Anda di halaman 1dari 5

Hukum Membujang

Bolehkah membujang dengan alasan untuk membaktikan sepenuhnya


hidup untuk dakwah ?

Membujang (tabattul) hukumnya makruh. Berdasarkan hadist dari Qatâdah


yang menuturkan riwayat dari al-Hasan, yang bersumber dari Samurah:

ِ ‫ن الّتَبّت‬
‫ل‬ ْ‫ع‬
َ ‫سّلَم َنَهى‬
َ ‫عَلْيِه َو‬
َ ‫ل‬
ُّ ‫صّلى ا‬
َ ‫ل‬
ِّ ‫ي ا‬
ّ ‫ن َنِب‬
ّ ‫َأ‬

“Bahwa Nabi SAW telah melarang hidup membujang.” (HR Ahmad no.
19329)
Tabattul maknanya adalah memutuskan untuk tidak menikah (memutuskan untuk
terus membujang) dan menjauhkan diri dari kenikmatan pernikahan, semata-mata
untuk focus beribadah saja.(Sistem Pergaulan dalam Islam hal. 176, Faidhul
qadhir 6/393)
Selain itu terdapat hadist dari Abu Yahya, Nabi bersada:

‫من كان موسرا لن ينكح فلم ينكح فليس منا‬

Artinya: siapa saja yang diberikan kemudahan (muusir) untuk menikah


tapi dia tidak menikah maka di tidak termasuk golongan kami (HR. Baihaqi 7/78,
al mu’jam al kabiir 22/366, al mua’jam al aushath 1/538)
Dalam hadist di atas memang terdapat kecaman “tidak termasuk golongan
kami” dan bagi orang yang mampu namun tidak menikah. Namun kecaman ini
tidak bersifat tegas (ghairu jazm) karena terdapat indikasi (qarinah) bahwa Nabi
saw mendiamkan sebagain sahabat yang mampu namun tidak menikah. Maka dari
sini dapat ditarik kesimpulan bahwa hokum membujang bagi orang yang mampu
adalah makruh, tidak haram.(Taisirul wushuli ilal ushul hal. 18)
Ukuran mampu adalah kelonggaran ekonomi. Imam al baihaqi pada saat
mensyarah hadist diatas menyatakan bahwa yang dimaksuh muusir adalah kaya
dan memiliki kelonggaran harta (Syu’abul iman lil baihaqi 11/461, Ma’rifatu ash
shahabah li Abi Nai’im 21/120).

Dari hadist ini juga dapat ditarik pemahaman sebaliknya (mafhum


mukhalafah) bahwa bagi orang yang tidak memiliki kesiapan ekonomi (harta)
maka baginya tidaklah makruh untuk membujang/tidak menikah. Karena pada
hadist ini terdapat mafhun syarat berupa huruf syarat “man” barang siapa. Padahal
mafhum syarat adalah salah satu bentuk mafhum mukhalafah (al wadhih fi ushulil
fiqh hal. 303)
Dalam kontek inilah Nabi mensyaratkan mampu untuk dapat menikah
sekaligus memberikan solusi praktis apabila tidak mampu menikah yaitu dengan
berpuasa. Nabi saw bersabda:

‫جاٌء‬
َ ‫صْوِم َفِإّنُه َلُه ِو‬
ّ ‫طْع َفَعَلْيِه ِبال‬
ِ ‫سَت‬
ْ ‫ن َلْم َي‬
ْ ‫ج َوَم‬
ْ ‫ع ِمْنُكْم اْلَباَءَة َفْلَيَتَزّو‬
َ ‫طا‬
َ ‫سَت‬
ْ ‫نا‬
ْ ‫ب َم‬
ِ ‫شَبا‬
ّ ‫شَر ال‬
َ ‫َيا َمْع‬

