Disusun oleh:
Gregorius Gary
Kevin Wijaya
Reyner Ricardo
Ricky Tan
Yudian Susanto
Sriwijaya adalah salah satu Kemaharajaan maritim yang kuat di pulau
Sumatera dan banyak memberi pengaruh di Nusantara dengan daerah
kekuasaan membentang dari Kamboja, Thailand, Semenanjung
Malaya, Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi. Dalam bahasa
Sansekerta, sri berarti "bercahaya" dan wijaya berarti "kemenangan".
Kemunduran
Belum banyak bukti fisik mengenai Sriwijaya yang dapat ditemukan.
Kekaisaran Sriwijaya telah ada sejak 671 sesuai dengan catatan I-tsing.
Kerajaan ini terdiri atas tiga zona utama - daerah ibukota muara yang
berpusatkan Palembang, lembah Sungai Musi yang berfungsi sebagai daerah
pendukung dan daerah-daerah muara saingan yang mampu menjadi pusat
kekuasan saingan. Wilayah hulu sungai Musi kaya akan berbagai komoditas
yang berharga untuk pedagang Tiongkok Ibukota diperintah secara langsung
oleh penguasa, sementara daerah pendukung tetap diperintah oleh datu
setempat.
Garis Besar Perkembangan Sriwijaya:
Pada paruh pertama abad ke-10, diantara kejatuhan dinasti Tang dan naiknya
dinasti Song, perdagangan dengan luar negeri cukup marak, terutama Fujian,
kerajaan Min dan negeri kaya Guangdong, kerajaan Nan Han. Tak diragukan
lagi Sriwijaya mendapatkan keuntungan dari perdagangan ini. Pada tahun
903, penulis Muslim Ibnu Batutah sangat terkesan dengan kemakmuran
Sriwijaya. Daerah urban kerajaan meliputi Palembang (khususnya Bukit
Seguntang), Muara Jambi dan Kedah.
KEMUNDU
RAN
Tahun 1025, Rajendra Coladewa, raja Chola dari Koromandel, India selatan,
menaklukkan Kedah dan merampasnya dari Sriwijaya. Kemudian Kerajaan Chola
meneruskan penyerangan dan berhasil penaklukan Sriwijaya, selama beberapa
dekade berikutnya keseluruh imperium Sriwijaya berada dalam pengaruh Rajendra
Coladewa. Meskipun demikian Rajendra Coladewa tetap memberikan peluang kepada
raja-raja yang ditaklukannya untuk tetap berkuasa selama tetap tunduk kepadanya.
Setelah invasi tersebut, akhirnya mengakibatkan melemahnya hegemoni Sriwijaya,
dan kemudian beberapa daerah bawahan membentuk kerajaan sendiri, dan
kemudian muncul Kerajaan Dharmasraya, sebagai kekuatan baru dan kemudian
mencaplok kawasan semenanjung malaya dan sumatera termasuk Sriwijaya itu
sendiri.
Antara tahun 1079 - 1088, kronik Tionghoa masih mencatat bahwa San-fo-ts'i masih
mengirimkan utusan dari Jambi dan Palembang. Dalam berita Cina yang berjudul
Sung Hui Yao disebutkan bahwa kerajaan San-fo-tsi pada tahun 1082 mengirim
utusan dimana pada masa itu Cina di bawah pemerintahan Kaisar Yuan Fong. Duta
besar tersebut menyampaikan surat dari raja Kien-pi bawahan San-fo-tsi, yang
merupakan surat dari putri raja yang diserahi urusan negara San-fo-tsi, serta
menyerahkan pula 227 tahil perhiasan, rumbia, dan 13 potong pakaian. Dan
kemudian dilanjutkan dengan pengiriman utusan selanjutnya di tahun 1088.
KEMUNDU
RAN
Berdasarkan sumber Tiongkok pada buku Chu-fan-chi yang ditulis pada tahun
1178, Chou-Ju-Kua menerangkan bahwa di kepulauan Asia Tenggara terdapat dua
kerajaan yang sangat kuat dan kaya, yakni San-fo-ts'i dan Cho-po (Jawa). Di Jawa
dia menemukan bahwa rakyatnya memeluk agama Budha dan Hindu, sedangkan
rakyat San-fo-ts'i memeluk Budha.
Namun demikian, istilah San-fo-tsi terutama pada tahun 1225 tidak lagi identik
dengan Sriwijaya, melainkan telah identik dengan Dharmasraya, dimana pusat
pemerintahan dari San-fo-tsi telah berpindah, jadi, dari daftar 15 negeri bawahan
San-fo-tsi tersebut merupakan daftar jajahan kerajaan Dharmasraya yang
sebelumnya merupakan daerah bawahan dari Sriwijaya dan berbalik menguasai
Sriwijaya beserta daerah jajahan lainnya.
