar anjing. Usut punya usut rupanya ia
benar-benar dikejar kirik ketika pagi itu ia hendak membuang sampah yang didalamnya terdapat tulang
lutut sapi sisa sup tadi malam.

“Lontong… eh.. tolooong..”

“Ups… minggat loe…” lalu “kaing.., kaing…” binatang itupun balik kanan kemudian mengambil langkah
seribu persis kirik dikejar setan. Dan pahlawan yang mengusir anjing itu ternyata seorang pria berkumis
tipis dengan kunci mobil Toyota Camry di tangan kanannya.

“Udah… anjingnya udah lari mbak. Nggak usah takut” ujar pria itu dengan penuh simpati.

“Matur nuwun ya Mas. Kalo nggak ada Mas, nggak kebayang deh…”

“Lho, bisa basa jawa to? Asalnya dari mana to Mbak?”.

“Saya dari Ngalengko… tetapi saya di kampungnya, dusun Kalipeteng.”

“Wooo. Ternyata tetangga to. Saya juga dari Ngalengko lho Mbak..! Dusun Alaskobong. Kenalkan nama
saya Ryan. Mbak siapa?”

“Mary”. “Disini tinggal dimana?”.

“Nomer tiga puluh satu itu lho Mas. ”

Lalu bla-bla-bla, ngalor-ngidul dan akhirnya Ryan dengan segudang pengalaman berhasil meminta
nomor telefon rumah nomor tiga puluh satu itu sekaligus membuat janji bahwa suatu saat dia akan
berkunjung ke sana. Namun dengan catatan bahwa ia tidak akan datang kesana dengan Toyota Camry
karena alasannya jarak yang cukup dekat bisa ditempuh dengan berjalan kaki.

Pertemuan itu membuat Mary berbunga-bunga. Betapa tidak, ia telah berkenalan dengan seorang yang
mengaku bekerja di salah satu Bank Pemerintah, dan pria itu akan mengunjunginya. Seterusnya kedua
orang itu acap bertemu di rumah nomor tiga puluh satu ketika rumah itu penghuninya, yang oleh
babunya terkadang dijuluki beruang jantan, beruang besar dan beruang kecil, bepergian sekitar jam
sepuluh pagi. Biasanya mereka hanya duduk-duduk di depan tivi sambil tertawa cekikikan.

************

Bulan Rajab ini Mary dan Ryan pulang kampung bareng-bareng. Maklum tetangga kampung. Mary
begitu bangga karena Ryan bisa “cuti” dari kerjanya untuk mengantar dia pulang. “di desaku bulan Rejep
ini ada nyadran , rame lho mas, biasanya ada acara wayangan dan campur sari segala.” Maka selera
kampungan mereka kembali menggelora untuk melihat ritual-ritual itu dengan suka cita.

Malam purnama. Adegan Goro-goro dalang kampung Ki Suro Watoncarito belum juga kelar. Ryan
menggandeng Mary lalu berhenti di dangau pematang sawah pinggiran desa yang jauh dari keramaian
itu. Berbagai rayuan gombal mulai meluncur dari bibir Arjuna itu lewat lagu-lagu dangdut yang
dinyanyikan dengan nada slendro. Mary hanya menimpalinya dengan tertawa kecil.

Senandung di tengah sawah gung liwang-liwung pinggiran kampung itu berakhir ketika di remang malam
keduanya terlihat saling tindih lalu sesekali terdengar suara mirip lenguhan sapi dari mulut mereka.
Lenguhan panjang pula yang menutup adegan perang baratayudha mereka. Lalu keduanya nglumpruk di
atas jerami itu seperti orang yang baru saja menyantap pecel kangkung empat bungkus sekaligus.
Mereka baru sadar dan bergegas bangkit ketika pantat mereka digigit semut geni. Ryan mengantar Mary
kerumahnya sambil mengingatkan bahwa seminggu kedepan mereka bareng-bareng balik ke ibukota.
Setelah itu ia balik ke dusunnya.

Seminggu kemudian, di dusun Alaskobong, “Bapak balik ke Jakarta dulu ya Le, kamu makan yang banyak
ya, biar lekas besar dan bisa bantu emakmu ngarit menyabit rumput..” ucap Ryan pada bocah laki-laki
berambut kuncung usia dua setengah tahun. “Yem, aku berangkat ya. Pulangnya nanti pas mau lebaran,
ya sekitar dua bulan lagi.” Tuyem mengangguk melepas suaminya yang bekerja sebagai sopir pribadi
salah satu petinggi bank pemerintah. Maka anaknya yang masih cadel menambahkan “belikan montol-
montolan ya Pak.” si bapak hanya menjawab “Iyaa.. le”

Dalam bus malam menuju ibukota, Ryan duduk bersebelahan dengan Mary sambil ngobrol segala
macam cerita. Tengah malam ketika mereka tengah terlelap, tiba-tiba Ryan membuka resleting celana
dan memasukkan tangannya ke celana dalamnya sambil meringis. Ketika Mary bertanya ada gerangan
apa? Ryan menjawab “biji anuku digigit tengu” mungkin binatang itu terbawa saat pergumulan di atas
jerami.

Menjelang pagi giliran Mary yang awalnya berkedap-kedip tiba-tiba terbelalak lalu memerosotkan
celana dalam dari dalam roknya. Hanya dilihatnya sebentar kemudian bersandar dengan wajah sedikit
gugup. Ketika Ryan bertanya ada gerangan apa? Mary menjawab “harusnya haidku sudah keluar dua
hari lalu, ini kok belum keluar-keluar juga”

*****************

Lebaran ini Ryan tidak pulang ke Alaskobong. Menurut Tuyem, Kang Yanto tugas piket. Tetapi dalam
sebuah keramaian di sebuah desa di Kalipeteng, yang tak seberapa jauh dari Alaskobong, terlihat Ryan
dengan busana sipil lengkap jas dan dasi. Majikannya hadir. Sedangkan Mary, dengan pakaian khas
seorang jawa, digandeng sang ibu untuk duduk di sebuah meja kecil yang disitu telah menunggu Ryan
dan seorang pencatat nikah.

“Saudara Sriyanto alias Ryan.”

“Saya pak…”

“Aku nikahkan anakku, Maryatun alias Mary binti Pailul, mas kawinnya sebuah cincin lima gram tunai”

Tiba-tiba muncul di dekat mereka seorang bocah Dusun Alaskobong yang datang dengan salah satu
kerabatnya. Bocah berambut kuncung yang kira-kira berusia dua setengah tahun lebih dua bulan itu
tiba-tiba berwajah ceria lalu berkata pada pengantin pria dengan suara cadel “Ee.. bapak kok disini.
Montol-montolan dali jakalta-nya mana pak”

Anda mungkin juga menyukai