Artinya: Wahai para pemuda siapasaja yang mampu dari kalian maka
menikahlah dan jika tidak mampu (hendaklah) baginya berpuasa, karena puasa
baginya adalah perisai (Hr. Bukhari no. 4677 dan Muslim no. 2486)
Atas dasar ini maka dakwah tidaklah dapat menjadi alasan mubahnya
untuk membujang. Maka apabila seseorang pengemban dakwah yang mampu
secara ekonomi namun tidak menikah maka dia telah melakukan kemakruhan.
Sedangkan apabila memang dia tidak mampu untuk menikah maka mubah
baginya untuk membujang.
Namun yang perlu diingat bahwa seseorang harus yakin bahwa Allah
SWTlah yang Maha mengatur rizki. Bahkan Allah SWT berfirman:

‫ضِلِه‬
ْ ‫ن َف‬
ْ ‫ل ِم‬
ُّ ‫ن َيُكوُنوا ُفَقَراَء ُيْغِنِهُم ا‬
ْ ‫عَباِدُكْم َوِإَماِئكُْم ِإ‬
ِ ‫ن‬
ْ ‫ن ِم‬
َ ‫حي‬
ِ ‫صاِل‬
ّ ‫لَياَمى ِمْنُكْم َوال‬
َْ ‫حوا ا‬
ُ ‫َوَأْنِك‬
‫عِليٌم‬
َ ‫سٌع‬
ِ ‫ل َوا‬
ُّ ‫َوا‬

Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-


orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan
hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan
memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya)
lagi Maha Mengetahui (QS. An Nur [24]: 32)
Dan dari Abû Hurayrah RA dari Nabi SAW, beliau bersabda:

‫ والمجاهد في‬، ‫ المكاتب الذي يريد الداء‬: ‫ثلثة حق على ال أن يعينهم‬


‫ والناكح يريد أن يستعف‬، ‫سبيل ال‬

“Ada tiga golongan orang yang wajib bagi Allah untuk menolong mereka:
mukâtab (budak yang mempunyai perjanjian dengan tuannya untuk menebus
dirinya sehingga merdeka) yang ingin membayar tebusan dirinya, seorang
mujahid (yang sedang berperang) di jalan Allah; orang yang menikah karena ingin
menjaga kehormatan; dan (HR al-Hâkim dan Ibn Hibbân)

Oleh karenanya, Islam melarang umatnya hidup membujang laiknya para


pendeta. Hidup hanya untuk memuaskan dimensi jiwa saja dan meninggalkan
proyek berkeluarga dengan anggapan bahwa berkeluarga akan menjadi
penghalang dalam mencapai kepuasan batin. Hal ini merupakan bentuk
penyimpangan fitrah manusia yang berkaitan dengan unsur biologis.

Berkeluarga dalam Islam merupakan sunnatullah yang berlaku untuk


semua makhluk (kecuali malaikat), baik manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan.
Bahkan ditekankan dalam ajaran Islam bahwa nikah adalah sunnah Rasulullah
saw. yang harus diikuti oleh umat ini. Nikah dalam Islam menjadi sarana
penyaluran insting dan libido yang dibenarkan dalam bingkai ilahi. Agar kita
termasuk dalam barisan umat ini dan menjadi manusia yang memenuhi hak
kemanusiaan, maka tidak ada kata lain kecuali harus mengikuti Sunnah Rasul,
yaitu nikah secara syar’i. Meskipun ada sebagian Ulama yang sampai wafatnya
tidak sempat berkeluarga. Dan ini bukan merupakan dalih untuk melegalkan
membujang seumur hidup. Adapun hukumnya sendiri –menurut ulama–
bertingkat sesuai faktor yang menyertainya. Coba perhatikan beberapa nash di
bawah ini:

“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan


kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari
pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang
banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-
Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan
silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan Mengawasi kamu.” (An-
Nisa: 1)
Ada beberapa faktor yang mendasari urgensinya pembentukan keluarga
dalam Islam sebagaimana berikut:

1. Perintah Allah swt.

Membentuk dan membangun mahligai keluarga merupakan perintah yang


telah ditetapkan oleh Allah swt. dalam beberapa firman-Nya. Agar teralisasi
kesinambungan hidup dalam kehidupan dan agar manusia berjalan selaras dengan
fitrahnya. Kata “keluarga” banyak kita temukan dalam Al-Quran seperti yang
terdapat dalam beberapa ayat berikut ini;

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api
neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-
malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang
diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan.” (At-Tahrim: 6)

