Anda di halaman 1dari 4

Kenali dan Sayangi Budaya Negeri Sendiri: Srimpi

Renggowati
Halo sahabat, saya ingin mengajak pembaca Baltyra untuk mengenal tari
tradisi keistanaan (berasal dari istana). Kali ini saya akan bercerita tentang tari serimpi.

Serimpi (srimpi) merupakan salah satu tari putri yang berasal dari istana.
Biasanya serimpi dibawakan 4 penari putri, dengan rias dan kostum yang sama. Nama /
judul tari serimpi, seperti halnya tari putri yang lain, sama dengan salah satu gending
(lagu) pengiringnya (selalu ada pengecualian, artinya tidak semua). Seperti Srimpi
Irim-Irim, diiring gending Irim-Irim, Srimpi Pandelori, diiringi gending Pandelori.

Namun, ada salah satu serimpi yang dibawakan 5 penari putri, dan namanya
tidak identik dengan gending pengringnya, melainkan nama seorang putri, yakni
Serimpi Renggawati . Penari ke 5 adalah gadis yang masih suci (belum mendapat
haid). Untuk hal satu ini, ada yang unik di balik serimpi yang satu ini. Mencari penari
belia (belum mendapat haid) yang sudah ‘jadi’ tentu bukan hal yang mudah. Jadi penari
ke 5 yang nampak di gambar tersebut termasuk istimewa, masih belia tapi sudah
‘matang’ gerak tarinya.

Figure 1: penari yang berdiri adalah remaja putri yang masih suci, belum mendapat
haid (foto effy wp)

Serimpi Renggawati termasuk tarian sakral, dan jarang dipentaskan, saya pun
belum pernah melihat secara langsung. Di dalam tarian ini, penari yang masih suci
menari sambil membawa tiruan merpati putih. Tentu butuh waktu yang lumayan
panjang untuk sampai ke tataran penari keraton. Tarian ini dapat dipentaskan karena
ada penari cilik yang mumpuni, setelah melaui proses latihan yang lumayan berat.
Penari juga harus menjalani ‘laku tirakat’ dan puasa. Juga, harus berhati bersih. Sayang,
ketika serimpi Renggowati akan dipentaskan lagi, ternyata si gadis sudah mendapat
haid, alhasil batal dipentaskan. Butuh waktu yang lama untuk mencari penari ke 5,
terlebih di masa kini, saat orang tak mau lagi menengok seni tradisi, tak terkecuali tari
klasik.

Belajar tari klasik tidak sulit, namun bukan berarti mudah. Dalam hal ini, yang
diutuhkan adalah kesungguhah, keteguhan, dan kerja keras. Sesuai dengan filosofi tari
klasik gaya Yogyakarta, yakni: greget, sengguh, ora mingkuh, yang dapat dimaknai
dengan kemauan keras, sungguh-sungguh, dan tidak mudah terpengaruh.
Figure 2: pada gambar ini merpati sudah tidak di tangan (foto effy wp)

Figure 3: kain penari cilik ini berbeda dengan yang lain (foto effy wp)

Serimpi Renggawati menceritakan pertemuan Prabu Anglingdarma, dengan


Dewi Renggawati, yang merupakan titisan Dewi Setyowati. Dia, istri Prabu
Anglingdarma yang melakukan pati obong/ membakar diri, karena salah paham saat
Sang Prabu tertawa mendengar dialog 2 ekor cicak. Prabu Anglingdarma memang bisa
bahasa binatang. Sang Dewi mengira suaminya menertawakan dirinya, setelah tahu
bahwa itu karena menertawakan cicak, sang dewi minta diajari ilmu untuk bisa tahu
bahasa binatang. Tapi, Prabu Anglingdarma sudah terikat janji dengan pemberi ilmu
tersebut, Nagaraja, bahwa Sang Prabu tidak boleh mengajarkan ilmu tersebut kepada
siapa pun juga. Dewi Setyowati ngambeg, lalu membakar diri. Sang Prabu kemudian
menjelma menjadi mliwis putih/burung belibis warna putih. Mliwis putih pun berkelana
mencari titisan Dewi Setyowati.
Figure 4: kostum dan rias yang sama (foto effy wp)

Menari srimpi, butuh stamina yang kuat, karena menari setidaknya 30 menit, dengan
kostum dan aksesori yang ’menyiksa’, seperti sumping, yang dikenakan di telinga,
dengan cara memasangnya di sekeliling telinga. Jamang, yang dikenakan di kepala
semacam mahkota, juga membuat kepala pening. Plus harnal dan jepit di sanggul. Itu
hanya dapat dilakukan oleh orang pilihan, yang mendedikasikan k.emampuannya untuk
melestarikan seni tradisi, khususnya tari. Dari segi materi, tidaklah banyak, tetapi ada
kepuasan tersendiri saat melakukannya, kepuasan batin.

Figure 5: seluruh penari beserta abdi dalem keparak (foto effy wp)

Selama menari, penari ‘dilayani’ oleh abdi dalem keparak, yang bertugas membenahi
kostum yang mungkin perlu dibenahi, seperti kain yang terlipat, atau ada yang lepas.
Juga melap keringat jika keringatnya terlalu banyak. Jangan salah, abdi dalem keparak
ini bukan orang sembarangan, kebanyakan dosen tari dan guru tari , juga PNS lain.
Mereka yang memilih untuk menjadi benteng budaya bangsa dari gempuran budaya
asing yang menderas seperti air bah…….tak bisa dicegah lagi, harus dihadapi dengan
aksi,bukan sekedar orasi.

Anda mungkin juga menyukai