KEMUNDU
RAN
Pada tahun 1275, Singhasari, penerus kerajaan Kediri di Jawa, melakukan suatu
ekspedisi, dalam Pararaton disebut semacam ekspansi dan menaklukan bhumi
malayu yang dikenal dengan nama Ekspedisi Pamalayu, yang kemudian
Kertanagara raja Singhasari menghadiahkan Arca Amoghapasa kepada Srimat
Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa raja Melayu di Dharmasraya seperti yang
tersebut dalam Prasasti Padang Roco. Dan selanjutnya pada tahun 1293, muncul
Majapahit sebagai pengganti Singhasari, dan setelah Ratu Tribhuwana
Wijayatunggadewi naik tahta, memberikan tanggung jawab kepada
Adityawarman, seorang peranakan Melayu dan Jawa, untuk kembali menaklukkan
Swarnnabhumi pada tahun 1339. Dan dimasa itu nama Sriwijaya sudah tidak ada
disebut lagi tapi telah diganti dengan nama Palembang hal ini sesuai dengan
Nagarakretagama yang menguraikan tentang daerah jajahan Majapahit.
Perdagangan
Di dunia perdagangan, Sriwijaya menjadi pengendali jalur perdagangan antara India dan
Tiongkok, yakni dengan penguasaan atas selat Malaka dan selat Sunda. Orang Arab
mencatat bahwa Sriwijaya memiliki aneka komoditi seperti kamper, kayu gaharu, cengkeh,
pala, kepulaga, gading, emas, dan timah yang membuat raja Sriwijaya sekaya raja-raja di
India. Kekayaan yang melimpah ini telah memungkinkan Sriwijaya membeli kesetiaan dari
vassal-vassalnya di seluruh Asia Tenggara.
Pengaruh Budaya
Kerajaan Sriwijaya banyak dipengaruhi budaya India, pertama oleh budaya Hindu dan
kemudian diikuti pula oleh agama Buddha. Agama Buddha diperkenalkan di Sriwijaya pada
tahun 425 Masehi. Sriwijaya merupakan pusat terpenting agama Buddha Mahayana. Raja-
raja Sriwijaya menguasai kepulauan Melayu melalui perdagangan dan penaklukkan dari
kurun abad ke-7 hingga abad ke-9. Sehingga secara langsung turut serta mengembangkan
bahasa Melayu dan kebudayaan Melayu di Nusantara.
Pengaruh Islam
Ada sumber yang menyebutkan, karena pengaruh orang muslim Arab yang banyak
berkunjung di Sriwijaya, maka raja Sriwijaya yang bernama Sri Indrawarman masuk Islam
pada tahun 718. Sehingga sangat dimungkinkan kehidupan sosial Sriwijaya adalah
masyarakat sosial yang di dalamnya terdapat masyarakat Budha dan Muslim sekaligus.
Tercatat beberapa kali raja Sriwijaya berkirim surat ke khalifah Islam di Suriah. Bahkan
disalah satu naskah surat adalah ditujukan kepada khalifah Umar bin Abdul Aziz (717-
720M) dengan permintaan agar khalifah sudi mengirimkan da'i ke istana Sriwijaya.
Warisan Sejarah
Warisan Sejarah
Meskipun Sriwijaya hanya menyisakan sedikit peninggalan arkeologi dan terlupakan dari
ingatan masyarakat Melayu pendukungnya, penemuan kembali kemaharajaan bahari ini
oleh Coedès pada tahun 1920-an telah membangkitkan kesadaran bahwa suatu bentuk
persatuan politik raya, berupa kemaharajaan yang terdiri atas persekutuan kerajaan-
kerajaan bahari, pernah bangkit, tumbuh, dan berjaya di masa lalu.
Di Indonesia, nama Sriwijaya telah digunakan dan diabadikan sebagai nama jalan di
berbagai kota, dan nama ini telah melekat dengan kota Palembang dan Sumatera Selatan.
Universitas Sriwijaya yang didirikan tahun 1960 di Palembang dinamakan berdasarkan
kedatuan Sriwijaya. Demikian pula Kodam Sriwijaya (unit komando militer), PT Pupuk
Sriwijaya, Sriwijaya Post, Sriwijaya TV, Sriwijaya Air, Stadion Gelora Sriwijaya, dan
Sriwijaya Football Club, semua dinamakan demikian untuk menghormati, memuliakan,
dan merayakan kegemilangan kemaharajaan Sriwijaya.