“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.” (Asy-


Syu’ara’: 214)

“Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan Bersabarlah


kamu dalam mengerjakannya. kami tidak meminta rezki kepadamu, kamilah yang
memberi rezki kepadamu. dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang
bertakwa.” (Thaha: 132)

2. Membangun Mas’uliah Dalam Diri Seorang Muslim.

Sebelum seorang berkeluarga, seluruh aktivitasnya hidupnya hanya fokus


kepada perbaikan dirinya. Mas’uliah (tanggung jawab) terbesar terpusat pada
ucapan, perbuatan, dan tindakan yang terkait dengan dirinya sendiri. Dan setelah
membangun mahligai keluarga, ia tidak hanya bertanggungjawab terhadap dirinya
saja. Akan tetapi ia juga harus bertanggungjawab terhadap keluarganya.
Bagaimana mendidik dan memperbaiki istrinya agar menjadi wanita yang
shalehah. Wanita yang memahami dan melaksanakan hak serta kewajiban rumah
tangganya. Bagaimana mendidik anak-anaknya agar menjadi generasi rabbani nan
qurani. Coba kita perhatikan beberapa hadits berikut ini:

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Sesungguhnya Allah Ta’ala akan meminta pertanggungjawaban kepada setiap


pemimpin atas apa yang dipimpinnya, apakah ia menjaga kepemimpinannya atau
melalaikannya, sehingga seorang laki-laki ditanya tentang anggota keluarganya.”
(Hadits gharib dalam Hilayatul Auliya, 9/235, diriwayatkan oleh An-Nasa’i dalam
Isyratun Nisaa’, hadits no 292 dan Ibnu Hibban dari Anas dalam Shahihul Jami’,
no.1775; As-Silsilah Ash-Shahihah no.1636).
3. Langkah Penting Membangun Masyarakat Muslim

Keluarga muslim merupakan bata atau institusi terkecil dari masyarakat


muslim. Seorang muslim yang membangun dan membentuk keluarga, berarti ia
telah mengawali langkah penting untuk berpartisipasi membangun masyarakat
muslim. Berkeluarga merupakan usaha untuk menjaga kesinambungan kehidupan
masyarakat dan sekaligus memperbanyak anggota baru masyarakat.

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api
neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-
malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang
diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan.” (At-Tahrim: 6)

Dari Anas r.a. berkata: “Rasulullah saw. memerintahkan kami dengan “ba-ah”
(mencari persiapan nikah) dan melarang membunjang dengan larangan yang
sesungguhnya seraya bersabda: “Nikaihi wanita yang banyak anak dan yang
banyak kasih sayang. Karena aku akan berlomba dengan jumlah kamu terhadap
para nabi pada hari kiamat.” (Imam Ahmad, dishahihkan Ibnu Hibban. Memiliki
“syahid” pada riwayat Abu Dawud, An-Nasaai dan Ibnu Hibban dari hadits
Ma’qil bin Yasaar)

4. Mewujudkan Keseimbangan Hidup

Orang yang membujang masih belum menyempurnakan sisi lain


keimanannya. Ia hanya memiliki setengah keimanan. Bila ia terus membujang,
maka akan terjadi ketidakseimbangan dalam hidupnya, kegersangan jiwa, dan
keliaran hati. Untuk menciptakan keseimbangan dalam hidupnya, Islam
memberikan terapi dengan melaksanakan salah satu sunnah Rasul, yaitu
membangun keluarga yang sesuai dengan rambu-rambu ilahi. Rasulullah saw.
bersabda:

Menikah juga bisa menjaga keseimbangan emosi, ketenangan pikiran, dan


kenyamanan hati. Rasulullah saw. bersabda:

Dari Abdullah berkata: Rasulullah saw. bersabda kepada kami: “Wahai para
pemuda, barangsiapa dari kalian yang memiliki kemampuan, maka hendaklah ia
menikah. Karena sesungguhnya menikah itu akan menundukkan pandangan dan
memelihara farji (kemaluan). Barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia
berpuasa. Karena puasa itu merupakan benteng baginya. (Imam Muslim)

Anda mungkin juga menyukai